jf_pratama Publish time 7-6-2007 05:56 PM

Judul Film : "LANTAI 13"

Jenis Film: Horror
Pemain: Widi Mulia (AB Three), Ariyo Wahab, Virnie Ismail, Lucky Hakim, Tio Pakusadewo
Sutradara: Helfi CH Kardit
Penulis: Helfi CH Kardit
Produser: Chand Parvez Servia
Produksi: Starvision
Website: www.starvisionplus.com

Sinopsis

Film Lantai 13 merupakan sebuah filmhoror. Film ini berkisah seorang gadis yang menerima panggilan kerja,Luna yang diperankan (Widi Mulia) menjadi suatu berita yang sangatmenggembirakan.

Namun panggilan tersebut menjadi aneh jikadatang dari lantai 13 sebuah gedung perkantoran. Keganjilan awaldirasakan dengan kemunculan Laras yang selalu mengikuti seiringperjalanan Luna setelah bekerja ditempat tersebut.

Bisikan-bisikanpilu terdengar mendesis setiap menyebut lantai 13. Belum lagi suararintihan diruang tangga darurat, ditambah tangisan wanita didalamtoilet menyebabkan suasana menjadi tambah angker.

Tak hanya itu,terkadang tercium bau busuk dari arah lift, hingga misteri kematian 12gadis calon sekretaris sebagai tumbal, menambah rentetan suasanamencekam. Terlalu banyak hal diluar logika yang terjadi sehinggamenyeret dan menyudutkan Luna untuk memahaminya.

Misteri mulaiterkuak, ketika setahun lalu, tepatnya 6 Juni 2006, menyiratkan faktabahwa angka kebangkitan kekuatan gelap iblis 666, dan upacara tumbal 13nyawa sebagai syarat untuk keberhasilan usaha office building ternyataberakibat panjang.

Disebabkan setahunkemudian 6 Juni 2007panggilan kerja yang terselip dan tidak diterima oleh Luna tiba, makadirinyalah yang menjadi kandidat tumbal ke 13 yang selamat. Dan Lunajuga yang menjadi kunci untuk membuka ikatan darah arwah-artwah tumbal.

Kengeriansemakin nyata, ketika sosok Kuntara yang misterius muncul. Dia adalahorang kepercayaan Albert sang bos pemilik Office Building semakinbertambah rumit. Sementara Rafael, pacar Luna yang berprofesi sebagaiwartawan tidak dapat mempermudah keadaan dengan cara bertindaknya yangmenggunakan nalar saja.

Saat itu tidak ada yang dsapat dipercayadan mempercayai Luna ketika semua petunjuk mengarah pada keberadaanlantai 13. Lantai yang selama ini menjadi momok bagi para pengusahagedung berlantai tinggi. Bagaimana dengan kelanjutan mengenai lantai 13ini. Saksikan saja dibioskop pada 7 Juni mendatang.

Review

Film lantai 13 merupakan film berjenishorror. Dalam film ini memang agak berbeda dengan film-film horrorlainnya. Biasanya film horror di Indonesia banyak menampilkanunsur-unsur mengangetkan, atau dengan comedian yang lucu.

Lantai13 mencoba menyuguhkan sebuah tontonan horror yang menarik, jauh darikeangkeran dan kesunyian. Pada film ini, Penonton diajak untukmerasakan suasana mencekam yang sengaja diciptakan sang sutradara.

Dalamhal ini, film ini juga mengadopsi jenis atsmoferic horror. Dimana sangtokoh, Luna selalu dihantui dengan menyebutkan lantai 13. Selain itu,dalam Lantai 13 ini hanya menampilkan sekitar 2 atau 3 adegan yangmengangetkan, serta beberapa adegan komedi yang mampu menurunkanketegangan.

QueenLove Publish time 7-6-2007 06:39 PM

Originally posted by jf_pratama at 7-6-2007 05:56 PM
Judul Film : "LANTAI 13"

Jenis Film: Horror
Pemain:Widi Mulia (AB Three), Ariyo Wahab, Virnie Ismail, Lucky Hakim, Tio Pakusadewo
Sutradara:Helfi CH Kardit
Penulis:Helfi CH ...

suka betul pakai nombor 13 ni kan

jf_pratama Publish time 10-6-2007 05:26 PM

Minggu, 10 Juni 2007,
Cinta Akting berkat Teater

Bermain sebagai pemeran pembantu dalam film Berbagi Suami, si cantik Atiqah Hasiholan, 24, tak lama lagi akan memamerkan kembali kemampuan aktingnya. Putri dari budayawan Ratna Sarumpet itu baru saja menyelesaikan syuting Suster N, sebuah film horor yang segera dirilis di bioskop. "Di situ aku jadi pemeran utamanya, tapi belum boleh cerita banyak," katanya.

Ketertarikan Atiqah di dunia akting berawal dari pertunjukan teater yang dikenalnya sejak SD. "Dikenalkan sama ibu. Akhirnya, aku tertarik dan sering ikut pementasan," ujar gadis kelahiran Jakarta, 3 Januari 1983 itu.

Sayang, setelah lulus SMP, Atiqah terpaksa meninggalkan kegiatan teater. Dia meneruskan pendidikan formal di Perth, Australia. Setamat sekolah, Atiqah langsung meneruskan kuliah di Monash University, jurusan psikologi dan mass media. "Di sana aku belajar saja. Nggak ikut-ikut teater lagi," kisahnya.

Pada penghujung 2003, Atiqah pulang ke Indonesia dan main teater lagi. Dia kemudian main teater berjudul Pelacur dan Sang Presiden yang skenarionya ditulis ibu kandungnya pada 2005. Atiqah memerankan tokoh utamanya, Jamilah. Dia pentas ke beberapa kota di Indonesia. "Main teater sudah nggak bisa dipisahkan deh. Berkat teater, aku jadi suka sekali berakting," katanya.

Berbekal pengalaman teater, Atiqah mendapat tawaran bermain FTV, di antaranya Kau Membuat Aku Gila dan Dicintai Joe. Aktingnya juga tidak luput dari perhatian sutradara sekaligus produser, Nia Dinata, yang menawarinya bermain film Berbagi Suami. "Akting di depan kamera aku pelajari dari pengalaman syuting saja," tuturnya.

Saat ini Atiqah diproyeksikan untuk memerankan karakter Jamilah dalam Pelacur dan Sang Presiden versi layar lebar. Proyek film itu masih tahap persiapan. Beban mana antara teater dan film? "Masing-masing punya tantangan tersendiri. Di film mungkin lebih detail karena ada kamera. Tapi kalau salah bisa diulang, tidak seperti teater. Yang pasti, film Pelacur dan Sang Presiden akan menjadi beban karena ada Christine Hakim. Senior dan aktingnya bagus," ujarnya. (gen)

Atiqah Hasiholan
TTL: Jakarta, 3 Januari 1983
Fokus: Akting


jf_pratama Publish time 10-6-2007 05:59 PM

10/06/07
"Opera Jawa" Memukau Publik Australia

Canberra (ANTARA News) - Film "Opera Jawa" karya sutradara kawakan Indonesia, Garin Nugroho, memukau publik perfilman Australia dalam Festival Film Sydney (SFF).

"Opera Jawa" yang diputar selama dua hari mulai Minggu (10/6 di "State Theatre" Sydney itu, digambarkan Direktur Eksekutif SFF, Clare Stewart, sebagai film yang "sangat menakjubkan dan spektakuler".

Clare Stewart mengatakan film opera yang memadukan tarian, musik gamelan dan teater wayang itu merupakan suguhan budaya yang indah dan kuat

Audiens Australia sangat mengagumi pertunjukan yang digelar di gedung teater yang berlokasi di antara Jalan Pitt dan George yang dikenal sebagai pusat bisnis kota metropolitan Sydney itu.

"Opera Jawa" yang terinspirasi oleh epik Ramayana dan berdurasi 120 menit itu merupakan salah satu film baru dari 50 negara yang disajikan selama festival yang berlangsung dari 8 hingga 24 Juni 2007 ini.

Kehadiran Garin Nugroho pada SFF 2007 itu atas undangan Duta Besar Australia untuk Indonesia, Bill Farmer. Bill mengatakan, sutradara ternama Indonesia itu merupakan tamu istimewa festival yang menjadi ajang bagi perfilman kontemporer Australia dan dunia, serta tercatat sebagai kegiatan kebudayaan besar dalam kalender kegiatan sosial kota Sydney.

Dubes Farmer mengatakan, Garin Nugroho adalah sutradara yang sangat berbakat dan produktif.

Dia tidak hanya telah menciptakan banyak film yang berhasil memenangkan penghargaan internasional dan menarik banyak minat terhadap perfilman Indonesia, tetapi juga memiliki banyak penggemar di Australia.

Selain mengikuti SFF, Garin juga akan hadir dalam Festival Film Adelaide.

"Kehadirannya pada Festival Film Sydney dan Festival Film Adelaide adalah sebuah kesempatan yang baik sekali bagi masyarakat Australia untuk mempelajari lebih jauh lagi mengenai perfilman Indonesia," katanya.

Garin Nugroho yang mendapat dukungan Institut Australia-Indonesia (AIA) untuk hadir dalam dua film festival dari 9-14 Juni itu merupakan salah satu contoh lain dari kolaborasi kebudayaan yang menarik dan terus menerus berjalan antara kedua bangsa dalam berbagai bidang kesenian.

Sebuah film Garin yang terkenal di tahun 2004, "Of Love and Eggs", akan menjadi tayangan spesial pada Festival Film Adelaide di Australia Selatan pada 12 Juni 2007. (*)

HangPC2 Publish time 16-6-2007 11:11 PM

Novel Laskar Pelangi Difilemkan


http://img166.imageshack.us/img166/1622/laskarpelanginovelcoverls9.gif


Berita terbaru yang kita terima dari Jakarta mengatakan novel Andrea Hirata Laskar Pelangi akan difilemkan.

Laskar Pelangi diterbitkan edisi Malaysianya oleh PTS FORTUNA.

Pengarah filem itu nanti adalah Riri Reza, pengarah filem hit Ada Apa Pada Cinta.

PTS akan melobi Grand Brilliance supaya membawa masuk filem itu nanti ke Malaysia. Apabila filemnya hit di sini, jualan novelnya juga akan meningkat.

Dalam Pesta Buku lalu novel ini tidak dapat dipemerkan dalam booth PTS sebab habis dalam setor.


Posted on Saturday, June 16th, 2007

Sources: http://www.universitipts.com/?m=200706

jf_pratama Publish time 17-6-2007 12:32 PM

'3 Days' a beautiful trip to last a lifetime

Ambar (Adinia Wirasti) spends a night partying at a club, only to wake up the next morning to realize her family has left her behind and headed to Yogyakarta for her sister's wedding reception.

Still reeling from a major hangover, Ambar has to catch up with them since she is responsible for delivering antique goods to the reception.

Left with no one else to rely on but her cousin, Yusuf (Nicholas Saputra), Ambar takes him along on a road trip from Jakarta to Yogyakarta. But, both being inexperienced drivers, they decide to take it easy with an overnight stay in Bandung.

As they continue their trip, they frequently get lost, and this clueless journeying leads them to meet interesting characters, from a sex-crazed polygamist (Tarzan, of the comedy troupe Srimulat) to a seductive ronggeng dancer.

The closer these two youngsters get to their destination, the closer their minds and bodies become to each other. The on-and-off approach ultimately leads to one defining night that affects their lives forever.

Arguably Riri Riza's loosest and most unpretentious film ever, 3 Hari Untuk Selamanya/3 Days to Forever has all the right ingredients to make it a good road-trip film: believable, bantering dialogue that dominates the film, gorgeous cinematography that perfectly captures the many breathtaking views of coastal roads in northern Java, rollicking music and down-to-earth characters with their celebrated flaws.

While it may not be on a par with his performance in Janji Joni/Joni's Promise or his dramatic turn in Gie, Nicholas gives decent delivery as Yusuf, a once shy young man who is forced to face some harsh realities in the outside world.

But the one who carries the film with her gleam and smile is Adinia, far removed from her depressive act in Tentang Dia/About Her.

As Ambar, a confused teenager who questions her religious upbringing and her family's rigid traditions, Adinia gives a subtle performance that speaks out loud when the cameras capture her raw facial expression vividly.

Particularly interesting is when her character, a Muslim girl, prays in front of a statue of Mother Mary in the Sendangsono graveyard, as she says plainly: "I may be a Muslim, but I have been educated in Catholic school, so this is not a new thing for me." A rare and shocking moment in Indonesian cinema, Adinia carries off the task easily with a convincing line delivery.

Add to this a road-trip-friendly soundtrack from emerging band Float, and a sweeping look at green paddy fields as captured by director of photography Yadi Sugandi and editor Sasta Sunu -- both considered gurus in their respective fields -- and one can enjoy a watchable film without having to raise our eyebrows at any technical flaws.

For trivia hunters out there, look out for the very long list of catering services used in the film -- perhaps the longest list in any local releases of which the Indonesian Museum of Records (MURI) may consider noting.

After all, it is not every day that roadside warung (cafe) in small Javanese towns are credited in a major, and good film, like this.

-- Nauval Yazid

jf_pratama Publish time 18-6-2007 05:59 PM

FILM SELAMANYA Cinta Lama yang Bersemi Kembali

Senin, 18/06/2007

Sebuah film bertema cinta remaja berjudul Selamanya akan meramaikan industri perfilman Tanah Air. Film melodrama yang dibintangi Julie Estelle dan Dimas Seto ini akan mengangkat sebuah kisah cinta lama yang tengah bersemi kembali di hati sepasang mantan kekasih.

JAKARTA (SINDO) - Film produksi MVP Pictures ini mengisahkan tentang Bara (Dimas Seto) dan Aristha(JulieEstelle) yang merupakan sepasang kekasih saat sekolah. Bara sempat menyeret Aristha ke gaya hidup yang gelap. Namun, Bara pula yang menjanjikan cinta selamanya kepada Aristha. Karena itu, dia menganggap Bara merupakan cinta sejati dan segala-galanya bagi Aristha.

Beberapa waktu kemudian,Bara justru terlepas dari kehidupan yang gelap itu dan telah menjalani hidup baru. Ketika Bara hendak merencanakan pernikahan dengan Nina, justru Aristha muncul dengan membawa segudang masalah. Bara merasa bertanggung jawab untuk memulihkan hidup Aristha.

Bara pun mulai membawa Aristha ke jalan yang benar. Di saat itulah cinta lama bersemi kembali. Bara akhirnya harus memenuhi janji cinta setianya kepada Aristha dulu, cinta sejati untuk selamanya.

’’Dalam cerita itu, Aristha bertemu kembali dengan Bara di kantor polisi. Ada perasaan kangen dan sakit hati. Namun, Bara menemani Aristha disaat yang paling buruk dan enggak bisa dilewati banyak orang,” ujar Julie.

Julie Estelle dulu pernah berhasil memerankan seorang gadis yang merebut hati dua orang pemuda sekaligus dalam film Alexandria. Dia mampu menjiwai karakter yang dia perankan. Perempuan yang baru saja mengikuti ujian nasional (UN) di Sekolah Internasional Prancis ini sangat piawai mengangkat emosi dalam aktingnya.

Sang sutradara Ody C Harahap menyatakan, Julie sangat cocok memerankan karakter Aristha. ’’Enggak perlu banyak bicara,saya bisa melihat kedalaman emosi di wajah Julie,”tutur Ody.

Selamanya merupakan film ketiga Julie, setelah sebelumnya dia juga tampil memukau dalam Kuntilanak, film terlaris 2006.Sementara itu, Dimas Seto pernah berperan dalam film Satu Kecupan dan Pesan dari Surga. Film yang akan dirilis 19 Juli mendatang ini akan menghadirkan Donny “Ada Band”u ntuk menggarap album soundtrack-nya berjudul Cinema Story. (andree)

jf_pratama Publish time 19-6-2007 06:19 PM

PRODUSER YANG MELENGGANG DI GENRE HOROR

Fadil AbbasShankar RS BSc

Genre film horor tumbuh subur di Indonesia. Produsernya pun cukup banyak. Namun hanya sedikit yang konsisten di genre ini. Nama Shankar RS adalah salah satunya. Di bawah bendera Indika Entertainment, dia melenggang dengan genre horor yang memang terbukti laris manis.

"Masyarakat kita menyukainya. Horor sangat dekat dalam kehidupan sehari-hari," ujar Shankar.

Jawaban itu dilontarkan produser Shankar RS BSc yang banyak memproduksi film-film horor di samping film remaja. Setelah 2,5 tahun, dia berhasil mengangkat nama Indika yang dulu nyaris tinggal nama.

"Kehidupan sehari-hari sebenarnya juga penuh horor. Banyak orang yang stres karena memikirkan masa depan saat berada dalam kendaraan di jalan raya. Mereka membutu*kan sekolah atau kuliah yang dapat menjamin mendapatkan pekerjaan yang dicita-citakan," kata lelaki keturunan India yang lahir dan dibesarkan di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan 41 tahun silam.

Menurut Shankar, masyarakat membutu*kan tempat rekreasi atau pelepasan himpitan stres yang meracuni jiwa. Memang banyak pilihan. Salah satunya, bioskop yang sejuk dengan alat pendingin ruangan, jauh dari berbagai polusi. Ada orang yang merasa lega setelah berteriak-teriak di bioskop yang memutar film horor. Keadaan semacam itu nyaris sama dengan suasana hingar-bingar di lapangan sepak bola atau tempat disko yang luas.

"Namun bagi penggemar film bioskop lain lagi. Jika film horornya terasa mengesankan, mereka ingin mengulang untuk menonton lagi, hingga terpuaskan karena tekanan pada pikiran mengendur. Stres malah lenyap," ujar bapak satu anak ini.

Terkecuali dengan penderita gangguan jantung yang akut, tentu saja dianjurkan untuk tidak menonton film yang menegangkan. Bagaimana dengan kanak-kanak?

"Anak-anak zaman sekarang banyak yang berani-berani. Mereka malah senang nonton film horor," sambungnya.

Bagi produser yang pernah beberapa kali berpindah rumah produksi, film adalah panggilan jiwa sejak dia masih duduk di bangku SD. Dia masih ingat, saat film Indonesia tengah booming di negeri sendiri di tahun 1970-an. Saat itu, film dalam negeri mendapat perlindungan dari pemerintah. Produser film nasional yang memproduksi sejumlah film akan mendapat kuota film impor.

Ayah kandung Shankar, Ramchand S memiliki sejumlah bioskop di Sulsel, di antaranya di Pare-pare, Maros, Majene, dan Bone. Bioskop-bioskop itu sering memutar film Indonesia. Shankar kecil tanpa diminta sering membantu ayahnya mengontrol karcis bioskop. Bila yang diputar itu film nasional. maka dia ikut menonton.

"Saat itu, saya yang masih duduk di kelas V SD. Saya paling suka nonton film yang dibintangi Rano Karno dan Widyawati. Keduanya bintang favorit saya. Kalau sutradara dari mancanegara yang kagum adalah Steven Spielberg. Sementara sutradara dalam negeri yang saya kagumi adalah mendiang Nya' Abbas Acub. Saya suka dengan film anak-anak film komedi.

Sejak kecil bersentuhan dengan produksi film nasional, pelan-pelan tumbuh semacam naluri untuk menjadi produser film. Namun ayahnya ternyata lebih menghendaki anak ketiganya itu memilih profesi lain. Setelah lulusan SD, Shankar melanjutkan ke SMP di Jakarta. Usai tamat SMP, dia pun melanjutkan ke sekolah setingkat SMA di India.

Ayah Shankar tahu persis, ahli komputer banyak yang berasal dari India. Itulah sebabnya sang ayah membiayai Shankar untuk kuliah di sebuah akademi komputer setelah lulus SMA. Shankar akhirnya lulus dengan gelar Bachelor Of Science (BSc). Tapi naluri Shankar berkata lain. Seusai akademi tersebut, dia mengambil kuliah ekstension perfilman di Hollywood.

"Saya kembali ke Jakarta tahun 1989, dan kemudian mendapat pekerjaan di Parkit Film. Saya ditempatkan di divisi iklan. Saat itu film nasional yang menjadi unggulan adalah film-film yang dibintangi Kadir dan Doyok. Tahun 1990, divisi ini menjadi Multivision Plus," tuturnya.

Lima tahun kemudian, Shankar pindah bekerja di Kharisma Starvision. Dia semakin mengembangkan visi tentang film nasional dan sinema elektronik (sinetron). Tahun 2004, dia bergabung Indika, sebuah rumah produksi yang ditinggal pucuk pimpinan.

Sejurus kemudian, Shankar menduduki jabatan sebagai Presiden Direktur. Dia mulai memacu rumah produksi ini dengan membuat film yang memiliki kelebihan lain. Seperti film Detik Terakhir yang masuk nominasi dalam FFI tahun 2005. Akting Cornelia Agatha dan pendatang baru, Sauzan cukup menonjol.

Tapi kesuksesan itu juga berbuntut negatif. Setelah ditayangkan stasiun televisi swasta, pernyataan Shankar soal kredibilitas miring juri FFI 2005 menuai banyak protes. Banyak pihak merasa tersinggung. Kejadian ini sempat dibawa ke pertemuan yang dihadiri para Ketua Penyelenggara dan para juri FFI 2005. Shankar minta maaf dan mengajak semua pihak melupakan kejadian itu.

Jerakah Shankar? Ternyata tidak. Masih banyak obsesi tentang film di negeri ini yang belum terwujud. Dia memproduksi lagi film Cewek Metropolis yang dilanjutkan dengan Ekskul yang disutradarai Nayato Finuala. Film yang bertema lain dari yang pernah ada ternyata terpilih sebagai Film Terbaik dalam FFI 2006.

Namun perfilman Indonesia kembali heboh. Anak-anak muda yang tergabung dalam badan yang menamakan dirinya Masyarakat Perfilman Indonesia (MPI) memprotes film Ekskul yang disebut menjiplak lagu tema dari film asing. Timbul aksi pengembalian Piala Citra oleh para sineas muda

Sampai sekarang kasus Piala Citra belum ada penyelesaian yang konkrit. Seolah tak ada kejadian apa-apa, Shankar pun masih berambisi membuat film. Film Terowongan Cassablanca termasuk film laris. Film jenis horor ini masih mendapat keuntungan yang signifikan. Sementara film horor Bangku Kosong dan Roh dari perusahaan film lain membayangi gerak langkah Shankar.

Kini pertengahan tahun 2007 muncul film-film horor Indonesia yang seolah saling bersaing. Film pertama Suster Ngesot diikuti Malam Jumat Kliwon dan Lantai 13. Lantas siapakah pemenang dari "perang saudara" yang beberapa kali terjadi di berbagai bioskop seluruh Indonesia?

"Saya tak pernah memikirkan persaingan, yang penting saya membuat film yang disukai masyarakat. Semuanya terpulang pada pecinta film nasional. Pendeknya saya tetap memproduksi film nasional. Hidup mati saya memang di film. Saya selalu membuat film yang temanya dekat dengan masyarakat," katanya.

Sosok Shankar memang menarik perhatian. Dia tak peduli, apakah film yang diproduksinya bakal dicerca atau sebaliknya dihujat di mana-mana. Kini dia malahan banyak dicari pemodal yang ingin bekerja sama secara finansial dalam pembuatan film. Setiap hari kerja, kantornya di kawasan perkantoran Jalan Gatot Subroto selalu penuh dengan orang-orang yang berkepentingan dengan film yang diproduksinya. Ada sutradara, pengedar film dalam bentuk VCD.

"Saya pikir, sudah saatnya membuat lagi film drama berbobot setelah film horor," demikian tekadnya.

Shankar berpendapat jumlah produser film sudah makin banyak dibanding era tahun 1970-an. Di sisi lain, jumlah gedung bioskop kelas menengah atas juga bertumbuh pesat. Kondisi tersebut merupakan masa depan yang menjanjikan buat perkembangan film nasional.

"Perputaran uang di dunia film nasional sangat cepat. Keadaan ini membuat gairah memproduksi film nasional," ujarnya.

Kini Shankar bekerja sama dengan para sutradara dari berbagai kalangan seperti Irwan Siregar, Nayato Finuala, dan Nanang Setiabudi. Dia merasa cocok berkolaborasi dengan para sutradara muda.

"Kami sering berdiskusi untuk membicarakan tema film yang disukai masyarakat," tambah Shankar.

jf_pratama Publish time 20-6-2007 04:56 PM

LOST IN LOVE Tersesat di Kota Paris

Rabu, 20/06/2007

Setelah sukses dengan peluncuran film dan novel Eiffel I’m In Love, penulis Rachmania Arunita akan menggarap sebuah film sekuel bertajuk Lost In Love. Sebelumnya, film tersebut sudah dibuat dalam bentuk E-Book dengan judul yang sama.

JAKARTA(SINDO) - Film Lost In Love ini bercerita tentang kisah petualangan seorang perempuan yang tersesat di Paris,Prancis. Perempuan itu hendak mencari jalan pulang agar bisa menemukan kembali cintanya.

“Film ini tidak sekedar mengangkat cinta yang begitu-begitu saja. Memang ini lanjutan dari film sebelum Eiffel I’m In Love,tetapi nuansa dan latar belakang ceritanya agak sedikit beda,”jelas penulis skenario sekaligus eksekutif produser Rachmania Arunita.

Sebelumnya, film Eiffel I’m In Love diperankan oleh Samuel Rizal dan Shady Aulia. Namun dalam film Lost In Love, Rachmania mengaku tidak akan memakai mereka lagi. Dia telah melakukan open casting di lima kota besar untuk mencari pemain baru yang akan memerankan tokoh Tita dan Adit. Alhasil, dari sekitar 1000 pendaftar, terpilih Pevita E. Pearce dan Richard Kevin sebagai pemeran utamanya.

“Saya cari pemain yang lebih fresh, muda dan mewakili cerita dalam film ini. Selain bisa akting, yang paling penting mereka sudah membaca dan mendalami isi novel dan film sebelumnya. Supaya, mereka bisa meresapi peranan yang akan mereka mainkan,”jelas Nia.

Kisah film Los In Love berawal dari kekecewaan Tita (Pevita) pada semua orang yang menganggapnya sebagai anak kecil dan manja. Dia pun dikhianati oleh Adit (Richard) dengan sikapnya yang tidak berubah, tetap dingin, dan ketus. Tita semakin kesal karena Adit pun memiliki penilaian yang sama seperti kebanyakan orang.

Suatu ketika,Tita memutuskan pertunangan dan hubungan dengan Adit. Dia merasa sudah saatnya hidup mandiri tanpa ada seorang pun yang menjaga atau melarangnya berbuat apapun. Tita ingin membuktikan kalau dirinya sanggup hidup sendiri tanpa orang lain.

Hingga akhirnya dia memberanikan diri melakukan petualangan di Kota Paris seorang diri.Tetapi, belum apa-apa, Tita malah tersesat di tengah-tengah kota yang dia tidak kenal.Namun, tak disangka-sangka dia bertemu dengan Alex, mahasiswa asal Thailand yang kuliah di Paris.

Dapatkah Tita mempercayai Alex untuk memandu petualangannya selama di Paris? Akankah Tita kembali menemukan jalan pulang dan kembali mendapatkan cintanya ? Semua itu terangkum dalam film Lost In Love yang akan rilis awal tahun 2008. Kendati demikian, Nia belum mau berbicara detil tentang film ini. Nama sutradaranya pun belum mau dia sebutkan, tetapi yang pasti sutradaranya lebih dari satu orang.

Sedangkan untuk Soundtrack-nya, Nia mempercayakan grup vokal Tangga untuk menggarap albumnya. Sementara untuk lokasi syuting sebagian besar akan dilakukan di Paris, Prancis.

“Kami akan melakukan proses syuting selama kurang lebih satu bulan. Dan tiga minggu pertama akan dilakukan di Paris. Jadi sekitar tak kurang dari 50%, setting Paris akan ada dalam film ini. Syuting akan dimulai awal Agustus mendatang,”jelas Nia.

makhluk Publish time 20-6-2007 05:11 PM

pratama...boleh nggak kamu berikan saya gambar2 dan artikel/cerita mengenai dua aktor faveret gue ini...Samuel Rizal & Vino G Bastian...kalau bisa, kasi saya mereka punya info/biodata..TQ

jf_pratama Publish time 20-6-2007 05:37 PM

PERUBAHAN PERAN LEMABGA SENSOR FILM

Sejumlah pihak menyambut positif adanya rencana untuk mengubah Lembaga Sensor Film (LSF) sebagai lembaga klasifikasi bagi film layar lebar. Sedangkan untuk film televisi, selain melakukan klasifikasi, LSF masih diizinkan untuk melakukan pengguntingan (penyensoran-red) adegan. Rencana itu tertuang dalam usulan revisi Undang-Undang Perfilman yang kini tengah diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Menurut sejumlah pihak, pengubahan LSF sebagai lembaga klasifikasi pada film layar lebar merupakan suatu keharusan. Sebab, apa yang telah dilakukan LSF selama ini dengan melakukan pengguntingan pada beberapa adegan film layar lebar dinilai telah menghalangi kreativitas dan tidak efektif.

"Memang sudah seharusnya LSF kini tidak lagi menjadi lembaga tukang gunting, tapi hanya sebagai lembaga klasifikasi. Sebab, apa yang selama ini telah dilakukan LSF tidak ada manfaatnya. Katanya LSF ada untuk menjaga moral bangsa, padahal masalah keimanan seseorang itu tidak ada hubungannya dengan memotong adegan. Malah apa yang telah dilakukan LSF justru lebih pada menghalau dan menjatuhkan mental bangsa," kata Ria Irawan, yang sejak era 80-an telah dikenal sebagai bintang film berbakat ketika dihubungi SP, Senin (18/6).

Pengguntingan adegan yang telah dilakukan LSF dalam konteks untuk menyensor, jelas Ria, telah merugikan banyak pihak khususnya para penonton yang telah mengeluarkan uang (biaya-Red) untuk membeli karcis di bioskop, serta meluangkan waktu untuk pergi menonton ke bioskop.

"Padahal sebagai penonton film, mereka sudah menunggu untuk menonton film yang akan keluar. Tapi begitu film itu bisa ditonton ternyata adegannya sudah dipotong-potong. Tentu itu merugikan mereka yang sudah berkorban banyak hal untuk bisa menikmati sebuah film di bioskop," ungkapnya.

Masalah penyensoran, lanjut Ria, sebaiknya diserahkan pada masyarakat sendiri serta pengelola gedung bioskop. Dengan memberikan kebebasan bagi masyarakat, berarti telah mendidik masyarakat untuk memilih film-film yang pantas bagi dirinya dan keluarganya sendiri.

"Dengan diubahnya LSF sebagai lembaga klasifikasi, maka masalah penyensoran akan menjadi pekerjaan rumah bagi masyarakat. Artinya disini dituntut kesadaran dari induvidu serta semua pihak termasuk pengelola gedung bioskop atau media yang menayangkan agar tidak membiarkan anak-anak dan remaja menonton film yang tidak sesuai dengan usianya," jelasnya.

Sedangkan penyensoran dan pengklasifikasian bagi film televisi, tutur Ria, sudah seharusnya dilakukan oleh LSF. Pasalnya masyarakat yang menonton film di televisi jauh lebih banyak dari penonton film bioskop, serta terdiri atas berbagai usia.

"Selain itu untuk menonton film televisi kan masyarakat tidak perlu mengeluarkan uang, alias gratis. Jadi wajar saja kalau disensor, sedangkan penonton film bioskop kan harus menyediakan waktu khusus serta biaya yang tak sedikit untuk bisa menonton film di bioskop jadi sebaiknya tidak disuguhkan film-film yang sudah dipotong-potong," katanya.

Hal senada juga dikatakan Manager Public Relation stasiun televisi swasta SCTV, Budi Dharmawan. Menurutnya sensor pada film televisi sangat dibutu*kan karena penonton media televisi bersifat heterogen.

"Khususnya untuk film-film asing, sebaiknya memang terlebih dulu disensor oleh LSF. Soalnya penonton televisi itu kan heterogen, ada anak-anak dan balita, remaja serta dewasa," katanya.

Terlebih, katanya, apa yang dilakukan oleh LSF sesuai dengan aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang LSF. Hanya, untuk pengklasifikasian film televisi, sebaiknya dilakukan secara fleksibel.

"Ada beberapa film yang memang sebaiknya diputar pada malam hari, seperti film roman Basic Instinct, tapi kan ada juga film asing yang pantas diputar di siang hari seperti Home Alone," urainya.

Pihak pengelola stasiun televisi, jelas Budi, selama ini cukup memiliki kesadaran untuk memilih film mana yang pantas diputar di malam hari dan film mana yang sebaiknya diputar di siang hari, sehingga sebaiknya LSF tidak terlalu mendikte mereka.

Budi berharap dalam penyusunan revisi Undang-Undang Perfilman yang baru tersebut, pemerintah menggandeng dan mendengar masukan dari berbagai pihak tidak terkecuali masyarakat dan pers. "Sehingga nantinya produk undang-undang yang dihasilkan sesuai dengan aspirasi dan kebutu*an semua pihak dan sesuai dengan yang kita cita-citakan bersama," tandasnya.

jf_pratama Publish time 20-6-2007 05:41 PM

Reply #70 makhluk's post

Coba anda masuk ke www.kapanlagi.com atau www.indonesiaselebriti.com....

jf_pratama Publish time 24-6-2007 11:31 AM

Membaca (Kembali) Film Indie dan Seni Video
Krisna Murti

Ada dua seni gambar "idoep" yang sama maraknya di Tanah Air hari ini: film indie dan seni video. Keduanya memiliki produk, festival, pekerja, penggemar, dan komunitas yang tersebar dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang bahkan hingga Manado.

Aneh memang, kedua seni gambar bergerak yang digerakkan kaum muda dengan latar belakang beragam itu belum sepenuhnya terbaca, baik bentuk seni maupun posisi kulturalnya. Sulitnya memahami agaknya juga terpicu oleh sikap yang cenderung menutup diri di antara kedua seni berbasis waktu itu.

Seni video mulai menjamur seputar tahun 2000-an dan para perupa terlihat mengambil bagian terbesar. Dari serangkaian tulisan, genre seni ini sering digambarkan sebagai perluasan seni rupa kontemporer. Namun, dari sisi film indie, naratif visual yang menjadi andalan seni video sebetulnya bukan barang baru karena seluruh aspeknya sudah pernah mewarnai sejarah film dunia, misalnya melalui film abstrak (1920) dan eksperimental (1940). Dari sini saja terkesan kesamaan itu memang ada dan diasumsikan seni gambar hidup bertalian dengan sejarah di luar geografinya.

Independen

Film indie (independen) muncul beberapa saat sebelum tahun 2000 (sementara ide serupa menggunakan seluloid sudah dibuat 30 tahun sebelumnya!). Saya pernah terlibat dalam diskusi film di British Council, Jakarta, tahun 1999.

Diskusi yang diprakarsai Komunitas Film Independen (Konfiden) itu lalu saya catat sebagai penanda "diakuinya" istilah film indie. Tetapi, belakangan saya sadari, istilah itu tidak lagi dipergunakan (meskipun di beberapa kota secara sporadis masih dirawat). Lalu berganti menjadi film pendek yang konotasinya lebih teknis dan tidak memasuki definisi "menjebak".

Pengertian "indidependen" mendorong kita pada logika "independen dari…". Asumsinya ada liyan di luar sana. Dan itu rupanya film arus besar, genre film industri, katakan saja film Hollywood.

Persoalannya, benarkah film indie di Tanah Air melawan hiburan komersial dunia? Kedua, benarkah di Indonesia sudah terbentuk industri film yang mapan hingga pantas dilawan sebagaimana pernah juga dilakukan pembuat film independen di Amerika Serikat (AS) pada 1980-an?

Sejarawan film AL Rees dalam A History of Experimental Film and Video, 1999, menawarkan istilah film avant garde—meskipun ia sadari tidak sepenuhnya diterima—untuk memayungi genre indie, eksperimental, struktural, underground, dan pastilah film pendek ada di dalamnya. Rees menengarai film-film ini tidak saja berseberangan dengan rezim komodifikasi yang dominan, tetapi bertentangan dari segi: naratif, cara menonton, ruang tayang, organisasi, di samping yang pasti produksi dan distribusi. Ihwal perlawanan juga dilakukan sepupunya: seni video. Di AS seni video hadir sebagai wujud pembangkangan terhadap budaya televisi. Lalu bagaimana di negeri kita?

Menurut hemat saya, independensi di sini terjadi bersamaan, baik film maupun video. Ini tidak terlepas dari meluasnya pemakaian kamera handy oleh siapa pun sebagai akibat murahnya dan peredaran alat itu di pasaran pada era 1990-an. Membuat seni gambar bergerak lalu menjadi kegiatan individual seperti kerja seorang pelukis, membedakan sebuah organisasi sinematografi yang komplet.

Komputer dan piranti lunak (bajakan?) membawa pekerja film maupun video semakin leluasa mengintervensi citra dan waktu. Yang terjadi adalah struktur seni video dengan naratif acak dan visual. Sebuah versi bertutur yang bertentangan dengan pola tutur linier yang dikembangkan dan dimistifikasikan oleh rezim Orde Baru melalui film propaganda dan pidato melalui TV, dan yang belakangan dilanjutkan sinetron hiburan di TV swasta yang memanjakan mata.

Strategi artistik ini juga dipraktikkan film indie. Cara menonton baru juga dieksplorasi dari tradisi menonton film menjadi membaca bahasa gambar seperti bila kita sepintas melihat tayangan tv wall di tengah kota. Sayangnya, menurut Alex Sihar, pekerja film pendek, hal itu masih kurang eksplorasinya di sisi teknologi media. Terobosan tematik semisal jender dan politik-sejarah masih dibayangi tradisi penceritaan tonil.

Sebaliknya, dalam praktik seni video, beredar anggapan bahwa naratif linier adalah tabu. Di titik semacam inilah kesempatan pergaulan artistik di antara keduanya menemui hambatan.

Media baru

Eksplorasi media memang baik, tetapi itu bisa menjadi problematik bila dilihat sebagai sekadar perluasan pencapaian manipulasi visual dari sebuah produk rekaman, karena hal serupa sudah dilakukan Dziga Vertov (1929). Gulungan film seluloid sudah langka dipergunakan, kini film maupun video menggunakan teknologi digital (video).

Ironisnya, logika analog masih saja menjadi habit. Dalam wacana media baru, digitalisasi berarti cara baru dalam memproduksi, mengakses (menonton), menyimpan, dan penyebarannya. Bagi Christiane Paul (Digital Art, 2003), waktu tidak saja mudah diintervensi, tetapi malahan menjadi waktu interaktif.

Shirin Neshat, sineas perempuan AS kelahiran Iran, membuat instalasi sinematik, memproyeksikan dua film naratif di dua dinding yang berhadapan. Penonton yang duduk sebaris di dua sisi dinding lainnya menjadi partisipan aktif, memalingkan muka ke kiri-kanan, menyambungkan gambar juga cerita. Fiona Tan memproyeksikan belasan film investigasi antropologis asal-muasal dirinya dari Belanda, Indonesia, hingga China. Penonton diajak berkeliling dari satu layar ke layar lain, memasuki dunia sinema simulatif, seperti pernah digambarkan Lev Manovich dalam The Language of New Media, 2001. Realitas simulatif adalah virtualitas, tiruan atau perluasan dari kenyataan fisik.

Hal serupa juga pernah dieksplorasi Tintin Wulia, pembuat film muda berlatar belakang arsitektur dan musik, sosok fenomenal yang menjelajahi festival film dan video dunia hingga bienal seni rupa (Istanbul, 2005). Dalam sebuah karyanya ia memasang sejumlah kamera video: strategi yang mengesampingkan fungsi merekam ke menayangkan peristiwa: realtime. Sebuah kiat seni yang terinspirasi cara kerja alat pemindai CCTV. Bila itu kita anggap film, inilah film berdurasi tak terhingga, menyuguhkan waktu non-siklus dan mengganti definisi naskah dan adegan menjadi kehadiran konkret.

Ilustrasi di atas meyakinkan kita bahwa kesadaran menggunakan teknologi media digital berarti mendorong bentuk atau genre seni untuk senantiasa menghibrida, bercabang-cabang secara ajek bagaikan akar serabut (rhizome). Itu berarti pula dikotomi film (indie) dan seni video lalu menjadi seperti buku cerita yang sudah selesai dibaca.

Posisi Kultural

Hari ini kehidupan kita sudah dikepung budaya gambar (bergerak) baru. Bahkan, menurut Paul Virilio, kepungan itu sudah melintasi ruang fisik ke ruang publik lain sebagai akibat campur tangan teknologi media.

Kasus "pornografi" yang diproduksi dan didistribusikan ponsel dan internet menyisakan pertanyaan kita mengenai batas yang privat dan publik, yang asli dan aspal. Pusat games sama menjamurnya dengan warnet, menyuruk hingga pelosok, mengonstruksi kita pada konsep pemain (player) bukan lagi penonton meskipun "obyek" games sepintas kelihatan sebagai tayangan citra bergerak naratif.

Baru-baru ini melalui TV, kita menyaksikan wawancara tersangka korupsi "RD" melalui video call ponsel 3G dari balik ruang tahanan: membongkar batas ruang fisik sekaligus menguji kembali sebuah peraturan (hukum) yang diberlakukan. Dengan teknologi yang sama, secara teoretis ponsel kini sudah mewujud menjadi galeri bahkan bioskop.

Dari meluasnya penggunaan dan "misuse" (penyalahgunaan) media ini para pekerja film atau video memperoleh tantangan lebih nyata ketimbang berkutat pada khilafiyah sebuah dominasi film industri mapan di Tanah Air, Bollywood, atau Hollywood sekalipun. Dengan menyadari tantangan kultural itu tentu eksplorasi tematik saja tidak lagi memadai, tetapi lebih menyubversi ke sistem jaringan dan ruang publik Paul Virilio sebagai gerilya budaya. Sekurangnya menjadi penyeimbang yang bisa menginspirasi masyarakat dari budaya visual kini yang lebih dominan dirayakan sebagai pasar, gaya hidup, dan kesenangan. Kalau bukan Anda, siapa lagi yang peduli?

Krisna Murti Praktisi Video. Pengajar Tamu Kajian Media Baru di Pascasarjana ISI Yogyakarta

jf_pratama Publish time 24-6-2007 11:41 AM

Pergaulan Wacana Seni dalam Ember Bocor
Afrizal Malna

Visual art is the real architecture.

Uh uh.

Seni rupa dalam fenomena perilaku ekonomi Indonesia kini, jadi semacam interior image. Bangunan tidak lagi semata merepresentasi fungsi, melainkan juga identitas. Interior menjadi ruang yang ikut memproses sejarah dan politik identitas yang berlangsung di dalamnya lewat seni rupa.

Politik identitas itu sangat kuat dan cukup tragik, tergambarkan lewat tulisan Wahyudin (Kompas, 13/5) tentang karya Affandi yang melukis sosok Chairil Anwar saat sang penyair justru sedang dimakamkan dengan tubuh penuh kemiskinan dan penyakit. Lukisan itu kini jadi koleksi pribadi di Semarang.

Hari ini hujan tidak turun

Fenomena itu melanjutkan progresivitas pasar seni rupa yang dipaparkan Bre Redana dalam rangkaian pembicaraan mengenai kritik dan kurator seni di harian Kompas edisi Minggu. Berbagai perangkat pasar, seperti balai lelang, galeri, dan kolektor, menjadi performance baru seni rupa.

Lebih signifikan lagi dengan investasi, penyertaan saham atas karya maestro, karya mereka mulai memasuki bursa saham, seperti disampaikan Jim Supangkat dalam fenomena bursa saham di Swiss. Seni rupa merayakan dirinya lewat devisa dan dividen kenaikan nilai jual karya dan saham.

Fenomena ini jadi sebaliknya dalam dunia kritik seni. Kritik seni mengalami semacam "kebangkrutan" seperti yang bisa disimpulkan dari tulisan Aminudin Th Siregar.

Ketika ekonomi, arsitektur, dan gaya hidup melakukan peran kian signifikan dalam pasar seni rupa, maka pasar itu akan membentuk wacananya sendiri, yaitu proses kualitatif gaya hidup dengan berbagai penurunannya di level politik identitas dan ruang publik. Ketegangan justru akan berlangsung laten di tingkat hak individu dan hak publik dalam meresepsi karya seni. Maka, mobilitas karya dari ruang pribadi ke ruang publik menjadi penting dan akan menambah nilai intrinsik sebuah karya.

Di tengah infrastruktur seni yang serba membingungkan di Indonesia, progresivitas pasar yang memiliki perangkat lebih terukur, geraknya akan banyak mencengangkan di lahan kesenian yang mereka garap. Yang bermunculan tidak hanya kolektor, melainkan juga investor. Kurator maupun kritikus yang tidak visioner dalam fenomena ini akan ditinggalkan.

Pasar bereaksi tidak lagi di tingkat wacana seni, melainkan di tingkat wacana ekonomi dan media publik. Hal ini tidak berarti pasar telah menggantikan peran kritikus. Tetapi, dibalik performance pasar seni rupa yang menggunakan perangkat ekonomi untuk pencitraannya, tidak mungkin mereka melepaskan wacana seni untuk penambahan nilai intrinsiknya seperti dinyatakan Jim Supangkat.

Keduanya memang bergerak dalam ruang wacana berbeda, tetapi keduanya sebenarnya bertemu lewat gaya hidup yang bermain di tingkat politik identitas dan media. Politik identitas di mana seni mulai dilibatkan ke dalam pembentukan citra gaya hidup.

Ember disediakan untuk bocor

Bagaimana dengan yang lain, adakah investor yang mau masuk ke dunia teater? Atau memberi modal kepada sastrawan membuat novel dahsyat, yang misalnya membutu*kan waktu lima tahun untuk riset, penulisan, penerjemahan ke berbagai bahasa, hingga penerbitan. Penyair lebih banyak bermunculan, mungkin salah satu di antaranya karena puisi tidak terlalu membutu*kan proyek panjang untuk menuliskannya.

Kurator di luar seni rupa tampaknya memang tidak terlalu memperlihatkan sosok maupun visi. Laporan publik untuk visi kurasi hampir tidak ada. Kualitas dan visi kurator di luar seni rupa ikut mencerminkan kualitas berbagai festival seni pertunjukan (teater, tari, musik). Sebenarnya kurator tanpa wajah ini tidak memiliki visi dalam melakukan kurasi, karena itu juga bidang yang mereka kurasi mengalami stagnasi.

Festival-festival yang mengecewakan, bukan terutama disebabkan seniman yang mengisi festival tersebut, melainkan justru oleh visi kurasi. Jaringan primordial bisa mengalahkan visi di tingkat kurasi seperti ini. Visi dan wacana di tingkat festival ikut menentukan seni pertunjukan memasuki berbagai progresi di tingkat inovasi dan isu yang akan dikembangkan.

Festival itu, antara lain, Art Summit, Indonesian Dance Festival, Pasar Tari Kontemporer, atau IPAM, di mana model kerja kurasi lebih dengan cara mengundang tanpa komunikasi mendalam terhadap karya yang akan ditampilkan serta visi festival yang mau dicapai. Dan juga tidak ada pertanggungjawaban publik untuk kualitas maupun pendanaan. Yayasan Kelola rupanya mencoba menempuh cara lain dengan mengirim seorang pengamat atau konsultan atas program seni yang dijalani.

Penggunaan visi kuratorial akan mengubah model penyelenggaraan kesenian dari model standardisasi nilai seni pada tema maupun isu yang mau dicapai. Kerja yang tidak lagi melulu berhubungan dengan seniman selebriti yang seakan-akan sudah mendapat jaminan kontrak sosial untuk terus tampil. Dalam kerja seperti ini kesenian bukan lagi karya seni yang tertutup untuk kerja sama antarwacana dalam pencapaian progresi. Ember yang dibuat memang harus dibocorkan. Tidak mungkin seniman justru menjadi orang asing dalam pergaulan dengan bidang seni lainnya. Kerja kesenian menjadi kerja antarmedia.

Jurnalisme seni di tingkat media cetak, terutama koran, yang sebenarnya ikut menjalankan fungsi kritik seni dan sumber data untuk kurasi, tidak harus membiarkan kondisi ini terus berlangsung dan dianggap, ah, itu hanya proyek atau arisan. Seniman peserta festival juga cenderung bersikap hanya untuk setor karya tanpa progresi dan latar belakang penciptaan.

Dalam kondisi ini peran kritik seni menjadi penting, walau perannya memang sering kali dipertanyakan, terutama ketika terjadi berbagai perubahan yang seharusnya ikut mengubah cara membaca kesenian.

Atap besar dengan banyak talang

Seorang seniman musik yang pernah saya ajak ngobrol, mengaku dia tidak membutu*kan kritik seni. Menurutnya, dia tidak bisa menikmati karya seni lewat kritik seni. Dia merasa telinga dan matanya memiliki dunia yang lebih tidak terduga dibandingkan dengan kritik seni. Kritik seni seperti tidak lagi berhubungan dengan antropologi tubuh.

Mata dan telinga mungkin lebih adaptatif dalam menghadapi gejala yang ditangkapnya. Walau sangat mungkin mata dan telinga itu sudah menjadi mata dan telinga streotipe, penuh pelabelan. Begitu pula sangat mungkin sang kritikus juga menjalani poros streotipe wacana seni yang diyakininya dan tidak lagi terbuka terhadap gejala lain yang tumbuh di kesenian.

Kritikus jenis ini memang cenderung akan begitu saja memainkan politik pelabelan terhadap karya seni yang diamatinya: ah, ini abstrak, ini surealis, absurd, ini naturalis dan seterusnya: berubahnya kritik seni menjadi seni kritik.

Pasar maupun seniman memang tidak harus membutu*kan kritik seni. Kritik seni juga boleh hanya sibuk memainkan bola wacana dari premis yang mereka praktikkan. Peran yang oleh Jim Supangkat maupun Aminudin dalam tulisannya, dilihat semakin cenderung bergeser ke peran kuratorial.

Pergeseran peran itu tidak semata-mata karena membesarnya tuntutan pasar seni, tetapi terutama karena kurator memang berkesan lebih memiliki kebebasan menyampaikan gagasan dan visinya dibandingkan dengan peran kritikus yang lebih spesifik. Kurator berhubungan dengan banyak pihak yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan kerja kritikus.

Tetapi, siapakah sekarang yang bisa sendirian tanpa orang lain? Siapakah yang memformulasikan wacana ke aras teori dan sejarah? Siapakah yang memformulasikan ikon ke dalam kehidupan publik? Siapa yang menyatakan politik identitas sedang memasuki perang ikon? Dan permainan apa yang sedang berlangsung dalam politik pembacaan di bawah dominasi TV: uh, antara seorang penyanyi yang dibunuh dengan seorang jenderal yang menyimpan banyak senjata, antara pesawat jatuh dengan pasar bebas dan politik uang?

Atap besar boleh tumbuh, tetapi atap itu juga membutu*kan lebih banyak lagi talang. Kritik seni dan kurasi akan melanggar normanya sendiri ketika dia membiarkan diri berjalan hanya sebagai performance atau kosmetika pasar dan jaringan primordial.

Afrizal Malna Penyair

jf_pratama Publish time 24-6-2007 11:45 AM

Adakah Lantai 13 ?

Ini tema film horor yang beda, horor supranatural bercampur kriminalitas. Wajar jika kemudian ada Ki Kuntoro (Tio Pakusadewo) yang jago ilmu gaib, ada polisi, dan ada wartawan, Rafael (Ariyo Wahab). Berbeda dengan genre horor lain yang mengeksploitasi roh gentayangan, film ini lebih menonjolkan unsur misteri dengan cukup cerdas.

Kisahnya tentang Luna (Widi Mulia) yang melamar bekerja sebagai sekretaris di perusahaan Imperindo Visi Tama di Gedung Imperial. Ada kesalahpahaman lokasi perusahaan, apakah berada di lantai 13 atau 14. Sejak memasuki gedung di lantai 13, Luna dihantui kejadian menyeramkan. Ia sulit membedakan kenyataan dan bayangan.

Film garapan sutradara Helfi Ch Kardit ini mengawali adegan dengan satu cerita di lantai 13. Ini menjadi benang merah untuk masuk ke adegan-adegan selanjutnya. Kemasannya sederhana, tetapi menarik. Sudut pengambilan gambar dan gaya penceritaan juga menarik. Adegan berganti-ganti saat Luna mengobrol dengan pacarnya, Rafael, dan dengan bosnya, Albert (Lucky Hakim) membuat pengadeganan tidak monoton meski gaya ini bukan hal baru. Adegan menarik lain, ketika Luna masuk lift diikuti 12 hantu. Ia sulit memencet tombol 14, dan justru berhenti di lantai 13.

Ada beberapa stereotipe yang agak mengganggu, seperti pembantu tua bernama Bi Inah yang berlogat Jawa. Memangnya sosok pembantu harus seperti itu? Dialog ketika Rafael menunjukkan foto-foto kepada Luna juga membosankan. Dengan tempo selambat itu, kalimat demi kalimat yang meluncur seperti tidak berarti. Secara keseluruhan, pengadeganan film ini mengalir, tidak rumit, dan menghibur. (IVV)

jf_pratama Publish time 24-6-2007 03:13 PM

Maaf, Film Ini Memang Cukup Kocak

http://www.suarapembaruan.com/News/2007/06/24/Hiburan/24maaf5t.gif
http://www.suarapembaruan.com/News/2007/06/24/Hiburan/24maaf2t.gif
http://www.suarapembaruan.com/News/2007/06/24/Hiburan/24maafti.gif

Beberapa adegan dalam film �Maaf, Saya Menghamili Istri Anda�.

Film : Maaf, Saya Menghamili Isteri Anda
Sutradara : Monty Tiwa
Pemain : Ringgo Agus Rahman, Mulan Kwok, Shanty, Eddie Karsito.
Skenario : Monty Tiwa
Produksi : SinemaArt
Genre: Komedi

Maaf, Saya Menghamili Istri Anda. Itu benar-benar judul film yang tengah menjadi perbincangan di masyarakat. Pertama, tentu saja karena judulnya aneh. Siapapun di Indonesia tahu, kasus menghamili istri orang lain akan mengundang banyak masalah. Bukan hanya soal hukum pidana yang bisa menjerat di pelaku penghamilan.

Kedua, film ini jelas tegas didominasi dengan nuansa dan karakter warga Batak. Meskipun sejak awal pembuatan disebutkan bahwa film ini termasuk film komedi, reaksi dari pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh penggambaran karakter orang Batak itu, jelas sudah bisa diprediksi.

Protes memang sudah berdatangan. Untungnya, berkat saling pengertian dan dialog antara sutradara dengan pihak yang merasa tersinggung dengan isi film itu, tidak muncul masalah yang lebih besar.

Film Maaf, Saya Menghamili Istri Anda, tampaknya ingin mengikuti jejak sukses film Naga Bonar yang juga kental dengan nuansa Batak.

Tapi sutradara, Monty Tiwa mencoba menghadirkan sesuatu yang lebih jauh lagi. Ia menggambarkan interaksi orang-orang dari budaya berbeda yang tinggal bersama di sebuah kota besar.

Dari sisi penggambaran, upaya sutradara, layak mendapat acungan jempol.

Kekuatan cerita, dialog-dialog ringan dan tentu saja kokacakan yang dibangun dari alur cerita jelas menutupi kelemahan akting beberapa pemainnya.

Tampil sebagai pemain utama dalam film ini ialah, Ringgo Agus Rahman, Mulan Kwok, Shanty, dan Eddie Karsito. Merekalah yang seolah membawa cerita keseharian masyarakat Indonesia yang multicultural ke layar lebar.

Konflik yang dipicu oleh perbedaan karakter dan gaya hidup muncul dengan ringannya dalam berbagai adegan.

Diceritakan Dibyo (Ringgo Agus Rahman), pengangguran yang terobsesi menjadi artis terkenal sudah putus asa. Banyak rumah produksi yang tidak mau memakainya. Gara-garanya, ya kelakuan Dibyo sendiri. Ia selalu mengacaukan adegan. Kehidupan cinta Ringgo pun sama seperti kariernya. Wanita yang didekatinya akan menghindar setelah tahu pria ini hanyalah seorang penganggur. Namun hal itu berubah ketika Dibyo bertemu Mira (Mulan Kwok), gadis cantik yang ternyata suka gombalan ala Dibyo. Hubungan mereka belakangan mengakibatkan Mira hamil.

Mira meminta Dibyo bertanggung jawab. Dibyo, berbeda dengan banyak pria masa kini, ternyata menyatakan kesiapannya untuk bertanggung jawab.

Cerita kemudian agak menjadi rumit ketika muncul kenyataan bahwa Mira ternyata masih berstatus istri, Lamhot Simamora (Eddie Karsito), preman parkir di sebuah pasar.

Mira menuntut Didyo meminta izin kepada suaminya sebelum mengawini dirinya. Dari sisi itu saja, sudah dapat diterka, moment ini bisa menjadi ladang tawa yang subur.

Dan sutradara kemudian menambahkan bumbu tawa dengan menyiapkan " bumbu tawa" lanjutan. Saat bernegoisasi dengan Lamhot, Dibyo yang pembual ternyata bisa memikat Butet (Shanty).

Butet jelas bukan perempuan biasa. Ia adik Lamhot, suami yang istrinya telah dihamili Dibyo. Modal untuk menghadirkan kisah menarik sudah terpenuhi. Cerita menarik. Komedi mengalir ringan. Hiburan segar.

Uniknya, meskipun kental dengan nuansa Batak, semua pemainnya tidak ada yang berlatar belakang Batak atau katakanlah pernah hidup di Sumatera Utara. Sebut saja, Mulan Kwok dan Shanty yang berdarah Sunda.

Pemeran Lamhot, Eddie Karsito, jelas berasal dari Jawa. Bisa dimengerti jika dalam beberapa adegan muncul kejanggalan. Tidak mudah untuk menyelami kultur berbeda dengan persiapan kurang matang. Apalagi jika kita ingat betapa khasnya tekanan suara orang Batak saat berbicara.

Lepas dari kekurangan itu, Maaf, Aku Menghamili Istri Anda bisa dikategorikan sebagai film nasional yang menarik. Apalagi jika dikaitkan dengan masih maraknya film horor nasional yang punya banyak kelemahan.

Dan mereka yang sudah menonton film karya Monty Tiwa ini boleh berkata, " Maaf, saya tidak suka film horor yang konyol. Saya lebih suka film komedi."

jf_pratama Publish time 28-6-2007 01:01 AM

Film 'DIVA' Diluncurkan di Indonesia

http://www.kapanlagi.com/p/preskon4.jpg

Kapanlagi.com - Bertempat di Djakarta Teater (26/6) film DIVAmengawali peluncurannya di Indonesia. Film merupakan film kerjasamayang melibatkan tiga kultur perfilman dari tiga negara. Aktor danaktris berasal dari Malaysia dan Indonesia, sementara sutradara dan kruteknis berasal dari India.

"Semua orang dari setiap kalangan usia pasti akan menikmati film ini. DIVAmempunyai alur cerita yang cepat, penuh drama, dan mewakili semangatmuda tentang kelahiran anak-anak band yang begitu terasa dikawasan Asiasekarang ini," promo Sharad Sharan sang sutradara.

Konon film ini telah menelan anggaran 3 juta ringgit atau lebih dari 7,7 milyar rupiah memasang Ning Baizura dan Jeremy Thomas sebagai pelakon utama. Sementara Adam AF, Jessica Iskandar, Balkisyh dan Awal Ashari berada dalam barisan pemeran pendukung. Selain itu masih banyak nama artis indonesia turut berkiprah seperti Donny Kesuma dan Shenny Andrea.

Dan bukan India namanya kalau membuat film tanpa menyanyi dan menari. Di film DIVA-pun -Sharad yang pernah mengarahkan Titi Kamal dan Christian Sugiono dalam film TIPU KANAN TIPU KIRIyang edar di negeri jiran sana - memboyong koreografer dan penariprofesional Caesar Gonsalves dari Caesar Bosco yang pernah menciptakankoreografer untuk aktor terkenal seperti Abhisek Bachchan.

Sementara soundtrack berisi 40 lagu dinyanyikan oleh artis Malaysia - Indonesia seperti Kris Dayanti, Vina Panduwinata, Siti Nurhaliza dan Ning Baizura. Dari 40 lagu 7 lagu dibuat pemusik berbakat Mithoon Sharma.

Kesulitan dalam film DIVAini dalam adegan nyanyi dan tari. "Di India adegan lagu dan taribiasanya diambil terlebih dahulu tetapi artis Indonesia - Malaysiatidak terbiasa dengan hal ini. Mereka lebih suka syuting menari danmenyanyi setelah memerankan karakternya, karena ini dianggap urutanyang lebih mudah dan masuk akal," ungkap Sharan.

Rencananya pada 28 Juni 2007, DIVAakan membuat sejarah sebagai film yang dirilis bersama di lima negara,Malaysia, Indonesia, Brunei, Singapura dan India. Tentunya ini akanmenjadi catatan tersendiri. Apakah DIVA akan mencetak angka penonton besar, waktu yang membuktikan. (kl/wwn)

[ Last edited byjf_pratama at 28-6-2007 01:03 AM ]

jf_pratama Publish time 28-6-2007 06:36 PM

The Photograph

http://www.jawapos.com/images/1182957223b

JAKARTA - The Photograph menjadi film pilihan di antara maraknya film horor, komedi, dan percintaan remaja. Apalagi skenario The Photograph mendapatkan penghargaan di Pusan dan Rotterdam.

Film garapan sutradara Nan Achnas itu dibintangi Shanty (Sita), Lim Kay Tong (Johan), Lukman Sardi (Suroso), dan pemeran pendukung Indy Barends (Rossi). The Photograph bisa dibilang sangat detail, baik dari sisi pengambilan gambar maupun cerita. Menggunakan format kamera seluloid 35 mm, gambarnya sangat nyaman dipandang.

Fokus cerita film yang akan tayang 5 Juli mendatang itu dibagi menjadi dua. Pertama soal kehidupan Sita sebagai pekerja seks komersial. Dia mangkal di sebuah kelab malam. Fokus lain adalah pribadi Johan, sang fotografer misterius. Dia rajin membakar dupa dengan sesembahan apel dan jeruk di rumah serta di rel kereta api yang sudah tidak terpakai.

Sita dan Johan sama-sama menyimpan foto sebagai benda bersejarah. Sita membawa foto Yani, buah hati yang tidak pernah ditemuinya selama beberapa tahun. Johan menyimpan foto istri dan anaknya yang tewas menabrakkan diri ke kereta api.

Aksi Shanty dalam film The Photograph cukup memukau. Penyanyi bersuara serak itu berakting total. Mulai adegan sedih, marah, sekaligus bahagia. Di antara 126 scene, Shanty terlibat sepenuhnya dan lebih sering beradegan sedih.

Menurut Shanty, ada dua adegan yang paling sulit dilakukan. Pertama, ketika Johan meninggal, Shanty harus benar-benar menunjukkan duka mendalam. "Untuk adegan itu, aku tahan emosi 12 jam. Mulai jam delapan pagi, baru syuting jam delapan malam hanya untuk adegan itu saja," terangnya usai press screening di Djakarta Theatre kemarin.

Adegan tersulit kedua adalah saat Sita diperkosa tiga pria mabuk. Shanty dibanting-banting. Kedua tangannya dipegangi dan ditindih salah seorang di antara mereka. "Aku merasa geli aja, padahal ekspresiku harus benar-benar bagus," ungkapnya.

Untuk adegan-adegan sulit sebagai Sita itu, Shanty tiga hari tidak mau diajak berbicara. Tidak terima telepon, tidak SMS, dan tidak membaca koran atau majalah. "Istilahnya, aku menutup diri dari dunia luar. Entah itu metode yang benar atau nggak untuk fokus akting. Tapi, insting saja karena setelah itu aku bisa fokus," kisahnya.

Syuting berlangsung November 2006 selama enam hari di Semarang, Jawa Tengah. Sebenarnya, kata Nan, naskah film selesai sejak 2002. Tetapi, dai kesulitan mendapatkan modal karena filmnya di luar kategori mainstream.

Akhirnya, perempuan yang juga penulis cerita The Photograph itu mempresentasikan dan mempromosikan idenya itu ke luar negeri. Di antaranya, ke Festival Film International Pusan dan Cinemart di Rotterdam. Skenario tersebut kemudian mendapatkan penghargaan Prince Claus Fund (Cinemart) dan Goteborg Film Fund (Pusan).

"Ya, jualan obat (promosi, Red) lah," candanya, yang mendapatkan lebih dari setengah biaya di antara total Rp 4,5 miliar biaya produksi.(gen)

The Photograph

Genre: Drama
Durasi: 95 menit
Produksi: Triximages, Salto Films, dan Les Petites Lumieres
Sutradara: Nan Achnas
Penulis cerita: Nan Achnas
Produser: Shanty Harmayn dan Paquita Widjaja Afief
Pemain: Lim Kay Tong (Singapura), Shanty, Lukman Sardi
Tayang: 5 Juli 2007

jf_pratama Publish time 29-6-2007 01:04 PM

Film Baru, Hanung Bramantyo Gandeng Dewa 19
Kamis, 28 Juni 2007

Satu lagi film karya anak negeri bakal meramaikan perfilman Indonesia.

Film tersebut bertajuk "Kamulah Satu-Satunya", yang digarap oleh sutradara Hanung Bramantyo. Yang menarik, dalam film terbarunya itu, Hanung banyak memberikan kejutan. Antara lain, Hanung menggabungkan teknik pengambilan gambar dengan dua kamera dengan tipe berbeda. Yakni, kamera 35 milimeter dan HD. Ini merupakan film pertama di Indonesia yang menggunakan teknik tersebut. Selain itu, sutradara film Brownies ini juga mempertemukan dua aktor aktris beda generasi, Didi Petet dan Nirina Zubir.

"Film ini bercerita tentang seorang perempuan yang ingin mengejar impiannya ke Jakarta untuk bertemu dengan idolanya. Ia pun meninggalkan orang-orang yang mencintai dan dicintainya demi mengejar impian yang abstrak. Film ini tentang fanatisme mengejar idola," ungkap Hanung di sela-sela peluncuran novel Kamulah Satu-Satunya di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan, Rabu (27/6).

Tak hanya itu, Hanung juga menggandeng grup band Dewa 19 untuk ikut terlibat dalam filmnya. Karena menilik dari judul filmnya, sangat identik dengan salah satu tembang yang pernah dinyanyikan Dewa 19. "Buat saya, band legend di Indonesia itu, hanya 2. Yaitu, Slank dan Dewa 19. Kalau saya ngajak Slank, saya tinggal datang ke Potlot, udah selesai. Tapi itu terlalu mudah untuk saya. Makanya saya gandeng Dewa. Tahu dong, seperti apa sulitnya mengajak Dewa. Apalagi, Dhani seperti apa karakternya. Tapi setelah Dhani baca naskahnya, dia tertarik dan sangat kooperatif. Dewa porsinya bermainnya hanya 10 menit, sedangkan syutingnya hanya 4 jam. Dalam film ini, Dewa hanya performance aja," terangnya.

Penasaran ingin lihat bagaimana Nirina Zubir beradu akting dengan aktor senior, Didi Petet? Dan seperti apa penampilan Dewa 19 dalam film ini? Jangan lupa, saksikan film "Kamulah Satu-Satunya", yang akan diputar serentak di bioskop pada 12 Juli mendatang.

jf_pratama Publish time 29-6-2007 01:28 PM

Judul Film : "DIVA"

Jenis Film:Drama/Musical
Pemain:Jessica Iskandar, Jeremy Thomas, Ning Baizura, Awal Ashaari, Balkisyh
Sutradara:Sharad Sharan
Penulis:Sharad Sharan/Vikram Sood
Produser:Sharad Sharan
Produksi:Astro Shaw SDN BHD/ Trantella Pictures
Homepage:http://www.divathefilm.com/
Trailer:http://www.divathefilm.com/

Sinopsis

Film Diva merupakan drama musical yang mengisahkan seorang gadis bernama Kartika. Dirinya adalah wanita Malaysia dan juga seorang Diva. Dirinya adalah penyanyi yang sukses dan dicintai di negaranya. Tetapi dibalik keberhasilannya yang mengagumkan, kisah hidupnya juga penuh dengan kesengsaraan.

Film ini berkembang ketika, satu-satunya orang yang ingin Kartika temui adalah orang yang tidak pernah berada di dekatnya, yaitu sang ibunda tercinta.

Karena himpitan ekonomi, akhirnya Kartika kabur dari rumah untuk mencari uang dan ketenaran. Namun saat ini ia meninggalkan semuanya. Kartika kembali ke Kuala Lumpur untuk menggelar konser setelah vakum beberapa tahun.

Setelah konser usai, Kartika kembali menuju desanya untuk menemui sang Bunda, namun tampaknya usaha tersebut sia-sia. Dirinya kembali menemukan kegagalan.

Review

Film Diva merupakan film produksi Tarantella Picture/Nusantara Film. Film berjenis drama ini merupakan gabungan antara tiga Negara. Dimana Artisnya berasal dari Indonesia dan Malaysia, sementara untuk sutradara dan kru berasal dari India.

Film ini sangat cocok untuk ditonton bagi semua kalangan, film yang penuh dengan nuansa musical ini diharapkan menjadi wakil dari sebuah kebudayaan timur, dimana sosok seorang ibu sangat dihormati, baik itu Malaysia, Indonesia, dan India.

Meski demikian, pada awal film ini memang terlihat membosankan, pasalnya penonton banyak disuguhkan oleh nyanyian-nyanyian, Namun setelah mengikuti penonton akan dibawa menyelami suasana kesedihan – kasih sayang ibu merupakan sesuatu yang selalu didambakan seorang anak.

Secara garis besar, film ini dikemas dengan gaya Bollywood, dengan benang merah kasih sayang serta maaf seorang ibu sangatlah berarti. Jadi jika ingin melihat sebuah pengorbanan seorang anak terhadap sang ibu, tunggu saja penayangannya dibioskop 28 Juni mendatang.



Pages: 1 2 3 [4] 5 6 7 8 9 10 11 12 13
View full version: INDONESIAN MOVIES (Gallery and Discussion)


ADVERTISEMENT