jf_pratama Publish time 15-7-2007 02:57 PM

Potret Sunyi Sang Juru Foto
Wicaksono Adi

Cukup lama tidak muncul film Indonesia yang enak ditonton, tapi berisi dan memiliki kedalaman. Film The Photograph karya Nan Achnas yang sedang diputar di beberapa bioskop hari-hari ini telah mengisi kekosongan itu.

Bobot film ini sudah tampak dari sederet grant yang dimenangi selama proses pengembangan skenario maupun produksinya: Prince Claus Fund (Cinemart), G鰐eborg Film Fund, Fond Sud (Perancis), Swiss Fund at Open Doors Locarno Film Festival, dan Les Petites Lumi鑢es (Perancis).

Film ini mengangkat kisah seorang juru foto keliling, Johan (50), lelaki Tionghoa yang sangat tertutup dan oleh para tetangganya dianggap sosok aneh dan agak "misterius". Ia terbenam di sudutnya yang pengap di bawah bayang-bayang labirin masa lalunya yang jauh, muram, dan pelik. Tak seorang pun tahu siapa dan bagaimana lelaki ini menempuh sunyinya sendiri, melangkah menuju ajal.

Lalu, datang seorang perempuan bernama Sita (25), mengontrak sebuah kamar yang jorok dan penuh kepinding di rumah Johan. Mudah ditebak: Sita adalah perempuan urban yang terjebak runyamnya kehidupan kota sehingga harus menjadi pekerja seks dan penyanyi karaoke serta terlilit utang pada seorang germo. Sita harus melakukan apa saja untuk mencari uang guna menghidupi anaknya yang ditinggal di kampung bersama neneknya yang sakit-sakitan. Tentu, Sita juga harus mengalami kekerasan fisik yang lazim, termasuk diperkosa beberapa lelaki yang mengencaninya.

Klasik

Oke. Sita adalah karakter klasik dalam film Indonesia. Dan, karakter semacam ini memang mudah membangkitkan iba penonton. Biasanya ia akan menemui nasib yang lebih buruk, atau sebaliknya mendapatkan dewa penyelamat, atau bertobat lalu pulang kampung. Tapi, dalam film ini Sita tidak menemukan ketiga-tiganya. Ia justru bertemu seorang lelaki yang terkunci rapat dalam sebuah kotak waktu. Media pertemuan mereka adalah foto. Tapi, foto kemudian bukan sekadar media pertemuan. Bagi Johan, foto adalah wahana untuk menautkan dirinya dengan hidup, sekaligus jendela rekonsiliasi serta pembebasan dari "dosa" di masa silam. Dulu, ia meninggalkan anak dan istrinya karena sadar bahwa ia tak mencintai perempuan itu. Tapi, pada saat yang sama, anak dan istrinya mati secara tragis terlindas kereta api. Sejak itu, ia berjanji akan menjadi orang yang baik. Dan, sebelum mati, ia juga ingin mendapatkan orang yang mau meneruskan profesinya sebagai juru foto keliling.

Ketika Sita mengetahui bahwa hidup Johan takkan lama lagi, ia berusaha membantu lelaki itu untuk mewujudkan keinginannya. Saat itu Sita baru saja kehilangan pekerjaan sebagai penyanyi karaoke dan berhasil melarikan diri dari si germo. Sita kemudian bekerja pada Johan. Hubungan dua manusia ini menjadi lebih intens dan pelik, kadang diwarnai peristiwa-peristiwa yang subtil. Foto dan kegiatan memotret keliling bukan lagi sebagai pekerjaan rutin bagi mereka berdua, tapi sudah menjadi wahana untuk menyingkap diri masing-masing.

Johan kemudian berani membuka kotak tua tempat menyimpan foto-foto dan benda-benda yang memeram tragedi di masa lalunya. Ia terguncang hebat oleh benda-benda itu, tapi justru di situ ia menemukan sublimasi: rasa sakit tidak harus dikubur dan dibuang dari ingatan, melainkan justru mesti dimasuki untuk kemudian dilewati. Rasa sakit mesti dikunyah, lalu dicecap hingga habis pedih perihnya. Itu juga yang dirasakan Sita: ia menjadi sadar bahwa hidup adalah proses keluar-masuk dari getir nasib yang satu ke getir nasib yang lain, dan masih banyak hal yang dapat dilakukan selain melarikan diri dari si germo atau membayangkan segala sesuatu di luar jangkauannya. Dan, setelah semuanya terasa lebih enteng, Sita kemudian mengantar Johan naik kereta api, lalu ke pelabuhan tempat Johan pertama kali menapakkan kaki di Jawa. Terakhir, Johan menyuruh Sita memotretnya. Pada saat itulah Johan dijemput maut. Itulah akhir yang subtil dari seorang lelaki yang hidup dengan sunyinya sendiri.

Kedalaman

Tokoh Johan dimainkan dengan cemerlang oleh aktor Singapura, Lim Kay Tong. Syukurlah, Shanty dapat memainkan sosok Sita dengan cemerlang pula. Kemampuan bahasa Indonesia Lim Kay Tong yang sangat terbatas membawa berkah lain: karakter Johan sebagai lelaki Tionghoa yang terisolasi jadi kian ekstrem meski kadang situasi alienasi yang direpresentasikan lewat artikulasi dialog yang terbata-bata itu tampak berlebihan. Tapi okelah. Itu semua toh tak mengurangi kedalaman hubungan antarkarakternya yang sangat unik dan unsur-unsur kontemplatif yang disusun lewat gambar-gambar yang sederhana dan efisien. Bahasa sinematografis yang klasik semacam itu sudah tampak pada Nan Achnas ketika menggarap film Pasir Berbisik (2000). Bedanya, pada Pasir Berbisik, sublimasinya tersusun lewat gambar yang lebih pelik untuk mengimbangi kerumitan dan kedalaman hubungan antarkarakter yang datar, tapi berujung pada guncangan dahsyat di tengah medan alam yang sangat kejam.

Satu-satunya kelemahan film ini adalah pada penataan musiknya. Di sini musik disusun berdasarkan pada nada dan bukannya pada bunyi. Rincian situasi kejiwaan para tokohnya yang sangat peka itu menuntut eksplorasi bunyi sebagai sari dari musik yang memantul dari jeritan lirih yang di sana-sini, bahkan terasa puitis. Tapi, akibat sapuan musik yang mengacu pada nada (yang terlalu ngepop), tekstur yang diciptakan oleh gambar dan gerak instingtif pemainnya, bangunan puitik itu justru terancam kehilangan daya getarnya.

Tapi, terlepas dari semua itu, film ini telah mengobati kerinduan saya terhadap tontonan yang mudah dicerna, tapi berisi dan memiliki kedalaman. Setelah seharian didera kerunyaman kota hingga tubuh lemas tak berdaya, kadang saya kehabisan energi buat menghadapi film-film yang kelewat rumit (dengan pretensi penemuan artistik ini-itu) sebagaimana juga saya yang kadang tidak sanggup menelan film-film populer tanpa isi itu. Syukurlah, sehabis menonton The Photograph, kerinduan saya terhadap kesederhanaan dan kedalaman dalam film Indonesia agak terobati.

Wicaksono Adi Manajer Program pada CCI (Center for Culture and Images)

jf_pratama Publish time 15-7-2007 03:57 PM

Kamulah Satu-Satunya (You're the One and Only)

(Comedy, about 90 minutes) Starring Nirina Zubir, Junior Liem, Didi Petet, Fanny Fadillah, Epy Kusnandar, Tarzan, Ringgo Agus Rahman, Dennis Adhiswara. Directed by Hanung Bramantyo. Produced by Oreima Productions.

Indah (Zubir), a vivacious rural girl in a West Javanese village -- and a devoted fan of the popular band Dewa -- is broken-hearted when she loses a raffle, the prize for which enables the winner to travel to Jakarta to see the band in concert.

Determined to do whatever it takes to meet her idols in person, and aided by Bowo (Junior), a boy who has a secret crush on her, she escapes her strict but loving grandfather (Petet), and goes to Jakarta, where she meets an array of characters and gets tangled in a series of misadventures.

With 80 percent of the film spent on the day of misadventures in the city, the film feels like Janji Joni with a less interesting story, less engaging characters and slightly more contrived incidents.

It does have a story line with potential, and has a charming start with village scenes, but the film falls short due to several flaws.

First of all, the script has the above problems, plus some logical questions here and there about the characters' actions, incident plausibility and sense of space (Indah chases a guy for a short distance but cannot find her way back as if she's on the other side of the city).

Some scenes have their charm -- the one with men collecting contributions for mosque construction is especially funny -- but others just fall flat.

Director Bramantyo tries to go all visionary by contrasting the ambience of the village with that of Jakarta. The village scenes are shot in subdued colors to create a serene atmosphere, then everything turns bold and gritty when it comes to the Jakarta scenes.

Bramantyo doesn't need to go to such lengths to create a contrast by resorting to the two different treatments. He could have achieved it, say, simply by making the Jakarta scenes more hectic through use of a handheld camera, and incorporate more stable camerawork for the village.

The two different treatments makes the scenes seem as though they come from two different films. And speaking of visuals, what's up with the artificial village night skies, folks?

In the cast department, Zubir doesn't quite flesh out her character thoroughly. She could have added more nuance to her character to strengthen her rural identity, but most of the time she seems just like a city girl with a really bad hairdo (and what kind of rural girl would wear such a trendy tank top underneath her -- deliberately, I'm sure -- tacky jacket?).

The cameo by Adhiswara and Agus Rahman feels forced and implausible. The better, more entertaining performances come from Petet, Kusnandar and the guy who played the quiet driver in Maskot.

It's nice to see Kusnandar reunited with his Maskot costar, with the latter giving his usual endearing and funny silent acting.

Junior, surprisingly, also delivers an earnest portrayal of a rural boy, and his scenes with his "self-modified" bicycle are among the genuinely funny moments in the film.

The use of Dewa songs throughout the film could have been an effective way to convey the hovering spirit of the band throughout the story, but the effect is not as strongly achieved with the songs being covered by other singers, making it seem like a sorry excuse for a soundtrack album with recycled Dewa songs. ** (out of *****)

-- Rizal Iwan

jf_pratama Publish time 15-7-2007 04:00 PM

Revolutionizing the audio-visual environment
Sascha Pries, The Jakarta Post, Jakarta

The fatal problem of many revolutionary movements is that a relatively small group of people tries to force a new way of living or thinking upon an existing system.

Norms, mores and habits of the individuals living within these systems cannot adjust to the new model as fast as is necessary, to avoid a clash between the movement and the people that are affected by it.

Another problem is that many uprisings in the past have had intellectual foundations that were simply not intelligible by most of the people to whose benefit the revolutions were meant to contribute.

Since 2003, Jakarta artist group Ruangrupa has been organizing the Ok. Video festival, which aims to make use of the network of established media systems for their own means.

Close to 100 artist from 27 countries submitted 119 short film videoworks that will be on display during the festival events in July. They critically approach reality and society, put the notions of war, truth and history in their common form into question and try to search for answers from an alternative point of view.

"We have tried to make a change from within the media system we oppose," said Ardi, the publications editor of the festival. "We are providing an alternative reference to that of the commercial TV stations," he added.

"In Indonesia, there are no public TV stations that are independent from the mainstream, the advertisements and the commercialization of their agenda," he said.

As religion has long been forced to compete with TV for Karl Marx' title "opiate of the masses," it's a logical step for the artists to turn to audio-visual media to seek change in the cultural behavior of society.

"In 2005 our goal was to create a counterweight against the hegemony of commercial mass media," said Detty, who is responsible for media relations of the bi-yearly festival.

"In 2007, our festival is billed Ok. Video Militia," she added. "It aims at making people take up a camera and be proactive instead of sitting passively in front of a screen."

The term "militia" implies notions of armament, revolution and violence. But in the case of Ok. Video Militia these notions must be understood within a widened context.

"We want to encourage people to broaden their horizons, instead of only accepting what is there to be seen," said Detty. Thus, "armament" means to take a camera and shoot a film, "revolution" means making changes, "violence" breaking established rules.

The goal of giving people a means to express themselves is of greatest importance to the organizers of Ok. Video Militia. "Therefore," said Ardi, "the most crucial part of our concept has already been achieved in our video workshops."

From March to May 2007 Ruangrupa offered 15 workshops in 12 Indonesian cities. They collaborated with high schools, radio stations and other institutions that gathered interested people to work on their ideas, which are now on show.

The equipment used for shooting the films ranged from camcorders to cell phone cameras, depending on the requirements of the ideas. Whereas one film shows a children's soccer game on a flooded field in a urban area, another shows the inside of a small moving minivan used as public transportation.

The workshops were free of charge, just as are the exhibitions in Jakarta. "We're a not-for-profit organization," said Ardi. The event is financed by a number of different sponsors.

Ok. Video Militia aims to provide viewers with another option, different from the uniform dictates of cinema and television.

Hafiz, the Artistic Director of Ruangrupa said, "movies made for TV and the cinema have narratives that prescribe a structure: A-B-C-D-E; a video is closer to the daily lives of viewers and can change their attitudes."

The flyer of this year's exhibition shows a couple glancing longingly toward a screen (not shown) in the distance. The appearance of the flyer starkly resembles the propaganda used by the East German Socialists during their totalitarian rule in the 20th Century.

An Internet statement of Ruangrupa reads: "We will try to empower society as a technological and media user to build a social, political, cultural and historical consciousness towards reality."

Asked if this feeling of modern Indonesian cultural freedom and East German censorship were supposed to be combined, Ardi answered, "About 20 years ago this flyer would have been forbidden, due to anti-communist sentiment in Indonesia. Our only weapons are our cameras. For us, this style is a way of expressing our freedom."

Events and venues:

VIDEO IN
Exhibition of videoworks and workshops
Galeri Nasional Indonesia
Jl. Medan Merdeka Timur 14, Jakarta Pusat
daily 11a.m. to 4p.m & 5 to 9p.m
through July 27

ARTISTS' TALK
July 19, 3p.m. Galeri Nasional Indonesia

DISCUSSION: Video Activism
July 20, 3p.m. Galeria Nasional Indonesia
for full details visit: www.okvideo@ruangrupa.org

jf_pratama Publish time 16-7-2007 06:23 PM

Mendorong Bangunnya Industri Kreatif Indonesia
Ester Lince Napitupulu

Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia yang diundang untuk bersaing di empat kategori sekaligus, yakni musik, desain, film, dan fesyen dalam Kompetisi Tahunan International Young Creative Entrepreneurship of the Year (IYCEY) Awards 2007 di London, Inggris.

Peluang emas itu bisa dimaknai betapa kreativitas orang- orang Indonesia dinilai berpotensi dan menjanjikan dalam perkembangan industri kreatif yang tidak lagi mengenal batas-batas negara.

"Indonesia baru ikut tahun lalu, dan sepertinya kehadiran anak muda kita dalam program tersebut sangat mengesankan. Tahun ini, Indonesia punya kesempatan mengirimkan kembali anak muda yang punya potensi mengembangkan industri kreatif itu dalam empat kategori sekaligus," kata Yudhi Soerjoatmodjo, Project Team Leader Learning & Creativity British Council di Jakarta, pekan lalu.

Di tengah citra negara Indonesia yang belum menggembirakan di mata internasional karena ancaman pembajakan, terorisme, ekonomi yang terpuruk, atau masalah sosial dan politik dalam negeri, kesempatan emas ini tentu tidak akan disia-siakan. Apalagi, bangsa Indonesia juga memiliki warisan kekayaan kreativitas dari nenek moyang.

Menurut Yudhi, peluang emas yang diraih Indonesia ini karena para juri terpukau dengan kerja keras dua perwakilan Indonesia yang berhasil ikut dalam kompetisi di kategori musik dan desain tahun 2006.

"Indonesia punya track yang baik yang diakui dunia. Mengapa potensi untuk mengembangkan industri kreatif itu tidak dimanfaatkan? Pasarnya jangan hanya berpikir di Indonesia saja, tapi bisa mengglobal. Program yang mendorong muculnya insan-insan yang bisa mengembangkan industri kreatif yang luas jangkauannya inilah yang perlu dikembangkan sekarang ini dan masa depan," katanya.

Yudhi mengatakan, IYCEY Awards diprakarsai British Council sejak tahun 2004 untuk mencari para entrepreneur yang mampu mengawinkan seni dengan strategis bisnis jitu. Sebanyak 40 jawara dari 40 negara akan dikirim ke London untuk membangun jejaring dengan tokoh-tokoh industri kreatif Inggris serta menghadiri berbagai acara seperti Glastonbury Music Festival, 100% Design Show, London Film Festival, dan London Fashion Week.

Selain itu, peserta juga bersaing merebutkan hadiah senilai 7.500 poundsterling yang dipakai untuk menerobos pasar Inggris, membuat pelatihan, atau penciptaan produk baru.

Yoris Setiawan (34), wirausahawan musik yang ikut dalam ajang IYCEY Awards 2006, berhasil merebut hadiah kedua di kategori musik dengan mengusung proyek David versus Goliath. Jika kisah David dan Goliath yang kita kenal bermusuhan, dalam proyek musik versi Yoris justru mereka harus bekerja sama.

Goliath menggambarkan artis atau pelaku musik lainnya yang sudah eksis di dunia hiburan Indonesia dan memiliki uang "nganggur" dalam jumlah besar. Yoris berupaya mencari jalan agar Goliath bersedia membantu David, yang digambarkan penyanyi band atau pemusik muda berbakat yang belum bermodal agar dapat memasuki pasar rekaman. "Saya sempat merasa minder berhadapan dengan peserta dari negara lain. Apalagi soal pembajakan yang terus dicecar. Tapi, saya melihat Indonesia tidak kalah kok dengan negara lain. Kekayaan budaya kita justru membuat kita punya peluang lebih besar dari negara lain," kata Yoris.

Ridwan Kamil alias Emil (34), arsitek yang mewakili Indonesia dalam kategori desain tahun 2006, memang cuma berhasil masuk dalam 10 besar. Namun, Emil tetap dipuji karena desainnya ambisius dan mengesankan.

Arsitek yang terlibat dalam proyek Rasuna Epicentrum, Jakarta, ini memegang prinsip good design is good business. Emil meyakini, desain harus mengawinkan bisnis, sosial, dan lingkungan. "Justru mereka yang kreatif itu tidak mengandalkan pemerintah. Ke depannya, Indonesia akan bisa bertahan jika kreativitas manusia itu mendapat tempat. Kita harus bisa seperti di luar negeri di mana orang dihargai karena kualitas kerjanya," kata Emil yang 25 persen proyeknya berada di kawasan Timur Tengah dan China.

Dalam pengumuman pemenang IYCEY Awards Indonesia akhir pekan lalu, untuk kategori film, Indonesia akan diwakili Wahyu Aditya (26), pendiri Hello yang antara lain menggelar festival gambar bergerak. Adapun untuk kategori desain dimenangkan Gustaff Hariman Iskandar (32). Mereka menyusul Leo Rustandi yang terpilih di kategori musik. Sementara itu, untuk kategori fesyen pemilihannya menyusul.

Yudhi mengatakan, dia belajar dari Inggris yang terpuruk industri manufakturnya tahun 1990-an, tidak lantas menghancurkan ekonomi negara itu. Kebangkitan ekonomi justru dilihat dengan mengembangkan potensi mereka, industri kreatif.

Yoris pun menyatakan kekagumannya pada pemerintah daerah di Inggris yang sadar betul akan potensi industri kreatif mereka di bidang seni, film, musik, desain, dan sebagainya. "Jika ada festival kebudayaan, dana APBD seharusnya bukan sekadar sumbangan yang tidak ada hasilnya. Di Inggris, pemerintahnya mengalokasikan dana juga untuk festival musik, misalnya. Tapi acara itu menumbuhkan industri kreatif, termasuk membuat hotel-hotel penuh saat event itu berlangsung," ujar Yoris.

Menurut Yudhi, sektor manufaktur yang terkait dengan industri kreatif di Indonesia tahun 2005 bisa menyumbang Rp 915 triliun lebih atau setara 33 persen dari pendapatan domestik bruto Indonesia. PDB dari sektor ini lebih besar enam kali lipat dari minyak dan gas bumi.

Dari catatan Bank Dunia, 50 persen konsumsi dunia kini berasal dari produk dan jasa seperti fesyen, desain, film, dan sebagainya. Di Inggris, industri kreatif adalah sektor ekonomi kedua terbesar setelah perbankan dengan dua juta pekerja dan pemasukan sekitar Rp 2.188,8 triliun, setara PDB Indonesia tahun 2003.

Keberhasilan industri kreatif di Inggris ini juga didukung sistem pendidikan. Para pelajar di semua level diberi kesempatan seluas-luasnya mengembangkan kreativitas. Bahkan, ada sekolah di level pendidikan menengah yang diberi status khusus karena komitmen sekolah itu untuk mengembangkan kreativitas siswa.

Apakah sistem pendidikan Indonesia mampu menjawab peluang yang ada dalam generasi muda bangsa ini? Saatnya kreativitas siswa di sekolah-sekolah juga diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang.

jf_pratama Publish time 17-7-2007 07:25 PM

SYUTING FILM INSTAN Antara Kebutu*an & Tuntutan Industri
Selasa, 17/07/2007

Akhir-akhir ini, beberapa sutradara film Indonesia mulai menggandrungi ’’aliran” syuting instan, sebut saja sutradara Rudi Soedjarwo dan Monty Tiwa yang sering melakukan jadwal syuting singkat dalam waktu 6–8 hari.

JAKARTA (SINDO) —Belakangan ini, sutradara Rudi Soedjarwo dikenal sebagai sutradara yang menghasilkan film-film instan. Lihat saja film 9 Naga yang hanya membutu*kan waktu pengerjaannya selama dua minggu. Hebatnya lagi, film Mendadak Dangdut dan Pocong 1 dan 2, hanya tujuh hari, terakhir film terbarunya Cintapuccino hanya membutu*kan waktu syuting delapan hari.

Hal itu pun ditiru sutradara baru Monty Tiwa yang ’’berguru” pada Rudi Soedjarwo. Dalam film debutannya, Monty melakukan syuting film Maaf, Saya Menghamili Istri Anda hanya dalam waktu sepekan. Sebelumnya, ada sebuah anggapan untuk membuat film layar lebar, minimal membutu*kan waktu selama kurang lebih satu bulan. Namun, semua itu seolah ditepis kehadiran film-film yang digarap Rudi dan Monty.

’’Enggak ada ukuran waktu yang pasti untuk dijadikan patokan membuat film berkualitas. Saya melakukan itu semua karena memang waktunya sudah ditentukan. Saya yakin kalau kita bisa memanage-nya,bisa kok,”jelas Rudi.

Bagi Rudi, yang menolak film-filmnya disebut karya instan, permainan waktu adalah bagian dari eksperimennya di dunia layar lebar. ’’Saya tidak setuju kalau dibilang instan. Syuting delapan hari itu bagian eksperimen saya. Saya ingin tahu rahasia membuat film cepat dengan jadwal syuting lama atau cepat,”ujarnya.

Meski demikian,dia juga pernah merasakan membuat film dengan jadwal syuting yang panjang seperti film Ada Apa Dengan Cinta dan Mengejar Matahari.Rudi mengaku melakukan syuting instan karena dia ingin belajar bereksplorasi dan mempelajari tingkat kesulitan dalam membuat film secara singkat. Hal senada juga dikatakan Monty Tiwa, seorang penulis skenario yang “banting setir”menjadi sutradara.

’’Sekarang ini, para sineas dan filmmaker memang harus bergerak cepat.Sebab, industri film Indonesia saat ini mulai bangkit lagi.Jadi, kita harus bisa mengimbanginya dengan menghasilkan banyak karya. Namun, tetap harus diiringi dengan kualitas yang baik, dari sisi skenario maupun dari sisi yang lain,”jelas Monty.

Kendati demikian, Monty menyatakan, proses syuting cepat yang dia lakukan tak lepas dari tuntutan produser dan industri film.’’Kita harus realistis aja, sering bujet film terbatas, jadi kita harus menghemat anggaran. Maka itu, sebelum syuting, kita harus bisa memperhitungkan apakah film tersebut bisa dijangkau dengan syuting singkat atau tidak, kalau bisa kenapa enggak?”tuturnya.

Sementara itu, Sutradara film Anak-Anak Borobudur, Arswendo Atmowiloto, juga angkat bicara mengenai syuting film instan. ’’Saya percaya dengan syuting film efektif dan efisien. Masalah waktu bisa disesuaikan, tetapi yang pasti hingga saat ini, film-film saya masih melakukan syuting standar, tak kurang dari sebulan,” jelas Arswendo, yang melakukan syuting film Anak-Anak Borobudur dalam waktu 40 hari.

Hal serupa juga diucapkan Sutradara kondang Garin Nugroho. ’’Bagi saya,syuting secepat apa pun tidak ada masalah. Cepat atau lambat disesuaikan dengan kebutu*an skenario. Kalau bisa dilakukan dengan satu atau dua hasil, silakan saja.Yang penting, tidak memaksakan dan bukan karena alasan ekonomi,”tutur Garin.

Terlepas dari itu semua, mau cepat atau lambat, seharusnya tidak terpengaruh pada kualitas gambar dan alur cerita dalam film. Kendati demikian, film-film yang pernah digarap, baik dengan waktu yang instan atau tidak,akan tetap laku di pasaran.(andree)

jf_pratama Publish time 18-7-2007 07:14 PM

FILM SELAMANYA Perjuangan Cinta Seorang Pencandu
Rabu, 18/07/2007
http://www.suarapembaruan.com/News/2007/07/22/Hiburan/22selam1.gif
牋http://www.suarapembaruan.com/News/2007/07/22/Hiburan/22selama.gif
http://www.suarapembaruan.com/News/2007/07/22/Hiburan/22selamn.gif
Industri perfilman Indonesia kembali diramaikan dengan kehadiran film Selamanya produksi MVP Pictures. Film melodrama yang dibintangi oleh Julie Estelle dan Dimas Seto ini mengangkat sebuah perjuangan cinta seorang pencandu narkoba.

JAKARTA(SINDO) –Meski mengangkat tema cinta, tetapi Selamanya mengambil sudut pandang yang baru dan berbeda dari film-film cinta yang pernah ada di Indonesia. Dalam film arahan sutradara Ody C. Harahap ini, menceritakan seorang gadis terjerumus ke dalam dunia kelam narkoba akibat ditinggalkan kekasihnya.

Adalah Bara (Dimas Seto),yang menyeret kekasihnya, Aristha (Julie Estelle) ke dunia hitam narkoba. Aristha dan Bara merupakan sepasang kekasih di masa sekolah dulu. Atas nama cinta, Aristha rela mengikuti ajakan Bara. Aristha menganggap Bara adalah cinta sejati karena sempat dijanjikan cinta abadi untuk selamanya.

Tapi, Bara kemudian dipaksa masuk rehabilitasi pecandu narkoba dan meninggalkan Julie yang sudah terlanjur menjadi pecandu berat. Sayangnya, Bara tidak memberikan alasan dan informasi yang jelas tentang kepergiannya. Aristha akhirnya kabur dari rumah dan tinggal bersama Chacha (Masayu Anastasia) yang berprofesi sebagai penari striptease.

Beberapa tahun kemudian, Bara justru terlepas kebiasaan mengonsumsi narkoba dan menjalani hidup baru. Bara pun menemukan cinta baru dan bertunangan dengan Nina. Sedangkan, Aristha malah frustasi dan menjadi seorang pengedar. Tetapi, ketika Bara hendak merencanakan pernikahan dengan Nina (Andrea Dian), nasib mempertemukan mereka kembali.

Bara merasa bertanggung jawab dan memanfaatkan kesempatan itu untuk memulihkan kondisi Aristha karena dia. Namun Aristha menolak mentah-mentah kehadiran Bara. Hingga akhirnya, Bara berhasil membujuk Aristha untuk melakukan proses rehabilitas. Di saat itulah cinta lama bersemi kembali dan ikut berperan menyembuhkan Aristha.

Walaupun akhirnya Bara harus ditinggalkan tunangannya. “Saya ingin mengajak penonton untuk bereksplorasi tentang sejauh mana cinta bisa membawa kita pada kehidupan,” tutur ujar sang sutradara Ody C. Harahap pada jumpa pers peluncuran film Selamanya di Bioskop MPX,Pasaraya-Grande,Jakarta.

Kekuatan dan totalitas akting Julie Estelle cukup diacungi jempol. Dia memberikan kekuatan tersendiri pada film ini. Luapan emosi yang terpancar dari dirinya akan membuat kita larut dalam alur ceritanya. Sebelumnya, pada film Alexandria, Julie juga pernah dianggap berhasil memerankan sosok gadis yang merebut hati dua orang pemuda sekaligus.”Enggak perlu banyak bicara, saya bisa melihat kedalaman emosi di wajah Julie,” tutur Ody.

Dari sisi kualitas gambar, hampir tidak perlu diragukan. Alur ceritanya pun cukup apik dan tertutur dengan rapi. Kekuatan lain pada film yang akan dirilis 19 Juli mendatang ini adalah soundtrack yang digarap oleh grup musik ternama Ada Band. Film ini memberikan pesan moral yang cukup tinggi. Namun, munculnya adegan tarian striptease yang diperankan oleh Masayu justru akan memberikan dampak negatif bagi kalangan remaja.

Film Selamanya akan menambah daftar film nasional yang mengangkat kisah percintaan dan kehidupan gelap dunia narkoba. Seperti halnya film Pesan Dari Surga yang juga mengusung latar belakang narkoba. (andree)

[ Last edited byjf_pratama at 22-7-2007 02:40 PM ]

jf_pratama Publish time 22-7-2007 03:12 PM

Garin Nugroho: Kondisi Film Indonesia Tidak Sehat
Minggu, 22 Juli 2007

http://www.kapanlagi.com/p/garin_nugroho_hl.jpg
Kapanlagi.com - Saat ini kondisi tema perfilman Indonesia tidak sehat karena masih banyaknya para pembuat film yang masih menjadi seorang peniru dan bukan pencipta, kata sutradara film, Garin Nugroho, pada workshop teknik membuat film di ajang "LA Lights Indie Movie" di Bandung, Sabtu (21/7).

Ia mengaku sangat prihatin dengan banyaknya produksi film bertema horor yang jumlahnya mencapai 85 persen sehingga masyarakat tidak mempunyai alternatif untuk memilih tema lain.

Hal ini dikarenakan para pembuat film masih dipacu untuk mengikuti selera pasar dimana saat film bertema horor booming maka akan bermunculan horor-horor yang lain.

Dalam workshop yang diikuti sekitar 136 peserta ini, Garin menegaskan perlunya para pembuat film yang idealis dengan menampilkan karya berbeda dengan karya lainnya yang memiliki nilai originalitas dan mengangkat nilai kebangsaan. "Jika mengikuti perjalanan festival film internasional maka film-film inilah yang akan dicari," ujarnya.

Ia menuturkan ide untuk sebuah film dapat ditemukan dari berbagai hal yang terjadi di lingkungan sekitar kita. "Teman-teman indie pastinya sudah sangat memahami semangat berekspresi ini," ujarnya.

Garin yang seringkali mendapat penghargaan atas film-filmnya di ajang internasional ini mengaku masih bernafas lega karena para penggemar film dapat belajar secara tidak langsung dari tayangan-tayangan film internasional lewat Video Campact Disc (VCD) ataupun Digital Video Disc (DVD).

Sutradara film asal Filipina, John Tores menyatakan nyawa sebuah film akan sangat tergantung dengan kekonsistennya visi dan misi yang akan diusung.

Ia menjelaskan sebuah bukan film hanya merupakan satu potongan gambar saja tetapi dengan sebuah tehnik pengeditan maka akan menjadi satu kesatuan gambar yang bercerita. (*/erl)

jf_pratama Publish time 24-7-2007 09:15 PM

Deddy Mizwar - Dede Yusuf, Kolaborasi Bikin Film Sejarah Melayuhttp://www.kapanlagi.com/p/dedy_mizwar.jpg
Kapanlagi.com - Dua aktor kawakan, Deddy Mizwar dan Dede Yusuf dikabarkan tengah mengikuti tender Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Pemprov Kepri) untuk pembuatan film perjalanan hidup Raja Ali Haji yang berkaitan dengan sejarah Melayu.

"Sampai saat ini sudah ada 11 rumah produksi (PH) dari Jakarta yang ikut tender, di antaranya Deddy Mizwar dan Dede Yusuf," kata Kepala Dinas Pariwisata Pemprov Kepri Robert Iwan Loriaux di Batam, Minggu (22/7).

Ia mengatakan produksi film yang dianggarkan dari APBD Kepri itu sengaja diserahkan kepada PH dari Jakarta agar mutunya bagus.

Raja Ali Haji adalah pahlawan nasional sastra pencipta syair Gurindam 12 yang syarat makna dan indah tutur bahasanya. Cucu Raja Haji Yang Dipertuan Riau IV itu juga dikenal sebagai pemersatu bangsa, tokoh yang mengangkat Bahasa Melayu hingga menjadi Bahasa Indonesia.

Kisah Roman

Pengerjaan naskah film Raja Ali melalui penelitian dan penelusuran dari berbagai buku dan situs di Pulau Bintan dan Penyengat. Namun, menurut Robert, terbuka kemungkinan bagi PH untuk menambah isi cerita dengan ditambah kisah roman agar menarik penonton.

"Kami maunya memang dokumenter, tapi kalau film murni sejarah jarang ada yang mau nonton. Sedangkan jika disisipi roman, mungkin akan laku dipasaran," katanya.

Ia mengatakan anggaran Rp7-8 miliar yang disiapkan Pemprov mungkin tidak cukup, oleh karena itu pemerintah membuka kesempatan bagi penanam modal meskipun dengan syarat sedikit perubahan dalam naskah. Menurut Robert, agar dana besar APBD tidak terbuang begitu saja, maka kemungkinan besar film akan diputar di bioskop dan dijual dalam kepingan VCD dan DVD untuk menambah pendapatan asli daerah. (*/boo)

jf_pratama Publish time 26-7-2007 02:34 PM

Selamanya (2007)

http://www.sinema-indonesia.com/imej/selamanya1.jpg

Seorang mantan junkie bernama Bara (Dimas Seto) yang kini jadi aktifis anti narkoba sedang mempersiapkan pernikahannya dengan tunangannya yang cantik nan jelita. Saat dia tiba-tiba bertemu kembali dengan mantan pacarnya yang bernama Arista (Julie Estelle), rencana pernikahan dan hatinya goyah. Bukan saja karena Arista masih jadi junkie berat, tapi karena dialah yang bikin Arista jadi pecandu. Tak lama kemudian, air mata dan dialog-dialog puitis bermerek Sekar Ayu Asmara mulai berjatuhan.

Yang tadinya ditakdirkan jadi melodrama menye-menye dan kampanye anti narkoba berhasil diangkat menjadi melodrama menye-menye sekaligus kampanye anti narkoba yang sangat enjoyable, terima kasih buat penyutradaraan Ody C. Harahap yang solid dan kreatif. Ritme yang asik di 20 menit pertama memang kemudian hampir terseret-seret, tapi Ody berhasil membuat kami rela masuk ke dunia yang diciptakannya tanpa banyak cingcong. Penampilan Julie Estelle sangat meyakinkan. Tapi piala memang harus diberikan kepada Masayu Anastasia sebagai sahabat Arista yang punya profesi sebagai penari telanjang berhati emas yang selalu berkostum sesuai permintaan pelanggan. Masayu mencuri semua scene yang ada dianya. We looove her. Etah kenapa aktor yang sangat berbakat seperti dia masih mau menghabiskan hidup di sinetron. Wahai para sutradara, ini mungkin aktor perempuan paling berbakat di Indonesia. Pakailah dia, pakailah dia. Sayang sekali, Dimas Seto di peran utama berpenampilan sangat lemah dan hampir merusak film ini.

Secara teknis, Ody dan para kru boleh berbangga. Sinematografi dan tata artistiknya membuat film ini terasa berkelas dan enak dipandang mata.

Penghargaan anda terhadap film ini memang sangat tergantung apakah anda bisa menerima ceritanya. Kami sih bisa. Multivision boleh bangga karena setelah serentetan film kancut, film ini layak dapat bintang. Kebalikan dengan saudaranya MD Entertainment yang masuk jurang ke lembah kancut setelah memproduksi film sebrilian Kala. Bisa dipastikan film ini akan laku luar biasa. Film ini layak mendapatkannya.

http://www.sinema-indonesia.com/imej/bintang3.jpg

Sutradara: Ody C. Harahap. Penulis: Sekar Ayu Asmara. Pemain: Julie Estelle, Dimas Seto, Masayu Anastasia. Produser: Raam Punjabi. Produksi: MultiVision Plus.

jf_pratama Publish time 27-7-2007 09:59 PM

NAGABONAR (JADI) DUA- Rilis Versi DVD-VCD dan Tayang di Negeri Jiran Malaysia
Jum'at, 27/07/2007

Setelah sukses tayang di bioskop-bioskop Tanah Air, film Nagabonar (jadi) Dua bakal meluncurkan format VCD dan DVD. Selain itu, film garapan sutradara dan aktor piawai Deddy Mizwar ini juga akan tayang di Negeri Jiran, Malaysia pada Agustus mendatang.

JAKARTA (SINDO) 朚engenai penayangan Nagabonar (jadi) Dua di Malaysia, Deddy Mizwar ingin menyambut permintaan langsung dari distributor film di Negeri Jiran tersebut.

Rencananya, distributor tersebut mendapatkan jatah sepuluh kopi film itu untuk diputar di bioskopbioskop sana.

拻Kesuksesan Nagabonar (jadi) Dua tak lepas dari kerinduan masyarakat Indonesia pada film bertemakan nasionalisme. Kami pun menyambut baik niat distributor Malaysia untuk menayangkan film ini di negara tersebut.Film itu akan tayang pada Agustus sekalian memperingati hari Kemerdekaan kita,攋elas Deddy Mizwar pada peluncuran DVD dan VCD Nagabonar (jadi) Dua di restoran Oasis, Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, tadi malam.

Yang cukup mengejutkan,Deddy menyatakan,film pertama Nagabonargarapan sutradara MT Risyaf akan kembali ditayangkan di bioskop-bioskop Tanah Air. Hal itu juga dilakukan atas dasar permintaan banyak penonton Nagabonar (jadi) Dua yang belum menyaksikan film Nagabonar pertama.

拻Melihat apresiasi yang begitu besar dari penonton, kami merencanakan akan menayang ulang film Nagabonar yang pertama pada November nanti.Namun, sebelum kami tayangkan, akan ada perbaikan gambar negatif, remix suara menjadi dolby digital, sound effect, dan musiknya. Rencananya, proses itu dilakukan di Indonesia, Hong Kong, dan Bangkok,

jf_pratama Publish time 27-7-2007 10:57 PM

Judul Film: "Hantu"

http://www.indonesiaselebriti.com/office/images/film/film-hantu-ok.jpg
Jenis Film:Horror
Pemain: Oka Antara, Dhea Ananda, Dwi Andhika, Andhika Gumilang, Monique Henry
Sutradara: Adrianto Sinaga
Penulis:Adrianto Sinaga, Shafa Wijanarko
Produser:Chandra Willin
Produksi:PT. Grandiz Media Production
Website: www.hantu.com
Durasi: 95 min
Rilis: 9 Agustus 2007

Sinopsis

Gali, memiliki hobi baru sebagai pecinta alam. Ia berencana untuk berpetualang ke Telaga Setra Wingit, sebuah telaga di tengah hutan yang belum pernah dijamah orang. Ia sengaja mengajak kekasihnya Rinjani, serta ketiga sahabatnya: Ray, Sofie dan Indra.

Pada awalnya perjalanan berlangsung menyenangkan, namun mereka dibuat terkejut setelah mengetahui bahwa Gali belum mengetahui letak Telaga Setra Wingit secara pasti. Peristiwa aneh mulai mereka alami ketika mereka bertanya pada seorang kakek tua yang tinggal di depan hutan tentang letak Telaga Setra Wingit, Kakek tersebut tidak memberi jawaban yang jelas.

Karena hari sudah malam, mereka memutuskan untuk berkemah di dalam hutan. Namun kegemparan terjadi keesokan paginya, Rinjani hilang entah kemana. Semua orang menjadi panik dan berpencar mencari Rinjani. Ia ditemukan ditengah hutan dengan keadaan yang memprihatinkan dan terlihat tertekan. Setelah perdebatan panjang, akhirnya diputuskan bahwa mereka akan pulang ke rumah esok harinya.

Rencana menjadi berantakan ketika malam harinya Rinjani kesurupan dan menghilang untuk kedua kalinya. Akankah Rinjani ditemukan kembali? Bagaimana dengan nasib empat orang lainnya?

[ Last edited byjf_pratama at 27-7-2007 10:00 PM ]

jf_pratama Publish time 27-7-2007 11:08 PM

Judul Film : "MERAH ITU CINTA"

http://www.indonesiaselebriti.com/office/images/film/film-MIC-poster-ok.jpg   http://www.indonesiaselebriti.com/office/images/film/addimg/merah-itu-cinta-225.jpg   http://www.indonesiaselebriti.com/office/images/film/addimg/MIC-ok.jpg
Jenis Film
- Drama

jf_pratama Publish time 27-7-2007 11:10 PM

Judul Film : "LARI DARI BLORA"

http://www.indonesiaselebriti.com/office/images/film/film-laridariblora_poster-o.jpg
Jenis Film
- Drama/Thriller

Pemain
- WS Rendra, Ardina Rasti, Annika Kuyper, Tina Astari, Soultan Saladin, Iswar Kelana

Sutradara
- Akhlis Suryapati

Penulis
- Akhlis Suryapati

Produser
- Egy Massaidah

Produksi
- Ibar Pictures

Homepage
- http://www.laridariblora.com/home.htm

Trailer
- http://www.laridariblora.com/home.htm

Sinopsis

Cyntia, warga Amerika yang bekerja disebuah LSM asing, datang ke wilayah antara Pati

jf_pratama Publish time 27-7-2007 11:13 PM

Judul Film : "Sang Dewi"

http://www.indonesiaselebriti.com/office/images/film/film-sang-dewi-poster-ok.jpg

Jenis Film
- Drama Percintaan

Pemain
- Sabai Morscheck, Volland Humonggio, Donny Alamsyah, Cathy Saron, Dendy Subangil, Choky Sihotang, Dolly Martin, Riki Trifarisa.

Sutradara
- Dwi Ilalang

Penulis
- Dwi Ilalang

Produser
- Adrianus Yoga D

Produksi
- Big Daddy Production

Website :
-

Durasi
- min

Rilis
- 2 Agustus 2007

Sinopsis

Beno dan Aliang merupakan sobat karibyang sangat dekat. Keduanya, dalam menjalankan hidup yang keras diJakarta berprofesi sebagai petinju. Namun karena desakan ekonomi,Aliang memilih pekerjaan sampingan dengan mengikuti beberapapertandingan tinju illegal yang diatur oleh cukong-cukong penjudi.Sementara Beno tetap berusaha berlatih keras menjadi petinjuprofesional.

Kemenangan Aliang dalam pertandingan illegaltersebut, coba dirayakannya bersama Beno dengan senang-senang. Suatuketika di tempat bilyar, Beno melihat seorang wanita cantik bernamaLaras yang membuatnya jatuh cinta. Tanpa sebgaja Beno juga mendapatitelpon genggam milik Laras yang tertinggal. Beno berusaha mengembalikantelpon genggam tersebut.

Suatu ketika Aliang kembali mengikutipertandingan ilegal. Sialnya, saat pertandingan berjalan terjadipenggerebekan yang dilakukan oleh Polisi. Beno dan Aliang akhirnyamelarikan diri dan berpencar.

Tanpa diduga, saat melarikandiri Beno melihat Laras yang mencoba terjun dari jembatan. Tanpa pikirpanjang Beno menolong Laras. Semenjak kejadian tersebut tidak bisadipungkiri Beno benar-benar jatuh cinta terhadap perempuan yang belumdiketahui identitasnya.

jf_pratama Publish time 27-7-2007 11:18 PM

Judul Film : "Cintapuccino"

http://www.indonesiaselebriti.com/office/images/film/film-cintapucino-poster-ok.jpg

Jenis Film
- Drama

Pemain
- Sissy Prescillia, Aditya Herpavi, Nadia Saphira, Miler, Nani Wijaya, Ida Kusumah, Nani Somanegara, Mpok Atiek

Sutradara
- Rudi Soedjarwo

Penulis
- Jujur Prananto, Icha Rahmanti

Produser
- Cindy Christina,Leo Sutanto,Elly Yanti Noor

Website :
- http://www.cintapuccino.com/

Durasi
- min

Rilis :
- 30 Agustus 2007

Sinopsis

揙h my God! It抯 real! My Nimo

buiscasey Publish time 28-7-2007 11:00 AM

ko ni paste banyak-banyak, ader org nak baca ker???

jf_pratama Publish time 29-7-2007 04:09 PM

Nyanyian Bergambar Melly
Frans Sartono

Bukan Bintang Biasa diproduseri oleh seorang penggubah lagu dan penyanyi, yaitu Melly Goeslaw. Sebelum film diputar resmi untuk umum pada 26 Juli, album soundtracks film Bukan Bintang Biasa terbitan Aquarius Musikindo telah terlebih dulu beredar. Lagu Let’s Dance Together pada album itu populer lewat radio.

Film dan album itu memang merupakan satu paket gagasan. Tema film Bukan Bintang Biasa (BBB) dijabarkan lewat sepuluh lagu dalam album BBB. Lirik setiap lagu menjadi fragmen, atau potongan sketsa yang berpayung pada tema film.

Lagu-lagu tersebut menjadi semacam versi auditif dari film. Pelantun lagu tersebut adalah tokoh-tokoh dalam BBB. Apa yang mereka ungkapkan dalam lagu adalah kisah lakon mereka dalam film.

Ini boleh dibilang sebagai kerja tandem yang kreatif dari Melly dan Anto Hoed sebagai penggubah dan penata musik. Selama ini mereka lebih banyak menggarap pada sisi penulisan lagu film, seperti pada Ada Apa Dengan Cinta, Apa Artinya Cinta, dan Eiffel I’m In Love. Kali ini dalam BBB Melly seperti ikut bermain film lewat lagu-lagunya.

Dalam BBB, Melly bernyanyi lewat gambar. Ini memang sebuah wilayah kreatif yang sama sekali lain. Ini juga merupakan wilayah kenikmatan yang lain pula. Kekuatan cara bertutur Melly lewat melodi dan lirik kini harus diterjemahkan dalam bahasa gambar.

Komedi romantik

Kemasan film Bukan Bintang Biasa mengingatkan pada gaya komedi romantis. Setidaknya, ada pasangan yang pada awalnya terkesan tidak saling mencintai, tetapi belakangan hubungan mereka berubah. Dalam BBB, ada tiga pasang cowok dan cewek dengan hubungan cinta yang bersilang-silang.

Mereka adalah mahasiswa sebuah perguruan tinggi seni, yaitu Raffi (Raffi Ahmad) yang putus hubungan dengan Bella (Laudya Cynthia Bella). Dimas (Dimas Beck) menaksir Chelsea ( Chelsea Olivia). Ada lagi tokoh Ayu (Ayu#a) yang memburu pria idaman lewat jagat maya. Ada pula Barry (W Nugraha) pria yang mendekati Bella.

Bagaimana nasib hubungan antar-tokoh tadi, itulah yang diolah sebagai menu utama film ini. Dan, seharusnya manajemen konflik antar-tokoh berikut jatuh bangun masing-masing individu menjadi daya tarik film ini. Akan tetapi, struktur dramaturgi film ini belum optimal digarap sehingga kurang menggugah.

Ayu, misalnya, berpisah dengan Raffi secara begitu mudah. Ia mendapatkan pacar baru secara gampang dan putus lagi tanpa beban. Secara "komedik" mereka digambarkan putus cinta di depan preman jalanan. Kejutan yang hendak dibangun kurang menjebak penonton. Misalnya ketika Ayu hendak bertemu kawan chatting.

Dunia dan kehidupan para tokoh dalam film ini memang terkesan begitu ringan tanpa beban. Para tokoh datang dari kelas atas yang ke kampus naik mobil BMW atau kencan dengan Mazda RX-8. Cinta tidak dibebani masalah ekonomi atau persoalan sosial lain di sekitarnya. Dunia mereka terentang antara kampus, kafe, dan pusat perbelanjaan semacam mal.

Cinta atau lebih konkretnya mempunyai pacar dalam film ini terkesan menjadi sekadar urusan adab alias pemantas pergaulan. Ia belum sampai pada tataran urusan dunia batin. Tataran yang serba permukaan itulah yang digarap BBB. Secara tepat tercermin dalam lagu Let’s Dance Together sebuah dunia yang ringan penuh sukacita seperti lagu pop.

Bukan Bintang Biasa

Lasja Fauzia
Cerita/skenario: Lina Nurmalina/ Melly Goeslaw Titien Wattimena
Pemeran: Raffi Ahmad, Laudya Cynthia Bella, Dimas Beck, Chelsea Olivia, Ayu#a
Musik: Mely Goeslaw/Anto Hoed
Produksi: Maxima Pictures (2007)

premierleague Publish time 29-7-2007 05:10 PM

lately aku tgk film2 indon ni suke sgt pakai tajuk bahasa indon + omputeh
-love is cinta
-eiffel...i'm in love
-heart
sume2 tu film sampah:lol: :lol: :lol: :lol:

film2 sampah yg lain
-dealova
-30 hari mencari cinta

jf_pratama Publish time 29-7-2007 05:40 PM

Membaca Asia, Membaca Diaspora Digital
Garin Nugroho

Dalam periode awal tahun 2007, beberapa universitas bergengsi, seperti Harvard dan New York University, menggelar diskusi tentang masa krisis di Indonesia. Yang menarik, Jurusan Antropologi dan Hukum New York University justru mendiskusikan karya-karya esai dan dokumenter Indonesia periode 1997-2008, yakni karya-karya video dokumenter dan esai sutradara Lexi, Aryo Danusiri, hingga video partisipasi komunitas Kampung Halaman.

Karya-karya ini mengangkat beragam tema dan wilayah geografi, mulai dari kasus Munir, ekonomi sebuah komunitas nelayan di Papua, tukang obat di tengah konflik serta transisi damai di Aceh, hingga kesaksian remaja-remaja di tahanan Yogyakarta. Karya-karya ini tiba-tiba menjadi semacam pustaka kesaksian sekaligus medium transparansi masa transisi yang penuh percepatan, yang sering tidak sempat tercatat secara tertulis. Karya-karya yang bisa menjadi referensi berbagai fenomena perubahan.

Hal ini juga terbaca pada peta film cerita Asia, yakni terbacanya diaspora penggunaan video digital. Simaklah film Still Life karya ZhangKe Jia, yang meraih film terbaik Venesia Film Festival 2006 dan dianggap kepeloporan baru sinema China pasca-Zhang Yi Mou. Karya ini dilatarbelakangi sebuah kolaborasi sang sutradara dengan pelukis China yang memfokuskan diri pada subyek pekerja-pekerja, yang meruntuhkan bangunan, di tengah pembangunan waduk raksasa.

Film dengan video digital ini terasa menjadi medium generasi baru China dengan kecenderungan dokumenter sosialnya. Untuk itu, JAFF memutar film Another Half. Sebuah film generasi baru China yang dengan jenial dan sederhana menunjukkan dialog video dengan kesaksian penduduk sebuah kampung terhadap situasi sosial dan politiknya di tengah pertumbuhan industri di China.

Catatan-catatan di atas merujuk pada diaspora digital sebagai dunia kesaksian, perlawanan, sekaligus medium beragam cara pengungkapan baru sinema Asia. Oleh karena itu, Jogja-Netpac Asian Film Festival kedua (29 Juli-2 Agustus 2007) kali ini mengangkat tema bertajuk "Diaspora" dengan memutar tak kurang dari 150 lebih film pendek dengan beragam jenis dan 40 film cerita, mayoritas menggunakan video digital. Karya-karya ini terbagi dalam berbagai forum, yakni Forum Kompetisi Asia, Forum Fokus Film Malaysia, Forum Kesaksian, dan Forum Film Independen.

JAFF juga memberi catatan tersendiri pada pengaruh diaspora generasi baru China-Malasyia. Simaklah karya-karya sutradara seperti James Lee, Tan Chu Mui, ataupun Han Yuang. Inilah generasi yang tumbuh dari video kamera digital, generasi marginal yang justru berani membuat film dengan bahasa Mandarin di tengah dominasi serba Melayu. Yang kemudian mendorong tumbuhnya film-film Malaysia dengan bahasa etnis tertentu, sebutlah bahasa Tamil.

Sementara, sutradara Melayu, seperti Yasmin Ahmad dan Amir Muhammad, dengan jenial memotret Malaysia dengan dimensi sosial dan politik yang personal. Yasmin memotret multikultur sehari-hari yang humanis, sebutlah film Sepet, Gubrah hingga Muksin. Di sisi lain, Amir Muhammad membuat karya-karya yang mampu menembus festival bergengsi, seperti Berlin, dengan pendekatan esai yang beragam, mulai dari musikal hingga estetik.

Yang menarik, mereka membuat film dengan gaya arisan, kru kecil dengan biaya antara 200 juta hingga dua miliar rupiah, dan selama tiga tahun ini menembus berbagai festival dan meraih berbagai penghargaan.

Diaspora video kamera juga menjadi medium kesaksian situasi politik dan sosial di Timur Tengah. JAFF kali ini memberi fokus pada dua film. Pertama, film pembuka yang bertajuk Crossing the Dust. Karya sutradara Kurdistan ini merepresentasikan persoalan diaspora etnis Kurdistan di tengah perang Irak ataupun Iran. Haruslah dicatat, periode lima tahun ini lahir film-film luar biasa karya sutradara-sutradara Kurdis. Sebutlah Bahman Gohbadi lewat film Turtle Can Fly atau Half Moon. Film terakhir ini bercerita tentang kelompok seniman tradisi yang harus berjuang di tengah larangan menyanyi bagi perempuan. Adapun film kedua yang menarik adalah Beirut Diaries karya sutradara Mai-Masri. Inilah esai personal tentang fenomena konflik di Timur Tengah dari aktivis perempuan Beirut.

Dengan kata lain, diaspora digital menjadi medium penulisan baru sejarah. Bahkan, diaspora digital ini juga terepresentasi lewat jumlah film independen yang berpartisipasi di JAFF, yakni tak kurang dari 150 film pendek dengan beragam pendekatan.

Alhasil, menyaksikan film-film ini, dari subyek di wilayah Singapura, Filipina hingga Boyolali, maka penonton akan menyaksikan bagaimana beragam isu ditampilkan, beragam cara ekspresi dilontarkan, beragam komunitas berbicara tentang diri mereka, sekaligus beragam spirit dan peran baru teknologi abad ini ditawarkan.

Penulis cultural studies terkenal, Stuart Hall, mengatakan bahwa teknologi dan kebudayaan pop senantiasa penuh kontradiksi, yakni popular melawan marginal. Celakanya ke dua istilah tersebut sering berganti peran. Oleh karena itu, di tengah diaspora digital yang membawa diaspora konsumerisme yang penuh kepopuleran, JAFF memberi ruang untuk dunia independen.

Inilah sebuah dunia perlawanan, kesaksian dan cara baru bagi ekspresi yang sering menjadi dunia marginal. Meski begitu, dunia independen, yang menurut para ahli begitu penuh spirit dan didukung beragam komunitas sering kali meluas dan cair layaknya budaya populer itu sendiri

Maka, membaca diaspora digital adalah membaca Asia dengan perubahan-perubahannya!

Garin Nugroho, Sutradara Film

jf_pratama Publish time 3-8-2007 04:41 PM

Jogja Netpac Asian Film Festival 2007 Berakhir
Film Irak Boyong Golden Hanoman Award

SP/Alex Suban - Garin Nugroho

Crossing The Dust sebuah film indie asal Kurdistan karya Shawkat Amin Korki berhasil meraih Golden Hanoman Award pada Jogja Netpac Asian Film Festival 2007 yang berakhir pada Kamis (2/8).

Juri JAFF yang terdiri dari St Sunardi, Arya Gunawan, dan Putu Fajar Arcana, sepakat bahwa film ini mengandung rasa humanity yang sangat layak diangkat. Meski dibuat di tengah-tengah peperangan dan masih terdengar bom meledak dan desingan peluru serta reka pembunuhan, namun sisi kemanusiaan yang natural sangat ditonjolkan.

Film yang diputar mengawali perhelatan akbar Jogja Netpac Asian Film Festival 2007 pada Minggu (29/7) lalu itu, merupakan sebuah film sederhana yang dibuat tanpa banyak menyita biaya dan tanpa bintang terkenal.

"Inilah diaspora yang terjadi di negara Irak, meski banyak yang menyangsikan perkembangan kebudayaan dan humanity di tengah kancah peperangan, lewat film ini kita bisa menyaksikan cerita kemanusiaan di tengah-tengah kekerasan. Di Irak sendiri tidak ada industri film bahkan gedung bioskop. Tetapi semangat Shawkat Amin sangat layak mendapat anugerah," ujar Garin Nugroho, Presiden Jogja Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2007 saat memberikan keterangan pers di Yogya.

Garin juga menjelaskan, penghargaan Silver Hanoman, diraih oleh Sutradara Yasmin Ahmad asal Malaysia dengan filmnya berjudul Mukhsin. Seperti diuraikan ST Sunardi, Mukhsin adalah potret dari sebuah kejujuran, dengan tema yang sebetulnya sederhana dan personal, namun mengandung makna universal yang tidak terperosok dalam khotbah. Mulai dari makna persahabatan remaja, hubungan keluarga dan kekerabatan hingga perasaan kehilangan.

Dalam film itu dikisahkan, Mukhsin, seorang bocah laki-laki dan Orked adalah kawannya seorang gadis yang datang dari latar belakang keluarga yang kuat dan tidak takut dalam pergaulan laki-laki. Pada suatu adegan, Mukhsin mengelus pipi Orked tetapi dari mulut Orked keluar kata "Tidak", yang bisa berarti sebuah pernyataan yang sangat kasar.

Panitia Netpac juga menetapkan film berjudul 4:30 karya Royston Tan dari Singapura, menjadi film terpanjang terbaik versi kelompok juri komunitas film Indonesia yang terdiri dari Darwin Nugraha, Fajar Nugroho, Eddie Cahyono, Dwi Sujanti dan berhak atas Geber Award. Sementara The Other Half karya Ying Liang dari Tiongkok meraih penghargaan Netpac Award sebagai film panjang terbaik versi juri Nerpac.

Panitia JAFF juga memberikan penghargaan Gayeng Award kepada film Dikerjai Preman Part I karya Afrizal. Blencong Award jatuh pada film A Very Boring Conversation karya sutradara asal Indonesia Edwin dan film Speci Men; karya sutradara asal Filipina, Ellen Ramos sebagai Special Jury Price.
Pages: 1 2 3 4 5 [6] 7 8 9 10 11 12 13
View full version: INDONESIAN MOVIES (Gallery and Discussion)


ADVERTISEMENT