CARI Infonet

 Forgot password?
 Register

ADVERTISEMENT

Author: jf_pratama

INDONESIAN MOVIES (Gallery and Discussion)

[Copy link]
 Author| Post time 2-9-2007 12:30 PM | Show all posts
Dian, Cantik Versi Indonesia
Ilham Khoiri

Bisa dibilang, Dian Sastrowardoyo (25) sudah menjadi salah satu ikon kecantikan dalam industri hiburan di Tanah Air sekarang ini. Tapi, belakangan, gadis ini malah mengkritik kriteria cantik yang diproduksi mesin citra yang membesarkan dirinya itu. Katanya, "Kecantikan itu hanya konstruksi sosial belaka."

Kami ngobrol dengan Dian Paramita Sastrowardoyo梑egitu nama lengkapnya梔i pinggir kolam renang di tengah rumah tantenya, Marina Sastrowardoyo桺uteri Duta Remaja Indonesia 1975梔i kawasan Bangka, Jakarta Selatan, Kamis (30/8) lalu. Pakaian bersahaja yang dikenakan dan suasana senja yang hangat membuat penampilan dara ini begitu santai, segar, dan nyata.

Itu berbeda dengan citranya sebagai selebriti yang gemerlap dan seolah tak terjangkau, sebagaimana terpampang dalam iklan-iklan kecantikan di layar televisi, majalah, atau baliho di jalan.

Dian seperti baru memperoleh pencerahan tentang hakikat kecantikan. Jika ketemu lawan diskusi yang asyik, dia bakal antusias membongkar kompleksitas industri kecantikan. Biar lebih meyakinkan, gadis itu tak segan membuka laptop untuk membeberkan foto, data, bagan pemikiran, atau sejumlah teori filsafat dan budaya yang berbau "akademis".

"Kecantikan itu konstruksi politis dari ideologi masyarakat yang plural dan berubah-ubah. Siapa pun bisa mendefinisikan kecantikan sesuai dengan kriterianya sendiri," katanya. Ini kritik serius terhadap anggapan umum, bahwa kecantikan merupakan esensi dalam tubuh perempuan yang terbentuk secara alamiah.

Dia fasih membicarakan kecantikan sebagai produk budaya. Ketika menukil penggalan teori budaya dan filsafat梥eperti pemikiran Immanuel Kant, Michel Foucault, Karl Marx, Julia Kristeva, atau Jean Baudrillard梱ang kerap diungkapkan dalam istilah Inggris梩ampangnya sangat serius.

Maklum saja, tema ini jadi kajian skripsinya yang berjudul Kompleks Industri Kecantikan: Sebuah Kritik Sosio Filosofis. Penelitian itu lolos sidang akhir dengan penguji dua dosen Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Tommy F Awuy dan Embun Kenyowati Ekosiwi, di Jurusan Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, pertengahan Juni lalu. Pembimbing skripsinya adalah Rocky Gerung. Begitulah, setelah enam tahun kuliah, gadis itu kini jadi sarjana humaniora.

Dian menjelaskan, konsep kecantikan selalu berubah-ubah, seperti terlacak dalam pergeseran budaya di Eropa-Amerika. Pada zaman kerajaan, cantik identik dengan wanita berpinggul besar sebagai simbol kesuburan dan berkulit pucat yang menggambarkan kelas atas yang tak pernah ditimpa terik matahari. Citra tubuh montok bertahan hingga zaman Marilyn Monroe di Amerika. Tapi, lewat penampilan model Twiggy yang kurus-seksi, konsep cantik kemudian lekat dengan tubuh yang kerempeng dengan pinggang kecil.

Belakangan, kecantikan mengacu pada pemikiran kaum postfeminis, yang dengan sadar mempermainkan citra cantik dan seksualitas demi memperkuat kekuasaan perempuan. Di situ, perempuan jadi obyek sekaligus subyek, seperti Madonna yang mempermainkan citra dirinya yang menggoda. "Beauty is still in the making, kecantikan masih terus dalam proses menjadi," simpul Dian.

Dalam zaman kapitalisme terkini, citra cantik itu menjadi permainan rumit dengan melibatkan kepentingan dari industri kecantikan, obat-obatan, kesehatan, dan industri iklan. Masyarakat bisa jadi korban mode yang dikembangkan produsen untuk keuntungan pasar.

Lantas, dalam situasi semacam itu, bagaimana dengan Dian sendiri yang terlibat dalam proyek industri kecantikan? "Saya jadi korban, pelaku, sekaligus saksi," katanya.

Korban

Dian merasa jadi korban industri kecantikan sejak mengawali debutnya sebagai Gadis Sampul tahun 1996, lalu jadi model untuk banyak iklan. Saat itu, dia merasa hanya sebagai obyek yang harus merawat tubuh demi memenuhi parameter cantik yang ditentukan industri. Itu masih menghinggapinya sampai dia terpilih jadi salah satu bintang iklan sabun Lux tahun 2002.

Dalam acara-acara show di beberapa kota, Dian merasa aneh ketika dijajarkan di antara bintang-bintang lain yang punya campuran darah asing (indo), seperti Tamara Bleszynki, Luna Maya, dan Mariana Renata. Para perempuan indo itu telanjur sudah dicap cantik karena berkulit putih, hidung mancung, dan bertubuh tinggi, sedangkan Dian berkulit sawo matang dan tingginya hanya 160-an cm.

"Saya sempat minder, merasa tidak cantik. Saya seperti orang yang salah tempat. Posisi saya semestinya digantikan orang lain yang lebih tinggi dan berkulit putih. Itu berlangsung sampai sekitar 1,5 tahun kemudian," katanya.

Baru empat tahun belakangan, Dian benar-benar menemukan kepercayaan diri: ada kecantikan yang berbeda dari citra perempuan indo. "Bukankah saya sama dengan kebanyakan perempuan Indonesia? Saya tak terlalu tinggi, tapi manis. Kulit sawo matang, tapi bersih. Kalau mengenakan dandanan yang cocok, saya juga menarik. Saya cantik!" katanya.

Bermodal kepercayaan pada kecantikan versi Indonesia itulah, Dian berusaha jadi pelaku, subyek, dan bukan lagi korban. Perempuan lain diharapkan juga menghargai kecantikan yang muncul dari keunikan pribadi masing-masing. Kecantikan tak terpaku pada dimensi visual, tapi bisa terpancar dari karakter, perilaku, atau pengetahuan.

"Akhirnya saya juga bisa bermain dengan kecantikan, play with your beauty. Keterlibatan saya dalam industri kecantikan saya manfaatkan untuk jadi saksi sekaligus detektif. Kalau ada kejahatan yang dilakukan industri terhadap perempuan Indonesia, saya akan berbuat sesuatu," katanya bersemangat.

Punya sikap

Dian termasuk artis yang punya sikap dan kesadaran berpikir. Kritiknya pada citra cantik yang diproduksi mesin industri hiburan yang membesarkan namanya itu membuat dia menyempal dari arus umum artis sekarang yang manut-manut saja dikendalikan pasar. Pilihan untuk kuliah filsafat cukup menjelaskan, bagaimana gadis ini suka mengasah gagasan dan berpikir kritis. Di sela kesibukan, dia masih meneruskan kebiasaan membaca novel atau buku pemikiran.

"Keluarga saya itu keluarga akademis yang suka seni dan sastra. Dulu, saya mau jadi model biar dapat uang untuk biaya kuliah di luar negeri. Ternyata, saya keterusan nyebur. Tapi, saya tetap menjalani ini dengan kesadaran kritis," kata Dian, yang biasa menyebut sastrawan Subagio Sastrowardoyo dengan panggilan "Eyang Bag".(Jimmy S Harianto)
-------




[ Last edited by  jf_pratama at 2-9-2007 11:34 AM ]
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 2-9-2007 12:37 PM | Show all posts
Dian Sastro: Mau Naik Tingkat

Sepert ibanyak artis muda lain yang tengah bersinar sekarang ini, Dian Sastrowardoyo juga memasuki industri hiburan lewat ajang Gadis Sampul. Kerja keras dan keberuntungan menuntunnya jadi aktris papan atas. Tapi,di tengah gemerlap dunia selebritis, dia tetap bersikap kritis.

Saat duduk di kelas II SMP, dalam usia 14 tahun, Dian menjuarai ajang GadisSampul tahun 1996. Kemenangan itu membukakan banyak peluang. Selain tampil sebagai model banyak produk, dia juga laris menjadi model untuk video klip, seperti untuk lagu-lagu grup Peterpan, T-Five, Dewa, Shelomita, Katon Bagaskara, Sheila on 7, dan KLA Project.

Saattertarik dengan dunia akting, Dian tidak lantas terjun dalam sinetronyang menawarkan jalan pintas menuju populer. Dia malah memilih mainserius dalam film independen, Bintang Jatuh (tahun 2000).

Setahun kemudian, dia sudah berani beradu akting dengan beberapa artis senior dalam Pasir Berbisik (2001). Film ini memberinya penghargaan Best Actress dari Asian Film Festival, Deauville, Perancis, tahun 2002, dan Best Actress dari the 15th Singapore International Film Festival 2002.

Film yang benar-benar mengangkat namanya adalah Ada Apa Dengan Cinta? (2002) yang mencapai rekor penonton tertinggi saat itu. Perannya yang cemerlang dalam film garapan sutradara Rudi Soedjarwo itu mengantar Dian mengantongi penghargaan Best Actress dari Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2004. "Saya dan teman-teman lain bisa latihan total untuk film itu selama tiga bulan sampai ngelotok. Saat shooting, kayak tinggal peragaan saja," katanya.

Setelah itu, tawaran main film berdatangan. Dalam waktu setahun, Dian muncul dalam tiga film sekaligus, yaitu Banyu Biru (2005), Ungu Violet (2005),dan Belahan Jiwa (Soulmate, 2005). Tetapi, film-film ini tak terlalu sukses.

"Ada peran saya yang kurang maksimal karena latihanterburu-buru atau ada perubahan cerita mendadak," katanya.

Hingga tahun 2005, Dian masih menolak main sinetron. Alasannya, cerita drama serial televisi selama ini cenderung melecehkan akal sehat dan tidak menggambarkan kondisi psikologi sosial. Padahal, tontonan televisi  semestinya menawarkan tontonan yang berkualitas, mendidik, membumi, dan menghibur.

Baru tahun 2006, dia bersedia tampil dalam sinetron "idealis" yang diproduksi Sinemart, berjudul Dunia Tanpa Koma. Sayang, proyek yang melibatkan banyak artis papan atas itu tak memperoleh rating bagus."Mungkin ada sesuatu yang missed di situ sehingga tidak sukses. Tapi,setidaknya kami telah mencoba berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan," katanya.

Sekarang,apa lagi yang diinginkan Dian? "Sebagai aktor, saya mau naik tingkatdengan mengeksplorasi diri lebih dalam. Tapi, saya juga ingin belajar menulis naskah dan jadi produser," katanya. (iam/sha)

[ Last edited by  jf_pratama at 2-9-2007 11:44 AM ]
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 2-9-2007 12:53 PM | Show all posts
Cintapuccino

(Drama,107 minutes) Starring Sissy Prescillia, Miler, Aditya Herpavi, NadyaSaphira, Ida Kusumah. Directed by Rudy Soedjarwo. Produced by SinemartPictures.

       

Here's another best-seller adaptation, with a premise about as enticingas a day-old cup of stale, cold coffee, but director Soedjarwo (whoa,he's done it again!) has turned it into an enjoyable chick flick.

Rahmi (Prescillia) is about to be married to a too-good-to-be-truehusband (Herpavi), but is having doubts when the guy she's beenobsessing about since high school (Miler) turns up and confesses hislove for her.

Although decently written, there's really not much to expect from thestory, with everything pigeon-holed so willingly into the fluffy chickflick formula.

The film therefore kind of puts the burden on the charm of the leadinglady to keep audiences interested; Prescillia is pitch-perfect.

Clearly, this film belongs to her. She wins your heart in an instantwith her adorable, Bridget Jones-ian persona, but that's not all shehas to offer.

She acts out her relatively simple character with nuance and tangiblecharacter development. She can be funny and emotive, has excellentreactions, and seeing her acting on screen is like putting a magnifyingglass to her character, where a twitch of a face muscle tells millionsabout her character's emotional struggle.

Soedjarwo knows this very well, and his directing takes this to itsadvantage. He knows when to go close-up on her, and let the cameralinger on her face for it to tell a story by itself. I never expectedthat such a lightweight role could deliver one of the most absorbingperformances this year.

The film also boasts a respectable supporting cast. Herpavi isespecially affecting, and it's fun to see Saphira -- as Rahmi's cousinand voice of reason -- sharing screen time with Prescillia. (Saphiraplayed Prescillia's character for the TV series version of Prescillia's2002 movie Ada Apa Dengan Cinta?)  

Soedjarwo directs with great care for his characters, and he certainlyknows how to get the most from his cast. He extracts good performancesfrom most, and orchestrates amusement, poignancy and awkwardness,relying solely on his actors' interaction.

Miler, on the other hand, is a missing target. He is not as bad aseveryone had expected him to be in a big role (after some worryingsmall parts in Bukan Bintang Biasa and Kangen). However,although the script already provides a reason for his unearthly accent,it's still a distraction, and it fractures his supposedly charismaticpresence as someone that our heroine can obsess about for so long.

Thank Prescillia, though, for saving the day. *** (out of *****)

[ Last edited by  jf_pratama at 2-9-2007 03:44 PM ]
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 2-9-2007 01:47 PM | Show all posts
'Lucky Miles': Sawung Jabo restarts film career 25 years on
Cynthia Webb, Contributor, Brisbane, Australia

Michael James Rowland, director of the recently released debut feature film, Lucky Miles, stated on national radio that the last time an Indonesian character appeared in an Australian film, was 25 years, ago, in The Year of Living Dangerously (1982) directed by Peter Weir.

It seems Australia has not yet come to grips with the reality of ourSoutheast Asian identity. It's interesting that the young Sawung Jaboalso had a walk-on part and one line of dialog in The Year -- a well-respected film, starring Mel Gibson and Sigourney Weaver.  

It was banned in Indonesia during the Soeharto era, since its subjectwas the events of 1965 and the fall of Sukarno's government.
Jabo divides his time between Sydney, where his wife Suzan Piper andtwo children are located, and Indonesia, where he is maintaining hiscreative and musical career.

He has quite a major part in Lucky Milesalong with Arif Hidayat, of Sydney, playing the boat's "best mate". Thethird Indonesian character, Ramelan, is played by Asian-Australianactor Srisacd Sacdpraseuth, who looks convincingly Indonesian.

Rowland also explained to radio listeners that perhaps here Sawung Jabois unknown; however, "He's the Bruce Springsteen of Indonesia. You canask almost anyone in any city or village in Indonesia, 'Do you know whoSawung Jabo is?' and they will know."

Of course Indonesians know that Jabo penned and sang, (with Iwan Fals,and also their music group Swami), some of the anthems of politicalchange.

Humanizing illegal immigrants  

Rowland expressed concern about the lack of understanding demonstratedby Australia of the huge and important country to our immediate north. "However, they (the government and general populace) are the sametoward Papua/New Guinea, the Solomon Islands and other Pacificneighbors.

"Whathave we done in terms of understanding our own region? I have traveleda lot in my local region of Southeast Asia and the Pacific. I was oneof those who took seriously the idea 'know your own neighborhoodfirst'."

Brisbane filmmaker Suzanne Howard is currently working on a documentary on Jabo's interesting life.  

Lucky Mileswill have its Asian premiere in the Pusan (South Korea) Film Festival,which runs from Oct. 4 through 12. The movie has already won theAudience Poll for best film at the Sydney Film Festival 2007 and theprestigious Jury Prize at the Karlovy Vary Film Festival in the Czech Republic.

The film is a balance between drama and wry comedy about the serioussituation for illegal immigrants who find themselves lost in theAustralian wilderness.

In the past, illegal immigrants were usually victims of unscrupulouspeople-smugglers, who took advantage of their desperation and ignoranceof Australia. Lucky Miles cleverly melts away their "otherness" as we come to identify with them as fellow humans in a bad situation.  

Set in 1990, Lucky Milesis based on a combination of true stories told to writer-director Rowland, and all of the things written into the script occurred around 1989-1993.

Toput this in perspective, it was in 1992 that the government's policy ofmandatory detention of unauthorized arrivals to Australia wasimplemented, well before major concerns relating to terrorists appearedon the radar screen.

The comedy aspect came about almost by accident, provided by theextremes of bizarre and contradictory realities confronted by theprotagonists, who find themselves in a land unlike anything they couldimagine.

Cultural divide  

The bewilderment of the strangers in an extremely strange land createscomic situations and some amusing dialog. The Iraqi refugees wonder about the wisdom of coming to Australia at all. "Where are the people,the Australians? How can you walk all day and not see any people? Whyhaven't we heard of their soccer team?"

When the Cambodian refugees see a half-buried drink can, they think itmay be an unexploded mine, throw a rock at it and hit the ground.
Another man is attacked by a goanna (large lizard) that springs ontohis back, which he thinks is a devil rising out of the ground.

The Indonesians talk about the skimpy clothing and possible loose waysof Australian women. Abdu is grinning with anticipation, but Muluksays, "I prefer Indonesia, a good Muslim country. Australians drinkalcohol and smell like monkeys."

None has a clue where they are, or just how far it is to anywhere.Eventually Youssif, Ramelan and Arun, who have ended up stuck with oneanother, find a deserted hut where there is a map of Australia under agirlie pin-up on the back of the door, which reveals the awful truth.
They are on the edge of a desert the size of Poland, 2,000 kilometers from Perth, and about 300 km across desert from Broome, the nearestcoastal town.

After a lot of tragi-comic events, the film ends with only one of thewanderers avoiding capture and reaching his destination, where we areleft wondering about his future.

One critic said Lucky Milesis a road movie without the road. However, it also touches on seriousissues of the increasing world refugee crisis and the cultural dividebetween East and West, which sometimes seems as big as the Pilbara Desert country that these unfortunates are lost in.

The ironic thing is that Australia was founded mostly by "boat people".The unwanted were sent out from England to Botany Bay (now Sydney) convict settlement. However, modern Aussies now proudly trace theirheritage back to one of the transported convicts and feel like "real Aussies".

Inlater times Irish, English, Middle-Easterners and Europeans fleeingWorld War II came in ocean liners. From the 1970s many others arrivedby air, including many Southeast Asians, although some of these werealso desperate illegal "boat people" who risked their lives to reachour inhospitable-looking northwestern shores.

Some died trying. Australia is now very much a multicultural nation.  

Perhaps Michael James Rowland is quietly implying that the present government should have more compassion.                                



[ Last edited by  jf_pratama at 2-9-2007 12:55 PM ]
Reply

Use magic Report

Post time 8-9-2007 01:26 PM | Show all posts
Film Cheng Ho dan Yusril Ihza Mahendra


Oleh Bahrul Alam


19/08/07 00:18


Film serial drama kolosal "Laksamana Cheng Ho" diharapkan bisa ditonton di enam negara Asia, yakni Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan China awal tahun depan, kata mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, yang membintangi film tersebut.

Yusril, Selasa (14/8) di Studio Kantana, di Jalan Ratchadaphisek, sekitar 40 kilometer dari kota Bangkok, Thailand, mengatakan, film drama berdurasi 48 menit yang akan diproduksi dalam 26 episode itu diharapkan akan menjadi tontonan menarik karena sosok Laksamana Cheng Ho adalah simbol pemersatu bangsa-bangsa di Asia Tenggara pada abad ke-12.

Film yang didukung oleh 6.000 aktris dan aktor enam negara tersebut adalah hasil produksi kerjasama Kantana Group Public Company Limited (perusahaan film Thailand) dengan Jupiter Company Global Film Limited dari Indonesia.

Film kolosal Laksamana Cheng Ho yang dibuat dengan biaya sekitar Rp27 miliar atau sekitar tiga juta dolar AS itu disutradarai oleh Nirattisai Kaljareuk - sutradara asal Thailand yang mengantungi 29 anugerah perfilman itu.

Film kolosal Cheng Ho diangkat dari biografi Admiral Cheng Ho yang hidup pada zaman Dinasti Ming, abad ke-12.

Cheng Ho terlahir sebagai anak dari Ma Ha Zhi ketika terjadi pemberontakan bangsa Mongol di China. Ayahnya kemudian menamakan si bayi lelaki Cheng Ho Ma He yang artinya Damai.

Kematian ayah dan abangnya, serta penculikan yang menimpa ibu dan saudara perempuannya mengubah hidup Ma He kecil menjadi seorang sosok legendaris dengan nama Laksamana Cheng Ho.


Kasim yang berprestasi

ebelum menjadi laksamana, Cheng Ho adalah seorang pelayan istana atau kasim.

Pengabdiannya di istana sebagai seorang kasim dilakukannya untuk membebaskan ibu dan saudara perempuannya dari tawanan kerajaan.

Selama pengabdiannya di istana, Cheng Ho memperlihatkan prestasi yang baik.

Akhirnya kaisar waktu itu memberinya kepercayaan untuk memimpin armada China guna melakukan misi dagang dan diplomasi ke berbagai negara di kawasan Asia dan Afrika.

Menurut Yusril Ihza, selama memimpin ekspedisi laut ke 30 negara di Asia dan Afrika, Cheng Ho mengerahkan 200 kapal dan 30 ribu prajurit.

Perjalanan Cheng Ho dan armadanya tidak dilakukan sekaligus.

"Cheng Ho melakukannya dalam delapan kali penugasan," kata Yusril di sela-sela pengambilan gambar di Studio Kantana.

Yang sangat menarik, kata Yusrl, peran yang dibawakan Cheng Ho tidak hanya melulu berdagang dan diplomasi.

Sebagai penganut agama Islam yang taat, Cheng Ho juga melakukan syiar Islam ke setiap negara yang dikunjunginya.

Bahkan, Cheng Ho juga pernah menangkap Raja Srilanka waktu itu dan membawanya ke China karena dinilai telah melakukan kejahatan yang bertentangan dengan kesepakatan agama-agama yang dianut ketika itu, yaitu Hindu, Buddha, dan Islam.

Dalam menegakkan syiar Islam, Cheng Ho membawa statuta tiga agama (Hindu, Buddha, dan Islam) yang bertuliskan bahwa ajaran ketiga agama tersebut melarang perbuatan membunuh, merampok hak-hak orang, dan memperkosa.


Kendala Bahasa

Menurut sutradara Nirattasai Kaljareuk, kendala utama dalam membuat film Cheng Ho adalah bahasa.

Skenario film harus dibuat ke dalam enam bahasa (China, Vietnam, Malaysia, Kamboja, Thailand, dan Indonesia).

Saat ini proses produksi baru selesai 30 persen. Sisanya akan dilanjutkan di Jakarta dan China.

Diharapkan Oktober mendatang seluruh pengambilan gambar sudah selesai.

Di Indonesia, pengambilan gambar akan melibatkan aparat.

"Hal itu akan lebih mudah," ungkap Sony, ketua rombongan wartawan Indonesia ke Thailand, yang juga salah seorang CEO dari Holding Company PT Jupiter Global Film Company.

Menurut Yusril, pengambilan gambar di Nanjing (China) akan melibatkan 4.000 artis pendukung.

Di sana, banyak objek bersejarah yang mendukung alur cerita Laksamana Cheng Ho, seperti bangunan masjid yang masih utuh.

Cheng Ho memang lahir di Nanjing, namun dia memeluk Islam ketika berada di Yunnan.


Diplomasi Budaya

Selain Yusril yang menjadi bintang utama film Laksamana Cheng Ho, keunikan lain adalah pemeran pendukung dipercayakan kepada mantan Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Saifullah Yusuf sebagai Raja Majapahit.

Selain itu, pesan yang diangkat melalui film sekaligus mengusung nilai-nilai Islam, globalisasi, dan penyebaran semangat kebersamaan dan perdamaian di antara bangsa-bangsa Asia dan Afrika.

Menurut Duta Besar Indonesia di Thailand Ibrahim Yusuf, film itu juga membawa pesan diplomasi damai di antara sesama negara anggota ASEAN.

Oleh karena itu, ia berharap film tersebut bisa menjadi alat diplomasi budaya yang efektif dalam menciptakan kembali rasa kebersamaan di antara sesama bangsa dan negara di Asia Tenggara.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal ASEAN Dr. Surinpitsuan, dalam pidato singkatnya di depan para wartawan dari Thailand dan Indonesia juga menegaskan dukungannya kepada semua pihak yang terlibat di dalam proses produksi film Cheng Ho.

Menurut Sekjen ASEAN, mengangkat sosok Cheng Ho ke layar televisi akan menjadi sesuatu yang sangat positif dalam merajut kembali semangat kebersamaan di antara negara-negara ASEAN.

Sebagai ilustrasi, Surinpitsuan mengingatkan kembali bagaimana ASEAN lahir 40 tahun silam, yaitu karena jasa besar seorang diplomat Indonesia yang memiliki visi ke depan yang sangat jauh tentang perlunya kebersamaan di antara bangsa-bangsa di ASEAN, yaitu Adam Malik. (*)

Copyright
Reply

Use magic Report

Post time 8-9-2007 09:18 PM | Show all posts

Reply #145 HangPC2's post

Perrgh bunyi best je,konfirm mesti tengok punyer ar.
Reply

Use magic Report

Follow Us
 Author| Post time 9-9-2007 04:06 PM | Show all posts
'Opera Jawa': Traditional mixed with contemporary                                                                 Cynthia Webb, Contributor, Gold Coast, Australia

Garin Nugroho, director of the feature film Opera Jawa,says that for him it is "not only a film, but a library," meaning thatit is a valuable historical record of Javanese culture, both ancientand modern.

It is Garin's 14th film, and he is probably the best-known living film director from Indonesia.

It is a retelling of the Sinta Obong section of the Ramayana Story,(The Abduction of Sinta) -- that you can see performed at Prambanan,Yogyakarta, under the full moon during the dry season.

Here it is told in Javanese dance, song and gamelan music, composed bymusician Rahayu Supanggah, from Surakarta, who uses the Karawitantraditions.

Itis an opera, and has no spoken dialog. It also features a singingstoryteller, Slamet Gundono, who helps move the story along.

There is also a quartet of men at a warung(food stall), talking (in song) about political and social matters, who also function like the chorus in classical Greek drama.

The dances include the Bedoyo, a sacred dance performed by nine femaledancers that depicts the encounter of Panembahan Senopati with KanjengRatu Kidul, Queen of the South Sea.

Tradition says that if you watch very carefully you can sometimes see a10th dancer, when the Queen herself joins the dancers.

There is some amazing modern choreography. Opera Jawauses spectacular art installations as film sets, designed by some ofIndonesia's leading contemporary artists -- Agus Suwage, NindityoAdipurnomo, S.Teddy D, Hendro Suseno, Titarubi, Sunaryo, and EntangWiharso.

Modern setting, ancient theme
  
The story has been translated to a setting around 1997/98 as Indonesiarises up in popular demonstration against the Soeharto dictatorshipafter the financial crisis.

Sinta is now Siti, and Rama is now Setyo, a married couple who earntheir living as potters, perhaps at Kasongan, the pottery village ofYogyakarta.

However, in the past they were both performers in the Ramayana ballet.Siti no longer dances, as it is customary that when a Javanese femaledancer marries, she retires from dancing out of respect for herhusband.

Thefiery Ludiro represents Rahwana, the abductor. He, too, once dancedwith them in the role of Rahwana, and has always desired the lovelySiti.

Now hepulls out all stops to seduce her. Meantime, her husband's fortunes aresinking and so are his spirits, as he loses his money, his businessfails and he realizes that he's losing his wife's heart as well.

No wonder Siti is tempted by the exciting and dangerous Ludiro, sincehe's wealthy and powerful and her husband is moping and seems to be atthe end of his tether.

The confident Ludiro insults her, caressing her face with his foot andflicking his endless lengths of red cloth in her face, yet still she isfascinated.

Ludiro is one hell of a dancer, and steals the show in his visceraldance scene in the abbatoir and in several scenes featuring thestunning art installations.

Eventually, Setyo has nothing left to lose and joins the angrydemonstrators leading troops of his own, mounted on a symbolic stallionemblazoned with the slogan "Viva la Muerte" (Long live Death).
  
The troops angrily chant about being tired of being taken for granted, treated like oxen,.
  
The costumes and locations are a treat for the eyes, and the retellingof this timeless tale uses metaphors, many of them taken from ancienttradition.

Siti represents the earth itself, as she is fought over, pulled this way and that, in the conflicts of men.

She sings, I am the earth, tilled by the plow, I am replete with blessings. I, Siti, am praised. In me grow flowers and crops ...   

While all the turmoil outside unfolds, in the ancient kraton, (sultan's palace) the stillness is maintained, the singers chant, in rhythm with a beating heart: Whencomes the time of fallow earth, of death and dust and barren land, Justas it was for Rama and Sinta, who no longer recognized their world,what remains is faithlessness. Praises and prayers, woven with life.And yet one may as well wait for stones to float on water. Only God isalmighty.  

The kraton's traditions endure and provide emotional/spiritual security in a rapidly changing world.

  


[ Last edited by  jf_pratama at 9-9-2007 03:21 PM ]
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 9-9-2007 04:08 PM | Show all posts
'Opera Jawa': Traditional mixed with contemporary                                                               
Cynthia Webb, Contributor, Gold Coast, Australia

Visual feast

  
At the live Ramayana performance at Prambanan, Yogyakarta, there is ahappy ending, with Rahwana killed and the lovers reunited, Sinta'spurity proven.

Rama and Sinta recall the Loro Blonyo couple, which Javanese like to have in the home as a blessing.

However, Siti's final "test of fidelity" is a fatal revenge and Setyo sings  in my heart lies justiceas he is led away, having possessed her heart for a short time --holding it in his blood-soaked hands while he sings, "You are thesetting of a dispute, an object without boundaries, Oh hati, hati,scream, speak".

Rice sprouts in the sand on the beach where Siti's blood was spilled,confirming her status as symbolic of the fecundity of the earth.

The final scene shows a Labuhan procession on the beach, as seen acouple of times a year, between Parangtritis and Parangkusumo, when theYogyakarta Kraton and the people of the Pesisiran (beach vicinity) givethanks in the form of elaborate offerings to Ratu Kidul, the Queen ofthe South Sea.

Setyo is played by Martinus Miroto, a well-known dancer fromYogyakarta. Siti is portrayed by Artika Sari Dewi, whileinternationally known dancer Eko Supriyanto plays Ludiro with greatpassion. (Eko has danced with Madonna in her Drown World Tour of Europeand the U.S.)

Sukesi, the mother of Ludiro, is played by Retno Maruti who once performed in the Ramayana presented at Prambanan temple.

Funding to make this gorgeous film came as part of The Vienna MozartYear 2006, the 250th anniversary of Mozart, who was Austrian.

Part of this massive celebration was The New Crowned Hope Festival, andartistic director Peter Sellars decided to commission entirely newworks from contemporary international artists, in the fields of music,theater, dance, architecture, visual arts and film.

All that was required was to use Mozart's themes as both inspiration and a springboard.

Opera Jawais like nothing you've ever seen on screen before -- a tremendousvisual feast. Garin Nugroho has indeed created a valuable document ofJavanese traditional story, music and dance and blended it with modernIndonesian history and contemporary arts, in a wonderful way.

This is a must-see movie for art, music and film lovers; if you knowand love Yogyakarta, you will lose yourself in it and never want tocome out.

Itcertainly helps to come to it with prior knowledge of Javanese culture.Perhaps it's almost a little too rich and opulent for some, but I amwaiting impatiently for the DVD.

Opera Jawa has been seen in film festivals around the world during the past year,to great acclaim from critics everywhere. **** (out of *****)

[ Last edited by  jf_pratama at 9-9-2007 03:47 PM ]
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 9-9-2007 05:38 PM | Show all posts


"Genderuwo", Mengejar Mitos yang Tersisa

Film:Genderuwo
Sutradara: KK Dheraaj
Pemain : Davina Veronica, Robby Shine, dan Indah Kirana
Skenario : KK Dheraaj
Genre : Horor
Produksi : K2K Production

Tiap daerah di Indonesia mengenal banyak jenis makhluk halus.Masing-masing mempunyai sebutan khusus. Belakangan sejumlah nama sudahdijadikan judul film. Sebut saja Pocong, Kuntilanak, dan Leak. Kini, sutradara KK Dheraaj, menggarap film Genderuwo, makhluk halus mitologi masyarakat jawa.

arijudulnya sudah bisa dipastikan film ini bergenre horror. Bahkan dalampromosi, film ini mencoba menantang nyali penonton untuk menyaksikanhantu yang diklaim sebagai hantu paling seram itu. Konon, hantugenderuwo adalah hantu yang berwujud seperti raksasa bertubuh tinggibesar dan berbulu tebal.

Film garapan sutradara Dheraaj ini dibintangi oleh Davina Veronica,Robby Shine, dan Indah Kirana. Dheraaj tidak hanya menjadi sutradarasaja dalam film itu, ia juga merangkap jabatan sebagai produser danpenulis skenarionya. Genderuwo menjadi tantangan besar untuk seorangsutradara yang tahun ini menginjak usia 25 tahun.

Genderuwo berkisah tentang seorang penulis novel yang bernamaRai (Robby Shine). Ia memiliki cita-cita untuk menjadi penulis yangterkenal. Bahkan untuk mengejar cita-citanya itu, ia cenderungmengabaikan sang istri, Asti (Indah Kirana).

Akan tetapi semenjak Rai menulis novel tentang genderuwo, ia selalumerasa tidak tenang dan selalu merasakan kejadian-kejadian aneh. Hinggasuatu satu saat, sang istri menggugat Rai agar lebih memperhatikannyadaripada menulis novel. Rai malah membunuh Asti. Dirinya seakan-akanberubah menjadi orang lain.

Rai pun ditangkap polisi dengan tuduhan pembunuhan itu. Namun saatdilakukan persidangan atas dirinya sering kali Rai berubah kepribadian,sehingga majelis hakim meminta Rai untuk di rumah sakit jiwa hinggasembuh. Saat dirawat itulah, Rai berhasil kabur dari rumah sakit. Dalampelariannya itu, Rai kemudian bertemu dengan genderuwo dan arwahpenasaran.

Sebagai film bertema horor yang biasanya mengandalkan ketegangan dalam setiap adegannya, Genderuwo tidak memaksimalkan alur cerita untuk membangun ketegangan itu. Bahkan film ini cenderung beralur lambat.
Skenario yang ditulis oleh Dheraaj sepertinya juga tidak lengkap.Alhasil ada adegan-adegan dalam film yang mungkin cukup mengganggu.Seperti misalnya saat dalam pelarian Rai berhasil menemukan sebuahrumah persembunyian. Rumah itu ditinggali oleh wanita cantik yangdiperankan oleh Davina Veronica.

Suatu malam, mereka merasa kelaparan tapi tidak punya makanan. Rai punpergi untuk mencari makanan. Mereka mengingat kondisi malam yang telahlarut, ia tidak berharap akan menemukan penjual makanan. Saat ituditampilkan gambar rumah persembunyian Rai yang besar dan seram. Tetapiketika melangkah keluar gerbang dan hanya beberapa langkah ternyata adapenjual nasi goreng dengan tendanya. Padahal sebelumnya lingkunganrumah itu disuasanakan sangat sepi. Pemunculan penjual nasi goreng itupun menjadi terkesan dipaksakan.



Tidak hanya itu, hantu genderuwo yang diklaim sebagai hantu terseramitu tak cukup menakutkan. Dheraaj hanya mengandalkan teknik kamera zoom in-zoom out untuk menimbulkan ketegangan. Sisanya cerita yang bertele-tele. Nama Genderuwopun sekadar tempelan belaka. Tak ada sepotong pun latar belakang budayamasyarakat Jawa yang mengenal dan menyebut Genderuwo. Penonton harusmenerima saja, alur cerita yang dipaparkan.

Film inimengandalkan beberapa hal seperti menggunakan tata rias dari Amerika,proses editing di India dan sebagainya. Bahkan para pemain dalam Genderuwo mendapat pelatihan dari aktor teater terkenal Jose Rizal Manua.

Pemeran Rai, Robby Shine, pun mengaku mendapat pelajaran banyak saatdilatih oleh Rizal Manua. Aktingnya dalam film itu pun memang terlihatbanyak pengaruh gaya teater, apalagi Robby juga memerankan Rai saatberkepribadian ganda. Namun apa yang ditampilkan Robby kurangmemunculkan karakter Rai.

Ke depan Genderuwoakan bersaing dengan beberapa film sejenis, tidak hanya produksi dalamnegeri film-film musim gugur Hollywood pun cenderung bertema sama.Namun Dheraaj menyebutkan dirinya optimis memandang persaingan yangada.

"Kalau saya tidak optimistis, buat apa saya membuat film ini. Sebagailangkah awal, saya memilih horor karena genre ini yang pasti laku,"kata Dheraaj.

Tidak hanya itu, Dheraaj pun sangat percaya dengan kemampuannya menangani film ini hingga merangkap berbagai jabatan.

"Kalau saya sendiri mampu kenapa tidak? Makanya saya minta dukunganteman-teman wartawan untuk ikut mempromosikan film ini," kata Dheraaj,usai preview filmnya di Jakarta beberapa waktu lalu. [SP/Kurniadi]

[ Last edited by  jf_pratama at 9-9-2007 04:39 PM ]
Reply

Use magic Report

Post time 15-9-2007 05:40 PM | Show all posts
Bung Jeff kayaknya aktif bener di nih forum, gw juga seneng kok liat antusias orang luar dengan art,film or music kita..

malaysia jugak boleh larr.... ye tak?
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 16-9-2007 08:06 PM | Show all posts
Retelling Java and Ramayana on Film

Opera Jawa,director Garin Nugroho's latest work, was finally launched in Jakartalast week. It has the cheerfulness of a musical, as well as thesophistication of contemporary arts fusion. Garin spoke to one of The Jakarta Post's regular film reviewers, Lisabona Rahman, about it:

Lisabona Rahman: What is it about Java that attracts you?

Garin: Our world is growing more and more uniform. Cities look alike.Modernity creates uniformity. People forget that the future is also thepast and that every culture has its contemporary elements.

It's a shame to view Java, Minang, Papua as merely examples oftradition. I believe that every culture has its own incrediblepostmodern value.
We have great places of heritage like Borobudur and Sangiran. Even theorigin of humankind has a lot to do with Java. We also see that thereare a lot of contemporary terms using the word "Java", as in productsor in the cyberworld.

Java has transcended the border between the present and the future.  

You have adapted the story from the Ramayana epic. How did you reconstruct it?

I took a story that's called Sita Obong(Sita in Fire). I was interested in the theatrical version of theRamayana because our classic tales like the Mahabharata and Ramayanacontinue to survive due to their simplicity.

The stories can be interpreted not only at a simple level but also aphilosophical one. I chose the Ramayana because it's about a lovetriangle that fits perfectly the simple plot of musical films.

Was it a challenge for you to recreate the Ramayana as a film?

Not at all. Film is like a pen, it's a medium. It can be a stage or an eye. That's what I did in Opera Jawa; I integrated Broadway musical forms with Javanese wayang theater.  

I also used the unique character of opera in combining music, dance, drama and visual arts like installation and fashion.  

Film must always be open to the possibilities of different forms. Thefilm also combines two different story-telling styles, the realisticand the symbolic.

It has a beginning and an end that are related as cause and effect, buteach story element also has a symbolic relationship to the others.

Who are Sinta, Rama and Rahwana to you?

I show Rama and Rahwana as characters in our present world that alwaysreach to certain extremities. The powerful, the strong (in amilitaristic and financial sense) have little sense of sharing likeAmerica and George Bush.

The powerless, the poor who are deprived are angry and resort toviolence. Then there is Siti in the middle. Siti is Sinta, the landthat both sides are fighting over -- she is destroyed and troubled.

The characters are more symbolic than realistic and I think this is how we can talk about our present.  

Why did you decide to work with composer Rahayu Supanggah?

I am aware that my thinking is very fragmented and leaps from one thingto another. I needed someone who could fuse different elements together.

RahayuSupanggah has very solid base in Javanese culture, as well as excellentskills in both traditional and contemporary music.
He continues to go through journeys within himself that are vividlyshown in his works. He also creates both long and short compositionswith equally strict discipline.

His textual reference to Indonesian sounds and music is also very extensive. He had everything it took to do it.  

Did you experience a lot of surprises during the filmmaking, as with your previous films?

Yes, this is what happens when working with so many maestros. Artistswho had already established a great reputation featured in their ownscenes. Although there was a structured concept, there would always beunexpected occurrences that might create space for improvisation.

It was so full of surprises -- installations grew and changed so thatcameras needed to be repositioned, and so on. But the team had somegreat dialog that stimulated everyone.

There were some fascinating surprises, though not without some problems.                                 

[ Last edited by  jf_pratama at 16-9-2007 07:12 PM ]
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 21-9-2007 12:14 AM | Show all posts
POCONG-3, Muncul di Club Malam
Pocong-3


SETELAHsukses dengan 揚ocong 2
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 30-9-2007 12:29 PM | Show all posts
Saatnya Karya Mendikte "Rating"
DAHONO FITRIANTO

Akhirnya,sebuah sinetron dengan kemasan sederhana tetapi bernas muncul juga ditelevisi nasional. Dan terbukti, sinetron yang "menyempal" darikelaziman tren sinetron masa kini itu berhasil merebut hati penonton.

Sinekuis Para Pencari Tuhan (PPT) ditayangkan bukan di jam tayang utama,melainkan menjadi salah satu acara khusus bulan Ramadhan yangditayangkan setiap waktu sahur, pukul 03.00-04.30, di SCTV. Disebutsinekuis karena di antara alur cerita sinetron terdapat selingankuis-kuis dengan pertanyaan seputar isi cerita.

Dari sudut pandang rating dan share梔ua panutan utama stasiun televisi, yangdisurvei lembaga AGB Nielsen
Reply

Use magic Report

Post time 30-9-2007 12:47 PM | Show all posts
orang2 di malaysia harusnya lebih diperkenalkan dengan BANG DEDDY MIZWAR, dengan orangnya , dengan karyanya , dan dengan kerendahan hatinya. jangan BCL yang lebih dikenal .
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 30-9-2007 01:25 PM | Show all posts
Francine Roosenda, Tak Ada Kata Terlambat
DAHONO FITRIANTO

Sangatlah tidak sopan membicarakan usia seorang wanita. Namun, saat tahu usiaFrancine Roosenda sebulan lagi genap 25 tahun dan dia baru saja selesaimembintangi film pertamanya, tebersit pertanyaan, "Bukankah sudahterlambat masuk ke dunia hiburan dalam usia itu?"

Sedetikkemudian, saya tersenyum dalam hati menahan malu. Inilah saya, yangtelah menjadi korban propaganda citra dunia hiburan itu sendiri. Duniayang mencitrakan seolah sukses, ketenaran, dan ke-bintang-an hanyamilik muda-mudi belia yang masih serba cantik, segar, dan bersinar.

Padahal,di depan saya sedang duduk seorang gadis cantik, segar, bersinar,dan梥iapa tahu梥egera mendaki ke puncak tangga popularitas duniabintang negeri ini. Saya kira sudah cukup bicara tentang saya. Mariberkenalan lebih lanjut dengan dia.

Tak terpikirkan

Namalengkapnya Francine Roosenda Yacintha. Dia lahir di Jakarta, 27 Oktober1982. Jadi, bintangnya Scorpio. "Panggil saja aku Frey," pintanya.

Wajarsaja kalau banyak orang梩ermasuk saya梞asih bengong penuh tanda tanyasaat mendengar namanya pertama kali. Frey memang masih sangat baru didunia tempat orang-orang terkenal itu. Penampilan perdananya sebagaibintang film adalah di film Pocong 3 produksi SinemArt, yang baru bisaditonton di bioskop 11 Oktober nanti.

Sebelumnya,dia lebih menekuni profesi sebagai model freelance di bawah agensi 8Management dan F&G. Dengan profesi itu, ia beberapa kalimembintangi film iklan atau iklan cetak dan video klip.

KalauAnda pernah menonton video klip lagu Kangen Band yang berjudul TentangAku, Kau, dan Dia, atau pernah mencermati iklan produk kosmetik SkinWhite di televisi dan iklan BCA di media cetak, maka itu Frey yangmenjadi modelnya.

Namun,bahkan dunia modelling pun bukan profesi yang sebenarnya sejak duludiinginkan anak kedua dari empat bersaudara ini. "Bukannya saya takingin berkarier di dunia entertainment, tetapi sejak dulu gak pernahterpikirkan aja untuk masuk ke sini," kata Frey.

Menjajal keberuntungan

Semuanyaberawal dari iseng dan kebetulan. Dua tahun lalu, teman-teman Freymengajaknya ikut serta kontes modeling Wajah Femina. Meski semula agaktak antusias mengikuti ajakan teman-temannya itu, Frey akhirnyaikut-ikutan iseng mengirimkan foto. "Ternyata saya lolos sampai finaldan akhirnya jadi Juara 2 Wajah Femina 2005," kenangnya.

Sebagaifinalis kontes tersebut, ia secara otomatis dikontrak oleh F&GTalent and Modelling Agency selama setahun. Dan dimulailah kariernyasebagai model dengan membintangi beberapa iklan.

Tahunberikutnya, Frey mencoba lagi keberuntungannya dengan mengikuti kontesratu kecantikan Putri Indonesia 2006. Di luar dugaan lagi, ia menjadisatu di antara enam finalis yang mewakili Provinsi DKI Jakarta. Meskiakhirnya gelar Putri Indonesia jatuh ke tangan Agni Pratistha Arkadewidari Jawa Tengah, kontes tersebut membawa nama Frey ke tempat yangmakin benderang.

Ibaratkakinya sudah telanjur basah menginjak pantai dunia hiburan, alumniJurusan Computer Science Sunway College, Kuala Lumpur, Malaysia, inimemutuskan untuk menceburkan diri secara total di lautan yangmenjanjikan kesejahteraan materi dan ketenaran nama itu. "Beberapa kaliagensiku mengirimkan portfolio-ku ke casting-casting film, tetapi belumberhasil," tutur gadis yang makin lama dilihat makin manis saja ini.

Peran utama

Sampaiakhirnya beberapa bulan silam, rumah produksi SinemArt membuka castinguntuk mengisi peran film Pocong 3 yang digarap sutradara Monty Tiwa.Sekali lagi, 8 Management mengirimkan portfolio Frey. Frey diundangikut casting dan kali ini Dewi Fortuna ternyata ikut datang bersamadia.

Tidaktanggung-tanggung, pemilik tinggi 168 sentimeter dan berat 48 kilogramini langsung mendapat peran utama di film sekuel Pocong tersebut. Iamemerankan tokoh Putri, seorang DJ di sebuah dis****k yang baru sajaditinggal mati ayahnya.

Sepeninggalayahnya, Putri dihantui berbagai kejadian aneh, termasuk didatangisesosok hantu pocong di tempat tidurnya. Belakangan Putri baru sadar,pocong tersebut hadir untuk memperingatkan dirinya akan bahaya yanglebih menyeramkan lagi, yakni ilmu hitam warisan leluhurnya yang bisamembuatnya jadi jahat.

BagaimanaFrey, yang tak memiliki dasar akting sama sekali, bisa langsungmemerankan tokoh utama dan bahkan beradu akting dengan aktor seniorRina Hasyim? "Proses script reading sangat membantu sekali. Di sana,Monty juga sangat membantu saya. Sehingga waktu syuting, sudah tinggaljalan saja," kata perempuan berdarah Manado-Belanda-Padang-Jawa ini.

Hampirdapat dipastikan, apabila film ini mengulang sukses sekuel sebelumnya,nama dan wajah Francine Roosenda akan bersinar makin terang di orbitnasional. Sekadar sebagai catatan, film Pocong 2 dikabarkan berhasilmengumpulkan penonton hingga 1,2 juta orang.

Bagaimanarasanya bermain film? "Ternyata sangat menyenangkan! Saya punya harapantinggi di film, dan akan berusaha serius di sini. Itu kalau Tuhanmengizinkan," tandas Frey yang masih terlihat malu-malu saat menghadapipertanyaan para wartawan pada penayangan perdana film Pocong 3 di Planet Hollywood Jakarta, Jumat (28/9).

Terbukti,tak ada kata terlambat untuk sebuah sukses bagi Frey. Meski demikian,tetap saja menjadi bintang film bukan cita-cita utamanya. Lalu, apacita-citamu, Frey? Mahasiswi Jurusan Komunikasi Massa London School ofPublic Relations ini menjawab kalem, "Saya ingin jadi wartawan, sepertiMas...." (EDNA C PATTISINA)
                                                                                                                                                                                                                   

[ Last edited by  jf_pratama at 30-9-2007 12:27 PM ]
Reply

Use magic Report

Post time 30-9-2007 10:25 PM | Show all posts
Originally posted by donk3 at 30-9-2007 12:47 PM
orang2 di malaysia harusnya lebih diperkenalkan dengan BANG DEDDY MIZWAR, dengan orangnya , dengan karyanya , dan dengan kerendahan hatinya. jangan BCL yang lebih dikenal .


sbg org malaysia, aku se7 sama kamu.... bagus lag deddy mizwar kemana2 dr BCL yg tau nya pamer bodi hehehehe
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


1127lili This user has been deleted
Post time 1-10-2007 02:30 AM | Show all posts
Originally posted by QueenLove at 30-9-2007 10:25 PM


sbg org malaysia, aku se7 sama kamu.... bagus lag deddy mizwar kemana2 dr BCL yg tau nya pamer bodi hehehehe




إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Arab dance Views: 1,973,092
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 1-10-2007 10:32 PM | Show all posts
Horor Lebih Suram, Lebih Seram




Flm:  Kuntilanak 2

Sutradara : Rizal Mantovani
Pemain: Julie Estelle, Evan Sanders, Piet Pagau dan Bella Esperance Lie
Genre : Horor
Produksi : Multivision Plus

Kesuksesan Kuntilanak menghasilkan 1,5 juta penontondi Indonesia membuat Rizal Mantovani dan rumah produksi MultivisionPlus langsung tancap gas untuk memproduksi dua sekuel sebagai kesatuantrilogi Kuntilanak seperti yang sudah direncanakan.

** missed drop char ** ** missed drop char **ekuel pertama, Kuntilanak 2, akan mulai ditayangkan di bioskop-bioskop sejak 10 Oktober. Sementara Kuntilanak 3 akan mulai digarap produksinya November mendatang.

Kuntilanak 2 tetap menghadirkan tokoh utama Samantha (JulieEstelle) dan kekasihnya, Agung (Evan Sanders). Namun, di sekuel ini,Samantha menderita gangguan psikologis yang lebih kronis akibatpengaruh wangsit kuntilanak yang dimilikinya. Ia pun menjauhkan diridari lingkungan sekitar, termasuk sang kekasih. Padahal, jiwanya beradadalam bahaya karena sekte gelap Mangkoedjiwo berupaya menariknya kedalam lingkaran mereka.

Menurut Rizal Mantovani, Kuntilanak 2 memang bernuansa lebih suram dan dingin. Ia banyak bermain dengan tone warna tertentu yang menyiratkan itu semua. "Secara visual memang sangat berbeda dengan KuntilanakKuntilanak 2, di Jakarta, Kamis (27/9).pertama. Saya dapat ide film sekuel ini kala berada di Bangkok. Disana, saya dapat ide visual, gimana kalau tokoh-tokoh Kuntilanakberjalan-jalan di setting non-Jawa. Makanya, sekuel ini beda denganyang pertama yang memang Jawa banget," tutur Rizal dalam "press junket".

Secara tema, trilogi Kuntilanak memang dibagi tiga. Kuntilanak pertama menghadirkan tema discover atau penemuan, yang kedua pilihan, yang ketiga adalah destiny atau faith. Dari tiga tema itu, barulah Rizal dkk membuat kerangka cerita masing-masing film.

Yang juga membedakan, di Kuntilanak 2,sosok fisik tokoh kuntilanak ikut berubah. Dalam film yang pertama, sosoknya masih menyerupai hewan. Di sekuel ini, sosoknya lebihmanusiawi. "Kuntilanak Mangkoedjiwo itu semakin sering dipanggil, akansemakin nyata. Makanya tokohnya pun kian manusiawi, tak lagi menyerupai hewan," lanjut Rizal.

Untuk special effect, Rizalmengaku tak mau terlalu banyak dipusingkan. Pasalnya, ia ingin penontonlebih melihat pada inti cerita film besutannya, bukan special effect yang canggih dan menawan.

Satu elemen lain yang juga menarik untuk diperhatikan adalah theme song film ini. Sebuah lagu bergenre rock dari band indie asal Bandung, Koil, menambah suram atmosfer keseluruhan film. Judulnya, Semoga Kau Sembuh part 2. Bagi Rizal, lagu karya Otong dkk itu bagaikan sebuah kepingan puzzle yang melengkapi seluruh produksi Kuntilanak 2.

Begitu mendengarnya, Rizal langsung jatuh hati dan minta izin untuk menjadikannya theme songfilm tersebut. Bahkan, lagu yang aslinya berdurasi 21 menit itu akansegera digarap video klipnya oleh Rizal, untuk mempromosikan album baruKoil, Black Light Shines on.

"Tema dan inti cerita Kuntilanak 2 sangat cocok dengan judul lagunya, Semoga Kau Sembuh part 2.Di dalam film ini, dikisahkan Samantha tengah sakit jiwa. Ia begitumenikmati kegelapan dan menjauhkan diri dari orang-orang di sekitarnya. Makanya, saya langsung merasa pas dengan lagu ini," kata Rizal.

Selain lebih suram, Kuntilanak 2juga memuat lebih banyak adegan laga. Sehingga, cukup menguras energidan konsentrasi para pemainnya, Evan Sanders dan Julie Estelle, sertapara pemain senior seperti Piet Pagau dan Bella Esperance Lie.

Diharapkan, Kuntilanak 2 mampu mengulang sukses yang dituai Kuntilanakpertama. Tak heran jika Multivision Plus memutuskan untuk merilis filmini sesaat sebelum Hari Raya Idul Fitri tiba. Konsekuensinya, Kuntilanak 2Pocong 3 dan Jaelangkung 3 yang juga dirilis pada momen yang sama. harus bersaing dengan film-film lain yang didominasi film horor seperti Kuntilanak 1.

Untuk itu, pihak Multivision mengaku tak terlalu berharap Kuntilanak 2akan mendapatkan jumlah penonton sebanyak yang pertama. Kalau bisa, bagus, kalau tidak pun tak mengapa. Yang penting bagi Rizal adalah Kuntilanak 2 bisa seimbang dengan pendahulunya dalam segi kualitas. Semoga.  [SP/Irawati Diah Astuti]

[ Last edited by  jf_pratama at 1-10-2007 09:36 PM ]
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 1-10-2007 10:52 PM | Show all posts
Originally posted by QueenLove at 30-9-2007 21:25
sbg org malaysia, aku se7 sama kamu.... bagus lag deddy mizwar kemana2 dr BCL yg tau nya pamer bodi hehehehe


Hahahaha.....Ternyata body sexy dan tampang keren lebih memikat publik Malaysia.......

Menurut pengamatan saya, majority publik Indonesia sekarang mulai cerdas dan dewasa dalam memilih jenis musik dan film yang disukainya .... Situasi yang timbul berkat kerja keras Bung Deddy Mizwar dan artis-artis Indonesia lainnya yang berdedikasi tinggi di bidangnya... Mereka berkarya untuk membuat penonton dan pendengarnya lebih cerdas dan bermoral ....
Reply

Use magic Report

Post time 2-10-2007 08:21 PM | Show all posts
Originally posted by jf_pratama at 1-10-2007 10:52 PM


Hahahaha.....Ternyata body sexy dan tampang keren lebih memikat publik Malaysia.......

Menurut pengamatan saya, majority publik Indonesia sekarang mulai cerdas dan dewasa dalam memilih jen ...


kurang tau jg kalau body sexy n tampang keren memikat publik...
sbg ce, BCL ga memikat dgn body sexy nya (menurut aku kaya papan tipis aja hahahah)
Reply

Use magic Report

You have to log in before you can reply Login | Register

Points Rules

 

ADVERTISEMENT



 

ADVERTISEMENT


 


ADVERTISEMENT
Follow Us

ADVERTISEMENT


Mobile|Archiver|Mobile*default|About Us|CariDotMy

15-5-2024 10:46 AM GMT+8 , Processed in 0.311683 second(s), 42 queries .

Powered by Discuz! X3.4

Copyright © 2001-2021, Tencent Cloud.

Quick Reply To Top Return to the list