CARI Infonet

 Forgot password?
 Register

ADVERTISEMENT

View: 5247|Reply: 1

Sastrawan Melayu Amir Hamzah: Tokoh Pendiri Sastra Modern Indonesia

[Copy link]
Post time 5-11-2013 08:22 AM | Show all posts |Read mode

Sang Pangeran yang Selalu Berada di Tengah (100 Tahun Tengku Amir Hamzah)


…sendu yang kaurasa, di pagi kami telah membuka cahaya.”

(Petikan sajak Asrul Sani, “Sebagai Kenangan kepada Amir Hamzah, Penyair yang Terbunuh”)


Mengapa seorang penyair harus terbunuh? Meski dalam sajak-sajaknya Amir Hamzah kerap menyiratkan soal ajal, namun ajal yang dipenggal oleh tangan sesama, tentu tak pernah menjadi cita-citanya.
Bunga rampai esai berjudul Amir Hamzah Sebagai Manusia dan Penyair akan mengantar kita pada penjelasan mengapa nyawa mesti direbut paksa dari seorang pujangga besar, Tengku Amir Hamzah. Dalam buku ini, Achdiat K. Mihardja, Asrul Sani, Ajip Rosidi, Goenawan Mohamad, Abdul Hadi W.M., dan H.B. Jassin menyigi kembali kesan dan kenangan mereka tentang sosok Amir Hamzah yang menjadi korban revolusi sosial di Sumatera Timur pada masa awal berdirinya Indonesia.

Buku setebal 152 halaman yang disunting oleh Abrar Yusra dan diterbitkan oleh Yayasan Dokumentasi Sastra HB. Jassin (1996) ini membantu menguak kisah di balik wafatnya Amir Hamzah; peletak dasar kesusastraan Indonesia modern yang juga turut memperjuangkan gerakan persatuan untuk memerdekakan Indonesia. Meminjam kalimat A.Teeuw, seperti ditulis oleh Goenawan Mohamad dalam buku ini, tergambar kematian Amir Hamzah sebagai “lambang sedih tentang betapa tak bisa dipertemukannya masa lampau Melayu dengan masa depan Indonesia.”
Dengan membenamkan diri pada tiap halaman buku ini, akan terjawab tanya; wajah zaman sekeji apakah yang sesungguhnya mesti dibayar dengan ribuan nyawa, termasuk nyawa seorang Amir Hamzah?


Tengku Busu Pangeran Melayu
Amir Hamzah bukanlah sekadar “bujang Melayu” atau “Anak Langkat musafir lata” sebagaimana yang ia sebut dengan rendah hati untuk mengidentifikasikan diri dalam sajak-sajaknya. Ia seorang aristokrat Kesultanan Langkat, sebuah kesultanan di pesisir timur Sumatera. Ia anak dari Tengku Pangeran Muhammad Adil dan Tengku Mahjiwa.

Pada awal abad 20, di lingkungan yang sekarang bernama Indonesia, terdapat lebih dari 250 kerajaan. 25 di antaranya terletak di Sumatera Timur, seperti Kesultanan Deli, Langkat, Serdang, Asahan, dan kerajaan kecil seperti Bilah, Panay, atau Kualuh. Langkat adalah kesultanan terkaya dengan hasil perkebunan tembakau dan tambang minyak bumi di Pangkalan Berandan. Sultan Machmud, Sultan Langkat yang memerintah kala itu, adalah paman dari Amir Hamzah.
Terlahir 28 Februari 1911 di Tanjungpura, Langkat, Sumatera Timur, Amir Hamzah dikenal dengan panggilan “Tengku Bungsu” atau “Ku Busu”. Meskipun lahir dari keluarga bangsawan, Amir Hamzah lebih memposisikan diri sebagai orang biasa. Tengku, gelar kebangsawanan tersebut, tak pernah digunakannya. Dia menulis namanya sendiri dengan “Amir Hamzah” saja. Dalam pergaulan hingga dewasa, ia juga tak pernah menunjukkan status kebangsawanannya.
Dalam buku ini, Abdul Hadi W.M. juga menyatakan sikap egaliter Amir sebagaimana berikut.
“Penulis Jawa Kuno memandang diri mereka sebagai Mpu yang memiliki kekuatan spiritual berkat yoga dan tapa bratanya, sehingga disanjung dan disegani masyarakatnya, dan mendapat pujian dari raja-raja dan kaum bangsawan. Penulis modern memandang dirinya sebagai Ahasveros yang dikutuk dan disumpahi Eros (dewa cinta) dan akhirnya menjadi pengembara yang terasing dari Tuhan dan manusia lain. Penulis-penulis Melayu memandang diri mereka sebagai faqir, dagang, atau anak hulubalang (yang tak takut pada tombak Jawa, kata Hamzah Fansuri). Amir Hamzah menyebut diri sebagai ‘musafir lata’, yang artinya kurang lebih sama dengan anak dagang.”
Prinsip kesetaraan yang selalu digenggam Amir memang dikenang banyak orang, termasuk sahabatnya Achdiat K. Mihardja. Ia ingat sekali kalimat Amir berikut ini.
“Saya tidak suka makan-makan di restoran. Saya lebih suka di warung nasi biasa saja di tepi jalan. Di sana lebih enak, dan tidak kaku. Kita bisa makan sambil mendengarkan percakapan dan senda gurau Pak Kromo dan Mbok Cipto yang sederhana itu,” ucap Amir pada Achdiat saat bersepeda dari Solo ke Borobudur. Malam harinya, Amir pun tak mau menginap di pesanggrahan atau di rumah lurah.
“Biarlah kita menginap di rumah petani saja,” ucap Amir.
Nama “Hamzah” yang dimiliki Amir diambil dari nama sang kakek dari pihak ayah, Tengku Hamzah, yang tak lain adalah saudara kandung Tengku Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmatsjah, raja Langkat yang berkuasa pada periode1893-1927. Sementara, nama Amir Hamzah secara keseluruhan dirujukkan sang ayah pada karya sastra Melayu klasik, Hikayat Amir Hamzah; sebuah hikayat tentang kepahlawanan paman Nabi Muhammad.
Amir kecil tumbuh dalam keluarga kerajaan yang amat mencintai sastra Melayu. Ayahnya, yang pada masa itu mempunyai kedudukan sebagai bendahara di Kesultanan Langkat, adalah seorang terpelajar yang memiliki minat tinggi pada budaya baca. Di rumahnya, sang ayah mengelola perpustakaan dan sering mengadakan diskusi. Seringkali ayahnya membaca hikayat-hikayat Melayu lama, macam Hikayat Amir Hamzah, Bustanus-salatun, dan Qususul Anbia.
Pada 1918 Amir masuk sekolah dasar berbahasa Belanda, “Langkatsche School” (kemudian dikenal sebagai Hollandsch-Inlandsche School, HIS). Sekolah yang mempunyai tujuh tingkatan kelas ini didirikan oleh Sultan Langkat, Tengku Abdul Azis, pada 1900, dengan mendatangkan guru-guru dari negeri Belanda. Sore harinya, Amir belajar mengaji di Maktab Putih; sebuah rumah besar bekas istana Sultan Musa, di belakang Masjid Azizi, Langkat.
Amir adalah anak manis kesayangan semua orang. Baik di sekolah maupun di tempat mengaji, ia menjadi murid yang terpandai dan kerap dijadikan teladan.
“Bila kami anak-anak yang nakal ini bertengkar dan bertumbuk, maka Amirlah yang selalu menjadi juru damainya,” kisah Saidy Hoesni, teman Amir semasa kecil.
Pada usia sekitar 15 tahun, Amir sudah tampak sangat tertarik pada sastra dan bahasa Melayu, betapapun sejak sekolah dasar sampai sekolah tinggi dia belajar di sekolah Belanda. Ia menulis dalam bahasa Melayu dengan amat baik. Apalagi, lingkungan Tanjungpura, yang penduduknya kebanyakan berasal dari Siak, Kedah, Selangor, dan Pattani, sangat mendukung perkembangan sastra Melayu.
Pada Agustus 1925, Amir melanjutkan sekolahnya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setingkat Sekolah Menengah Pertama) di Medan pada tingkatan “Voorklas” (kelas pendahuluan). Setelah tahun kedua, Amir meminta dipindahkan ke Jakarta dan meneruskan kelas 2 di Christely ke MULO “Manjangan” hingga tamat pada 1929.
Amir meninggalkan lingkungan yang membesarkannya dalam ketaatan Islami dan beralih menjadi murid partikulir golongan Kristen di sekolahnya. Setelah tamat dari MULO di Jakarta, Amir melanjutkan sekolahnya ke AMS (Algemeene Middlebare School, setingkat Sekolah Menengah Atas) di Solo pada 1929-1932. Ia kembali merantau untuk bersekolah dan melewati tahun-tahun pembentukan kepribadiannya di tempat yang jauh dari tradisi Melayu.
Sejak mengambil jurusan Sastra Timur di Solo, Amir mulai menulis sajak. Di sini perkembangan kepenyairan Amir makin terbentuk. Amir menyerap semua pendidikannya tanpa kehilangan akar Melayunya. Di tengah pengarang-pengarang sebelum dan sezamannya yang berorientasi ke Barat, adalah Amir Hamzah yang memberikan wawasan ketimuran pada sastra Melayu-Indonesia dengan mengenalkan sastra Persia, India, Tiongkok, Jepang, dan Turki melalui terjemahan-terjemahannya.
Di Solo, terbentuk hubungan pribadi yang dekat antara Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Achdiat K. Mihardja, sesama siswa AMS Solo. Meski lebih sering menyendiri, Amir dikenal sebagai kawan yang riang, sederhana, dan juga berdisiplin. Gaya berpakaiannya sangat konservatif.
“Tiga tahun lamanya papan tulis di muka kelas melihat Amir di dalam jas tutup dan pantalo runcingnya yang terlalu tinggi itu,” kenang Achdiat K. Mihardja.
Namun demikian, Amir sempat dengan gemilang memerankan tokoh Syamsul Bahri dalam cerita Siti Nurbaya karya Marah Rusli yang disusun oleh Armijn Pane untuk dipanggungkan.
Minat kesusasteraan dan obsesi kepenyairan Amir yang sudah bertunas dalam nuansa tradisional Melayu mendapatkan dinamika dan orientasi yang luas selama di Solo. Sajak-sajak pertamanya terhimpun dalam Buah  Rindu. Ajip Rosidi memandang Buah Rindu sebagai latihan Amir untuk kemudian menulis Nyanyi Sunyi.
Ajip Rosidi mencatat bahwa dalam karyanya, Amir banyak menggunakan kata-kata lama, yang diambilnya dari bahasa Melayu dan Kawi serta bahasa-bahasa lain, seperti Jawa dan Sunda. Kata-kata itu digunakan demi persamaan bunyi atau juga berfungsi sebagai perlambang. Achdiat mengungkapkan, pengaruh bukan-Melayu yang tidak sedikit dalam sajak Amir merupakan eksperimen-eksperimen penting yang paralel dengan semangat pembaruan bahasa.
Chairil Anwar pun mengenang sajak Amir dengan pendapat yang tak jauh berbeda dengan Achdiat.
“… susunan kata-kata Amir bisa dikatakan destruktif terhadap bahasa lama, tetapi suatu sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru.”
Akar Melayu Amir yang kokoh dimanfaatkannya sebagai penunjang. Apa yang ditulis Amir melulu adalah apa “yang sesuai dengan getaran sukmanya”. Amir tak pernah sibuk memihak pada masa lalu maupun pada modernitas.
Jika Sutan Takdir Alisjahbana dengan mudah memberikan kata putus pada apa yang disebutnya “masa yang silam” dalam suatu pematah-arangan, Amir tak bisa. Ia menganggap sejarah mestilah kontinuitias.
Di sisi lain, Goenawan Mohamad menyebut bahwa ada bentuk kesetiaan baru yang tumbuh di dalam sajak Amir, yang bernama nasionalisme, dan ini bukan penjelmaan pikiran abad yang silam.
Di masa itu, memang belum banyak pemuda terpelajar yang menyair dalam bahasa Indonesia. Kalaupun ada, biasanya dalam bahasa Belanda. Masa itu, bahasa Indonesia yang berdasarkan bahasa Melayu baru saja dijadikan “bahasa persatuan”. Alhasil, banyak yang mempertanyakan mengapa Amir menulis sajak dalam bahasa Indonesia. Untuk itu, Amir hanya menjawab, “Habis dalam bahasa apa aku harus berlagu?”


Betapapun bahasa Melayu menjadi lingua franca bagi kawasan Asia-Pasifik, bahasa Indonesia memang barang baru bagi kebanyakan kaum terpelajar di tanah Jawa. Tetapi bagi Amir Hamzah, bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu itu justru merupakan bahasa ibunya sendiri.
Dalam sepucuk suratnya pada Armijn Pane, November 1932, Amir menunjukkan kecintaannya terhadap bahasa Melayu.
“Engkau kudengar telah menjadi Guru sekarang, apa yang kauajarkan? Bahasa Melayu tentu, baik-baik Pane, jangan kau lipu-lipukan bahasa yang semolek itu.”
Dorongan lain yang memicu Amir menulis sajak dalam bahasa Indonesia tentulah rasa nasionalisme atau kesadaran kebangsaan, yang hawanya menghangat di kota Solo, sumber dinamika politik modern yang memicu pergerakan kebangsaan menuju Indonesia merdeka.
Secara psiko-politis, Solo dewasa itu bukan kota yang “tenang-tenang saja”. Di Solo, pada 1912, lahir partai politik pertama, Sarikat Islam, dan juga gerakan komunis H. Misbach. Sampai meninggalnya Sultan Jawa Paku Buwono X, Solo amat membara dalam pergerakan kebangsaan. Di kota ini pula terkemuka gerakan kelompok “aristokrat revolusioner”.

Semangat persatuan pada masa itu sangat meluap-luap. Semangat provinsionalisme sudah tak laku lagi. Meski bukan bersifat utusan atau perwakilan, mereka yang ada di tanah Jawa dan berasal usul dari negara masing-masing, menghimpun diri dalam apa yang disebut Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Selebes, Pemuda Indonesia, Sekar Rukun, untuk kemudian dilebur dalam satu fusi Indonesia Muda.
Amir, yang kala itu menjabat sebagai ketua cabang Solo, membuka sendiri kongres peleburan menjadi Indonesia Muda itu. Ketika perkumpulan tersebut menerbitkan majalah Garuda Merapi, Amir pun menjadi redakturnya. Dalam pergaulan di Solo, Amir betul-betul dikenal sebagai nasionalis sejati.
Demi melanjutkan kuliahnya,  Amir kembali hijrah ke Jakarta. Di sini ia belajar di sekolah tinggi hukum (Recht Hoge School, RHS). Di sela kegiatan kuliah, ia mengajar di sekolah Perguruan Rakyat di Jakarta, sebuah lembaga pendidikan dibawah sekolah Taman Siswa yang kian memantapkan semangat nasionalisme Amir.
Di samping itu, bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane, Amir Hamzah menerbitkan majalah Pujangga Baru (1933), yang kelak menandai babak baru sejarah sastra Melayu-Indonesia. Majalah ini kemudian menjadi wadah perjuangan para tokoh pergerakan kemerdekaan; sebuah lubang bernafas baru untuk gerakan politik Indonesia yang saat itu terus dipersempit.
Tokoh-tokoh senior seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir dan lainnya kala itu telah diringkus dan diasingkan oleh pemerintah Belanda. Politieke Inlichtingen Dienst (PID), Polisi Rahasia Belanda, semakin ketat mengintai gerakan pemuda. Saat itu, Amir menjabat Sekretaris Indonesia Muda Pusat.
Setiap minggu, para pemuda pergerakan dipanggil dan diinterogasi oleh PID, termasuk Amir. Ia dianggap sebagai salah satu pemuda “berbahaya”. Tanpa diketahui Amir, pemerintah Belanda di Jakarta segera mengirim kawat rahasia pada Gubernur “Oostkust van Sumatera” yaitu B.C.C.M.M. Van Suchtelen, meminta Sultan Langkat memanggil Amir untuk pulang ke Langkat karena tindakan-tindakannya di Jakarta membahayakan stabilitas keamanan Belanda.
Pada saat bersamaan, Amir kala itu sedang mengalami kesulitan keuangan. Kedua orang tuanya telah meninggal dunia. Ia harus membiayai sendiri kuliahnya, sedangkan pendapatan sebagai guru di Perguruan Rakyat tidaklah memadai. Sementara, kiriman dari Langkat datang tak lagi teratur. Surat kakak-kakaknya yang ia terima hanya berisi ejekan, mencibir si bungsu yang dalam pekerjaan dan tulisan-tulisannya sepertinya sedang berambisi untuk menjadi seorang pemimpin besar.
Tiba-tiba, tanpa Amir ketahui sebabnya, mendadak datang kiriman uang dari Langkat untuk ongkos pulang secukupnya. Seperti sudah mendapat firasat sebelumnya, Amir segera menelegram kekasihnya. Kekasih Amir adalah Ilik Sundari, orang Solo pemeran Siti Nurbaya yang menjadi lawan mainnya sewaktu mementaskan teater di Solo. Selama menjalin kasih dengan Amir, Ilik sempat diperingatkan ayahnya untuk tidak menjadi pungguk merindukan bulan mengingat Amir adalah Pangeran Melayu.
Ketika Amir mesti kembali ke Langkat, Ilik saat itu sedang menempuh studi di Lembang. Dalam telegram, Amir memberitahu bahwa ia akan pulang dan tak dapat berlibur dengan Ilik ke Majalengka.
Sekembali ke Jakarta, wajahnya Amir tak lagi ceria. Sultan Langkat, pamannya yang kemudian membiayai kuliah Amir, sudah berpesan untuk memusatkan diri pada kuliah, mengurangi aktivitas sebagai kaum pergerakan, dan jangan suka main wanita karena dapat merusak citra istana Langkat. Sejak itu, Amir pun membatasi pergaulannya.


Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 5-11-2013 08:23 AM | Show all posts
Pada 1935, Amir diminta mendadak kembali pulang ke Langkat. Ia diminta untuk menikah dengan putri sulung Sultan Langkat, Tengku Putri Kamaliah. Hati Amir remuk membayangkan harus meninggalkan Ilik. Perahu hidup Amir yang selama itu melancar dengan bebasnya, seolah tak bertujuan, kini harus memilih arah pulang.
Dengan gundah Amir berkereta ke Lembang untuk menjemput Ilik guna berlibur untuk terakhirkali ke Majalengka. Setelah itu, mereka berdua ke Solo karena Amir ingin berpamitan dengan keluarga Ilik. Di Solo, keluarga Ilik menggelar selamatan kecil-kecilan semata-mata untuk menyatakan restu mereka atas pernikahan Amir di Langkat.
Di Langkat, pesta pernikahan Amir pun digelar meriah selama tujuh hari tujuh malam. Amir mendapat gelar Tengku Pangeran Indra Putera. Dari pernikahannya, Amir memperoleh seorang anak bernama Tengku Tahura Alautiah.
Sejak itu, kreativitas Amir meredup. Konsentrasinya menulis diserap oleh pekerjaannya sebagai petinggi kerajaan bidang ekonomi, yang dahulu sempat diejeknya sendiri sebagai “tukang sukat beras”. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Amir merangkap tugas sebagai Ketua Pengadilan Kerapatan Kerajaan Langkat.
Istana Kesultanan Langkat di Tanjungpura yang kelak dirusak dan hancur.


Pada 15 Agustus 1945, Jepang menyerah kalah tanpa syarat kepada Eropa. Perang Dunia II berakhir. Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Jakarta langsung berkumandang ke seluruh dunia namun tak sampai hingga pelosok negeri di Indonesia.
Gubernur Pertama dari Republik Indonesia yaitu Mr. Teuku M. Hassan, mengangkat Amir sebagai Wakil Pemerintah Republik Indonesia untuk daerah Langkat dengan berkedudukan di Binjai, melalui surat ketetapan Gubernur Nomor 5 Tanggal 29 Oktober 1945.
Pengangkatan ini berdasarkan pada pertimbangan perjuangan Amir semasa muda hingga revolusi kemerdekaan. Dalam kedudukan sebagai Wakil Pemerintah Republik Indonesia, Amir sempat melantik Batalyon TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pertama, Divisi Gajah di Binjai. Pada pelantikan itu Amir memberikan pidato yang membangkitkan semangat juang dan rasa keadilan.
Pada 30 November 1945, Sultan Langkat menerima ultimatum dari kelompok Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang menuntut pengakuan kesultanan atas Republik, menghapuskan semua hubungan dengan Inggris dan Netherlands-Indies Civil Administration (NICA), dan penyerahan dua per tiga dari seluruh senjata kepada Pesindo.
Sultan Langkat pun pada 4 Desember 1945 menyatakan dukungan dan sumbangan sejumlah 10 ribu gulden pada perjuangan Republik. Pada waktu yang sama, bendera merah putih telah dikibarkan pula oleh Sultan Serdang dan Sultan Asahan. Hanya Sultan Deli yang masih menginginkan suatu hubungan langsung dengan Belanda di bawah seorang komisaris tinggi, dan menempatkan raja-raja Melayu di luar setiap bentuk negara Indonesia.
Dengan terpilihnya Sutan Syahrir menjadi ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) lalu Perdana Menteri, mulai timbul pertanyaan mengenai bentuk republik. Apakah yang terbaik adalah Komite Nasional Indonesia (KNI) ataukah kerajaan, ataukah suatu bentuk kombinasi dari keduanya, yang akan menjadi bentuk pokok pemerintahan di kota-kota.
Melihat harmonisnya hubungan Republik dengan Kesultanan Yogyakarta, sebagai Ketua KNI Sumatera Timur, Luat Siregar membulatkan sikap agar raja-raja kala itu menerima semangat demokrasi atau menyingkir. Ia meminta Sultan Langkat memprakarsai dan menjadi tuan rumah suatu konferensi kerajaan yang akan membahas masalah ini di Tanjung Pura.
Pada 3 Februari 1946, dilakukanlah pertemuan dengan sultan-sultan tersebut. Dalam banyak pernyataan pemimpin itu, senantiasa ditekankan mengenai pengakuan dan kedudukan otonomi para raja itu sebagaimana pengakuan Soekarno kepada Sultan Solo dan Sultan Yogya di tanah Jawa.
Sementara itu, para pemuda kian tak sabar dengan keraguan sultan-sultan untuk mendukung Republik. Terbersit berita bahwa kesultanan tertentu telah memperkuat diri dengan senjata sekutu. Di tengah berita yang simpang siur, pemuda menuntut segera ditukarnya daulat raja dengan daulat rakyat. Akibat pengaruh perkembangan politik di Jawa, yaitu terbentuknya koalisi Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka, maka gerakan lapisan pemuda menjadi lebih radikal. Suasana revolusi sosial mulai dihembuskan oleh laskar pemuda.
Suasana ini tak ayal menimbulkan diskredit kepada para bangsawan di daerah yang dituduh sebagai “kaki tangan NICA”.
Tatkala Gubernur Sumatera Timur, Mr. Moehammad Hasan baru saja melakukan perjalanan keliling ke seluruh Sumatera untuk melakukan konsolidasi, revolusi sosial meletus di Sumatera Timur. Tekanan ditujukan kepada orang-orang yang dituduh feodal. Para pelakunya meluas, mencakup seluruh mereka yang pro Republik, tak pandang aliran politik, baik “kiri” maupun “kanan”.
Revolusi sosial ini dimulai pada 3 Maret 1946 malam di Brastagi, dengan menangkap 17 Raja Urung dan Sibayak serta mengasingkan mereka ke Aceh Tengah. Raja Panay beserta keluarganya juga ditangkap dan dijarah hartanya. Raja Raya dibunuh di jembatan besar. Raja Purba dan Raja Silimakuta dilindungi TKR, tapi rumah dan anggota keluarganya tak luput dari hajaran massa. Seluruh keluarga dan harta benda Kerajaan Asahan dihabisi, meskipun rajanya lolos dan akhirnya berlindung pada sebuah pos tentara Jepang.
Lima kerajaan kecil Labuan Batu tak ketinggalan dihabisi. Sultan Kualuh hilang. Tengku Hasnan, Tengku Long, serta seluruh keluarganya dipenggal kepalanya. Di sisi lain, Istana Sultan Deli sempat dilindungi oleh pasukan Sekutu. Sultan Serang dan petinggi lain hanya ditahan di istananya di Perbaungan dalam keadaan baik.
Sementara itu, Sultan Langkat tidak meminta perlindungan Sekutu maupun Jepang karena mengandalkan jaminan dari dr. M. Amir, Wakil Gubernur Sumatera Utara. Alhasil, pasukan Pesindo pun menangkapi sejumlah tak kurang dari 21 orang istana, termasuk Tengku Amir Hamzah.
Amir diciduk oleh Laskar Pesindo pada 7 Maret 1946 dengan mobil pick up. Berbaju kemeja putih lengan panjang, ia sempatkan melambaikan tangannya pada orang-orang yang ingin menyalaminya di jalan. Bersama tahanan lain, Amir dikumpulkan di Jalan Bonjol, Binjai, lalu dikirim ke perladangan Kuala Begumit untuk menjalani hukuman.
Anehnya, beberapa orang pemuda ternyata sempat mendatangi Tengku Kamaliah, istri Amir, untuk memintakan apa-apa yang kiranya perlu dikirimkan kepada Amir di tahanan. Tengku Kamaliah pun mengirimkan sehelai kain sarung, sepasang teluk belanga putih, Al-qur’an kecil, dan nasi goreng di antara serantang makanan.
Di Kuala Begumit, pakaian Amir dilucuti, diganti dengan celana goni. Para tahanan diperintahkan menggali lubang; lubang kuburan mereka sendiri.
Satu demi satu para tahanan ditutup rapat matanya. Tangan diikat kuat ke belakang.
Sang algojo ternyata tak lain adalah Mandor Iyang Wijaya, pelatih kesenian dan silat kuntau di Istana Langkat, yang juga merupakan kesayangan Amir. Sebelum melakukan eksekusi, ia mengabulkan permintaan terakhir Amir. Amir hanya meminta dua hal. Pertama, ia meminta tutup matanya dibuka karena ingin menghadapi ajalnya dengan mata terbuka. Kedua, Amir meminta waktu untuk salat sebelum hukuman dijatuhkan. Kedua permintaan Amir ini dikabulkan.
Usai salat, Sang Pujangga pun menerima ajalnya. Ia pergi menghadap sang Khalik dalam usia 35 tahun. Kepalanya putus.
Kisah ini lalu terungkap dalam pemeriksaan kepolisian dan persidangan atas dua tersangka kasus anggota polisi yang ikut terbunuh kala itu, Phillips Simanjuntak. Sementara, hilang atau terbunuhnya Amir Hamzah sendiri tidak pernah diperkarakan atau disidangkan dalam pengadilan.
Amir Syarifuddin langsung dikirim ke Medan untuk secepatnya mempelajari laporan dan mengatasi keadaan mendesak agar tidak menimbulkan citra buruk terhadap eksistensi Indonesia secara nasional. Pimpinan TKR, A. Tahir, mengambilalih pemerintahan untuk mengatasi suasana. Namun, ratusan “Tengku” telah terlanjur tinggal nama di Sumatera Timur.
Pada November 1949, penggalian kuburan massal di Kuala Begumit dilakukan. Satu di antara beberapa lobang yang digali, selain berisi kerangka manusia, ditemukan sebentuk cincin emas bermata nilam, warna bunga kecubung, dan seuntai jimat dari benda timah milik Amir. Dalam pemeriksaan di pengadilan, Mandor Iyang Wijaya, juga mengaku telah melakukan pemancungan atas leher puluhan manusia di Kuala Begumit, termasuk di antaranya pujangga Amir Hamzah.
Dari Medan, kerangka Amir pun dibawa ke Tanjungpura, disemayamkan di rumah rendah Rantau Panjang dan dikebumikan selayaknya menurut agama Islam di samping Masjid Azizi, Tanjungpura, Langkat, dekat makam ibu bapaknya.
Sebuah dokumen Belanda memperkirakan bahwa revolusi sosial ’46 ini menelan korban pembunuhan sebanyak 1200 orang di Asahan. Belum lagi terhitung di daerah lainnya.
Mengenai hal ini, Anthony Reid menyebutkan secara lebih khusus bahwa perencanaan kudeta ini dilakukan suatu kelompok radikal di dalam tubuh Persatuan Perjuangan yang mencakup pimpinan Pesindo, Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tengku Tahura, anak tunggal Amir Hamzah, mengatakan bahwa dirinya sudah biasa melihat para pemuda Pesindo bergerak seraya meneriakkan yel-yel perjuangan yang bernada anti kerajaan di depan istana.
Berdasarkan cerita ibunya, pada suatu hari Sultan Langkat memanggil Amir. Sekembali dari pertemuan itu, wajah Amir amat tegang dan gelisah. Ia diam sama sekali. Amir pun bercerita pada istrinya bahwa di mata Sultan, Amir dianggap cenderung bersikap sebagai bupati Indonesia ketimbang sebagai Pangeran Langkat. Sultan Langkat menuduh para pemuda pejuang, yang adalah teman-teman Amir, punya rencana membunuh dirinya. Amir tak percaya begitu saja tuduhan Sultan, dan minta waktu untuk menyelidikinya dahulu.
Belum sempat melaporkan hasil penyelidikannya, di bawah tekanan Sultan Langkat, Amir Hamzah, sebagai penguasa Binjai, dipaksa membubuhkan tandatangan untuk menangkap Achmad Chiari, kawannya yang dituding akan membunuh Sultan. Padahal, Amir baru saja mendapat informasi dari Achmad Chiari bahwa informan Sultan yang menyebut bahwa Sultan akan dibunuh perlu diragukan sikap politiknya. Praktik adu domba telah terjadi.
Amir pun bersiasat. Setelah menandatangani surat itu, Amir memberitahu kepada para pemuda, teman-temannya, agar segera melarikan diri setelah ditangkap. Karena Amir, teman-temannya dapat terselamatkan. Namun sayangnya, setelah itu, Amir dipandang oleh para pejuang Republik sebagai tokoh feodal yang berbahaya. Pandangan inilah yang kemudian merenggut nyawanya kemudian.

Amir Hamzah Sebagai Manusia dan Penyair.


Sehari sebelum penculikan Amir, Tengku Noyah, kakak perempuan Tengku Amir Hamzah, diberitahu oleh seorang laskar pemuda bahwa Amir akan ditangkap. Segera setelah berita diterimanya, Tengku Noyah mendatangi Amir untuk memberitahukan informasi itu.
Namun alih-alih panik, Amir menjawab tenang.
“Lari dari Binjai patik pantang. Patik adalah keturunan Panglima, kalah di gelanggang sudah biasa. Dari dahulu patik merasa tiada bersalah kepada siapa. Jadi salah besar dan tidak handalan, kalau patik melarikan diri ke kamp NICA di Medan. Sejak Sumpah Pemuda, patik ingin merdeka.”
Sang Pujangga memang tidak pernah dapat memihak. Zaman yang dihadapi seorang Amir Hamzah adalah zaman pertemuan dari berbagai pengaruh.
Goenawan Mohamad melihat tragedi Amir sebagai polemik kebudayaan yang bergolak di dalam batin seorang Amir Hamzah. Amir menjadi saksi dari suatu zaman transisi yang konflik-konfliknya tidak berada di luar dirinya, tetapi di dalam diri.
Amir memang seperti ditakdirkan sebagai tempat bertemunya simpul berbagai pertentangan. Ia adalah sosok yang menghadapi konflik hampir sepanjang hayatnya, baik konflik batin, konflik budaya, maupun konflik politik, sesuai dengan larik sajak yang pernah ditulisnya,
“Hancur badanku, lahir badanku, dari gelombang dua berimbang, akulah buih dicampakkan tepuk, akulah tisik rampatan mega, suara sunyi di rimba raya— Akulah gema tiada berupa.”
Sejak ia merantau ke Jakarta pada 1928, Amir seakan terombang-ambing antara tanah kelahiran yang ia cintai dan daerah baru yang penuh harapan. Dia berada di antara rasa sakit meninggalkan kampung halamannya dan rasa gembira menginjakkan kaki di tanah baru.
Ia selalu berada di tengah; antara tradisi dan modernisasi, Timur dan Barat, adat dan kebebasan individu, feodalisme dan demokrasi, masa lampau dan masa depan, Melayu dan Indonesia. Dan, Amir selalu berupaya merawat kesinambungan antara keduanya, sebagaimana dalam sajaknya, “Hatiku bertjabang dua”.
Nama Tengku Amir Hamzah kini telah dilihat tidak hanya dalam prestasi kepenyairannya, akan tetapi sebagai lambang kemelayuan, kepahlawanan, juga keislaman. Anthony H. Johns, menyebut Amir Hamzah dalam satu tarikan nafas, yaitu sebagai “Pangeran Melayu, Penyair Indonesia”.
Amir Hamzah pun tak dapat hanya dilihat sebagai anggota dari suatu kelompok atau angkatan. Ia seolah-olah tumbuh dan menonjol karena dirinya sendiri, tak terkait dengan suatu kelompok atau kecenderungan apapun.
Ia yang dijuluki Raja Penyair Pujangga Baru sudah mewariskan sekitar 160 karya berupa lima puluh sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris asli, satu prosa liris terjemahan, tiga belas prosa asli, dan satu prosa terjemahan. Karya-karyanya yang terkenal terkumpul dalam antologi Buah Rindu (1941) dan Nyanyi Sunyi (1937). Selain itu, ia menerbitkan pula sekumpulan sajak terjemahan dari negeri tetangga, seperti Jepang, India, Arab, Persia, dan lain-lain dalam antologi Setanggi Timur (1939) dan terjemahan Bhagawat Gita yang dipetik dari Mahabarata.
Atas karyanya yang gemilang, A. Teeuw menyebutnya sebagai, “the only pre-war poet in Indonesia whose works reaches international level and is of lasting literary interest” (satu-satunya penyair sebelum masa perang di Indonesia yang karya-karyanya berkelas internasional dan abadi).
Atas usulan masyarakat, karena telah mengembangkan kebudayaan, khususnya kesusastraan, Tengku Amir Hamzah akhirnya ditabalkan menjadi Pahlawan Nasional sejak 10 November 1975 berdasarkan Surat Keputusan Presiden No.106/TK Tahun 1975. Dunia mengakui, bahwa seluruh pengorbanan dan prestasi yang telah dicapai takkan bisa turut terpancung bersama jasadnya. Semua penghargaan ini seakan mengamini bahwa hanya dengan tragedi kita tahu apa atau siapa yang seharusnya kita hargai.
Kematian Tengku Amir Hamzah adalah ironi sebuah revolusi yang tak pernah dapat diramalkan jangkauannya. Di satu pihak, ia adalah wakil yang harus melindungi Sultan dan kebesaran kerajaan, tapi di pihak lain ia adalah bupati Indonesia yang seharusnya bergabung dengan massa untuk memimpin revolusi. Inilah fakta sejarah, betapa kejamnya sebuah revolusi yang tak pernah mengenal siapa lawan dan siapa kawan.
Peristiwa kematiannya menjadi semacam dosa yang harus dipertanggungjawabkan bangsa ini. Tapi, siapa pula yang dapat dipandang bertanggungjawab atas suatu revolusi yang bergerak macam bola api?


Reply

Use magic Report

You have to log in before you can reply Login | Register

Points Rules

 

ADVERTISEMENT



 

ADVERTISEMENT


 


ADVERTISEMENT
Follow Us

ADVERTISEMENT


Mobile|Archiver|Mobile*default|About Us|CARI Infonet

27-4-2024 12:01 AM GMT+8 , Processed in 0.071998 second(s), 27 queries .

Powered by Discuz! X3.4

Copyright © 2001-2021, Tencent Cloud.

Quick Reply To Top Return to the list