CariDotMy

 Forgot password?
 Register

ADVERTISEMENT

1234
Return to list New
Author: jf_pratama

KERAJAAN MAJAPAHIT (Majapahit Imperium)

[Copy link]
 Author| Post time 7-9-2007 04:40 PM | Show all posts

Reply #60 remizati's post

Wakakakakak ........ Kesimpulan yang salah dan keliru banget ....
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 12-7-2009 02:50 AM | Show all posts
Post Last Edit by jf_pratama at 12-7-2009 02:57

Agama pada Masa Majapahit

Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual keagamaan masa itu. Bangunan-bangunan suci ini dikenal dengan nama candi, pemandian suci (pertirtan) dan gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan survei ini kebanyakan bersifat agama siwa, dan sedikit yang bersifat agama Buddha, antara lain Candi Jago, Bhayalangu, Sanggrahan, dan Jabung yang dapat diketahui dari ciri-ciri arsitektural, arca-arca yang ditinggalkan, relief candi, dan data tekstual, misalnya kakawin Nagarakretagama, Arjunawijaya, Sutasoma, dan sedikit berita prasasti.

Di samping perbedaan latar belakang keagamaan, terdapat pula perbedaan status dan fungsi bangunan suci. Berdasarkan status bangunan suci, kita dapat kelompokkan menjadi dua, yaitu bangunan yang dikelola oleh pemerintah pusat dan yang berada di luar kekuasaan pemerintah pusat.

Bangunan suci yang dikelola pemerintah pusat ada dua macam, yaitu:

1.    Dharma-Dalm, disebut pula Dharma-Haji yaitu bangunan suci yang diperuntukkan bagi raja beserta keluarganya. Jumlah dharma-haji ada 27 buah, di antaranya Kegenengan, Kidal, Jajaghu, Pikatan, Waleri, Sukalila, dan Kumitir.
2.    Dharma-Lpas, yaitu bangunan suci yang dibangun di atas tanah wakaf (bhudana) pemberian raja untuk para rsi-saiwa-sogata, untuk memuja dewa-dewa dan untuk mata pencarian mereka.   

Sedangkan bangunan suci yang berada di luar pengelolaan pemerintah pusat kebanyakan adalah milik prasasti rsi, antara lain mandala, katyagan, janggan. Secara umum bangunan ini disebut patapan atau wanasrama karena letaknya terpencil. Mandala yang dikenal sebagai kadewaguruan adalah tempat pendidikan agama yang dipimpin oleh seorang siddharsi yang disebut pula dewaguru.

Berdasarkan fungsinya, candi-candi masa Majapahit dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1.    Candi-candi yang memunyai dua fungsi, yaitu sebagai pendharmaan raja dan keluarganya, juga sebagai kuil pemujaan dewa dengan ciri adanya tubuh candi dan ruang utama (garbhagrha) untuk menempatkan sebuah arca pendharmaan (dewawimbha), misalnya Candi Jago, Pari, Rimbi, Simping (Sumberjati).

2.    Candi-candi yang hanya berfungsi sebagai kuil pemujaan, dengan ciri tidak memunyai garbhagrha dan arca pendharmaan/perwujudan; tubuh candi diganti dengan altar atau miniatur candi. Candi-candi kuil ini kebanyakan dipakai oleh para rsi dan terletak di lereng-lereng gunung, misalnya di lereng Gunung Penanggungan, Lawu, Wilis, dsb.

Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Walau begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447. Pejabat resmi keagamaan pada masa pemerintahan Raden Wijaya (Kertarajasa) ada dua pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian lima pejabat Siwa di bawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.

Selain itu terdapat pula para agamawan yang mempunyai peranan penting dilingkungan istana yang disebut tripaksa yaitu rsi-saiwa-sagata (berkelompok tiga) dan catur dwija yaitu mahabrahmana (wipra)-saiwa-sogata-rsi (berkelompok empat).

Pembaruan/pertemuan agama Siwa dan agama Buddha pertama kali terjadi pada masa pemerintahan Raja Kertanagara, raja terakhir Singasari. Apa maksudnya belum jelas, mungkin di samping sifat toleransinya yang sangat besar, juga terdapat alasan lain yang lebih bersifat politik, yaitu untuk memperkuat diri dalam menghadapi musuh dari Cina, Kubilai Khan. Untuk mempertemukan kedua agama itu, Kertanagara membuat candi Siwa-Buddha, yaitu Candi Jawi di Prigen dan Candi Singasari di dekat Kota Malang.

Pembaruan agama Siwa-Buddha pada zaman Majapahit, antara lain, terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada dua candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa, yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha; atau raja kedua Majapahit, yaitu Raja Jayabaya yang didharmakan di Shila Ptak (red. Sila Petak) sebagai Wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan di mana Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda.

Agama Siwa yang berkembang dan dipeluk oleh raja-raja Majapahit adalah Siwasiddhanta (Siddantatapaksa) yang mulai berkembang di Jawa Timur pada masa Raja Sindok (abad ke-10). Sumber ajarannya adalah Kitab Tutur (Smrti), dan yang tertua adalah Tutur Bhwanakosa yang disusun pada zaman Mpu Sindok, sedang yang termuda dan terpanjang adalah Tutur Jnanasiddhanta yang disusun pada zaman Majapahit. Ajaran agama ini sangat dipegaruhi oleh Saiwa Upanisad, Vedanta, dan Samkhya. Kenyataan Tertinggi agama ini disebut Paramasiwa yang disamakan dengan suku Kata suci "OM". Sebagai dewa tertinggi, Siwa memunyai tiga hakikat (tattwa) yaitu:
•    paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud (niskala);
•    sadasiwa-taattwa yang bersifat berwujud-tak berwujud (sanakala-niskala);
•    siwa-tattwa yang bersifat berwujud (sakala).

Selain agama Siwasiddhanta dikenal pula aliran Siwa Bhairawa yang muncul sejak pemerintahan Raja Jayabaya dari Kediri. Beberapa pejabat pemerintahan Majapahit memeluk agama ini. Agama ini adalah aliran yang memuja Siwa sebagai Bhairawa. Di India Selatan mungkin dikenal sebagai aliran Kapalika. Pemujanya melakukan tapa yang sangat keras, seperti tinggal di kuburan dan memakan daging dan darah manusia (mahavrata).

Di samping agama Siwa, terdapat pula agama Waisnawa yang memuja Dewa Wisnu, yang dalam agama Siwa, Wisnu hanya dipuja sebagai dewa pelindung (istadewata).
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 12-7-2009 03:27 AM | Show all posts
Arca Raja Majapahit

Ada kebiasaan yang berkembang pada masyarakat Jawa Kuno (masa Jawa Timur) untuk membuatkan arca dewa bagi raja yang sudah meninggal dunia. Arca itu kemudian disimpan di dalam suatu candi yang merupakan pendharmaan (pengabdian) raja tersebut yang dinamakan dhinarma. Tradisi seperti ini tidak dikenal di India. Tradisi ini merupakan kelanjutan dari pemujaan yang telah berakar jauh dalam kebudayaan Indonesia.

Dalam kitab Nágarakrtágama disebutkan bahwa ada sembilan orang tokoh, raja dan pejabat pemerintah yang dibuatkan arca dan candi pendharmaan sesudah tokoh tersebut 12 tahun meninggal dunia. Tiga orang di antaranya berasal dari Majapahit, yakni;
1. Raja Krtarajasa Jajawardhana yang didharmakan di Antahpura, diarcakan sebagai Jina di Simping sebagai arca Siwa.
2. Raja Jayanagara didharmakan di dalam pura dan diarcakan sebagai Wisnu di Shila Ptak dan Bubat, dan sebagai Amogasiddi  di Sukhalila.
3. Sri Rajapatni Gayatri didharmakan dan diarcakan sebagai Pranaparamita di Bhayalango.

Raja Krtarajasa


Arca Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran Kertarajasa.
Berlokasi semula di Candi Simping - Blitar.
(Koleksi Museum Nasional Republik Indonesia.)

Raja Krtarajasa Jayawardhana atau Raden Wijaya adalah raja pertama dan pendiri Kerajaan Majapahit. Tempat pendaharmaannya adalah di Antahpura, tidak diketahui lokasinya, dan arcanya sebagai  Jina  pun tidak pernah ditemukan. Candi pendharmaan Raden Wijaya di Simping yang oleh F.D.K. Bosch diidentifikasi sebagai Candi Sumberjati, didasari oleh penelusuran rute perjalanan ziarah raja Hayam Wuruk ke arah utara menuju Surabhana (Surawana) melalui Plasa menunju Simping, dan peninggalan candi yang ada di sekitar itu adalah candi Sumberjati.

Dari candi ini diperoleh sebuah arca Harihara Krtarajasa yang semula diduga berasal dari Ngrimbi. Namun menurut Nágarakrtágama pupuh 47:3 raja Krtarajasa diarcakan sebagai Siwa (Saiwapratista) di Simping dan meninggal dunia pada tahun 1309. Keterangan ini menjadi acuan temuan di Candi Sumberjati, yaitu arca Siwa dalam bentuk Harihara. Harihara adalah salah satu manifestasi Siwa dalam bentuk persatuan Siwa (Hara) dan Wisnu (Hari).


Raja Jayanagara

Jayanagara diangkat menjadi raja pada usia yang sangat belia dan meninggal di usia muda sehingga masa pemerintahannya memang singkat. Semasa berkuasa Raja Jayanagara bersikap otoriter sehingga muncul berbagai pergolakan yang menggoyang pemerintahannya. Sampai kini belum diketahui letak candi dan arca pendharmaan-nya sebagai Wisnu dan Amogasiddhi.

Sri Rajapatni Gayatri

Rajapatni adalah salah satu putri  Krtanagara, raja Singhasari terakhir yang juga menjadi istri Raden Wijaya. Dari sang raja ini ia tidak mempunyai generasi penerus. Ia berhak atas tahta namun Rajaptni lebih memilih menjadi petapa.

Dalam kitab Nágarakrtágama diceritakan dengan jelas upacara Sraddha yang dilakukan 12 tahun sesudah meninggalnya Rajapatni. Disebutkan bahwa Hayam Wuruk (cucu Rajapatni) dan seluruh kerabatnya sangat menghormati Rajapatni dan tampaknya ia merupakan tokoh yang terkenal dan dicintai seluruh kerabat keraton.

Candi pendharmaan Rajapatni adalah Bhayalango. Arcanya dalam bentuk Prajnaparamita, Dewi Kebijaksanaan Ilahi, salah satu dewi tertinggi dalam agama Budha. Desa Bayanglo di daerah Tulungagung masih mempunyai sisa-sisa candi dan arca, jadi mungkin candi di Bayalangu inilah pendharmaan Rajapatni yang disebutkan dalam Nágarakrtágama.

Dalam candi Bayalango ini hanya tertinggal bagian alas-batur  saja, tidak ada struktur tubuh dan atap candi; mungkin dulu bangunan candinya dibuat dari bahan yang tidak tahan lama. Di atas batur ini terdapat sebuah arca besar dalam sikap duduk bersila dan tangannya bersikap dhyanamudra; sayang bagian kepalanya sudah hilang. Arca ini menggambarkan Prajnaparamita, yang cocok dengan apa yang disebutkan dalam Nágarakrtágama tentang arca Rajapatni.

Arca Prajnaparamita Bayalango mengenakan pakaian dan perhiasan yang raya, seperti kalung dan gelang bahu. Karena poisisi arca ini duduk, motif kainnya kurang begitu jelas. Pengerjaan pahatan arca ini sangat halus, menunjukkan hasil karya seni yang bermutu tinggi.

Arca pendharmaan tidak menggambarkan wujud fisik tokoh yang diarcakan karena tidak dimaksudkan untuk upacara penguburan. Bahkan tujuan utama pelaksanaan upacara sradha  yang diikuti pendirian arca dan bangunan penyimpanannya merupakan upacara pelepasan roh dari ikatan keduniawian. Dengan upacara tersebut maka roh si mati tidak lagi menjadi pirata,  yaitu roh yang berkeliaran di dunia bawah yang dapat mengganggu mahluk lain, melainkan menjadi pitara, yaitu roh leluhur yang sudah berbahagia di khayangan para dewa yang dulu dipuja semasa hidupnya.

Ciri-ciri khusus yang selama ini dianggap sebagai ciri “arca perwujudan”—kaku dan matanya tertutup—sebenarnya tidak menggambarkan tokoh yang sudah meninggal, melainkan menggambarkan roh tokoh tersebut.  Oleh karena itu arca-arca yang demikian tidak disebut sebagai arca perwujudan melainkan “arca leluhur” meskipun mempunyai ciri kedewaan.

Ciri kedewaan ini menggambarkan roh yang sudah menjadi bhatara,  setingkat dewa. Arca dari masa Jawa Timur ini dapat dikelompokkan ke dalam arca leluhur. Arca-arca ini tidak mendapat pengaruh India, namun merupakan hasil tradisi khas masyarakat Jawa Kuno.
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 12-7-2009 03:31 AM | Show all posts
Post Last Edit by jf_pratama at 12-7-2009 03:08

Arsitektur Rumah Tinggal Majapahit




Semua bangunan ciptaan manusia yang dimaksudkan untuk tempat berteduh, beribadah atau untuk kegiatan lainnya, sesungguhnya adalah simbol penciutan ruang yang semula dibatasi oleh bumi di bawah, langit di atas dan gunung di sisi-sisinya. Jika ciptaan alam itu maha besar maka ciptaan manusia boleh disebut maha kecil. Sebagai simbol ruang maka tiap bentuk yang diciptakan oleh manusia selalu mengandung makna tertentu. Semua ini adalah hasil ari penguasaan akan ilmu dan atau seni bangunan yang dalam bahasa asing disebut arsitektur.

Bangunan dari zaman Majapahit yang banyak ragamnya juga merupakan simbol dari zamannya, tetapi di sini hanya akan dibahas bentuk bangunannya saja; pembahasannya pun dibatasi pada bangunan rumah tinggal saja.

Sumber Penelitian Arsitektur Jawa Kuna

Untuk mengetahui bangunan kuna tersebut diperlukan sumber-sumber penelitian yang antara lain berupa:
1. Tinggalan arkeologis berupa prasasti, relief, miniatur bangunan, pondasi bangunan, masjid kuna, keraton kuna dan lain-lain.
2. Karya sastra
Naskah: Nagarakertagama tulisan Mpu Prapanca, Arjunawijaya dan Sutasoma tulisan Mpu Tantular, Lubdhaka tulisan Mpu Tanakung, Kunjarakarna tulisan Mpu Dusun, Sudamala dan Sri Tanjung (tak diketahui penulisya). Naskah dari jaman sebelum Majapahit, ialah Ramayana ditulis oleh Mpu Triguna, Sumanasantaka ditulis oleh Mpu Monaguna, Hariwangsa ditulis oleh Mpu Panuluh dan Wrttasancaya ditulis oleh Mpu Tanakung.

Berita asing: huruf musafit Cina (Ma Huan tahun 1416 menerbitkan buku Ying-yai Sheng-lan; antara lain berisi deskripsi rumah-rumah di Tuban dan penulis Eropa (Maclaine Pont, G.P. Rouffaer dan Rijkloff van Goens).

Semua sumber sastra tersebut telah memberikan deskripsi tentang bentuk rumah di Jawa. Nama bentuk rumah-rumah itu diberi istilah: umah (rumah rakyat), grha (rumah pembesar), wesma (rumah dengan dinding bambu), mahanten (rumah di pegunungan beratap meru dari bahan ijuk dan bertiang empat atau enam untuk nyepi atau memadu kasih), yasa (balai pertemuan, dindingnya berhias lukisan dan lain-lain) dan rangkang (rumah kecil untuk tempat pertemuan.

Sumber prasasti menyebut nama bangunan waruga (semacam balai; lihat teks prasasti Hantang tahun 1135 M) dan baganjing (bangunan keagamaan; lihat prasasti Plumbangan tahun 1140 M). Selain nama bangunan, prasasti juga menyebut bangunan bertiang 8 (lihat prasasti Jaring tahun 1181 M) dan bangunan bertiang 8 dari kayu kuning serta bertirai dari kain halus (prasasti Kemulan tahun 1194 M).

Bentuk Rumah

Sesungguhnya bentuk dan ukuran rumah dapat menunjukkan kelas masyarakat penghuninya. Rumah di lingkungan keraton berbeda dengan rumah untuk keagamaan dan rumah rakyat kecil. Rumah-rumah di zaman Majapahit masih memiliki bentuk sederhana. Melalui analogi perbandingan dengan relief dan bangunan lama, dapat disimpulkan bahwa bentuk dasarnya ada tiga macam yaitu tajuk, limasan dan kampung. Adapun rumah bentuk tajuk mempunyai empat tiang dan atap tajuk, rumah ini sering dipakai untuk tempat suci atau tempat ibadah. Adapun bentuk limasan dan kampung akan dibahas di bagian lain.

Rumah Tinggal

Ada dua bentuk rumah tinggal, yaitu limasan dan kampung yang datanya tampak pada relief. Penjelasan tentang bentuk rumah tinggal itu demikian:
1. Bentuk limasan ada lima macam yaitu:
limasan pokok: bertiang empat.
Limasan apitan: bertiang empat.
L;imasan bapangan: bertiang empat
Limasan traju mas: bertiang enam
Limasan sinom: bertiang delapan
2. Bentuk kampung: bertiang empat dengan atap kampung. Rumah ini umumnya dimiliki oleh rakyat.

Rumah Tradisional

Rumah tradisional Jawa yang mengandung unsur arsitektur kuna dan banyak dibuat ialah bentuk limasan dan joglo. Jika rumah ini tanpa dinding atau terbuka, maka fungsinya sebagai pendapa, yaitu tempat pertemuan. Sebelum tahun 1950 semua Lurah, Camat hingga Bupati di Jawa mempunyai rumah joglo yang terbuka untuk tempat pertemuan dengan warganya atau tempat menjamu tamu-tamu yang datang. Pada masa sekarang bangunan semacam ini masih ada di daerah-daerah kabupaten di Jawa.

Penutup

Kajian akan arsitektur rumah tinggal zaman Majapahit memang menarik, tetapi hasilnya masih bersifat hipotesis karena tidak ada bukti, atau contoh rumah Majapahit yang masih selamat hingga kini. Mengingat bahwa secara tradisional bentuk rumah itu diwariskan secara turun-temurun, maka melalui kajian etno-arkeologis atas bentuk rumah pedesaan, keraton dan masjid di Jawa, hipotesis tersebut di atas tidak akan meleset terlalu jauh.
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 12-7-2009 03:37 AM | Show all posts
Post Last Edit by jf_pratama at 12-7-2009 02:39

Mata Uang Masa Kerajaan Majapahit

Trowulan, sebagai salah satu kota kuno masa klasik yang ditemukan di Indonesia, memiliki peninggalan mata uang yang merupakan salah satu bukti adanya sistem moneter dan hubungan perdagangan dengan bangsa lain. Mata uang yang ditemukan selain dari mata uang lokal (kepeng) juga mata uang Cina.


Uang Cina  Masa Majapahit

Hingga saat ini temuan mata uang Cina yang berhasil diselamatkan di Balai Pelestarian Purbakala Trowulan sebanyak 34.175 keping, baik dalam kondisi utuh maupun pecah atau telah mengalami patinasi.

Penelitian mengenai mata uang Cina di Trowulan sampai pada kesimpulan bahwa mata uang sebagai alat tukar yang beredar di Kota Majapahit ternyata berasal dari beberapa jaman. Diperkirakan hubungan antara Indonesia dan Cina telah terjadi sejak abad V dan mengalami peningkatan pada abad XIII ketika Majapahit mengalami kejayaannya.

Lajunya pertumbuhan perdagangan tersebut selain karena Majapahit mampu menyediakan bermacam-macam komoditi yang dibutu*kan, antara lain cengkeh, pala, merica, kayu cendana, gaharu, kapur barus, kapas, garam, gula, gading gajah, cula badak, dan lain-lain. Adapun barang impor untuk konsumsi di Jawa yang utama adalah sutera, kain brokat warna-warni, dan keramik.

Pedagang-pedagang asing ketika mengadakan transaksi dengan penduduk lokal menggunakan mata uang yang dibawa dari negerinya masing-masing, sehingga lambat laun mendatangkan inspirasi bagi penduduk lokal atau penguasa kerajaan di Jawa untuk membuat mata uang sendiri. Bagi kebanyakan orang, mata uang logam lokal dikenal dengan istilah uang gobog, dibuat buka hanya dari tembaga melainkan juga logam timah, kuningan, dan perunggu. Berdasarkan jenis bahan, mata uang lokal yang berkembang sejak abad IX dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu: mata uang emas, perak, tembaga, dan mata uang besi.

Satuan mata uang Jawa dari bahan emas diurutkan dari satuan yang terbesar hingga terkecil, yaitu kati (disingkat ka), suwarna (su), masa (ma), kupang (ku), dan satak (sa). Semua mata uang tersebut menunjukkan ukuran berat benda (nilai intrinsik).
Mata uang gobog memiliki satuan nilai yang amat rendah dibandingkan dengan uang perak atau emas, tetapi nilainya masih lebih tinggi dari pada uang timah. Perbandingan antara uang gobog dengan uang yang beredar di Jawa lainnya antara lain: 1 gobog = 5 keteg; 1 derham perak = 400 gobog; dan 1 derham emas = 4000 gobog. Pada kedua sisi mata uang gobog terdapat relief manusia yang umumnya adalah tokoh-tokoh dalam dunia pewayangan. Mata uang logam Cina disebut pisis atau kepeng, di negeri asalnya disebut qian, yang terbuat dari campuran tembaga dan timah putih, juga unsur tambahan yaitu timah hitam, seng dan besi.

Terdapat dua cara pembacaan legenda pada koin Cina, yaitu: (1) atas – kanan-bawah-kiri atau searah jarum jam; (2) atas-bawah-kanan-kiri. Sementara gaya tulisan yang telah dikenali adalah: (1) Zhuan Shu yaitu gaya tulisan melengkung; (2) Li Shu yaitu gaya tulisan persegi; (3) Kai Shu yaitu gaya tulisan baku; (4) Hsing Shu yaitu gaya tulisan sambung; dan (5) Ts ’ao Shu yaitu gaya tulisan miring.



Dari penelitian mata uang logam yang ditemukan di Trowulan sebagian besar berasal dari Song Utara (960 – 1127) dengen legenda Yuanfeng Tongbao (1078 – 1085) yang diterbitkan oleh Kaisar Shen Tsung (1067 – 1085). Selain sebagai alat pembayaran dalam jual beli barang, mata uang kepeng juga digunakan untuk membayar utang piutang, gadai tebus tanah, denda akibat pelanggaran hukum, serta digunakan sebagai benda sesaji, bekal kubur, dan amulet atau jimat.

Di dalam buku Ying-yai Sheng-lan atau ”Laporan Umum Tentang Pantai-pantai Lautan” yang diterbitkan dalam tahun 1416 oleh Ma-Huan, dikatakan bahwa orang-orang Cina yang tinggal di Majapahit berasal dari Canton, Chang-chou, dan Ch-uan-cu. Mereka kebanyakan bermukim di Tuban dan Gresik menjadi orang kaya di sana. Tetapi tidak sedikit pula penduduk pribumi yang menjadi orang kaya dan terpandang. Dalam transaksi perdagangan, penduduk pribumi menggunakan kepeng Cina dari berbagai dinasti. Artinya bahwa penduduk pribumi tidak mengerti tulisan Cina yang tertera pada kepeng itu sehingga mau menerima uang Cina dari dinasti manapun (Tang, Song, Yuan) yang mungkin sudah tidak berlaku lagi di negeri asalnya.
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 12-7-2009 04:05 AM | Show all posts
Busana Masa Kerajaan Majapahit



Reply

Use magic Report

Follow Us
 Author| Post time 12-7-2009 01:55 PM | Show all posts
Strata Sosial Masyarakat Majapahit

Pola tata masyarakat Majapahit dibedakan atas lapisan-lapisan masyarakat (strata) yang perbedaannya lebih bersifat statis. Walaupun di Majapahit terdapat empat kasta seperti di India, yang lebih dikenal dengan catur warna, tetapi hanya bersifat teoritis dalam literatur istana.1 Pola ini dibedakan atas empat golongan masyarakat, yaitu brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Namun terdapat pula golongan yang berada di luar lapisan ini, yaitu Candala, Mleccha, dan Tuccha, yang merupakan golongan terbawah dari lapisan masyarakat Majapahit.

Brahmana (kaum pendeta) mempunyai kewajiban menjalankan enam dharma, yaitu mengajar, belajar, melakukan persajian untuk diri sendiri dan orang lain, membagi dan menerima derma (sedekah) untuk mencapai kesempurnaan hidup dan bersatu dengan Brahman (Tuhan).3 Mereka juga mempunyai pengaruh di dalam pemerintahan, yang berada pada bidang keagamaan dan dikepalai oleh dua orang pendeta tinggi, yaitu pendeta dari agama Siwa dan agama Buddha, yang disebut sebagai Saiwadharmadhyaksa dan Buddhadarmadyaksa. Saiwadyaksa mengepalai tempat suci (pahyangan) dan tempat pemukiman empu (kalagyan); Buddhadyaksa mengepalai tempat sembahyang (kuti) dan bihara (wihara); manteri berhaji mengepalai para ulama (karesyan) dan para pertapa (tapaswi). Semua rohaniawan menghambakan hidupnya kepada raja yang disebut sebagai wikuhaji.

Para rohaniawan biasanya tinggal di sekitar bangunan agama, yaitu mandala, dharma, sima, wihara, dsb. Mandala adalah nama komunitas agama di desa, yang ditempatkan di daerah yang terpencil di bukit yang berhutan, sedangkan Sima adalah daerah yang menjadi milik kaum agama dari berbagai sekte, tidak langsung di bawah kekuasaan pejabat istana manapun.

Kaum Ksatria merupakan keturunan dari pewaris tahta (raja) kerajaan terdahulu, yang mempunyai tugas memerintah tampuk pemerintahan. Keluarga raja dapat dikatakan merupakan keturunan dari kerajaan Singasari-Majapahit yang dapat dilihat dari silsilah keluarganya dan keluarga-keluarga kerabat raja tersebar ke seluruh pelosok negeri, karena mereka melakukan sistem poligami secara meluas yang disebut sebagai wargahaji atau sakaparek.

Para bangsawan yang memerintah suatu kawasan permukiman di ruang lingkup kekuasaan kerajaan dapat dikatakan memiliki hubungan dengan keluarga raja terdahulu dan disebut sebagai parawangsya. Semua anggota keluarga raja masing-masing diberi nama atas gelar, umur, dan fungsi mereka di dalam masyarakat. Bila seseorang diangkat menjadi bangsawan, maka nama pengangkatan akan diberikan kepadanya. Pemberian nama pribadi dan nama gelar terhadap para putri dan putra raja didasarkan atas nama daerah kerajaan yang akan mereka kuasai sebagai wakil raja. Hak istimewa yang diterima oleh para bangsawan kerajaan bersumber pada penghasilan dari propinsi mereka dan terutama pada penghasilan wilayah yang menjadi hak mereka sendiri.

Waisya merupakan masyarakat yang menekuni bidang pertanian dan perdagangan. Mereka bekerja sebagai pedagang, peminjam uang, penggara sawah dan beternak.

Kasta yang paling rendah dalam catur warna adalah kaum sudra yang mempunyai kewajiban untuk mengabdi kepada kasta yang lebih tinggi, terutama pada golongan brahmana.

Golongan terbawah yang tidak termasuk dalam catur warna dan sering disebut sebagai pancama (warna kelima) adalah kaum candala, mleccha, dan tuccha. Candala merupakan anak dari perkawinan campuran antara laki-laki (golongan sudra) dengan wanita (dari ketiga golongan lainnya: brahmana, waisya, dan waisya), sehingga sang anak mempunyai status yang lebih rendah dari ayahnya. Mleccha adalah semua bangsa di luar Arya tanpa memandang bahasa dan warna kulit, yaitu para pedagang-pedagang asing (Cina, India, Champa, Siam, dll.) yang tidak menganut agama Hindu. Tuccha ialah golongan yang merugikan masyarakat, salah satu contohnya adalah para penjahat. Ketika mereka diketahui melakukan tatayi, maka raja dapat menjatuhi hukuman mati kepada pelakunya. Perbuatan tatayi adalah membakar rumah orang, meracuni sesama, mananung, mengamuk, merusak dan memfitnah kehormatan perempuan.

Dari aspek kedudukan kaum wanita dalam masyarakat Majapahit, mereka mempunyai status yang lebih rendah dari para lelaki. Hal ini terlihat pada kewajiban mereka untuk melayani dan menyenangkan hati para suami mereka saja. Wanita tidak boleh ikut campur dalam urusan apapun, selain mengurusi dapur rumah tangga mereka. Dalam undang-undang Majapahit pun para wanita yang sudah menikah tidak boleh bercakap-cakap dengan lelaki lain, dan sebaliknya. Hal ini bertujuan untuk menghindari pergaulan bebas antara kaum pria dan wanita.
Reply

Use magic Report

Post time 12-7-2009 08:51 PM | Show all posts
20# WonBin

Ajaran Hindu di Jawa...Bali adalah lain...sangat-sangat berbeza berbanding dengan dengan ajaran Hindu di India.
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


Post time 15-7-2009 12:10 AM | Show all posts
Demak pulak sama ker ngan Majapahit?
Reply

Use magic Report

You have to log in before you can reply Login | Register

Points Rules

 

ADVERTISEMENT


Forum Hot Topic
TREND MARKETING OR STICK TO EVERGREEN METHOD?
adila39TREND MARKETING OR STICK TO EVERGREEN ME
Views : 2665 Replies : 15
Hanis Haizi Misqueen, Babutam, Nwantiti V79
syitaeyqaHanis Haizi Misqueen, Babutam, Nwantiti
Views : 196256 Replies : 4543
Tyra
aaanf14Tyra
Views : 7013 Replies : 49
Expectation vs Reality
Lavender85Expectation vs Reality
Views : 7803 Replies : 56
Guru lolipop pelajar sedang tidur didakwa.Apakah yang telah berlaku?
YgBenarGuru lolipop pelajar sedang tidur didakw
Views : 7259 Replies : 27
Point Kumpul Tachang
evatasoPoint Kumpul Tachang
Views : 30367 Replies : 182
Ramai yg jawab 100. Tapi sebenarnya salah.
chaconRamai yg jawab 100. Tapi sebenarnya sala
Views : 7461 Replies : 39
[KUIZ PERUBATAN MINGGUAN VOL. 7]: Mudah aje, ilmu harian! VOL.7
ipes2[KUIZ PERUBATAN MINGGUAN VOL. 7]: Mudah
Views : 103984 Replies : 2888
Kereta manual VS kereta automatik,
fahdramliKereta manual VS kereta automatik,
Views : 92757 Replies : 166
Siapa Pernah Jadi PM, Angkat Tangan
KurexSiapa Pernah Jadi PM, Angkat Tangan
Views : 16474 Replies : 50

 

ADVERTISEMENT


 


ADVERTISEMENT
Follow Us

ADVERTISEMENT


Mobile|Archiver|Mobile*default|About Us|CariDotMy

16-6-2024 09:17 PM GMT+8 , Processed in 0.059401 second(s), 31 queries .

Powered by Discuz! X3.4

Copyright © 2001-2021, Tencent Cloud.

Quick Reply To Top Return to the list