Artinya, keduanya hanya memperjuangkan apa yang telah diyakini oleh para sahabat Rasulullah.
Al-Imam Abu al-Hasan memperjuangkan teks-teks dan segala permasalahan yang telah berkembang dan ditetapkan di dalam mazhab asy-Syafi’i, sementara al-Imam Abu Manshur memperjuangkan teks-teks dan segala permasalahan yangtelah berkembang dan ditetapkan di dalam mazhab Hanafi.
Dalam perjuangannya, kedua Imam agung ini melakukan bantahan-bantahan dengan berbagai argumen rasional yang didasarkan kepada teks-teks syari’at terhadap berbagai faham firqah yang menyalahi apa yang telah digariskan oleh Rasulullah.
Pada dasarnya, perjuangan semacam ini adalah merupakan jihad hakiki, karena benar-benar memperjuangkan ajaran-ajaran Rasulullah dan menjaga kemurnian dan kesuciannya.
Para ulama membagi jihad kepada dua macam.
Pertama; Jihad dengan senjata (Jihad Bi as-Silah), kedua; Jihad dengan argumen (Jihad Bi al-Lisan).
Dengan demikian, mereka yang bergabung dalam barisan al-Imam al-Asy’ari dan al-Imam al-Maturidi pada dasarnya melakukan pembelaan dan jihad dalam mempertahankan apa yang telah diyakini kebenarannya oleh para ulama Salaf terdahulu.
Dari sini kemudian setiap orang yang mengikuti langkah kedua Imam besar ini dikenal sebagai sebagai al-Asy’ari dan sebagai al-Maturidi.
Al-Imam Tajuddin as-Subki (w 771 H) dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah mengutip perkataan al-Imam al-Ma’ayirqi; seorang ulama terkemuka dalam mazhab Maliki, menuliskan sebagai berikut:
“Sesungguhnya al-Imam Abu al-Hasan bukan satu-satunya orang yang pertama kali berbicara membela Ahlussunnah.
Beliau hanya mengikuti dan memperkuat jejak orang-orang terkemuka sebelumnya dalam pembelaan terhadap mazhab yang sangat mashur ini.
Dan karena beliau ini maka mazhab Ahlussunnah menjadi bertambah kuat dan jelas.
Sama sekali beliau tidak membuat pernyataan- pernyataan yang baru, atau membuat mazhab baru.
Sebagaimana telah engkau ketahui, bahwa mazhab para penduduk Madinah adalah mazhab yang dinisbatkan kepada al-Imam Malik, dan siapapun yang mengikuti mazhab penduduk Madinah ini kemudian disebut seorang yang bermazhab Maliki (Maliki).
Sebenaranya al-Imam Malik tidak membuat ajaran baru, beliau hanya mengikuti ajaran-ajaran para ulama sebelumnya.
Hanya saja dengan adanya al-Imam Malik ini, ajaran-ajaran tersebut menjadi sangat formulatif, sangat jelas dan terang, hingga kemudian ajaran-ajaran tersebut dikenal sebagai mazhab Maliki, karena disandarkan kepada nama beliau sendiri.
Demikian pula yang terjadi dengan al-Imam Abu al-Hasan.
Beliau hanya memformulasikan dan menjelaskan dengan rincian-rincian dalil tentang segala apa yang di masa Salaf sebelumnya belum diungkapkan”.
Kemudian al-Imam Tajuddin as-Subki juga menuliskan sebagai berikut:
“Kaum Malikiyyah (orang-orang yang bermazhab Maliki) adalah orang-orang yang sangat kuat memegang teguh akidah Asy’ariyyah.
Yang kami tahu tidak ada seorangpun yang bermazhab Maliki kecuali ia pasti seorang yang berakidah Asy’ari.
Sementara dalam mazhab lain (selain Maliki), yang kami tahu, ada beberapa kelompok yang keluar dari mazhab Ahlussunnah ke mazhab Mu’tazilah atau mazhab Musyabbihah.
Namun demikian, mereka yang menyimpang dan sesat ini adalah firqah-firqah kecil yang sama sekali tidak berpengaruh”.
Masih dalam kitab Thabaqat asy-Syafi’iyyah, al-Imam Tajuddin as-Subki juga menuliskan sebagai berikut:
“Aku telahmendengar dari ayahku sendiri, asy-Syaikh al-Imam (Taqiyuddin as- Subki) berkata bahwa risalah akidah yang telah ditulis oleh Abu Ja’far ath- Thahawi (akidah Ahlussunnah yang dikenal dengan al-‘Aqîdah ath-Thahawiyyah) persis sama berisi keyakinan yang diyakini oleh al-Asy’ari, kecuali dalam tiga perkara saja.
Aku (Tajuddin as-Subki) katakan:
Abu Ja’far ath-Thahawi wafat di Mesir pada tahun 321 H, dengan demikian beliau hidup semasa dengan Abu al- Hasan al-Asy’ari (w 324 H) dan Abu Manshur al-Maturidi (w 333 H).
Dan saya tahu persis bahwa orang-orang pengikut mazhab Maliki semuanya adalah kaum Asy’ariyyah, tidak terkecuali seorangpun dari mereka.
Demikian pula dengan para pengikut mazhab asy-Syafi’i, kebanyakan mereka adalah kaum Asy’ariyyah, kecuali beberapa orang saja yang ikut kepada mazhab Musyabbihah atau mazhab Mu’tazilah yang telah disesatkan oleh Allah.
Demikian pula dengan kaum Hanafiyyah, kebanyakan mereka adalah orang-orang Asy’ariyyah, sedikitpun mereka tidak keluar dari mazhab ini kecuali beberapa saja yang mengikuti mazhab Mu’tazilah.
Lalu, dengan kaum Hanabilah (para pengikut mazhab Hanbali), orang-orang terdahulu dan yang terkemuka di dalam mazhab ini adalah juga kaum Asy’ariyyah, sedikitpun mereka tidak keluar dari mazhab ini kecuali orang-orang yang mengikuti mazhab Musyabbihah Mujassimah.
Dan yang mengikuti mazhab Musyabbihah Mujassimah dari orang-orang mazhab Hanbali ini lebih banyak dibanding dari para pengikut mazhab lainnya”.
Al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam mengatakan bahwa sesungguhnya akidah Asy’ariyyah telah disepakati (Ijma’) kebenarannya oleh para ulama dari kalangan mazhab asy-Syafi’i, mazhab Maliki, mazhab Hanafi, dan orang-orang terkemuka dari kalangan mazhab Hanbali.
Kesepakatan (Ijma’) ini telah dikemukan oleh para ulama terkemuka di masanya, di antaranya oleh pemimpin ulama mazhab Maliki di zamannya; yaitu al-Imam Amr ibn al-Hajib, dan oleh pemimpin ulama mazhab Hanafi di masanya; yaitu al-Imam Jamaluddin al-Hashiri.
Demikian pula Ijma’ ini telah dinyatakan olehpara Imam terkemuka dari mazhab asy-Syafi’i, di antaranya oleh al-Hafizh al-Mujtahid al-Imam Taqiyyuddin as-Subki, sebagaimana hal ini telah telah dikutip pula oleh putra beliau sendiri, yaitu al-Imam Tajuddin as-Subki.
Salah seorang ulama besar dan sangat terkemuka di masanya, yaitu al-Imam Abu al-Abbas al-Hanafi; yang dikenal dengan sebutan Qadhi al-Askari, adalah salah seorang Imam terkemuka di kalangan ulama mazhab Hanafi dan merupakan Imam terdahulu dan sangat senior hingga menjadi rujukan dalam disiplin Ilmu Kalam.
Di antara pernyataan Qadhi al-Askari yang dikutip oleh al-Hafizh Ibn Asakir dalam kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî adalah sebagai berikut:
menemukan kitab-kitab hasil karya Abu al-Hasan al-Asy’ari sangat banyak sekali dalam disiplin ilmu ini (Ilmu Usuluddin), hampir mencapai dua ratus karya, yang terbesar adalah karya yang mencakup ringkasan dari seluruh apa yang beliau telah tuliskan. Di antara karya-karya tersebut banyak yang beliau tulis untuk meluruskan kesalahan madzhab Mu’tazilah.
Memang pada awalnya beliau sendiri mengikuti faham Mu’tazilah, namun kemudian Allah memberikan pentunjuk kepada beliau tentang kesesatan-kesesatan mereka.
Demikian pula beliau telah menulis beberapa karya untuk membatalkan tulisan beliau sendiri yang telah beliau tulis dalam menguatkan mazhab Mu’tazilah terhadulu.
Di atas jejak Abu al-Hasan ini kemudian banyak para pengikut madzhab asy-Syafi’i yang menapakkan kakinya. Hal ini terbukti dengan banyaknya para ulama pengikut mazhab asy-Syafi’i yang kemudian menulis banyak karya teologi di atas jalan rumusan Abu al-Hasan”.
Al-Imam al-Hafizh Muhammad Murtadla az-Zabidi (w 1205 H) dalam pasal ke dua pada Kitab Qawa-id al-‘Aqa-id dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqîn Bi Syarh Ihya’ ‘Ulûm ad-Dîn, menuliskan sebagai berikut: “Jika disebut nama Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah kaum Asy’ariyyah dan kaum Maturidiyyah”.
Asy-Syaikh Ibn Abidin al-Hanafi (w 1252 H) dalam kitab Hasyiyah Radd al- Muhtar ‘Ala ad-Durr al-Mukhtar, menuliskan:
“Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah kaum Asy’ariyyah dan Maturidiyyah”.
Asy-Syaikh al-Khayali dalam kitab Hasyiyah ‘Ala Syarh al-‘Aqa’id menuliskan sebagai berikut: “Kaum Asy’ariyyah adalah kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah. Madzhab ini sangat mashur di wilayah Khurrasan (Iran), Irak, Syam (Siria, Lebanon, Yordania, dan Pelestina), dan di berbagai penjuru dunia.
Adapun di wilayah seberang sungai Jaihun (Bilad Ma Wara’ an-Nahr) Ahlussunnah lebih dikenal sebagai kaum al- Maturidiyyah; para pengikut al-Imam Abu Manshur al-Maturidi”.
Asy-Syaikh al-Kastuli al-Hanafi (w 901 H) juga dalam kitab Hasyiah ‘Ala Syarh al- ‘Aqa-id menuliskan:
“Yang dikenal sangat mashur sebagai Ahlussunnah di wilayah Khurrasan, Irak, Syam, dan di berbagai penjuru dunia adalah kaum Asy’ariyyah; para pengikut al- Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Beliau adalah orang yang pertama kali menentang faham-faham Ali al-Jubba’i (pemuka kaum Mu’tazilah) dan keluar dari madzhabnya. Al-Imam al-Asy’ari kemudian kembali kepada jalan sunnah, jalan yang telah digariskan oleh Rasulullah, setelah sebelumnya ikut faham al-Jubba’i.
Dan maksud dari al-Jama’ah adalah para sahabat Rasulullah dan orang-orang yang mengikuti mereka.
Adapun di wilayah seberang sungai Jaihun, Ahlussunnah lebih dikenal sebagai kaum al-Maturidiyyah, para pengikut al-Imam Abu Manshur al- Maturidi.
Perbedaan antara keduanya hanya dalam beberapa masalah saja yang bukan dalam masalah-masalah prinsip.
Karena itu kedua kelompok ini tidak pernah saling menyesatkan satu sama lainnya hanya karena perbedaan tersebut”.
Harab kalian belajar sejarah kebenaran aQidah asy'ariyyah.