|
F. Kesimpulan
Kelompok Asy’ariyah dan Al-maturidi muncul karena ketidakpuasan Abul Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi terhadap argumen dan pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh kelompok Muktazilah. Dalam perjalannya, Asy’ari sendiri mengalami tiga periode dalam pemahaman akidahnya, yaitu Muktazilah, kontra Muktazilah, dan Salaf.
Antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut: Tentang sifat Tuhan, tentang perbuatan manusia, tentang Al-Qur’an, kewajiban tuhan, Pelaku dosa besar, Rupa Tuhan, dan juga janji Tuhan.
Pokok-pokok ajaran Al-Maturidiyah pada dasarnya memiliki banyak kesamaan dengan aliran al-Asy'ariyah dalam merad pendapat-pendapat Mu'tazilah. Perbedaan yang muncul bisa dikatakan hanya dalam penjelasan ajaran mereka atau dalam masalah cabang.
Pemikiran-pemikiran al-Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan didapati bahwa al-Maturidi memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal manusia dibandingkan dengan Asy’ari. Namun demikian di kalangan Maturidiah sendiri ada dua kelompok yang juga memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda yaitu kelompok Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri yang paham-paham teologinya lebih dekat kepada paham Mu’tazilah dan kelompok Bukhara yaitu pengikut al-Bazdawi yang condong kepada Asy’ariyah.
DAFTAR PUSTAKA
Asy-Syahrastani, Muhammad bin Abd Al-Karim, Al-Milal wa An-Nihal, Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, 1951
Abdul Kadir bin Tahir bin Muhammad, Al-Farqu Bainal Firaq, Dar al-Kutub al-ilmiah: Beirut: t.t
Badawi, Abdurrahman, Mazhab Al-Islamiyyin, Dar Ilmi lil Al-Malayin, 1984
Hamid, Jalal Muhammad Abd, Al-Nasyiah Al-Asy’ariyah wa Tatawwaruh, Beirut: Dar Al-Kitab, 1975
Hanafi, A, Pengantar Teologi Islam, Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al Husna Baru: 2003
Ibrahim, Aliran dan Teori filsafat Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995
Madkour, Ibrahim , Aliran dan teori filsafat islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1995
Muhammad Tholhah Hasan. Aswaja dalam Persepsi dan Tradisi NU Jakarta: aniuhnia Press, 2005
Nasir, Sahilun A. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986
Rozak, Abdul & Anwar, Rohison, Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia, 2009
Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor, 1991
[1] Muhammad Thoha Hasan, Ahlussunna wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU (Jakarta: aniuhnia Press, 2005). hal. 24
[2] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hal. 187
[3]Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 120
[4] Abdurrahman Badawi, Mazhab Al-Islamiyyin, (Dar Ilmi lil Al-Malayin, 1984), hal. 497
[5] Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam…., hal. 120
[6] Ibid
[7] Ibrahim, Aliran dan Teori filsafat Islam, Bumi Aksara,Jakarta,1995,hlm.66
[8] Abdul Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam….,.,hal. 124
[9] http://ustadzmuis.blogspot.com/2009/02/paham-kalam-asyariyah.html#uds-search-results
[10] Abdul Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam….,.,hal. 121
[11] Ibid
[12] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor, 1991), hal. 67-68
[13] Ibid.,hlm. 68
[14] Abdul Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam….,.,hal. 122
[15] Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan…, hal. 70
[16] Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, 1951), hal. 115
[17] Ibid.,hlm.122.
[18] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 69
[19] Ibid
[20] Abdul Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam….,.,hal. 123
[21] Ibid, hal. 124
[22] Ibid.,hlm.124
[23] Ibid
[24] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al Husna Baru: 2003), hal. 167.
[25] Abdul Rozak dan Rosihon anwar,op.cit.,hlm124
[26] Harun Nasution, Teologi Islam…, hal. 70
[27] Ibid.,hlm.126
[28] Ibid.,hlm.127
[29] Ibid.,hlm.129
[30] Ibid, hal. 131-132
[31] Muhammad Tholhah Hasan. Aswaja dalam Persepsi dan Tradisi NU
[32] Abdul Kadir bin Tahir bin Muhammad, Al-Farqu Bainal Firaq (Dar al-Kutub al-ilmiah: Beirut: t.th). hal, 28
[33] Abdul Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam...,hal.127
[34] http://ustadzmuis.blogspot.com/2009/02/paham-kalam-asyariyah.html#uds-search-results |
Rate
-
1
View Rating Log
-
|
|
|
|
|
|
|
Okeylah ye. Bacalah hingga faham. Insya'allah, jika diizinkan-Nya, saya berikan penjelasan yg belum pernah awak semua dengari dari mana2 guru dan pastilah ianya menjelaskan hal ehwal manusia itu hanyalah diberi "pilihan" oleh Allah untuk menguruskan semua yg dinamakan kepunyaan-Nya sesuai dgn amanah-Nya yg dipilih oleh manusia jua. Dan itulah pengertian sebenar, manusia diutuskan ke-dunia oleh-Nya selaku khalifah. Diuji-Nya sebelum kembali kepada-Nya jua.
Moga2 bermanfaat. |
|
|
|
|
|
|
|
saya berikan penjelasan yg belum pernah awak semua dengari dari mana2 guru maseh dalam pengaruh akal dan nafsu, maseh belum bersih suci...
pendek cerita maseh dok sangkut pengaruh nafsu ego riak ujub la...
jauh lagi la mengenal hakikat, jgnkan makrifat...
|
|
|
|
|
|
|
|
thread otto???
dia dah lari???hampehhh
|
|
|
|
|
|
|
|
Terima kasih. Semua yang di atas tu bukan penjelasan sendiri kan? ada yang copy paste kan? Apa pun terima kasih sekali lagi
|
|
|
|
|
|
|
|
rantaikendoq replied at 20-2-2019 01:12 AM
maseh dalam pengaruh akal dan nafsu, maseh belum bersih suci...
pendek cerita maseh dok sangkut p ...
Peliharalah lidahmu : Orang-orang beriman tidak akan berbohong
Seorang sahabat bertanya, “Ya RasuluLLAH, apakah mungkin seorang mukmin bersifat penakut?” Beliau menjawab, “Ya, mungkin.” Baginda SAW. ditanya lagi, “Apakah mungkin ia bersifat kedekut?” Nabi SAW. menjawab, “Ya, mungkin.” Baginda ditanya lagi, “Apakah mungkin seorang mukmin bersifat pembohong?” Nabi SAW menjawab, “Tidak, tidak mungkin.” (Hadith Riwayat Ahmad)
Dalam sebuah hadith yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Muhammad bin Ahmad, dari Shafwan bin Salim diceritakan, suatu ketika RasuluLLAH SAW. ditanya, “Ya Rasulullah, apakah mungkin seorang mukmin itu kedekut?” Jawab RasuluLLAH “Ya, mungkin,”, “Apakah mungkin seorang mukmin itu penakut?” Jawab Rasulullah “Ya, mungkin.” “Apakah mungkin seorang mukmin itu pembohong?” Jawab Rasulullah “Tidak!”
Sedutan hadis di atas memberi maksud bahawa ada kemungkinan orang-orang beriman itu bersifat kedekut, kikir dan bakhil. Dan ada pula kemungkinan orang-orang beriman itu bersifat penakut, tidak tahan diugut dan seumpamanya. Tetapi RasuluLLAH S.A.W bertegas bahawa orang-orang beriman sekali-kali tidak akan berbohong. Orang-orang beriman tidak akan berbohong, kerana berbohong dan berdusta itu adalah ciri-ciri orang munafiq.
Sabda RasuluLLAH S.A.W: “Tanda-tanda orang munafiq itu tiga, apabila dia berbicara dia dusta, apabila dia dia berjanji dia menyalahi janjinya, apabila dia diberi amanah dia khianati”
Orang-orang munafiq diancam dengan neraka bersama-sama dengan orang kafir.
"Khabarkan kepada orang-orang yang munafik bahawa mereka akan mendapat seksaan yang pedih." (An-Nisaa': 138)
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka." (An-Nisaa': 142)
ALLAH S.W.T telah menegaskan dalam al-Quran bahawa orang-orang yang berbohong bukanlah golongan beriman kepada ALLAH.
ALLAH berfirman yang bermaksud: "Bahawa orang-orang yang suka melakukan pembohongan merupakan orang yang tidak beriman kepada ALLAH. Mereka itu pendusta" (Surah an-Nahl: 105)
Sahabat-sahabiyyah, muslimin muslimat, para pejuang Islam sekalian,
Berbohong adalah salah satu daripada ciri-ciri orang munafiq, yang kita selaku orang yang mengaku beriman kepada ALLAH mesti jauhi. Jauhilah berbohong dan berkata dusta kerana sikap demikian akan menjatuhkan maruah, menghilangkan kepercayaan dan melunturkan rasa hormat orang kepada kita. |
|
|
|
|
|
|
|
....sambungan dari ulasan dan ringkasan dari post yang sebelum ini
3. Hukum Aqli
Merupakan hukum akal yang dibahaskan berkaitan sifat Allah. Yang ni yang dibahaskan oleh Ulama asy'ariyyah, dan golongan salafi melihat perbuatan ini SALAH sebab membahaskan guna akal (sebab tu ada label mutafalsifah - dikatakan dari akal guna falsafah Yunani).
Oleh kerana yang ke-3 ni yang timbul perbalahan, saya akan cuba kupas pasal Hukum Aqli ni, InshaAllah
Maafkan saya lewat sambung sebab ada banyak kekangan...
Berkaitan hukum 'aqli (aqal/akal) ni, sebenarnya bukanlah bermaksud mendahulukan akal untuk memahami sifat ketuhanan, seperti yang dituduh oleh sesetengah pihak, akan tetapi dengan AKAL YANG SIHAT, ada perkara yang sememangnya diterima akal secara sejagat. Hal ini tidak memerlukan hujjah dari Al-Quran dan Sunnah (hujjah akal yang sihat tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah). Dan dengan hukum akal ini lah yang membolehkan hujjah diberikan kepada golongan lain (contoh kepada golongan atheist).
Contoh hujjah akal: Tuhan semestinya tidak sama dengan makhluk.
Akal yang sihat sebenarnya dapat terima hujjah ini secara terang dan NYATA, tidak kira seseorang Islam atau bukan Islam. Dengan menggunakan akal, kita dapat lihat sesuatu yang dicipta/direka oleh manusia, tak akan sama dengan manusia itu sendiri secara holistik (keseluruhannya). Dengan kata lain, ciptaan manusia tak akan sama dengan manusia, walaupun manusia boleh buat patung berupa manusia tapi patung itu tidak menjadi manusia dengan keseluruhan ciri-ciri manusia pun!
Ini bukan bermakna mendahulukan akal melebihi Al-Quran, ini menggunakan akal yang sihat untuk melihat 'sifat pencipta' (sekadar kemampuan akal). Ada pun bila seseorang itu sudah Islam, maka akal kita ini tertakluk kepada Al-Quran dan Sunnah untuk memahami hal-hal yang tidak dapat digunakan oleh akal. Akal ada batas, dan dalam hukum akal ini, hanya hal-hal yang terbatas kepada kemampuan akal sahaja yang digunakan.
Sebagai seorang Islam, memang dalam Al-Quran ada hujjah: tidak ada yang setanding dengan Allah, dan tidak ada yang menyerupai Allah (Surah Al-Ikhlas). Jika kita berbincang hal ketuhanan dengan seorang atheist yang hanya terima logik akal, dan bila kita ambil ayat Al-Quran, awal-awal lagi dia akan tolak hujjah Al-Quran sebab memang dia tak percaya tuhan pun, apatah lagi Al-Quran. Jika dia (si atheist) jujur dalam perbincangan untuk mencari kebenaran, dia akan dapati ada hujjah akal yang membuktikan ada nya Tuhan, dan Tuhan itu tak sama dengan makhluk, tanpa merujuk kepada Al-Quran pun! Ini bukan mendahulukan akal melebihi Al-Quran, ini menggunakan akal yang sihat yang diterima manusia sejagat!
Lagi hujjah akal: tiada sesuatu yang terjadi dengan sendirinya
Kereta, lori, kapal terbang, bangunan... semua ini ada pihak yang reka/bina. Begitu juga dengan planet yang bergerak dalam sistem yang teratur, kejadian malam dan siang, semua ini tentu ada satu kuasa yang menjadikannya... tanpa guna Al-Quran pun akal yang sihat dapat melihat adanya Pencipta (diulangi bukan mendahulukan akal berbanding Al-Quran)
Dalam Al-Quran disebut kejadian malam dan siang itu sebagai TANDA adanya Pencipta, bagi orang-orang yang berakal. Dalam Al-Quran juga ada dinukilkan kisah Nabi Ibrahim mencari Tuhan, dan kesimpulannya Nabi Ibrahim menafikan segala apa yang zahir pada pandangannya kerana kesemua itu makhluk/ciptaan, dan tentunya ada Satu Pencipta yang mencipta kesemua makhluk dan kejadian-kejadian.
Sekarang apa isunya yang jadi kontroversi....??? (bersambung....)
|
|
|
|
|
|
|
|
Berkaitan kontroversi hukum akal ni, tidak berapa jelas sangat hal-hal diperbesarkan melainkan isu yang dikatakan mendahulukan akal berbanding Al-Quran. Apabila dikatakan mendahulukan akal, seolah-oleh membelakangkan Al-Quran, dan isu ni menjadi isu yang besar kerana sesungguhnya orang Islam meletakkan Al-Quran sebagai sumber utama, jadi mana-mana pihak yang dilihat (atau dilabel) meletakkan selain Al-Quran sebagai keutamaan maka nampak macam dah terpesong....
Kenapa golongan 'salafi' terlalu anti hukum akal? Saya tidak berpandangan mereka anti hukum akal... saya letak 'salafi' kerana bukan semua yang mengaku salafi tu sepakat dalam hal yang ada khilaf.... Ada yang ekstrim, ada yang super literalist, ada yang moderate.... kesepakatan sesama yang mengaku salafi yang jelas hanyalah mereka tidak ikut mana-mana mazhab (saya guna terma ghair muqallid).
Jadi kenapa mereka ('salafi') seperti anti-kepada hukum akal yg dijelaskan oleh Asy'ariyyah? Saya nampak satu isu yang tidak dapat tidak, yang mereka SANGAT-SANGAT SUKA sebarkan, iaitu isu 'Di mana Allah'. Polemik ini tak berkesudahan sehinggalah timbul isu takfir (kafir mengkafirkan). Bukan satu pihak saja, kedua-dua pihak pun saling berbuat demikian (yang ekstrim dalam kedua-dua pihak). Oleh kerana Ulama salaf (bukan salafi) tidak memperincikan pun isu ni, maka Asy'ariyyah dilihat seperti memperincikan isu ni (sebab ada huraian Allah tidak bertempat). 'Salafi' menyerang aqidah Allah tidak bertempat ni berdasarkan dalil Al-Quran dan Hadith yang diambil secara LITERAL, mereka kata Allah di Langit.
Bertitik-tolak isu ini lah (Isu Di mana Allah) menjadi kontroversi yang sangat besar, kerana hal ini melibatkan Aqaaid (Aqidah), yang mana satu pihak lihat pihak yang satu lagi tersasar (guna akal melebihi Al-Quran) dan satu pihak lagi melabelkan golongan yang beri'tiqad Allah di Langit ni golongan mujassim atau musyabbih (yang menjisimkan atau yang menyamakan).
Bersambung...
|
|
|
|
|
|
|
|
Sambungan (banyak pula sambungan nya...)
Bagaimana nak raikan isu berkaitan: dahulukan akal, tajsim, tasybih antara kedua-dua belah pihak?
Tiada jalan mudah melainkan mendalami ilmu dan elakkan berhukum kepada golongan yang tidak dipersetujui. Walaupun tak setuju, jangan berhukum sesat kepada golongan yang tak sependapat, kerana kedua-dua belah pihak ada tokoh agamawan dan ada hujah masing-masing, cuma penerimaan hujah saja yang tak sama.
Sebelum ni saya ada tulis saya mudah hadam hujjah dari golongan salafi, tapi dalam isu Di mana Allah, saya tak dapat ikut penjelasan literal mereka kerana:
1. Melibatkan Zat Allah - maka hal ini termasuk dalam kategori Mutasyabihat (samar-samar makna, tak boleh ambil secara literal)
2. Ia bertentangan dengan akal yang sihat
Walaupun saya tidak cenderung kepada penjelasan pihak salafi (dalam isu ni), saya akan cuba rungkaikan tanpa diskredit atau merendahkan hujjah dari golongan salafi.
bersambung....
|
|
|
|
|
|
|
|
Edited by mnm77 at 22-2-2019 09:56 AM
Kontroversi 'Di mana Allah"
Kalau cari balik dalam forum ni, dah banyak bebenang dibuka berkaitan isu Di mana Allah.... dan malangnya tiada kesimpulan yang menyenangkan pihak-pihak yang bertelagah. Dan sebab kita tak perlu untuk pergi jauh ke dalam isu ini kerana akal kita tak mampu....
Bila masuk Zat Allah, perbincangan jadi sangkut, sebab akal dah tak sampai.... mungkin juga salafi nampak macam Asy'ariyyah bincang pasal zat Allah, lalu mahu 'membersihkan' kefahaman tersebut kepada kefahaman yang sahih dari Al-Quran dan Hadith (niat yang baik). Kat sini patut bagi kredit.
Jadi adakah Asy'ariyyah bincang pasal zat Allah? Ia bergantung kepada tanggapan yang dibuat oleh pembaca. Ada ulasan Allah tidak bertempat, dan penjelasan ini bukannya dalil akal semata-mata, ada hujahannya juga, namun disebabkan tiada ayat yang spesifik yang sebut Allah tidak bertempat maka golongan salafi membantah dengan hujjah Allah di langit. Kontroversi kan?
Kenapa pula hujjah salafi saya tak dapat terima:
1. Walaupun tiada ayat spesifik yang menyebut Allah tidak bertempat, ada ayat-ayat berikut:
Allah cipta Langit dan Bumi, Allah di mana-mana kamu berada (Al-Hadeed, 4)
- dari kata ganti 'Huwa' = 'Dia'
Allah di Langit (Al-Mulk, 16)
- dari ayat pertanyaan terkandung 'man' = 'siapa'
Allah lebih dekat dari urat leher (Qaf, 16)
- dari kata ganti 'nahnu' = 'Kami'
Arah mana saja kamu menghadap, di situ Wajah Allah. (Al-Baqarah, 115)
Jika ambil kefahaman Allah di Langit saja, bagaimana dengan ayat-ayat lain pula? Adakah Allah di Langit tu ambil secara literal dengan Zat-Nya, dan ayat yang lain bukan diambil secara literal dan memerlukan tafsiran/takwilan? Ada juga penjelasan yang menyebut 'Kami' dalam Surah Qaf bukan merujuk kepada Allah, akan tetapi murujuk kepada malaikat, maka hal ini menjadi perbahasan yang lebih luas, tambahan pula ada beza tafsiran mufassirin dari ayat tersebut. Kata ganti 'Dia' dalam surah Al-Hadeed pun ada ditakwil dengan ilmu Allah, justeru tidak dapat tidak, ada ayat yang diambil secara literal, dan ayat lain ditakwil untuk menegakkan fahaman yang dibawa. Hal inilah yang menjadi perbahasan ini sukar kerana bila melibatkan Zat Allah (untuk menisbatkan di mana Allah secara Zat), penetapan takwilan dan tanpa takwilan terpaksa dibuat untuk ayat-ayat tersebut.
2. Jika pihak salafi menegaskan Allah di Langit secara Zatnya (hujah salafi literalist), maka fahaman ni menimbulkan permasalahan kepercayaan meletakkan Allah dalam ruang Langit yang mana Allah sendiri yang menciptakan Langit dan Bumi (Al-Hadeed, 4). Adakah Allah berada di dalam makhluk ciptaan-Nya sendiri? Hal ini tak dapat dijawab oleh salafi literalist, kerana memang tak masuk akal dan tiada jawapan dari Al-Quran dan Sunnah pun! Mereka tak boleh jawab sebab tiada jawapan kepada kefahaman yang menimbulkan masalah ini... ini hanya berlaku apabila mempunyai kefahaman literal Zat Allah bertempat dalam ruang ciptaan Allah itu sendiri.
Kalau sebut Allah di Langit, tak jadi masalah pun tanpa nisbatkan Zat Allah di Langit. Kalau nisbatkan Zat Allah itu yang jadi masalah, kerana menyamakan (tasybih) Zat Allah seperti zat makhluk yang memerlukan tempat untuk wujud. Berkaitan dengan Zat Allah, tak perlu rincikan sebab akal kita tak akan dapat faham akan hal ini....
Jadi nak sebut Allah di Langit, Allah di mana-mana, Allah lebih dekat dari urat leher, semua ni tak jadi masalah pun sebab Allah tak tertakluk kepada ruang ciptaan-Nya sendiri. Pendek kata, Allah tak tertakluk kepada ruang, Allah melangkaui segala ruang ciptaan-Nya sendiri. Maha Tinggi Allah (Maha Tinggi ni pun bukannya ukuran ketinggian secara Zat, akan tetapi menunjukkan kehebatan Allah yang tiada tanding). Allah, dia Az-Zahir, Dia Al-Batin. Dia Al-Awwal, dia juga Al-Akhir. Allah tak tertakluk pada masa, juga Allah tak tertakluk pada ruang tempat.
Dalam Al-Quran, disebut Allah itu Al-Musawwir, yang membentuk rupa (bentuk). Maka setiap makhluk yang ada rupa itu dibentuk dan dicipta oleh Allah. Allah itu tak sama dengan makhluk yang Allah sendiri cipta rupa bentuk makhluk. Dalam hadith ada disebutkan Allah itu masa. Jika diambil secara literal, memang masa ini bukannya ada rupa, dan sekali lagi akal kita tak sampai kalau nak fikirkan secara zat.
Habistu dalam Al-Quran ada disebut Wajah Allah, Tangan Allah... adakah tiada rupa?
Bila kita baca ayat pasal Zat Allah, kita tidak takwil, hanya beriman dengan ayat tu sebab Zat Allah ni tak sampai akal kita nak fikirkan. Dia yang paling Awal, dan Dia paling Akhir pun kita tak dapat faham secara Zat, tapi kita boleh faham ALLAH MEMANG MAHA HEBAT. TIADA YANG SETANDING DENGAN-NYA. DAN DIA TAK MENYERUPAI SESUATU PUN.
WAllahu a'lam
|
|
|
|
|
|
|
|
Edited by rantaikendoq at 21-2-2019 02:01 AM
siapakah yg asalan adalah gila saka meroyan?
semua rekod2 terdahulu merujuk kepadamu wahai kaldai gila meroyan
rekod2 bebenang cari forum adalah bukti terkuat
hanya perlu tulis abangcute saja
keluar habes segala maki hamun dan obat sewel gila dirimu
|
|
|
|
|
|
|
|
Jadi bebenang gaduh lagi ke...?
Mungkin elok buat satu bebenang khusus untuk sama-sama bergasak, supaya bebenang yang lain pada tu bincang ikut topik....? |
|
|
|
|
|
|
|
Edited by rantaikendoq at 22-2-2019 08:56 PM
elok juga tu
atau jua seeloknya si pencelah yg xsedar diri ni belaja masuk sekolah
atau cari guru dulu , sejak dulu berforum asek mencelah hal org saja
kasihan la pada readers lain yg nak berforum ...
|
|
|
|
|
|
|
| |
|