|
PADA awal abadke-19, saat belahan bumi Nusantara yang lain masih belum mengertiaksara, pulau yang hanya seluas 240 hektar itu telah memilikipercetakan dan menerbitkan ratusan buku ilmiah dan keagamaan. Buku-bukuyang ditulis di antaranya tentang perbintangan, obat-obatan, agama, dantentang seks.
ITULAH PulauPenyengat, sebuah pulau kecil di Kepulauan Riau, yang pernah menjaditaman bagi para pujangga Melayu. Salah seorang penulis besar yang lahirdan berkarya di pulau itu adalah Raja Ali Haji (1809-1873).
Di PulauPenyengat, sang Pujangga Kerajaan Riau-Lingga itu menemukan taman yangnyaman untuk berkarya sehingga melahirkan karya-karya besar yang sangatvariatif, mulai dari karya sastra, keagamaan, filsafat, pemerintahan,sampai kebahasaan. Karya sastranya di antaranya Syair Siti Shianah,Syair Awai, dan Gurindam Dua Belas.
Karya Raja AliHaji tentang Silsilah Melayu dan Bugis dan Tuhfat al-Nafis telahmenempatkannya sebagai seorang sejarawan penting Melayu. Dalam keduabuku itu, sejarah Kerajaan Melayu diuraikannya secara gamblang.
Sebagaibahasawan, Raja Ali Haji telah melahirkan karya Bustan al-Katibin danKitab Pengetahuan Bahasa. Kedua karya ini dinilai sebagai karya tulisyang pertama kali menjelaskan secara ilmiah tata bahasa Melayu sehinggamenempatkan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Nusantara.
Sedangkan sebagaiulama Islam dan filosof, Raja Ali Haji bisa terbaca dari hampir semuakaryanya yang selalu menempatkan ajaran dan pemikiran Islam sebagairujukan utama. Atas jasa-jasanya bagi Melayu dan bangsa Indonesia, RajaAli Haji akhirnya dinobatkan sebagai pahlawan nasional Indonesia.
KEBESARAN Pulau Penyengat sebagai taman para pujangga bukanlah karena ketokohan satu orang.
Rakyat jelata,termasuk kaum perempuan, juga menerbitkan aneka tulisan. Misalnya, bukuPerkawinan Penduduk Penyengat dikarang oleh seorang nelayan bernamaEncik Abdullah pada tahun 1902. Pengarang dari kalangan rakyat jelatayang juga produktif, seorang perempuan bernama Khatijah Terung dengansalah satu karyanya berjudul Kumpulan Gunawan, menceritakan tentanghubungan seksual suami istri.
Kondusifnya iklimpenulisan di Pulau Penyengat agaknya didorong oleh adanya percetakan,yaitu Mathba抋tul Riauwiyah, yang telah beroperasi sejak tahun 1890-an.
Pada era itukesadaran intelektual penghuni pulau tersebut telah terorganisasi. Paraintelektual, baik dari kalangan ningrat maupun rakyat jelata, telahmendirikan perkumpulan bernama Rusydiah Club.
Selain terkenaldengan kegiatan intelektualnya, pada masa lalu Pulau Penyengat jugaterkenal sebagai basis perjuangan menentang penjajah. Selama berkecamukpeperangan antara Kerajaan Riau dan Belanda (1782-1794 M), Pulau Penyengat dijadikan kubu penting.
Pada tahun 1900Abdurrahman Muazamsah, Sultan Riau-Lingga yang terakhir, akhirnyatinggal di Pulau Penyengat. Pada masa itu kehidupan intelektual diPulau Penyengat semakin tumbuh subur. Berbagai bangunan pemerintahandan keagamaan didirikan.
Namun, saatmengelilingi Pulau Penyengat kini, kejayaan masa silam itu hanya bisaterlukiskan samar-samar. Bekas percetakan Mathba抋tul Riauwiyah dangedung Rusydiah Club hanya tersisa fondasi yang telah dipenuhi semakbelukar. Bahkan, istana Abdurrahman Muazamsah hampir tak ada lagibekas-bekasnya. Di Balai Maklumat Pulau Penyengat, 250 naskah karyaputra dan putri Pulau Penyengat ratusan tahun lalu itu masih tersimpanrapi. "Tetapi, kehidupan intelektual di Pulau Penyengat kini telahmati. Tak ada lagi karya baru yang lahir di pulau ini," kata RajaMalik, pengelola Balai Maklumat yang masih keturunan Raja Ali Haji.
Menurut RajaMalik, kemandekan intelektual di Pulau Penyengat sebenarnya terjadisetelah Sultan Abdurrahman Muazamsah meninggalkan Penyengat menujuSingapura tahun 1911. Raja terakhir Kerajaan Riau-Lingga itu pergikarena tidak mau menandatangani kontrak politik yang disodorkan olehBelanda. Kepergian sang raja diikuti oleh sebagian besar orangPenyengat, termasuk bangsawan dan pengarang.
PADA tahun1930-an kehidupan intelektual di Pulau Penyengat mulai menggeliat lagi.Hal itu ditandai dengan berdirinya lembaga pendidikan agama MadrasatulMualimin.
Namun, geliatkehidupan intelektual itu kembali terhenti setelah masuknya Jepang.Dan, semenjak kemerdekaan Republik Indonesia, nama Pulau Penyengat kiantenggelam.
"Sastrawan-sastrawanbesar dari Kepulauan Riau, seperti Sutarji Cholzum Bachri, kebanyakanmemilih keluar daerah kami karena memang di sini tidak prospektif untukmengembangkan diri," kata Hoesnizar Hood, Ketua Dewan KesenianKepulauan Riau.
Kebesaran Pulau Penyengat sebagai taman para pujangga itu tinggal cerita....(AHMAD ARIF)
|
|