|
KUMPULAN BERITA MUSIK INDONESIA PALING ANYAR
[Copy link]
|
|
Band Discus: Meski Kecewa, Akan Ada Album Ketiga
budiarto shambazy
Iwan Hasan (39) tak bisa menyembunyikan kekecewaan karena tahun ini kembali gagal memenuhi undangan untuk band yang dipimpinnya, Discus, untuk tampil di festival bergengsi, Zappanalle di Bad Doberan, Jerman, bulan Agustus ini. Festival tahunan ini diadakan untuk menghormati Frank Zappa, musisi garda depan asal Amerika Serikat.
Iwan, jebolan sekolah musik Willamette University, Oregon, AS, menuturkan panjang lebar pengalaman buruk yang dialami Discus pada Zappanalle tahun 2006. Kegagalan kala itu disebabkan oleh kontrak antara sponsor Discus, Singapore Airlines (SQ), yang menyediakan tiket pesawat bagi rombongan Discus yang terdiri dari 20- an orang, dan Depbudpar. "Kami tinggal menunggu penandatanganan kontrak kerja sama tahunan antara SQ dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata," katanya.
Namun, penandatanganan kontrak yang jadi landasan sponsorship oleh SQ itu terlalu mepet dengan jadwal keberangkatan sehingga tak tersedia lagi kursi pesawat bagi rombongan Discus. Padahal, panitia telah menyiapkan tetek bengek persiapan kedatangan Discus, termasuk transportasi dari bandara ke tempat konser yang jaraknya amat jauh. "Uang transportasi tak bisa dikembalikan. Mereka rugi gara-gara kami enggak datang," ungkap Iwan, musisi multi-instrumentalis ini.
Hal yang paling disesali Iwan, Discus dijadwalkan tampil sebagai second headliner (band kedua) di Zappanalle setelah Adrian Belew, gitaris merangkap musisi eksperimentalis yang pernah memperkuat King Crimson. "Bahkan Soft Machine kalah dibandingkan Discus," ujar Iwan bangga. Soft Machine adalah band Inggris kelahiran tahun 1960-an yang kelahirannya antara lain dibidani oleh musisi yang kini lumpuh, Robert Wyatt.
Zappanalle mensyaratkan setiap penampil, seperti Discus atau Belew, menyajikan karya-karya Zappa yang eksperimental, mengandung berbagai unsur atau pengaruh budaya yang mendunia (world music), dan memiliki multiwarna mulai dari sekadar rock ’n roll, rock progresif, sampai jazz. Untuk mengenang Zappa, Kota Berlin beberapa hari lalu mengabadikan nama "Frank Zappa Strasse" untuk sebuah jalan yang terkenal di ibu kota Jerman itu.
Padahal, Discus bukan hanya mewakili Indonesia, tetapi menjadi satu-satunya band dari Benua Asia yang diundang ke Zappanalle yang biasanya menyedot minimal 9.000 penonton itu. "Makanya untuk undangan tahun 2007 ini kami enggak berani memberikan jaminan pasti bisa datang karena keterbatasan dana. Mereka hanya menyediakan hotel, makan, transportasi, dan pengeluaran lainnya kecuali tiket pesawat," lanjut Iwan, yang pernah mengaransir orkestra band Boomerang, Ungu, The Rain, dan Getah itu.
Album ketiga
Walaupun gagal ke Zappanalle, Discus sempat memenuhi undangan konser sendiri maupun tampil di tiga tempat di AS sepanjang tahun 2000, yakni "ProgNight" di San Francisco, "Knitting Factory" di New York, dan "ProgDay" di North Carolina. Selain itu, Discus manggung pula di "BajaProg" di Baja (Meksiko) tahun 2001, kali tampil di "Progsol" di Pratteln (Swiss) tahun 2005, dan "FreakShow" di Wurzburg (Jerman) juga pada 2005.
Dua album mereka, 1st (1999) dan Tot Licht! (2003), masing- masing terjual lebih dari 10.000 keping, termasuk di pasar mancanegara. "Kami akan merilis album ketiga, mudah-mudahan tahun ini selesai. Seperti biasa, Discus berbicara tentang kemanusiaan dengan konsep musik yang tak mengenal batas yang mencerminkan pluralisme," kata Iwan.
Band Discus menampilkan elemen-elemen jazz, rock, metal, klasik, kontemporer garda depan, pop, maupun etnis (Bali, Jawa, Sunda, Makassar, Aceh, dan Dayak). Discus kerap berkolaborasi dengan musisi lain dari berbagai latar belakang seperti I Gusti Kompiang Raka dan Gamelan Saraswati (gamelan Bali), musisi tradisional Betawi, sampai vokalis Fadly dari grup Padi. Discus akan tampil pula pada Festival Musik Bambu Nusantara 18-19 Agustus nanti.
Discus terdiri dari Iwan (vokal/gitar/harpguitar/kibor), Fadhil Indra (vokal/perkusi/rindik), Anto Praboe (klarinet/flute/saksofon), Kici Caloh (bas/vokal), Eko Partitur (biola/vokal), Yuyun (vokal/perkusi), dan Krisna Prameswara (kibor). Tahun 2004 Discus dianugerahi "AMI Samsung Award 2004" lewat lagu Anne di album Tot Licht! dan terpilih sebagai "Band Rock Progresif Terbaik 2004".
Discus terbentuk tahun 1996, berawal dari pertemuan antara Iwan saat menjadi dirigen orkestra yang membawakan komposisi Franki Raden, Simfoni Merah Putih, dalam HUT stasiun teve SCTV, dengan Anto yang memainkan klarinet untuk orkestra itu. Iwan dan Anto lalu mengajak Fadhil, sahabat Iwan yang bermain band bersama selama 25 tahun sejak mereka masih di SD.
Iwan dikenal sebagai pemetik "gitar harpa" 21 senar yang juga memperdalam komposisi klasik kontemporer dan improvisasi jazz serta vokal seriosa di Oregon. Saat ini ia seorang dari 20-an gitaris harpa profesional di dunia dan salah satu dari dua orang dari Asia—seorang lagi dari dari Jepang. Ia dipercaya mengisi salah satu nomor dari Beyond Six Strings (2004), album kompilasi 13 gitaris harpa yang berisikan 13 komposisi. |
|
|
|
|
|
|
|
ALBUM DARI HATI TERDALAM- Persembahan dari Lubuk Hati
Jum'at, 03/08/2007
Setelah penantian yang cukup lama, Chandra Satria akhirnya melepaskan album solo pertamanya ke pasaran. Pemuda kelahiran Padang, 21 September 1971, ini memang belum cukup dikenal masyarakat luas.
CHANDRA JAKARTA (SINDO) –Namun, bagi musisi papan atas, sosok Chandra sudah tidak asing lagi. ’’Ide membuat album ini sudah terpikir sejak lebih dari 10 tahun silam, tapi kesempatan itu baru datang sekarang,”ungkap Chandra saat konferensi pers di Jakarta Teater.
Tidak tanggung-tanggung, dia bahkan memproduseri sendiri album Dari Hati Terdalam tersebut. Pemilik suara lembut dan khas seperti milik Harvey Maleiholo ini sarat dengan pengalaman di dunia musik. Selama tiga belas tahun, dia ditempa naik-turun panggung sebagai backing vocal bersama musisi-musisi kenamaan.
’’Album Dari Hati Terdalam merupakan obsesi sekaligus ekspresi dari penantian panjang selama 13 tahun.Namun,baru dua tahun terakhir, saya seriusi penggarapannya. Ada banyak pertimbangan sebelum saya benar-benar berani,” papar Chandra.
Chandra pernah tercatat sebagai penyanyi latar dalam sejumlah konser penyanyi, seperti (alm) Chrisye,Krisdayanti,Erwin Gutawa. Bahkan, lulusan Fakultas Teknik Arsitek Universitas Parahyangan, Bandung, tersebut kerap tampil bersama Ruth Sahanaya di dalam maupun luar negeri.Salah satunya saat Konser Bicara Cinta di Kallang Theater, Singapura, 2004 lalu.
Perjalanan karier Chandra selama 13 tahun sebagai penyanyi latar akhirnya dia sudahi dengan meluncurkan album perdananya ini.Dari album Dari Hati Terdalam yang digarap dua tahun terakhir itu bisa dilihat jejak dari penyanyi kondang yang turut membantu penggarapannya.
’’Album ini dibuat atas dukungan teman-teman,” ungkapnya. Teman-teman yang turut membantu dalam albumnya itu menjadi sahabatnya sejak sepuluh tahun terakhir. ’’Kini,mereka sudah pada beken-beken,”ujarnya.
Pertemuannya dengan Tohpati pertama kali sekitar 13 tahun lalu. Saat itu,Chandra bertemu Tohpati yang sedang menjadi gitaris dalam konser Chrisye. Dari pertemanannya itulah, Chandra sering membantu Tohpati menjadi backing vocal atau penyanyi latar. Bagi Chandra,sosok Tohpati bisa menerima ide-idenya dan memberikan feed back.
Ruth Sahanaya yang akrab disapa Uthe juga terlibat sebagai penyanyi featuring dalam tembang Rahasia Pengagum yang diaransemen Andi Riyanto. Satu dari tiga diva Tanah Air itu mengungkapkan, ’’Kualitas suara dan performanya Chandra tak usah diragukan lagi.”
Pemuda yang memiliki kemampuan vokal dan teknik tinggi itu harus menabung cukup lama untuk membuat sebuah album perdananya.Dukungan besar dari sahabat sesama musisinya itu membuat dia bertekad masuk ke dapur rekaman. Pengalaman Chandra yang segudang memudahkannya dalam proses penggarapan album yang terdiri atas 10 lagu dari berbeda jenis itu.
Napasnya panjang, vibrasi yang amat pas, pitch control terjaga, dan penghayatan prima, didapat lantaran segudang pengalaman yang di rengkuhnya. Selain disamakan dengan penyanyi senior Harvei Maleiholo, pemuda yang mengawali karier bermusiknya pada 1990 ini juga disama-samakan dengan Josh Groban.
Menanggapi hal itu, dia dengan santai menjawab, ’’Saya berterima kasih kalau ada yang menghubungkan diri saya dengan seseorang yang sudah mapan. No problem, saya cuma berusaha belajar bernyanyi dengan baik dan benar,”ungkapnya.
Hasil duetnya dengan Uthe sempat mengikis pandangan miring seseorang bahwa dia tidak bisa berkembang lebih jauh lagi nanti. Selain Ruth Sahanaya, Tohpati, dan Andi Riyanto serta beberapa musisi –Reza Gunawan, Budi Gunawan, Jeff Thung, dan Numata–, Dewi Lestari berada dibelakang kisah suksesnya. Pada 1990-an saat aktif menjadi vokalis KSP Band asal Bandung, pada akhir tahun dia mulai lagi menjadi penyanyi.
Bersama band lawas itu, Chandra membawakan lagu-lagu berjenis acid jazz. Sementara itu,bersama kelompok Acoustic Punch, dia ditantang untuk membawakan lagu-lagu broadway dan irama crossover. Kini, kesungguhannya dalam dunia tarik suara itu akan memasuki babak baru. Obsesinya sebagai penyanyi pop Tanah Air semakin terbuka lebar.
Impiannya mendapatkan album solo sendiri itu menjadi nyata. Selain itu, hal tersebut seperti legitimasi perjalanan panjangnya di dunia tarik suara. ’’Saya melihat Chandra dengan potensi baiknya. Karena itu, saya berani turut menggarap album ini,” papar Wiwi Limin, produser album.
Kali ini,Chandra menggandeng 88 Music untuk mendistribusikan lagu-lagunya.Wiwi Limin selaku produser album yang pernah sukses menggarap album perdana penyanyi Rebecca juga akan membantu Chandra.Selain itu,ada Andi Riyanto,Bambang, personel Kahitna,Tohpati,Dewi Lestari,dan lain-lain. (isfari hikmat)
|
|
|
|
|
|
|
|
Peribumi yang Membumi
Jum'at, 03/08/2007
Musik yang tidak rumit untuk disimak dan tidak ruwet saat didengarkan merupakan komitmen dari grup band anyar Peribumi agar bisa merebut pasar di belantika musik Indonesia.
JAKARTA (SINDO) –Bukan itu saja, di tengah ketatnya persaingan industri musik pop Tanah Air saat ini, Peribumi bertekad untuk lebih membumi. Marketing Director PT Universal Musik Indonesia Daniel Tumewa optimistis Peribumi dapat dinikmati dan disukai masyarakat di Tanah Air.
’’Kekuatan mereka ada pada musik yang bagus, lirik yang mudah dicerna, selera musik yang kuat, dan kekuatan dari vokal Vandy,”ungkap Daniel pada peluncuran album perdana di Hard Rock Cafe,Plaza Indonesia EX,Jakarta.
Peribumi dikomandani Yosua Salvandi Salindeho (Vandi),Deny Indrajaya,Wesley Yeremia, Ezra Enrico (Rico), dan Hardian Samuel.Mereka terbentuk pada 3 Januari 2006 lalu atas keinginan kuat Boy Gaok mengumpulkan kelima pemuda ini untuk menjadi sebuah grup band.
Nama Peribumi yang diusulkan Wendy (redaktur majalah) dipilih karena terdengar lebih catchy saat disebutkan.’’eribumi bukan Pribumi,” ungkap Vandi sang vokalis. Peri adalah sesosok makhluk yang cenderung memberi dan Bumi tempat manusia hidup.
Peribumi diharapkan mampu menebarkan cintanya dengan kehangatan lagulagu mereka. Konsep musik modern pop rock yang dimainkan kelima anak muda ini banyak mendapat sentuhan brit pop, funk, progresif, alternatif, bahkan jazz. Kelima personel Peribumi memiliki latar sebagai musisi gereja. ’’Dasarnya, kami semua pemusik gerejawi,’’ ungkap Vandy.
Lagu bertempo cepat dengan balutan beat drum gaya brit pop dengan melodi gitar yang simpel bisa disimak pada tembang Cintaku. Sementara itu, nomor balada bertempo medium slow plus sentuhan gitar ngerock mengiringi lirik Aku, Sahabatku Dan Mantan Kekasihku yang sarat konflik percintaan.
Kekuatan dari vokal Vandy yang berkarakter manly dan lantang, tapi merdu membuat lagulagu mereka terdengar manis dan tidak cengeng. Sentuhan gitar akustik yang kental disajikan mereka dalam Tentang Indra dan Indahnya Cinta.
Selain aransemen yang manis, Peribumi pemilihan lirik menjadi perhatian khusus mereka. Lirik berima menjadi strategi mereka agar mudah diingat pencinta musik Tanah Air. (isfari hikmat) |
|
|
|
|
|
|
|
Urbanfest 2007: Huru-hara di Udara, Sebuah Alternatif
Denny Sakrie
Sabtu 28 Juli 2007 di sebuah areal bernama Bulungan Outdoor di Jakarta Selatan, ribuan remaja berjejalan ingin menonton konser Riot on Air, menandai setahun acara Riot on Air berkumandang di radio anak muda Prambors.
Di sini berjejer kelompok musik bukan arus besar dari beragam genre, ada rock, pop hingga dance elektronik yang datang dari Bandung, Surabaya, dan Jakarta, seperti The Changcuters, Netral, White Shoes & Couples Company, Burgerkill, Konseletting Kabel, Spedkill, Straight Out, Killed By Butterfly, Pure Saturday, dan Jalur Pantura.
Keragaman gaya musik konser ini toh tak seseram nama acaranya, Riot on Air. Tak ada huru-hara secara fisik, tetapi huru-hara dalam bermusik.
Pemandangan semacam ini justru mengingatkan kita pada keberadaan sebuah klub yang menjadi ajang komunitas musik bawah tanah di New York City bernama CBGB (singkatan Country Blue Grass Blues) yang digagas dan didirikan oleh Hilly Kristal pada bulan Desember 1973.
Walaupun nama klub musik ini mengusung jenis musik yang mendominasi Amerika Serikat, toh Kristal menyambut segala macam jenis musik. Di CBGB ada satu syarat: hanya boleh memainkan musik karya sendiri. "Play only your own music", demikian aturan yang ditoreh Hilly Kristal.
Pada akhirnya CBGB menjadi ajang kreativitas yang sarat ekspresi. Dalam kurun 1973-1975, di Amerika tengah berkecamuk banyak problematika, mulai dari resesi, skandal Presiden Nixon, hingga berakhirnya kesia-siaan perang Vietnam.
Anak muda dihinggapi gelombang disoriented. CBGB akhirnya menjadi ajang pelampiasan rasa frustrasi, pelampiasan mimpi-mimpi yang membelenggu hingga menepis fobia sosial.
Situasi ala CBGB itulah yang jelas tertangkap dalam ritual musik Riot on Air yang telah setahun berkumandang di Radio Prambors Jakarta bersama sindikasinya yang berada di Medan, Bandung, Makassar, Yogyakarta, Solo, dan Surabaya.
Bermula dari sebuah acara musik mingguan yang bertajuk Thursday Riot yang digelar di sebuah klub bernama Parc. Di sini merupakan ajang berkiprahnya sederet band-band indie dengan konsep musik ke arah cutting edge.
Setiap Kamis malam beraksilah band-band tersebut, seperti Straight Out, Agrikulture, Sore, The Safari, dan The Sastros.
Sayangnya, usia Parc tidak berlangsung lama. Karena merugi, Nasta Soetardja, sang empunya klub, lalu membubarkan dan menutup Parc pada Januari 2006. Setelah Parc terkubur, Nasta lalu menggagas untuk merilis sebuah album kompilasi bertajuk Riot-The Thursday Riot Compilation yang didukung sederet band yang pernah manggung di Parc, seperti Mocca dan White Shoes & Couples Company yang menyeruakkan aura tweeky pop dan sunshine pop, The Hydrant dengan suguhan rockabilly survival, Goodnight Electric dengan nuansa elektronik.
Juga ada C’mon Lennon, Dagger Stab, dan masih banyak lagi. Sebuah suguhan musik gado-gado yang berkarakter kuat dan memiliki atmosfer menantang untuk disimak, seperti tagline yang tercantum pada sampul albumnya: "take a pleasure at this rollercoaster ride of riot".
Tatkala album ini dirilis, Nasta lalu mengincar Radio Prambors yang bersegmen anak muda sebagai media mempromosikan album. Niat Nasta malah disambut sangat antusias oleh Anton Wahyudi (Music Director), Warman Nasution (Program Director), dan Junas Miradiarsyah (Promotion Manager) dari Radio Prambors.
Mereka malah melihat Riot sebagai komunitas musik layak untuk diapresiasikan sebagai program radio. Kasak-kusuk ini akhirnya berbuah hasil juga. Acara Thursday Riot yang telah terkubur dibangkitkan lagi dalam bentuk zombie bertajuk Riot on Air yang disiarkan Prambors setiap Kamis malam. Persis sama dengan yang digelar di klub Parc dulu.
"Sebetulnya pada saat Parc belum bubar, Prambors sudah berniat untuk me-relay acara mingguan ini," jelas Anton Wahyudi, yang juga gitaris kelompok indie Fable.
Nasta terkaget-kaget mendengar gagasan Prambors ini. Apalagi acara ini akan di-relay langsung di tujuh kota jaringan radio Prambors dengan menggunakan multi-protocol label switching, sebuah sistem telekomunikasi dan jaringan komputer yang bisa memancarkan kualitas audio secara optimal. Acara ini juga didukung oleh Three Chord System yang menyediakan fasilitas audio secara lengkap.
"Setelah itu sempat bingung juga tempatnya di mana ya? Akhirnya kita pun bersempit- sempitan di studio siaran dengan peralatan band komplet. Bukan sekdar tampil akustik," tambah Anton Wahyudi .
Siaran perdana Riot on Air berlangsung pada Kamis 27 Juli 2006 di Studio Prambors lama, Jalan Mendut 15 Jakarta Pusat. Kelompok yang tampil saat itu adalah Sore dan The Brandals. "Sekalian tahlilan lima bulan matinya Parc," ucap Anton bercanda.
Sejak itulah Riot on Air mengudara dengan sederet band-band non-mainstream yang tercerabut dari komunitas indie, semisal Vox dari Surabaya, Mocca, dan The S.I.G.I.T dari Bandung, atau Bangkutaman dari Yogyakarta.
Reaksi positif pun mulai menggenangi Riot on Air. Ini terlihat dari beragam SMS yang masuk di saat acara dikumandangkan. Menurut Anton Wahyudi, ada sejumlah SMS senada yang mengatakan bahwa mereka "terselamatkan" karena Riot on Air bisa dan konsisten menyuguhkan band-band non-mainstream.
Armand Maulana (vokalis Gigi) pun sering mengirimkan SMS bernada protes bahwa ada beberapa band yang secara kualitas belum pantas tampil di acara ini. "Tapi, sebetulnya hal ini biasa terjadi dalam komunitas indie. Karena kualitas terkadang dinomorduakan. Yang penting attitude-nya ada. Dan membawakan karya sendiri," kata Anton Wahyudi.
Setidaknya hal seperti ini juga pernah dideklarasikan oleh Hilly Kristal, pemilik dan pendiri CBGB ,di New York City.
Menurut Kristal:"Originality to me was prime, technique took second place." Orisinalitas merupakan hal utama, lalu diikuti masalah teknik musikal. Rasanya hampir sebagian besar pemusik yang memayungi diri di bawah komunitas indie di seantero jagat memiliki kredo yang sama dengan yang sering diucapkan Hilly Kristal: "Come as you are and do your own thing."
Acara Riot on Air ini memang menimbulkan gaung di beberapa daerah. Siapa yang menyangka jika acara sejenis ini pun digagas, seperti Fort Minor di Medan, Kriboduction di Yogyakarta, Comedy Rock Attack di Bandung, dan Club Tuesday di Surabaya.
Paling tidak acara semacam Riot on Air dan yang sejenis merupakan indikasi bahwa para penikmat musik justru membutu*kan sebuah saluran atau ruang alternatif. Bahkan, pemusik dan penggemar musik indie secara komunal memang membutu*kan sebuah ajang atau wahana untuk mengekspresikan diri sebebas-bebasnya tanpa aturan-aturan maupun doktrinasi dalam sekte industrial.
Kehadiran musik berkonotasi cutting edge bahkan bisa menjadi oase di saat industri musik tengah dilanda stagnasi dan paceklik.
Dan, huru-hara itu pun masih terus bergejolak di udara!
Denny Sakrie Pengamat Musik dan Pengarsip Musik Pop Indonesia |
|
|
|
|
|
|
|
Pasto Warnai Industri Musik Indonesia
Sabtu, 04/08/2007
JAKARTA (SINDO) – Satu lagi pendatang baru yang menapaki jejak pertamanya di belantika musik Tanah Air.Kemarin malam (3/8),Pasto,sebuah grup vokal yang terdiri atas empat cowok keren itu meluncurkan album pertamanya I Need Youdi Pisa Caf |
|
|
|
|
|
|
|
Napak Tilas Chrisye
Album:
- Chrisye In Memoriam-Greatest Hits
- Chrisye In Memoriam-Everlasting Hits
Artis: Chrisye
Produksi: Musica Sudio抯 (2007)
Genapseratus hari meninggalnya Chrisye, Musica Studio抯 merilis dua album Chrisye In Memoriam, yaitu Everlasting Hits dan Greatest Hits.Masing-masing album memuat 14 lagu kondang Chrisye sejak era akhir 1970-an hingga album yang dibuat menjelang akhir hayat.
Suara"tertua" Chrisye pada album ini ada dalam lagu Sabda Alam dan Juwitayang direkam tahun 1978 dalam album Sabda Alam. Kedua lagu yang kinitermuat dalam album Everlasting Hits itu ditampilkan versi orisinalnya, bukan versi reinterpretasi.
Seperti diketahui, Chrisye sering menyanyikan ulang lagu sendiri dengan garapan aransemen baru yang disesuaikan dengan perubahan arah musik saat lagu tersebut dirilis. Lagu Pelangi yang direkam tahun 1977 dalam album Badai Pasti Berlalu diulang pada era 2000-an dengan aransemen garapan Erwin Gutawa. Pelangi versi baru itu termuat dalam album Greatest Hits.Begitu juga lagu Lilin Kecil dibuat dua versi, yang tampil di album baru ini adalah bukan versi tahun 1977.
Tidakseluruh lagu versi ulang itu mencapai popularitas seperti versi aslinya. Kekuatan Chrisye justru terletak pada cara ia berinterpretasi atas komposisi baru karya penggubah lagu yang tengah populer. Salah satunya adalah lagu Seperti Yang Kau Minta gubahan Pongki Jikustik.Lagu yang direkam dalam album Dekade (2003) itu kini termuat pada Greatest Hits.
[ Last edited by jf_pratama at 12-8-2007 10:36 AM ] |
|
|
|
|
|
|
|
Presiden Yudhoyono Ambil Bagian Dalam Video Klip Samsons13 Agustus 2007
Jakarta(ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan pengambilangambar untuk video klip group band Samsons di Istana Negara, Senin sore.
Hal tersebut dikemukakan oleh Juru bicara Kepresidenan, Dino Patti Djalal, kepada wartawan sebelum proses pengambilan gambar.
"Ini merupakan bagian dari Proyek Nasional Sejuk Kreatif," katanya.
Menurut Dino, keputusan keterlibatan Kepala Negara dalam video klip itudiambil karena selama ini melihat nasionalisme yang arogan, resah danparanoid.
"Dengan proyek ini, kita ingin menciptakan nasionalisme yang sejuk dan kreatif," ujarnya.
Menurut Dino, video klip itu berkisah mengenai peran Indonesia dimasyarakat internasional, salah satunya keterlibatan pasukan RI diLebanon untuk menggugah nasionalisme.
Dino menjelaskan bahwa video klip itu diharapkan dapat ditayangkan jugadi sejumlah negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, dan bahkanLebanon.
"Judul lagunya 'For You', liriknya memang menggunakan bahasa Inggris,saya bangga berbahasa Indonesia, namun tidak malu berbahasa Inggris,"ujarnya.
Disebutkannya bahwa ada dua tema dalam video klip Samsons, yaitumengenai kiprah pasukan Kontingen Garuda (Konga) RI di Lebanon dalammenolong warga setempat dan kisah para keluarga yang menantikepulangannya di Indonesia.
Video klip itu dijadwalkan akan diluncurkan pada 15 Agustus 2007. |
|
|
|
|
|
|
|
Letto Kaget Cerita Ruang Rindu
Selasa, 14 Agt 2007,
JAKARTA - Lagu menjadi inspirasi sebuah karya dalam bentuk lain tentu membanggakan. Itulah yang dirasakan grup band Letto saat mendampingi Andi Eriawan merilis buku berjudul Ruang Rindu kemarin (13/8) siang.
Ruang Rindu merupakan salah satu lagu milik Letto. Kelompok beranggota Noe (vokal), Patub (gitar), Arian (bas), dan Dedi (drum) itu secara lengkap hadir di toko buku untuk mendukung penjualan buku Ruang Rindu, sebuah songlit (istilah buku yang diadaptasi dari lagu, Red). Buku itu ditulis Andi yang terinspirasi lagu mereka.
Acara di Toko Buku Gramedia Plasa Semanggi itu diawali talk show yang membahas secara mendasar isi buku. Noe mengaku senang dan tidak menyangka karyanya bisa dibahas lebih mendalam menjadi sebuah cerita panjang. "Begitu baca bukunya, kita justru kaget, oh ada juga ya cerita seperti itu (pada buku, Red) dalam lagu Ruang Rindu? Soalnya, ketika membuat lagu itu, kita hanya mencari nuansa. Bukan cerita," ungkap Noe.
Bisa dijadikan inspirasi sebuah karya dalam bentuk lain, kata Noe, merupakan kejutan yang menyenangkan bagi Letto. Mereka mengaku tidak pernah menyangka nama bandnya tertulis di cover sebuah buku dan dijual di toko buku. "Ini sebuah kesempatan dan kita terima dengan tangan terbuka," lanjutnya.
Setelah itu, Letto menyanyikan lagu Ruang Rindu secara akustik. Noe menyanyi hanya diiringi satu gitar akustik yang dimainkan Patub. Meski begitu, para pengunjung cukup puas mendengarnya. Pembeli buku kemudian meminta tanda tangan langsung kepada Andi Eriawan, sang penulis, dan para personel Letto.
Saat mendampingi Andi, Letto mengaku bukan sekadar mengisi waktu luang. Mereka merasa memiliki tanggung jawab terhadap isi dan peredaran buku. "Ini merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban terhadap karya. Sebab, buku ini juga terinspirasi karya kita," jelas Noe yang siang itu memakai topi hitam.
Noe berharap Ruang Rindu bisa dibaca banyak orang. Baginya, royalti yang paling dia harapkan dari buku itu bukan uang. Tapi, bukunya bisa dibaca dan dipahami masyarakat. "Mulai sekarang kita harus coba paradigma baru. Bagaimana kalau kita berangkat bukan karena keuntungan. Bukan karena uang," jelasnya.
Dalam waktu dekat, Letto kembali disibukkan promo album baru, Don抰 Make Me Sad. Sejak 9 Agustus lalu, hitnya mulai didengar di beberapa radio. Rilis album tersebut rencananya dilangsungkan mendekati HUT Republik Indonesia. "Karena pengalaman bertambah, di album baru kami lebih banyak variasi suara," ujar Arian. (gen)
[ Last edited by jf_pratama at 14-8-2007 08:55 PM ] |
|
|
|
|
|
|
|
Nidji Tampil Terbaik
Selasa, 14 Agt 2007,
KUTA- The Best Band who Performs The Best Change goes to Nidji dalamrangkaian ajang A Mild Live Soundrenaline 2007. Tim Media Board yangterdiri atas pemerhati musik menganggap, Nidji paling mewakili temaajang musik tahunan terbesar di Indonesia itu. Yakni, Sound of Change.
Bandyang digawangi Giring, Rama, Adri, Rendy, Andre, dan Ariel tersebutberhak atas hadiah tiket nonton konser band legendaris dunia The Policedi Paris, Prancis, September mendatang. "Untuk Nidji, tim Media Boardmenilai bahwa mereka mampu memenuhi seluruh kriteria penilaian yangtelah ditetapkan. Penampilan Nidji pun dianggap memberi darah barudalam industri pertunjukan musik Indonesia," ujar Remmy Sutansyah,salah seorang anggota tim.
Rama dan Adri yang hadir padapengumuman pemenang yang diselenggarakan di Kuta Paradiso Hotel, Bali,kemarin (13/8), mengaku bahwa mereka tidak menyangka mendapatkananugerah dari perhelatan akbar yang telah memasuki tahun keenam itu."Alhamdulillah banget. Sejak awal, tema Sound of Change menjaditantangan buat kami untuk lebih kreatif. Tapi, itu bukan berarti bahwakami tampil untuk mengejar reward. Bisa bergabung saja, kami sudahbangga," papar Adri.
Mereka memang tidak lahir di zaman keemasanThe Police pada 70-an silam. Meski begitu, Nidji tidak mempermasalahkanhal tersebut. Malah, Rama menganggap hal itu sebagai sebuah kesempatanuntuk merengkuh pelajaran berharga. "Saya sempat beberapa kali dengerinCD The Police. Sebetulnya, itu konser reuni. Tapi, kami kan pendatangbaru. Nonton mereka berarti ilmu buat kami," ujarnya.
KeseriusanNidji dalam menerjemahkan tema acara memang patut diapresiasi. Tampildi tiga kota berbeda, band pelantun Hapus Aku tersebut menampilkan aksiberlainan. Mereka mengusung tiga tema. Yakni, Past, Present, dan Future.
Saattampil perdana di Padang (15/8), Nidji mengangkat tema Past yangberarti masa lalu. Dalam tema itu, Giring dan kawan-kawan tampilsebagaimana mereka muncul kali pertama di dunia musik. "Giring pakaisyal seperti ciri khasnya. Pemain yang lain pakai kaus biasa," terangAdri.
Tema Present diangkat di Palembang (22/8). Di kotatersebut, anggota grup band Nidji kompak mengenakan setelan jas hitam."Di klip kami yang terakhir, Angel, kami memakai kostum yang sama.Jadi, penampilan waktu itu menggambarkan kami pada saat ini," tambahAdri.
Terakhir, tema Future. Nidji tampil atraktif dengandandanan heboh ala manusia masa depan. Pakaian astronot dan aksesorinyamereka pilih saat menghibur penggemar di kota kembang, Bandung .
SelainNidji, Media Board yang terdiri atas Remmy Sutansyah (juru bicara),Theodore K.S., Anton Wahyudi, Indra Thamrin, dan Denny Sakrie memilihband-band lain yang juga dianggap mewakili tema perubahan.(rie) |
|
|
|
|
|
|
|
Gue ga suka ama Letto... heran yah gimana band begini bisa diterima di Malaysia. |
|
|
|
|
|
|
|
LETTO ... ?
apa yang salah sama mereka , lagunya bagus , enak di dengar ... , musiknya orisnil ....
apa yang salah ... apakah anda mau membandingkan sama band2 m'sia semacam : wings, serach, spoon, iklim , ........ kalo masalah ini sih mungkin masalah selera .
tapi bicara selera kalo kemudian orang banyak suka dan kita tidak suka ... mungkin ada yang salah sama kita .... |
|
|
|
|
|
|
|
DEWIQ: Menemukan Energi Mencipta Lagu Dari Kegelisahan
DI JAJARAN pencipta lagu laris manis di Indonesia, nama Cynthia Dewi Bayu Wardhani menjadi salah satu yang sedan berkibar kencang. Lebih dikenal dengan nama pendek DEWIQ, perempuan kelahiran Makassar 15 Juni 1975 ini disebut-sebut sebagai pencipta lagu dengan karakter yang unik dan khas. Liriknya "nyleneh" karena tidak lazim, dengan karakter yang kuat ketika dinyanyikan oleh siapapun yang melantunkannya.
Tapi tahukah kamu, Dewiq ternyata mendapat "energi" untuk menciptakan lagu [yang apik tentu saja] ketika ada seseorang yang curhat dan mengeluh tentang apa saja kepadanya. "Kalau tidak curhat, aku harus ngebayangin dulu dan itu lebih susah," kata Dewiq ketika ngobrol dengan TEMBANG.com, Kamis [9/8/2007] di Hotel Mulia Jakarta. "Aku tuh nggak bisa ngarang-ngarang kalau bikin lagu," akunya lagi.
Diakuinya, kebiasaannya itu muncul ketika dirinya masuk dalam komunitas Slankers zaman Pay --yang juga suamainya-- masih gabung di Potlot. "Aku ini slankers loh," repetnya sambil terkekeh kecil. Dewiq bertutur, ketika gabung di komunitas itu, banyak orang yang sering curhat tentang banyak hal pada dirinya. "Dari situlah aku menemukan banyak energi untuk mencipta lagu," tukasnya. Kini bareng Pay mereka ngebentuk Palu Musik Indonesia [PMI] yang diakui Dewiq memang untuk menemukan energi dan kegairan berkayar. "Kenapa tidak, toh mereka bisa curhat dan saya jadikan lagu bukan," sahutnya.
Banyak yang belum tahu, sebelum dikenal sebagai pencipta lagu populer, istri Pay, gitaris BIP ini, adalah penyanyi solo. Ia pernah merilis tiga album Weeq (1996), Apa Adanya (1999) dan terakhir bersama The Hippies Hanya Manusia Biasa (2001). Menurutnya ia jadi penyanyi secara tak disengaja. “Saya pemain dram. Saya rajin main dram saat masih kuliah. Bahkan jadi penggebuk dram di band Apple Garden dan Red Rose,” aku Dewiq yang sejak kecil gemar mendengar alunan musik cadas macam Rolling Stones, Scorpion dan God Bless.
Kepiawaian Dewiq menabuh dram didengar salah satu personel U Camp. Kebetulan, band ini sedang membuat proyek band U Camp versi cewek. “Saya dikontak dan diajak bergabung,” kenang Dewiq. Suatu hari saat sedang menunggu latihan buat proyek band ini, Dewiq bermain gitar sambil berdendang. Dendangannya didengar Erry, pemain bas U Camp. “Saya lalu disuruh bernyanyi,” imbuh Dewiq. Dewiq lalu digaet perusahaan rekaman Union Artist untuk rekaman. “Saat itu, saya mikir, uang dari pembuatan album itu bisa untuk membeli dram (merek) DW. Ternyata uangnya nggak cukup buat beli dram,” kenang Dewiq sembari tersenyum. Meski demikian Dewiq merampungkan album pertamanya berjudul Weeq. Album keduanya, Apa Adanya direkam dibawah bendera perusahaan rekaman Metro.
Anak pasangan Myrna Amy Nigell (Belanda) dan Bambang Yulianto itu bertutur, ketika SD di Makassar ia sering mendatangi radio, tempat ayahnya bekerja. Di situlah ia mendengarkan kaset dari berbagai pemusik dan penyanyi. "Jika saya suka, saya langsung pergi ke toko kaset."
Dari rasa suka itu ia kemudian berniat belajar musik. Di SMP, anak bungsu dua bersaudara itu belajar main gitar. Saat masuk SMA, di Jakarta, ia ingin belajar instrumen lain. Pilihannya jatuh pada dram. Alat musik inilah yang paling ia kuasai. Ketika kuliah di Sastra Inggris STIBA Bandung ia membentuk grup band Red Rose yang khusus memainkan musik Extreme, Mr Big, dan Led Zeppelin. Berbagai festival mereka ikuti. "Ujian negara saya tinggalkan demi main musik, ya akhirnya kuliah berantakan, hanya sampai semester empat."
Menurut Dewiq, album Weeq laku, sampai 30 ribu keping. Lantaran itu Union Artist ingin melanjutkan ke album kedua dengan mengundang Pay untuk membuat aransemennya. “Albumnya nggak jadi, kami malah pacaran. Tapi saya justru belajar banyak dari Pay, terutama dalam bermain gitar. Saya terus berproses hingga album Apa Adanya keluar,” imbuh cewek kelahiran Makassar 15 Juni 1975 ini. Album ketiganya, Hanya Manusia Biasa direkam di perusahaan rekaman Universal Music. Ketiga album ini — meski tak meledak — menurut Dewiq respons bagus pecinta musik.
Usai album ketiga, Dewiq memutuskan mundur dari depan panggung. “Kalau jadi penyanyi, saya terikat harus promo ke sana dan ke sini. Saya nggak suka yang begitu-begitu. Capek,” keluhnya. Ia pun memilih berada di balik layar dengan menjadi pencipta lagu. Lagu pertamanya disodorkan pada Shaden. “Judulnya Dunia Belum Berakhir,” kata Dewiq. Lagu itu melejitkan nama Shaden di pentas musik lokal.“Dari situ mulai banyak yang meminta dibuatkan lagu oleh saya,” imbuhnya. Perlahan-lahan namanya mulai dikenal sebagai pencipta lagu jempolan. Tak heran kalau kemudian banyak penyanyi — senior maupun pendatang baru — meminta lagu pada Dewiq. Sukses di belakang layar ini membuat banyak orang menilai, Dewiq lebih sukses menjadi pencipta lagu ketimbang penyanyi. “Tak masalah, orang punya anggapan seperti itu. Saya malah senang disebut sebagai pencipta lagu ketimbang penyanyi,” sahutnya.
Ketika sekarang namanya makin banyak dicari untuk membuat lagu, Dewiq mengaku sebenarnya "ketakutan" dengan karya-karyanya. "Jujur saja, saya ingin berhenti sementara dan kemudian berkarya lagi setahun kemudian," ujarnya. Alasannya, ketika makin banyak order masuk, Dewiq merasa tak ada keunikan dan totalitas sebuah lagu. "Apalagi kalau kebanyakan, jadinya seperti pesanan asal jadi saja. Aku nggak mau seperti itu," tambahnya.
Untuk penyanyi solo, Dewiq memang jagonya, tapi untuk satu band? "Aduuuh, aku tuh nggak percaya diri kalau bikin lagu untuk band," sahutnya sambil tertawa. "Apalagi kalau kemudian dilihat Pay, Bongky atau Indra, bisa-bisa terdiam. Jujur saja, aku ngefans dengan mereka-mereka semua," imbuhnya jujur. Padahal, lagu Dewi sukses dinyanyikan oleh penyanyi-penyanyi ngetop seperti Siti Nurhaliza, Audy, Judika, Gita Gutawa, Ussy atau Iwan Fals.
Meski begitu, Dewiq sendiri yang mantan anak band itu, sekarang sedang mempersiapkan diri ngeband lagi. "Tapi aku nggak mau tampil di depan. Aku hanya jadi gitaris saja, bukan penyanyinya," imbuh penyuka fanatik musik ballad blues ini kalem. Selain bermusik, Dewiq juga merasa perlu waktu luang untuk dirinya dan suaminya, Pay Siburian. "Kita lagi hobi traveling, jadi kalau lagi senang-senang, HP aku matiin dan jauh-jauh, biar nggak mikir kerjaan terus," ucapnya sambil tertawa kecil. [joko/foto: istimewa] |
|
|
|
|
|
|
|
LETTO, Bukan Band Romantis tapi Band Kontemplatif
"Kami tidak pernah tahu arti puitis dan romantis kok," jawab Noe, vokalis LETTO kepada wartawan ketika ditanya soal romantisme dan puitisme dalam lagu-lagunya. Noe bersama Patub (gitar), Arian (bas) dan Dedy (drum) tidak sedang guyon dengan pernyataannya ini. "Kita memang tidak tahu, karena kita buat lagu dengan apa yang ktia rasakan saja," jawab Noe ketika launching album 'Don't Make Me Sad' di XXI Lounge Jakarta, Kamis [16/8/2007].
Yup. LETTO memang lebih cocok disebut band kontemplatif dibanding band romantis. Meski musiknya mendayu, mengharubiru, tapi liriknya kalau diperhatikan lebih "berbicara" daripada sekedar lagu-lagu biasa. Berlebihan? Harusnya tidak. DI album kedua ini, LETTO terdengar lebih "emosional" secara lirik, karakter vokal dan teknik menyanyi Noe yang agak "menggelayut" itu.
"Kita tidak pernah sengaja mencari inspirasi dengan kontemplasi, tapi berusaha kontemplatif dengan apa-apa yang kita alami saja," jelas Noe, anak budayawan Emha Ainun Nadjib ini kalem. Noe memberi contoh, kehilangan handphone. "Dari kehilangan sesuatu yang kita sayangi, itu bisa mejadi hal kontemplatif dan brekembang jadi satu karakter lagu yang punya emosi," jawabnya.
Dan pilihan single 'Sebelum Cahaya' makin mengukuhkan "kecurigaan" kontemplatif itu. Video klipnya bisa menerjemahkan makna lirik yang sarat simbol-simbol cinta yang perlu refleksi. Pilihan cerdas karena emosi gerak dan bahasa tubuh yang 'berbicara' saat klipnya memilih model seorang perempuan tuna wicara. "Kita memberi sentuhan soul yang diterjemahkan lewat gerak bibi dan bahasa tubuh modelnya. Dan itu lebih mengena rasanya," jelas Noe lagi.
LETTO memang sedang "dimanjakan" oleh label dan penggemarnya. Eksplorasi musikal dan gramatikalnya, terasa sekali. Meski begitu, jangan "terlena" ya....[joko/foto: istimewa] |
|
|
|
|
|
|
|
ORCHID: Terlalu Remaja Untuk Disebut Dewasa
TERNYATA ruang kosong yang sempat "diratui" oleh duo RATU, menggoda banyak pendatang untuk meraup sukses. Wajar saja, kehadiran RATU [lewat Maia - Pinkan atau bareng Mulan], dan cukup sukses membuat banyak orang dan musisi ikutan mengeruk untung di ruang itu.
Pasca 'gonjang-ganjing' RATU, meski tak sefenomenal mereka, bermunculan beberapa duo yang melihat peluang sukses. T2 mencoba hadir. Duo Tiwi dan Tika, jebolan AFI di salah satu televisi swasta muncul dengan konsep yang lebih remaja.
Yang terbaru, duo bernama ORCHID. Meski dalam launchingnya album perdananya 'MonoColor" kemarin, Kamis [15/8/2007] di HardRock Cafe Jakarta, duo yang diisi dua cewek remaja Rina dan Putri ini terlihat "kurang siap" tapi mereka yakin, potensi dan materi yang mereka punyai bisa bersaing.
"Kita memang tidak mau menunggu moment, karena kita yakin apa yang dilakukan dua remaja ini bisa memberi pilihan lain untuk penikmat musik di Indonesia," tegas Yacob, mantan penyanyi Kembar Group yang terlibat 'supervisi' album Orchid.
Yang boleh saja Yacob optimis. Keyakinannya ditopang prestasi dan dukungan yang dipunyai Rina dan Putri. Walau tak dahsyat, Rina pernah menjuarai festival band SMA se-JABODETABEK tahun 2004. Sementara Putri adalah alumnis AFI Junior. Dua-duanya sudah pernah merekam album solo atau kompilasi. Putri punya keluarga yang sangat musikal. Ayahnya, Maman Piul adalah musisi lawas yang sempat terlibat dalam penggarapan beberapa album Iwan Fals dan PADI.
Dua cewek ini punya karakter suara yang berbeda. Rina vokalnya serak dan rendah, sementara Putri lebih terlatih dan range-nya agak tinggi. Paduan dua karakter ini membuat Orchid yang menjagokan single 'Bunga-Bunga Cinta' optimis bisa diterima penikmat musik Indonesia. [joko/foto: istimewa] |
|
|
|
|
|
|
|
DON'T MAKE ME SAD: Dramatisasi Pop-Renaissance LETTO
KONTEMPLATIF dan pencerahan. Mungkin terlalu berat mengandaikan album kedua LETTO, band Jogjakarta yang berjudul DON'T MAKE ME SAD dengan sebutan itu. Tapi menjadi sederhana saja, ketika kita menyimak satu persatu lirik yang ada di album ini. Romantis? Penulis lebih suka menyebut kontemplatif. Kelembutan vokal dan lirihnya lirik, menjadi kekuatan yang bisa mengharubiru pendengarnya.
Noe (vokal) bersama Patub (gitar), Arian (bas) dan Dedy (drum) sebenarnya tidak sedang mengukuhkan dan menciptakan cap apa-apa kepada band ini. Album pertamanya dulu, orang mulai aware ketika masuk bulan keempat dan seterusnya. Sebelumnya, lirik LETTO dianggap syahdu tapi perlu mikir.
Coba saja simak single pertamanya 'Sebelum Cahaya'. Adakah yang tidak setuju kalau disebut lagu ini seperti tuturan lafal doa dan keinginan manusia bertemu dengan cinta? Yang kuat dari lagu ini adalah emosinya meski tak ada lompatan yang luarbiasa dari skill dan pencapaian musikalitas yang masih merangkak. Track ini memang masih mengandalkan tempo melow, walaupun tak bisa disebut melankolik. Lebih pas disebut lirih. Masih menyambung dengan single-single hits di album pertama. LETTO masih "hati-hati" melompat dari karakter awal.
Tapi bandingkan dengan single 'Permintaan Hati' yang disebut-sebut bakal jadi hits kedua band ini. Agak terkejut juga, ketika LETTO coba menyelinap ke elektronic-rock. Ada distorsi, ada sampling, dan ada loop yang temponya cepat. Single ini menjadi 'perubahan' kontemplatif ke arah provokatif dalam tempo. Sayangnya, gaya bernyanyi dan vokal Noe, tetap saja ngepop. Tak menyisakan ruang untuk sedikit 'garang'. Yah sebutlah track ini 'pop-rock-renaissance' meski liriknya tak seketat single pertama.
Mencari lagu yang bicara cinta hati meski tak berujung manis adalah di lagu Ephemera. Berlirik bahasa Inggris, lagu ini seperti "menjawab kegelisahan" kamu yang sedang beretropeksi tentang cinta dan hubungan asmara. Choir yang menyelip, membuat lagu ini terdengar dramatis. Jujur saja, vokal Noe kuat di model-model track seperti ini yang bertebaran di album ini. Lagu yang kuat lagi di album ini adalah Don't Make Me Sad. Lirik berbahasa Inggris ini seperti menjadi penutup yang manis dari rangkaian kelambutan, enlighment, disolasi, dan kontemplatif yang begitu kentara di album ini.
Kelemahan di album ini [dan juga album pertamanya] adalah sound yang tidak maksimal, tidak clean dan kasar di beberapa lagu. Apakah diburu-buru target rilis album? Entahlah, tapi album berikutnya perlu satu sentuhan khusus soal sound ini. Piye dab? [joko/foto: istimewa]
|
|
|
|
|
|
|
|
Antara Suara dan Citra Sensual
Frans Sartono
Penyanyi solo perempuan semakin marak dan mendapat tempat di tengah industri musik yang saat ini masih didominasi band. Lusy Rahmawaty, Rabu (15/8) siang, meluncurkan album Sexy.
Menandai pelepasan album terbitan Pos Record itu, Lusy tampil dengan citra seperti disiratkan judul album: sexy. Ia mengenakan hot pants, celana superpendek dan superketat, lengkap dengan penari latar berkostum serba ketat dan gerak tari yang mengacu pada citra sensual.
Dan simak lirik lagu berjudul Sexy (Come On Baby) yang ditulis dalam bahasa Inggris dicampur sedikit bahasa Indonesia: "Come on Baby, don’t be shy/ and let me handle your desire/ Move it sexy/ Let the music set you free."
Setelah itu Lusy berbicara seputar arti sexy, sensualitas. Ia yakin dalam industri musik saat ini, citra visual itu berkait erat dengan penjualan album. Kemasan sampul album, klip video, mempunyai kontribusi kuat dalam menggiring orang untuk mendengar dan membeli album.
"Orang tak hanya mendengar suara penyanyi ini bagus atau tidak. Mereka juga melihat kemasan album. Kita juga jualan tarian, desah suara. Industri musik tak bisa lepas dari aspek visual," kata Lusy yang juga menjadi produser album yang diedarkan Sony BMG itu.
Lusy merupakan salah satu penyanyi solo perempuan yang menembus celah pasar musik Indonesia yang saat ini masih didominasi band. Dewi Sandra dengan kiat serupa terbukti mampu menyeruak pasar. Dalam album Star terbitan Universal ia membuat klip untuk lagu I Love You dan terbukti diterima publik, antara lain lewat melonjaknya permintaan lagu tersebut di radio, seperti terjadi di I-Radio FM 89.6 Jakarta.
"I Love You dipuji karena video klipnya. Setelah klip lagu itu keluar, request (permintaan) lagu itu meledak," kata Bhita, pengarah musik I-Radio. Permintaan lagu oleh sekitar 15 pendengar setiap hari termasuk kategori "meledak" tersebut.
Dari pengamatan Bhita, ada jenis pendengar yang tertarik pada yang bersifat visual. Ada kesalingterkaitan antara aspek liatan dengan unsur dengaran. Dalam kondisi semacam itu bisa dimengerti jika sosok yang dikenal publik lewat televisi kemudian membuat album rekaman. Ini seperti yang dilakukan presenter dan pemain sinetron Ussy Sulistyawati yang pada 9 Agustus lalu merilis album bertajuk It’s Me terbitan Java Musikindo.
Makin marak
Munculnya album Lusy Rahmawaty, Dewi Sandra, dan Ussy Sulistyawati menjadi penanda makin maraknya penyanyi solo perempuan dalam industri musik Indonesia. Gejala itu menguat sejak menjelang akhir tahun 2006 ketika Bunga Citra Lestari memopulerkan lagu Cinta Pertama (Sunny).
Belakangan hadir pula album dari Gita Gutawa, Sherina, Dewi Sandra, Acha Septriasa, Cindy Bernadette, dan Sherly O. Di luar nama-nama tersebut, juga masih bercokol nama lama seperti Pingkan Mambo, Audy, Titi DJ, Rossa, Melly Goeslaw, sampai Krisdayanti. Dalam format nonsolo, belantika musik Tanah Air diramaikan juga oleh duo atau band perempuan seperti AB Three yang meluncurkan Selamat Datang Cinta, she dengan Tersenyum Lagi, dan Dewi-Dewi yang memopulerkan Dokter Cinta.
Di belantika musik Indonesia dikenal hukum kejenuhan pasar. Era 1980-an tercatat sebagai riuhnya penyanyi solo sebelum tergeser oleh band pada era 1990-an. Dalam pengamatan Boy Gaok, pengarah musik Female Radio FM 99.5 Jakarta, tingkat kejenuhan tersebut belakangan semakin cepat.
"Siklus hidup band semakin pendek. Orang cepat bosan dan selalu ingin yang lain," kata Boy.
Dalam kondisi semacam itu, artis dituntut semakin kreatif. Untuk urusan itu, penyanyi solo perempuan maupun grup tampak telah berunjuk suara dan gaya. |
|
|
|
|
|
|
|
Reply #271 donk3's post
Ewwww... gua ga minat band2 malaysia. Bagi gw letto ga byk beda dengan band2 lain... kaya band biasa.. cuman mgkin mereka pake english. Selebihnya very ordinary.
Masalah selera masing2.. ya mungkin. Tapi bagi gw, gw lebih appreciate kalo band itu punya keaslian (originality). |
|
|
|
|
|
|
|
Reply #271 donk3's post
Ewwww... gua ga minat band2 malaysia. Bagi gw letto ga byk beda dengan band2 lain... kaya band biasa.. cuman mgkin mereka pake english. Selebihnya very ordinary.
Masalah selera masing2.. ya mungkin. Tapi bagi gw, gw lebih appreciate kalo band itu punya keaslian (originality). |
|
|
|
|
|
|
|
Reply #271 donk3's post
Ewwww... gua ga minat band2 malaysia. Bagi gw letto ga byk beda dengan band2 lain... kaya band biasa.. cuman mgkin mereka pake english. Selebihnya very ordinary.Masalah selera masing2.. ya mungkin. Tapi bagi gw, gw lebih appreciate kalo band itu punya keaslian (originality). |
|
|
|
|
|
|
|
URBANFEST 2007
Forum untuk Anak Muda dan Semangat Semau Gue
Inilah barangkali salah satu kerepotan yang mulai terasa saat beberapa praktisi media dan seniman senior berdiskusi tentang rencana membuat sebuah program pergelaran musik untuk anak muda di Jakarta. Warna musikyang begitu beragam menyulitkan diskusi membuat perumusan jenis-jenismusik yang dibawakan anak-anak muda.
Banyak pemusik muda yang menolak menyebut warna musik mereka sebagai musikrock, jazz, blues atau pop atau aliran-aliran mainstream lain. Banyak yang buat pengamat musik tradisional lebih terdengar sebagai musik semau gue meski sepintas kadang terdengar seperti musik rock atau jazz, blues atau campuran di antara itu.
Ekspresi kesenian anak-anak muda yang keluar dari mainstream dan sikap mereka yang berseberangan dengan major label membuat para peserta diskusi lalu menyebut musik alternatif anak-anak muda itu dengan sebutan musik indie, istilah yang sebenarnya hanya memperpendek kata independen.
Ketika wacana dari diskusi itu dibawakan lagi ke beberapa band indie diJakarta, ternyata mereka juga menolak untuk dikategorikan sebagai pemusik indie. "Sebab, begitu kita mengategorikan mereka dalam sebuah kategori bernama indie, mereka merasa dikategorikan sebagai mainstream baru di aliran musik. Padahal, mereka justru bersikap anti mainstream,"ujar John Malao, mahasiswa jurusan musik di Institut Kesenian Jakarta, yang menjadi panitia Urban Festival atau Urbanfest 07.
Padahal, Urbanfest 07 adalah sebuah hajatan yang diselenggarakan justru untuk menampung berbagai ekspresi seni dari anak-anak muda. Penyelenggara acara ini, yang merupakan kolaborasi dari pengelola taman hiburan Ancol, Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Kelompok Kompas Gramedia, dan Radio Prambors, berniat membuat acara yang bisa menampung sebanyak mungkin warna musik indie, hasil karya anak-anak muda Jakarta dan kota-kota besar lain.
Urbanfest 07 rencananya digelar pada 24-26 Agustus 2007 di Pantai Karnaval Ancol.Agar tidak terjebak pada kategorisasi musik, tetapi sekaligus menegaskan bahwa pergelaran ini hanya diperuntukkan bagi warna musikindie, akhirnya panitia Urbanfest 07 menawarkan menu utama acara itu dengan sebutan cross over indie music atau X-Over Indie Music.
"Dengan penyebutan itu, maka anak-anak muda yang menawarkan musik alternatif dan tidak masuk dalam major label bisa bergabung dalam acara ini.Penyebutan istilah ini efektif, karena begitu dibuka pendaftaran, yang berniat ikut lebih dari 100 band. Kami terpaksa melakukan seleksi sehingga yang tampil lalu dibatasi menjadi sekitar 30-an band untuk festival selama tiga hari," ujar Iwoch dari Radio Prambors.
Pihak penyelenggara juga mengundang beberapa band indie yang, meski tidak bernaung dalam major label, cukup dikenal tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga sering manggung di mancanegara. Beberapa band, seperti The Upstairs, The Brandals, atau Clubeighties serta Kill the DJ yang sudah sangat dikenal di kalangan anak muda, langsung menyatakan kesediaannya begitu diajak bergabung.
Akan tetapi, itu pun masih menuai kritik. "Kalau mau buat pergelaran musik indie, yang perlu dikritik justru nama acara ini. Sebab, musik urban tu bukan hanya musik indie. Jadi, nama Urbanfest sebenarnya terlalu luas jika yang akan ditampilkan hanya musik indie," ujar Marzuki,pengamat musik yang juga pemain grup band Kill the DJ dari Yogyakarta, mengomentari acara ini.
Alih-alih mengakomodasi kritik, pihak penyelenggara malah ikut larut dalam sikap"semau gue" anak-anak muda. Selain menu utama X-Over Indie Music di dua panggung utama, panitia Urbanfest lalu memasukkan lebih dari 40 acaralain ke dalam Urbanfest selama tiga hari.
"Kriterianya hanya satu, semua acara hanya untuk anak muda. Ini sesuai dengan punchline acara ini, nyesel lo kalo ga dateng," tambah Iwoch.
Itulah sebabnya, dari kelompok Kompas-Gramedia beberapa pengelola media yang basis pembacanya anak muda dilibatkan, seperti Majalah Hai, Tabloid Bola, dan Otomotif Group. "Majalah Hai akan menggelar beberapa acarad engan mengundang beberapa komunitas anak muda Jakarta. Tabloid Bola akan menggelar kompetisi futsal, basket 3 on 3, shooting competition, dan voli pantai. Grup Otomotif malah bukan hanya menggelar lomba modifikasi motor, tetapi bahkan juga off-road di areal festival," ujar Gusno dari Otomotif.
Dipanggung utama sendiri, selain X-Over Indie Music, akan disajikan kompetisi harajuku, cosplay, dan indie fashion show. "Di depan panggung utama kami juga akan sajikan kompetisi graffiti dan mural. Selain graffiti dalam bentuk panel yang akan dikompetisikan di sekeliling acara, kami juga menyediakan sebuah bus, beberapa rongsokan bangkai mobil serta bajaj sebagai media untuk ekspresi seni graffiti dan mural,Teman-teman dari Institut Kesenian Jakarta akan mengoordinasi acara ini," ujar John Malao.
Maka, jadilah acara campur aduk yang khusus digelar untuk anak muda di areal seluas 6 hektar di Ancol. "Acara ini memang jauh meleset dari rencana semula. Tapi, jika memang bisa menampung segala kegiatan dan berbagai ekspresi kreativitas anak muda Jakarta, kami tidak keberatan. Sebab, toh selama ini belum ada acara yang bisa menampung semua kegiatan anak muda sekaligus," kata Gandung Bondowoso, Wakil Rektor III InstitutKesenian Jakarta (IKJ). (NUG
[ Last edited by jf_pratama at 23-8-2007 04:21 PM ] |
|
|
|
|
|
|
| |
|