|
INDONESIA - defence and military issues (PART IV-R.P.9]
[Copy link]
|
|
wongedandotcom2 Post at 2-6-2011 11:31
indon takde kenderaan khusus untuk mengangkut kereta perisai..
sungguh malang.. |
|
|
|
|
|
|
|
indon takde kenderaan khusus untuk mengangkut kereta perisai..
sungguh malang..
d'zeck Post at 2-6-2011 22:39
tak payah kendaraan khusus lah... cuma mau dituker teksi kot, 1 panzer berbanding manyakkkkk taksi |
|
|
|
|
|
|
|
Post Last Edit by rifa at 3-6-2011 18:03
Masuk Pasar Domestik BPPT & PTDI Rancang 2 Pesawat
Jum'at, 3 Juni 2011 - 12:21 wib,Yuni Astutik - Okezone
JAKARTA - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) saat ini tengah merancang dua buah pesawat berjenis N250R dan N-219.
"Pesawat N250R, pesawat dengan kelas 50 penumpang yang mempunyai keunggulan performa lepas landas dan mendarat yang kompetitif serta kenyamanan penumpang pada tempat duduk lapang serta kebisingan yang rendah," ungkap Sekjen Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Heru Dewano, dalam keterangan persnya kepada okezone, Jumat (3/6/3011).
Heru menambahkan, pesawat tersebut disertifikasi di Indonesia untuk segera memasuki pasar domestik, yang kemudian disertifikasi Federal Aviation Administration (FAA) dan Joint Aviation Authorities (JAA).
Selain pesawat jenis tersebut, BPPT dan PTDI juga tengah merancang pesawat lain jenis N-219. Pesawat ini dirancang untuk memenuhi tantangan kondisi geografis Indonesia seperti kepulauan, pegunungan dan perbukitan, serta keterbatasan infrastruktur di daerah yang relatif terpencil pada landasan pendek dan minim fasilitas.
Selanjutnya, dalam memenuhi amanat undang-undang nomor 1 tahun 2009 mengenai pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan, UU tersebut menyerukan perlu adanya pengembangan standarisasi dan komponen penerbangan dengan menggunakan sebanyak-banyaknya muatan lokal dan alih teknologi. (ade)
N250
N219
|
|
|
|
|
|
|
|
Analis: Australia Harus Antisipasi Meningkatnya Penjualan Alutsista AS Ke Indonsia
An Indonesian corruption watchdog has revealed more than MP travel junkets whilst examining the extensive globe-trotting of members of the House of Representatives.
The Indonesian NGO Fitra's call for greater budget transparency has forced members of the Indonesian Parliament's Commission 1, which oversees defence, foreign affairs and intelligence matters, to explain publicly the justification for their six-day trip to the US in May. As a result, the delegation's 'core agenda' in Washington — to secure F-16A/B Fighting Falcons and other US military equipment sales to the TNI — has now found its way into the public arena.
The sale of second-rate air combat capability is not a concern, but the visit does mark a milestone in an expanding military relationship. A serious boost of diplomatic enthusiasm from the Obama Administration and Indonesia's growing appetite for war-fighting equipment combine to present a difficult prospect for Australia.
If Canberra feels surprised by Jakarta's hot pursuit of US military capability so soon after Obama signed the bilateral Comprehensive Partnership Agreement in November 2010, it shouldn't. The 1999 US Congress decision to freeze military-to-military relations has been thawing for some time. Since 2001, US security assistance to Indonesia has steadily expanded as a result of cooperation on counter-terrorism and anti-piracy, disaster response and UN peacekeeping.
Indonesia's democratic transformation and attempts to improve its human rights record has done much to remove the TNI (Indonesia's defence force) as a thorn in the relationship. The 2010 renewal of US military relations with Kopassus, Indonesia's Special Forces, was the latest demonstration of significant US re-engagement. Reopening the US arms markets to Indonesia is a natural next step in maturing military-to-military relations.
As a rising diplomatic and economic power, Indonesia is naturally inclined to seek to increase its regional influence by pursuing US weapons. Jakarta is likely to pursue the issue of expanded military sales as a key test of Washington's commitment to implementing the CPA. The Indonesian Air Force's unsightly combination of UK, US, Russian and Chinese capability is a logical place to start.
With Indonesia as head of ASEAN this year, the US is unlikely to hold back on reasonable requests. The US has its own reasons to want major arms sale channels re-established. Washington is conscious of Indonesia's pivotal role in the region and its ability to influence US grand strategy in the Asia Pacific. Indonesia's economic success and heightened regional status makes it a critical relationship for Washington to develop as it attempts to make inroads into regional diplomatic institutions.
So Canberra should prepare itself for the prospect of expanded US military sales to Indonesia. Although the sale of F-16A/Bs to Indonesia would not be cause for alarm, it raises important questions about where exactly Australia stands in support of sustained US investment in Indonesian military capabilities.
Fostering cooperative security relations between the US and Indonesia is a catch-22 for Australia. The US and Australia want Indonesia to become stronger in order for it to do more for the regional security environment. But unlike the US, geographic proximity forces an important limitation on Australia's acceptance of strong Indonesian air and maritime forces.
Australia has long called for increased US engagement in the region. The question now is how Australia balances the US Government's enthusiasm for a more regionally active and influential Indonesia with our own strategic priorities. |
|
|
|
|
|
|
|
MAKASSAR--Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) Indonesia mengusulkan pembelian pesawat tempur Sukhoi kepada pemerintah Indonesia. Penambahan pesawat tempur buatan Rusia tersebut dianggap perlu mengingat wilayah NKRI yang cukup luas dan harus dipantau oleh Komando Pertahanan Udara Nasional.
Demikian dikatakan Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) Marsekal Muda TNI Eddy Suyanto usai bertindak sebagai inspektur upacara pada serah terima jabatan Panglima Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional (Pangkosek) II Makassar, Jumat 4 Mei.
Eddy mengatakan seperti di negara-negara berkembang lainnya, jumlah pesawat tempur ada yang mencapai ratusan buah sementara luas wilayahnya di bandingkan Indonesia masih lebih kecil. "Tetapi hal tersebut juga harus dikondisikan dengan keuangan negara, yang lebih penting saat ini adalah kesejahteraan rakyat," ucapnya.
Eddy mengatakan saat ini jumlah pesawat tempur Sukhoi yang dimiliki Indonesia sebanyak 11 buah. Semuanya ditempatkan di skuadron 11 Lanud Sultan Hasanuddin. Untuk satu skuadron, layaknya memiliki 16 buah pesawat tempur, sehingga Komando Pertahanan Udara Nasional Indonesia akan menambah pesawat suhkoi sebanyak lima buah pesawat lagi. "Kami mengusulkan tambahan lima pesawat baru lagi tahun ini," katanya.
Untuk keadaan wilayah udara Indonesia khususnya wilayah timur, Eddy mengatakan secara umum kondisi tersebut aman dari gangguan pihak asing yang ingin mengacaukan pertahanan negara. Komando Pertahanan Udara Nasional Indonesia senantiasa bekerja keras guna pengamanan tersebut. "Ini tentunya tidak telepas dari kerjasama yang baik dengan semua pihak," paparnya.
Upacara serah terima jabatan berlangsung di markas Kosek Hanudnas Jumat, 4 Mei. Kolonel Agoes Haryadi menduduki jabatan Pangkosek Hanudnas II yang baru menggantikan Marsekal Pertama TNI Abdul Muis yang selanjutnya akan menduduki jabatan barunya sebagai Komandan Landasan Udara (Lanud) Adi Sucipto Yogyakarta. Upacara dihadiri Wakil Gubernur Sulsel, Agus Arifin Nu'mang, tokoh masyarakat serta unsur muspida. (dya) |
|
|
|
|
|
|
|
2014, Lapan Orbitkan Empat Satelit
Jakarta, Lapan.go.id - Salah satu sasaran utama kinerja Lapan pada 2011 ialah peluncuran satelit Twinsat (Lapan-A2 dan Lapan-Orari) untuk mitigasi bencana. Pengembangan satelit terus berlanjut, hingga pada 2014, Lapan akan memiliki empat satelit buatan sendiri meskipun dalam skala kecil. Selama ini, 10 satelit milik Indonesia masih buatan luar negeri.
Hal tersebut dijelaskan oleh Kepala Lapan Dr. Adi Sadewo Salatun, M. Sc. saat rapat kerja Menteri Riset dan Teknologi serta jajaran Kepala Lembaga Pemerintahan Non Kementerian (LPNK) dengan Komisi VII DPR RI di Ruang Rapat Komisi VII, Gedung Nusantara Lantai I, Senin (17/1).
Selain pengembangan satelit, Lapan juga bersiap melakukan studi kelayakan sarana dan prasarana stasiun peluncuran di Pulau Enggano, menguji statik roket RX-550, serta membahas RUU Keantariksaan dengan DPR. Roket RX-550 saat ini sedang dalam proses pengujian bekerjasama dengan BATAN dan dijadwalkan selesai paling lambat Maret 2011. “Jika semuanya telah siap, maka peluncuran RX-550 merupakan peluncuran roket paling besar sampai saat ini,” ujar Adi.
Dalam rapat tersebut, Kepala Lapan menyampaikan realisasi program utama Lapan 2010. Untuk bidang roket, telah dilakukan integrasi dan pengujian subsistem satelit mikro Lapan-A2 dan Lapan-Orari. Di bidang roket, Lapan mengembangan kemampuan roket nasional untuk keperluan riset ilmiah.
Kemudian, di bidang penginderaan jauh (inderaja), lapan mengembangkan model pemanfaatan data satelit inderaja untuk pengembangan wilayah, pemantauan dan inventarisasi sumber daya alam dan lingkungan, serta operasi pelayanan informasi mitigasi bencana (Simba).
Sementara itu di bidang sains antariksa dan atmosfer, Lapan menyuplai model atau data akurat tentang cuaca antariksa, prosedur standar peringatan dini dan mitigasi cuaca antariksa, serta layanan informasi pemanfaatan sains atmosfer. Selain itu, Lapan mendukung penguatan kelembagaan iptek dan regulasi kebijakan pengembangan kedirgantaraan nasional (harmonisasi RUU Keantariksaan). |
|
|
|
|
|
|
|
Post Last Edit by rifa at 5-6-2011 12:27
Indonesia Dapat Menjadi Penyuplai Utama Alutsista Untuk Asia Tenggara di Masa Depan
Mempererat hubungan bilateral dan kemitraan Indonesia dan Polandia adalah salah satu upaya strategis untuk mencapai kepentingan nasional kita di bidang pertahanan. Sebagai negara yang besar dan secara geopolitik memiliki posisi yang sangat strategis, Indonesia harus sigap dalam mengembangkan kemampuan pertahanan dan keamanannya agar kepentingan nasional tetap terjaga.
Demikian disampaikan oleh Wakil Ketua DPR RI/Korpolkam Priyo Budi Santoso di dalam pertemuan dengan Wakil Menteri Pertahanan Republik Polandia Zbigniew Wlosowicz Dalam pertemuan tersebut Priyo didampingi oleh Anggota DPR RI Ferrari Romawi (FPD),Yorrys Raweyai (FPG) dan Nova Iriansyah (FPD).
Selanjutnya, mantan Ketua Fraksi Golkar ini mengapresiasi kerjasama pemenuhan kapasitas alat utama sistem senjata (alutsista) yang selama ini terjalin diantara kedua negara. “Pemenuhan kebutu*an kapasitas alutsista dalam konteks menjawab tantangan di bidang pertahanan dan keamanan adalah suatu keharusan. Oleh karena itu, saya yakinkan bahwa DPR RI akan mendukung penuh pemerintah Indonesia untuk merealisasikan program kerjasama yang telah dan akan terjalin dengan pemerintah Polandia. Hal ini tentunya disesuaikan dengan kebutu*an kita dan kemampuan keuangan negara” kata Priyo.
Lebih lanjut, Ketua Bidang Hubungan Legislatif dan Lembaga Politik DPP Golkar ini berharap bahwa kemitraan kedua negara pada waktunya nanti akan berkontribusi pada pencapaian ambisi Indonesia untuk menjadi salah satu penyuplai utama kebutu*an Alutsista di kawasan. “Sebagai negara terbesar dikawasan, sudah tentu Indonesia memiliki mimpi-mimpi yang akan coba kami wujudkan di masa depan. Jika nanti kebutu*an pertahanan dalam negeri sudah tercukupi, Indonesia berharap bahwa suatu saat nanti akan menjadi negara penyuplai utama bagi kebutu*an alutsista di Asia Tenggara. Kita memiliki sumber daya yang memadai seperti PT PAL, PT Dirgantara dan PT PINDAD dan bahkan kita juga memiliki tokoh ahli teknologi sekaliber Pak Habibie. Jadi mimpi ini bukanlah suatu hal yang tidak mungkin.” tuturnya.
Selain itu, Anggota Komisi VI Ferrari Romawi menambahkan “Selain pengadaan alutsista dan penyediaan anggaran,dibutu*kan transfer teknologi alutsista yang berasal dari Polandia sehingga nantinya alutsista tersebut dapat diproduksi di dalam negeri. Kondisi ini akan memungkinkan Indonesia untuk tidak harus membeli secara utuh peralatan persenjataan dari Polandia.” kata Ferrari. Menanggapi permintaan tersebut, Wlosowicz berjanji akan menyampaikan pendapat dan usulan DPR RI ke pemerintah Polandia sehingga dapat dijadikan masukan bagi perkembangan kemitraan kedua negara.
Selain permasalahan industri pertahanan,pertemuan tersebut juga membicarakan beragam permasalahan kontemporer didunia salah satunya adalah perkembangan proses demokratisasi di beberapa negara didunia. Dalam hal ini, Priyo menyampaikan kekagumannya atas perkembangan dan transformasi demokrasi di Polandia meskipun pada saat Perang Dingin lalu,Polandia merupakan salah satu negara anggota Blok Timur yang menganut faham sosialis. Sebaliknya, Wakil Menhan Wlosowicz juga memuji demokrasi di Indonesia sebagai salah satu model demokrasi yang patut ditiru. DPR RI,menurutnya, telah memainkan peranan kunci bagi transformasi demokratisasi yang berlangsung di indonesia. |
|
|
|
|
|
|
|
tak payah kendaraan khusus lah... cuma mau dituker teksi kot, 1 panzer berbanding manyakkkkk tak ...
wongedandotcom2 Post at 2-6-2011 22:59
angkut kenderaan perisai tentera pun terpaksa sewa lari bawak tempe..
ada hati tentera indon nak sombong dan berlagak hebat.. |
|
|
|
|
|
|
|
Post Last Edit by rifa at 5-6-2011 20:44
Jaga Wilayah Laut RI, TNI AL butu* 10 Unit Kapal Selam
TEMPO Interaktif, Jakarta - Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan, Laksamana Muda TNI Susilo mengatakan, TNI Angkatan Laut setidaknya membutu*kan 10 unit kapal selam untuk kebutu*an penjagaan dan pertahanan wilayah laut Indonesia. "Saat ini kita cuma punya dua. Itu pun yang satu sedang diperbaiki," kata Susilo ketika dihubungi Tempo, Minggu 5 Juni 2011.
Tiga kapal selam, menurut Susilo, harus selalu disiagakan masing-masing di kawasan timur, tengah dan barat perairan Indonesia. Tiga kapal selam lain untuk infrastruktur pelatihan. Sisanya, "Cadangan jika salah satu kapal selam sedang diperbaiki atau menjalani perawatan rutin," ujarnya
Jika kebutuan 10 kapal selam itu terpenuhi, dipastikan setiap saat selalu ada kapal selam bersiaga di wilayah laut Indonesia. Karena saat ini TNI hanya memiliki dua kapal selam, otomatis hanya satu kapal selam yang beroperasi saat yang lain menjalani perawatan. Apalagi, kapal selam harus menjalani proses kalibrasi secara rutin.
TNI AL saat ini juga belum memiliki kapal selam khusus untuk keperluan latihan. Kebutu*an kapal selam dinilai menjadi salah satu kebutu*an strategis karena kondisi perairan Indonesia yang terdiri dari banyak layer (lapisan). Perairan Indonesia juga memiliki temperatur ideal untuk beroperasinya kapal selam. Layer-layer ini membuat kapal selam sulit dilacak oleh radar musuh dan sulit ditembus oleh gelombang elektromagnetik.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Staf TNI AL Laksamana TNI Soeparno mengatakan, TNI AL sekurang-kurangnya butu* enam buah kapal selam. Saat ini TNI AL baru memiliki dua kapal selam, yakni KRI Cakra dan KRI Nenggala yang dimiliki sejak tahun 1980-an. Itu pun, KRI Cakra masih dalam perbaikan dan baru rampung Januari tahun depan. Untuk memenuhi jumlah miminal itu, "TNI AL butu* empat buah kapal selam lagi," katanya.
Namun untuk dapat memenuhi jumlah ideal itu masih dibutu*kan waktu yang cukup lama. Pasalnya, setelah dipesan, proses pembuatan kapal selam butu* waktu bertahun-tahun. "Minimal 3 tahun," ujar Soeparno.
Pemerintah berencana membeli dua unit kapal selam untuk melengkapi armada TNI AL pada tahun ini. "Tahun ini kami harapkan bisa eksekusi," kata Laksamana Muda Susilo. Tim Evaluasi Pengadaan (TEP) Kementerian Pertahanan saat ini tengah menggodok rencana pembelian tersebut. Penggodokan sudah memasuki tahap memilih satu diantara tiga negara produsen yang telah mengajukan penawaran. Yakni Jerman, Perancis atau Korea. |
|
|
|
|
|
|
|
PUSLITBANG : Rompi Anti Peluru Plate Keramik-Indonesia
ROMPI TAHAN PELURU DENGAN PLATE KERAMIK
Kerjasama Balitbang Dephan dengan Balai Besar Keramik Bandung dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang pertahanan negara telah menghasilkan prototipe " Plate Keramik Rompi Tahan Peluru" yang telah memenuhi SST.
Plate telah lolos uji tembak dengan senjata AK-47 munisi STJ inti baja kal 7,62 mm dan SS-1 munisi STJ inti baja kal 5,56 mm, jarak tembak 25 m.
Hasil kerjasama dengan CV Fajar Indah telah menghasilkan Rompi Tahan Peluru Level III-A dan dengan Balai Besar Keramik menghasilkan Rompi Keramik Tahan Peluru Level IV
Selanjutnya Balitbang Dephan akan mengembangkan, meningkatkan dan mensosialisasikan RKTP Level IV yang siap digunakan untuk operasional TNI di medan tugas.
Persyaratan Taktis
- Rompi taktis tahan terhadap tembakan senapan laras panjang kaliber 5,56 mm dan 7,62 mm
- Tahan terhadap tusukan dan bacokan
Persyaratan Teknis
Berat lengkap Rompi Taktis
1) S ≤ 4700 gram
2) M ≤ 5100 gram
3) L ≤ 5500 gram
4) LL ≤ 6000 gram
Aspek Kemampuan
Daya bahan tembus peluru keterangan
1 kondisi kering tidak tembus, dekokan
skip penghalang
≤ 44mm
2 kondisi basah tidak tembus, dekokan
skip penghalang
≤ 44 mm
Daya tahan tembus sajam
1 tusukan tidak tembus
2 bacokan tidak tembus
Daya tahan sobek ≥ 5 kg
Daya tarik jahitan ≥ 5 kg
Kuat tarik kancing ≥ 0,75 kg
Daya serap air ≤ 30%
Mitra kerjasama dalam penelitian
Dalam melaksanakan litbang RKTP Level-IV, Balitbang Dephan bekerja sama dengan Balai Besar Keramik Bandung untuk pengolahan keramik, dengan Dislitbang TNI AD untuk pelaksanaan pengujian dan dengan CV Fajar Indah untuk pembuatan Rompi Tahan Peluru Level-III
Fungsi Rompi Tahan Peluru
- Melindungi personil dari tembakan di bagian tertentu
- Meningkatkan moril personil TNI dalam melaksanakan operasional di medan tugas
No Diskripsi Keterangan
1 Bentuk plate : segi empat, untuk Konstruksi sesuai
ditempatkan pada rompi bagian depan lengkungan dada
(dada)
2 Berat Plate 2,4kg
3 Bahan baku
a. Alumina Dalam Negeri
Bahan dopping dgn kode
1) T Luar Negeri
2) Z Dalam/Luar negeri
3) M Dalam Negeri
4) C Dalam Negeri
4 Bahan Pendukung
a. Kevlar Luar negeri
b. Fiber Dalam negeri
c. Binder Dalam negeri
5. Proses Casting & press
6. Uji Laboratorium Standard baku tahan
peluru
a. Berat volume (Gr/Cm3) 3,83
b. Penyerapan Air (%) 0
c. Susut Bakar (%) 15,41
d. Kekerasan (Hohs) 8 - 9
e. Kuat Lentur (Kg/Cm3) >2308
7. Uji Balistik
Sesuai SST Rompi Tahan Peluru
a. Senjata AK-47 MU kal 7,63 mm STJ Tidak tembus,
Inti Baja deformasi 6 mm
b. Senjata SS-1 MU kal 5,56 mm STJ Inti Tidak tembus,
Baja deformasi 4 mm
http://www.balitbang.dephan.go.id/rompi.htm |
|
|
|
|
|
|
|
Post Last Edit by wartakita at 6-6-2011 10:17
The campaign of Indonesia's TNI from Rifa .... we appreciate it .... However, don't spread hoax in this forum .... You have to check and recheck the statement from your gov't/military officers before copy and paste here .... Your officers maybe can cheat your people with their 'big mouth' statement but not us ...
If possible .... could you post a detail Renstra of TNI from 2010 to 2024 and also 'white book" for 2011 if available ... |
|
|
|
|
|
|
|
dasat la indonesia |
|
|
|
|
|
|
|
Indonesia Salah Satu Negara Eksportir Alutsista
Adalah sebuah kebanggaan bahwa bangsa Indonesia tercatat sebagai negara eksportir Alutsista meski dukungan anggaran dari pemerintah masih minim.
Belum lama ini, Indonesia mengekspor CN 235 jenis pesawat angkut militer VIP ke negara Senegal Afrika, setelah sebelumnya juga mengirimkan pesawat yang sama ke negara Burkina Faso, Afrika Barat. Menyusul kiriman pesawat ke Senegal itu, Indonesia juga mengirimkan pesawat CN 235 jenis Maritime Patrol Aircraft (MPA) ke Korean Coast Guard pada hari berikutnya (tempointeraktif, 5/5/2011).
Selain jenis pesawat, Indonesia juga mengekspor persenjataan dan peralatan militer lainnya ke sejumlah negara seperti Timor Leste, Korea Selatan dan beberapa negara Asean (Filipina, Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam) (Kompas, 24/3/2011). Khusus Timor Leste mendapatkan kredit ekspor 40 juta dollar dari pemerintah Indonesia untuk pembelian dua kapal patrol cepat (fast patrol boat).
Dua kenyataan tersebut di atas membuktikan bahwa negara kita masih dapat berjaya di dunia internasional, dengan hasil-hasil produk alutsista buatannya. Dalam pengertian lain, fakta ini juga isyarat bahwa sumber daya manusia dan mutu produk Indonesia dapat diunggulkan dan bersaing dengan yang dihasilkan oleh negara-negara lain di dunia. Artinya, cita-cita menjadi negara pengekspor alutsista pertama di Asean bukan mustahil dicapai Indonesia.
Tulisan ini akan memuat mengenai kondisi objektif pertahanan negara kita, pelbagai capaian yang pernah ditorehkan sistem pertahanan kita, permasalahan postur dan struktur pertahanan negara, serta sejumlah langkah penting yang dapat diambil dalam mewujudkan kemandirian bangsa dan negara dalam penguatan sistem pertahanan nasional.
Dua Persoalan Krusial
Kondisi sistem pertahanan nasional kita paling tidak dihadapkan pada dua masalah utama, yaitu pengadaan dan pemeliharaan alutsista. Dari dua permasalahan tersebut, juga ada dua hal selama ini ditengarai menjadi penghambat utama dalam upaya mendukung pengadaan dan pemeliharaan alutsista, yaitu pertama, keterbatasan anggaran; dan kedua rendahnya dukungan atau political will pemerintah terhadap pengembangan industri strategis nasional.
Untuk yang pertama, keterbatasan anggaran, merupakan persoalan klasik dan sangat krusial. Secara umum, selama sekian tahun, dukungan anggaran untuk kebutu*an pertahanan nasional hampir tidak pernah mencukupi. Ironinya bukan hanya karena sedang krisis pada tahun 1998, namun bahkan telah terjadi sejak masa Orde Baru. Yang membedakan barangkali, hanya persoalan derajatnya saja.
Menurut data yang dikeluarkan Dephan bahwa tingginya kebutu*an akan anggaran dalam setiap tahunnya ternyata belum diikuti oleh keinginan (political will) pemerintah untuk memenuhinya. Kesenjangan antara keduanya terkadang mencapai 400 persen. Sejak tahun 2005 hingga 2010, usulan yang diajukan Dephan terus mengalami peningkatan. Tahun 2005 saja, misalnya, anggaran yang diajukan sebesar Rp 45,022 triliun, sementara yang disetujui hanya Rp 23,1 triliun. Tahun 2008 dan 2009 masing-masing usulan Rp 100,5 triliun dan 127,1 triliun, namun realisasinya hanya Rp 32,8 dan Rp 33,6 triliun. Begitu juga dengan tahun 2010, anggaran yang diajukan sebesar Rp 158,1 triliun sementara realisasinya hanya sebesar Rp 40,6 triliun.
Dalam menyikapi rendahnya anggaran, pihak Dephan melakukan penyesuaian di antaranya melalui konsep pertahanan minimum esensial (minimum essential force). Akan tetapi anggaran untuk pertahanan esensial minimum ini pun hanya dipenuhi pemerintah sekitar seperempat atau sepertiganya selama beberapa tahun belakang; sehingga sulit untuk mengatakan bahwa minimnya anggaran tersebut tidak membawa dampak negatif yang krusial bagi kondisi pertahanan nasional.
Menurut data Dephan yang dipublikasikan tahun 2007, bahwa dengan anggaran pertahanan itu, Indonesia termasuk negara dengan anggaran pertahanan terkecil kedua (setelah Laos), yaitu 0,8 persen dari PDB. Masih lebih tinggi negara seperti Kamboja, Myanmar dan Thailand yang menyediakannya anggaran pertahanannya sebesar 1,4 sampai 6,3 persen PDB. Negara kecil seperti Singapura perhatian terhadap penguatan sistem pertahananya sangat tinggi, dengan mengalokasikan hingga 7,6 persen dari PDBnya dan Brunei 6,0 persen.
Dari anggaran pertahanan yang tak seberapa itu pun hanya sembilan persennya yang dialokasikan untuk pemeliharaan alutsista. Artinya, alutsista hanya memperoleh di bawah sepersepuluh dari komponen belanja barang Dephan/TNI tahun 2008 dan 2009. Besaran ini tentu saja, jauh dari cukup, terlebih untuk membiayai alutsista yang banyak sudah berumur alias uzur. Rata-rata usia pesawat milik TNI AU sudah mencapai umur 30-40 tahun. Padahal semakin tua umur alutsista semakin tinggi pula biaya perawatannya.
Ketersediaan pesawat tempur modern yang ideal untuk wilayah langit Indonesia adalah 160 unit. Hanya saja kondisi saat ini yang ada, Indonesia hanya memiliki 68 unit (38 persen). Dan dari jumlah itu pun yang benar-benar dalam kondisi fit hanya 17 unit (13 persen). Begitu juga dengan pesawat angkut dan helikopter yang masing-masing kondisi idealnya harusnya 160 dan 144 unit, namun dalam kenyataannya hanya 13 persen dan 16 persen yang benar-benar dalam kondisi fit.
Karena rendahnya volume anggaran untuk pemeliharaan, kemudian banyak terjadi insiden kecelakaan pesawat TNI, seperti yang terjadi pada semester pertama tahun 2009 di mana sampai terjadi enam kali kecelakaan yang menewaskan sebanyak 130 korban jiwa.
Persoalan yang kedua, mengenai rendahnya dukungan atau political will pemerintah terhadap pengembangan industri strategis nasional. Keberpihakan ini penting yang meliputi kepastian pendanaan, aspek regulasi atau peraturan, pembinaan teknis serta membangun sinergi antara pihak-pihak atau lembaga yang terkait. Dari aspek pendanaan, seperti dijelaskan di atas dukungan pemerintah masih belum maksimal. Dan lebih disayangkan lagi, pemerintah seringnya membeli produksi buatan luar negeri.
Rendahnya keberpihakan pemerintah bukan hanya dari segi anggaran namun juga regulasi. Selama ini Indonesia telah memiliki regulasi UU No 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara. Bahwasanya pertahanan negara disusun dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan (pasal 3 ayat 2). Dalam kenyataannya, porsi belanja itu lebih besar untuk biaya angkatan darat, sementara biaya untuk angkatan laut dan udara lebih kecil, mengingat kedua angkatan terakhir ini membutu*kan biaya dalam jumlah besar untuk pengadaan dan perawatan alutsistanya.
Sikap diskriminasi pemerintah juga ditujukan kepada sejumlah BUMN seperti PT DI yang pada tahun 2007 sempat dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Pembelian alutsista impor barang dari luar negeri melalui mekanisme Kredit Ekspor tidak dikenakan PPN, namun bila alutsista dimaksud dibuat di dalam negeri oleh perusahaan yang dimiliki pemerintah sendiri, justru terkena PPN. Hal seperti ini dialami oleh PT DI, PT Pindad dan PT PAL.
Berbagai Capaian
Terlepas dari masih banyaknya persoalan yang masih dihadapi oleh sistem pertahanan nasional, adalah fakta yang tidak dapat dimungkiri bahwa negara kita adalah pertama di Asean yang maju dalam bidang teknologi pertahanannya. Ketika negara lainnya belum mampu membuat pesawat terbang, manusia-manusia Indonesia telah mampu mewujudkannya. Pada tahun 1954, Indonesia telah berhasil membuat pesawat yang dinamakan “Si Kumbang”. Empat tahun kemudian 1958, berhasil membuat pesawat latih dasar “Belalang 89”. |
|
|
|
|
|
|
| |
|