|
Post Last Edit by bintang at 1-12-2010 21:35
“Aku ….”
“Akuilah, Ju...... kau mencintai aku. Kebersamaan kita adalah takdir.”
Kututup corong telefon dengan tanganku dan menghela nafas panjang. Seluruh tubuhku seperti terbakar dan longlai dan dunia seperti berputar makin cepat. Kupejamkan mata.
“Aku tidak mencintaimu,” bisikku, perlahan dalam risau.
“Aku tak mendengarnya.”
“Aku tidak mencintaimu.”
“Kau berbohong.”
Lama sekali aku terdiam sebelum akhirnya sanggup mengucapkan, ”Ya.”
“Ju,” suara Hamdan gemetar. “Aku berjanji untuk selalu membuatmu bahagia”
Aku tahu sejak awal lagi, permainanku dengan Kamil akan berakhir, cepat atau lambat. Tapi hati aku tetap enggan berdamai dengan kenyataan bahawa aku harus bercakap padanya tentang perpisahan. Aku sedar bahawa Kamil sendiri tidak berhak dan tidak mungkin tidak melepaskan aku. Bahkan, mungkin dia akan merasa lega dengan keputusanku itu, kerana akhirnya dia dapat menjalani hidupnya sendiri lagi. Mustahil dia akan menolak untuk berpisah dengan aku. Apalagi, aku juga tahu dia sangat menyayangiku dan ingin aku hidup bahagia. Dan aku tahu, keputusan untuk kembali kepada Hamdan adalah yang terbaik untuk aku dan masa depanku, sesuatu yang pasti akan didukung oleh kamil. Aku yakin keputusanku itu tidak merugikan siapa pun. Tapi kenapa aku merasa segan menyampaikannya kepada Kamil?
Mula-mula aku berjanji kepada diri aku sendiri untuk mencari waktu yang sesuai. Namun saat itu tidak pernah datang. Setiap kali, aku dilanda keraguan dan akhirnya membatalkan niatku. Namun Hamdan tidak boleh memahaminya.
“Aku ingin kita nikah sebelum aku kembali ke Jerman, Ju. Dan kau harus menempuh masa iddah dulu. Belum lagi kita harus memikirkan pendapat orang lain yang pasti bergossip kalau kau bernikah dengan aku segera setelah masa iddahmu selesai. Dan aku pula hanya di sini sepuluh bulan lagi.”
“Aku tahu. Aku pun berfikir begitu. Tapi … Entahlah.”
“Apa kau tidak yakin aku akan membuatmu bahagia?”
“Aku ….” aku tergagap dan menggeleng.
“Jadi, beritahulah kepada Kamil.”
*****
Petang itu, aku pulang dengan hati berat. Aku sudah tekad untuk bercakap dengan Kamil malam itu juga. Aku tak akan menundanya lagi.
Bila aku tiba di rumah, Kamil sudah menungguku di laman. Matanya bercahaya dan wajahnya berseri saat aku mendekatinya, dan aku jadi berfikir, ada apa sebenarnya.
“Kenapa kau sudah ada di rumah?” tanyaku.
Kamil meletakkan telunjuknya di depan bibir dan meraih lenganku masuk kedalam rumah.
“Ada apa?”
“Ssst.....!”
Dia membawaku ke serambi hujung. Dengan bangga dikembangkan tangannya. Di sana ada sebuah buai rotan berwarna coklat muda, cukup lebar untuk tiga orang, dengan bantal-bantal yang kelihatan sangat menarik, berwarna hijau dengan gambar … mawar putih?
“Ini hadiah ulang tahun pertama perkahwinan kita,” katanya.
Mataku beralih cepat dari buaian rotan itu. Wajah kamil benar-benar ceria. Di matanya ada sekelumit kehairanan melihat wajahku yang pasti telah berubah warna.
“Aku … aku tidak punya hadiah apa-apa,” gumamku sambil kembali menatap buaian itu, menyembunyikan kalutku. “Aku lupa ….”
Kamil ketawa. “Kau memang... ulang tahun sendiri pun tak ingat,” katanya bergurau.
Kamil duduk di atas buaian itu. “Mari...,” katanya sambil menarik tanganku.
Aku duduk di sampingnya, tidak tahu untuk berkata apa. Aku benar-benar lupa bahawa setahun lalu.... hari itu, aku dan Kamil bernikah, kontrak. Kenapa Kamil harus menganggap hari itu begitu istimewa sementara aku sendiri sama sekali tidak mengingatnya? kamil mulai berayun-ayun perlahan sambil menggenggam tanganku. Dia bercerita sebuah kejadian lucu di pejabatnya, tapi aku sama sekali tidak mendengarnya. Di kepalaku berdengung ribuan kata-kata yang akan segera kuucapkan padanya. Aku telah berlatih dalam hati untuk mengutarakan segalanya, tegas dan jelas. Tapi sekarang, bila berhadapan dengannya semua ketetapan hati yang telah kubangun runtuh berserpihan.
“Julia, kau tidak menyemak kata-kata tok guru, budak nakal..” teguran Kamil meleyapkan renunganku.
“Ada apa?” Kutatap matanya. “Mil, Idan pulang.”
Dahinya berkerut. “Idan? Hamdan..?’’
“Kekasihku yang pergi ke Jerman.”
“Ooh..” dia mengangguk. “Bila?”
“Sebulan lalu, waktu hari lahirku.”
Kamil mengangguk lagi. Aku tak dapat mengucapkan apa-apa setelah itu.
“Dia sudah bernikah?” tanya Kamil, seperti mendorongku berkata-kata lagi.
Aku menggeleng.
“Lalu?”
“Dia ingin bernikah dengan aku,” ujarku cepat-cepat, tanpa memandang wajahnya. “Dia hanya di sini sepuluh bulan lagi. Kerana itu, aku ingin kita segera bercerai.”
“Oh.”
Kamil tidak berkata apa pun selama beberapa ketika. Pertanyaan berikutnya diajukan dengan ringan, seolah-olah sambil lalu, ”Kau yakin dia mencintai kau?”
Aku mengangguk.
“Kau yakin akan bahagia dengannya?” |
|
|
|
|
|
|
|
“…“Sebaiknya kau tanya Ain, adakah dia benar-benar mencintai bekas kekasihnya itu, atau mereka hanya terpesona dengan nostalgia masa lalu? Adakah mereka benar-benar saling memerlukan atau mereka hanya ingin mengulang keindahan masa bercinta mereka dulu? Kalau hanya itu yang mereka inginkan, mereka akan kecewa kalau terus bersama, kerana Ain dan kekasihnya sudah menjadi orang yang lain kini, lebih dewasa, bukan lagi remaja yang masih hijau.''
bintang Post at 10-8-2009 22:37
klau la julia paham betul2 makna kata2 kamil ni..... |
|
|
|
|
|
|
|
41# bintang
Ya... dan seharusnya Hamdan ni tau haram hukumnya mencintai isteri orang...Kes berat sebenarnya suka kat isteri org niihh...
Kalulah Julia ni nak kawin juga dgn Hamdan.... jenis lelaki yg tak reti halal haram yg asas ni..malang sekali...
Depa ni...nikah kahwin buat main2 lak..Maaflah bintang..teremosi lak..hah..hah..
Teruskan Bintang..kita juga nak tau bagaimana kalutnya kehidupan masyarakat kita sekarang ni ... moga dapat dijadikan pengajaran utk semua.. |
|
|
|
|
|
|
|
Post Last Edit by bintang at 1-12-2010 21:41
Sekali lagi aku hanya mengangguk.
“Kalau begitu, selamat,” ketulusannya terdengar nyata. “Aku ikut bahagia.”
Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dan aku tidak menemukan setitik pun kekecewaan di sana. Rasa lega mewarnai hatiku.
Kamil bertanya beberapa hal tentang Hamdan dan semuanya kujawab dengan kehangatan gadis belasan tahun yang mabuk asmara. Tapi setelah beberapa waktu, aku sedar kalau dia tidak sungguh-sungguh memperhatikan ceritaku.
“Mil..?” tegurku.
“Ya?”
“Kau tidak mendengar...? Apa yang sedang kau fikirkan?”
“Aku sedang berfikir, gadis mana yang boleh kuajak jadikan kekasih, supaya kau punya alasan untuk bercerai dengan aku.”
Dan aku terdiam.
==============================================================
Malam itu aku terbangun bila saja Kamil menggoncang bahuku. “Julia, bangun!”
“Ada apa..?” gumamku . Jam loceng di sisi katilku menunjukkan pukul tiga pagi.
“Ganti baju cepat, kita mesti ke rumah sekarang. Mama meninggal.”
Aku terlonjak duduk. “Apa...?”
“Ganti baju,” perintah Kamil sambil meninggalkan kamarku.
mengejar. “Bila?”
“Baru saja.”
“Di mana...?”
“Rumah... Ganti baju kau. Kita berangkat lima minit lagi.”
“Mil ….”
Dia menutup pintu kamar di depanku.
Aku kembali ke kamarku dan bergegas mengganti baju tidurku dengan baju kurung. Ketika aku keluar, semua lampu belum bernyala dan pintu depan masih tertutup. Juga pintu kamar Kamil. Kuketuk pintu itu perlahan.
“Mil, aku sudah siap.”
Tidak ada jawaban.
Aku menyelinap masuk. Kamar kamil gelap, tapi dengan cahaya samar lampu halaman aku dapat melihatnya merengkuk di sudut, wajahnya tersembunyi di balik kedua tangannya. Dia menepis tanganku, bahkan menolak aku ketika aku menyentuh bahunya. Tapi ketika untuk ketiga kalinya kuhulurkan tanganku, dia tidak lagi menghindar, dan dalam rangkulanku dia menangis.
Hanya saat itu Kamil tidak dapat mengawal emosinya. Setelah itu dia kembali menjadi Kamil yang rasional, berkepala dingin, yang mengurus pemakaman, menerima para tamu dan menghiburkan kedua kakak perempuannya dengan ketenangan yang nyaris mengerikan. Petang harinya, ketika aku tengah membantu merapikan kembali ruang tamu, kakak tertua Kamil, Kak Ira, menghampiriku.
“Julia, bawa Kamil pulang.”
“Bukankah elok dia di sini dulu, kak?”
Kak Ira menggeleng. “Cuba lihat sendiri,” katanya sambil menunjuk ke halaman belakang.
Aku melihat Kamil di sana, sedang menghisap sebatang rokok. Dia sudah dua belas tahun berhenti merokok dan melihatnya kembali begitu membuatku sedar dia sedang bergelut dengan kepedihan yang lebih dalam dari yang ditunjukkannya. Ketika aku mendekatinya, aku lihat pasu kecil di sisinya telah penuh dengan puntung rokok dan kotak di atas meja tinggal berisi sebatang. Kucabut rokok itu dari antara jemarinya dan kubenamkan di pasu kecil itu. Kamil tidak memprotes, dia tidak menatapku. Aku sedar Kak Ira memang benar. Aku harus segera membawa Kamil jauh dari semua kenangan tentang ibunya.
“Aku mau balik, Mil, ” ujarku sambil memegang tangannya.
Kamil menggeleng pelan. “Aku akan menginap di sini. Kau baliklah sendiri. Esok aku balik naik bas saja.”
“Aku tidak mau sendirian di rumah.”
Kamil menghela nafas berat dan akhirnya bangkit. Dia menyalami dan mengucap salam kepada kakak dan iparnya dan keluar untuk mengambil kereta. Saat itu Kak Ira menarik tanganku dan berbisik;
”Akak lega Kamil sudah bernikah dengan Julia. Julia pasti dapat menenangkannya dalam saat-saat seperti ini. Dia paling terasa kehilangan mama. Julia tahu kan dia tinggal dengan mama selama tiga puluh tahun...” |
|
|
|
|
|
|
|
Post Last Edit by bintang at 1-12-2010 21:48
Aku terpana sesaat. Dadaku ngilu. Kupeluk Kak Ira dengan hati menggigil. Bagaimana dapat kukatakan kepadanya bahawa aku dan Kamil sudah sepakat untuk mengakhiri pernikahan ini secepatnya.
Sesampai di rumah, Kamil terus menuju ke kamarnya.
“Kau nak kalau aku masakkan nasi goreng, Mil?”
“Nantilah..... Aku tidak lapar.”
“Kau tidak makan apa-apa dari kemarin. Nanti kau sakit. Makan ek..?”
Kamil mengangguk dengan mata hampa. Aku jadi semakin risau melihatnya.
“Tunggu di sini,” ujarku lagi. “Aku masak kejap.”
Ketika aku baru saja mengambil telur dari peti sejuk, aku mendengar suara Kamil di bilik air. Dia kulihat membongkok di sinki, menangis dan muntah. Untuk sesaat kepanikan melumpuhkan aku dan aku hanya dapat terpaku di ambang pintu, tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
Ingatan pertamaku adalah lari keluar mencari bantuan. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Kamil dalam keadaan seperti itu. Kuhampiri Kamil dengan ragu. Perlahan kuelus belakangnya dan sentuhanku agaknya sedikit menenangkannya, dan kemudian esakannya reda. Ini membuat aku lebih yakin dengan apa yang mesti aku lakukan selanjutnya.
Kupicit tengkuknya dan kuseka peluh di dahinya. Tapi tiba-tiba saja Kamil terkulai lemas, dan kalau aku tidak segera meraihnya ke dalam pelukanku, dia pasti akan terpuruk ke lantai. Perlahan-lahan aku papah Kamil ke kamar dan kubaringkan di ranjang. Kubuka kemejanya yang basah dan aku selimuti badannya yang menggigil.
“Maaf, Julia,” bisiknya. “Aku tidak boleh menangis di depan kakak-kakakku. Mereka ….”
“Aku tahu. Tak apa... ” tanganku masih gementar saat aku mengelus rambutnya. “Aku buatkan teh panas, nanti kau minum, ya.”
Kamil mengangguk dan aku bergerak meninggalkannya. Ketika aku kembali, dia kelihatan agak lebih baik. Dihirupnya sedikit teh yang kubawa. Wajahnya tidak lagi pucat setelah itu. Ketika aku merapikan kembali selimutnya, dia memegang tanganku.
“Terima kasih.”
“Kau pernah melakukan lebih dari ini untuk aku.”
“Bukan untuk tehnya. Untuk tidak memberiku pernafasan buatan,” dia tersenyum nakal.
“Oh, kau!” aku ikut tersenyum, lega.
“Dan untuk bernikah denganku,” lanjut Kamil kemudian, mimiknya begitu serius. “Setidak-tidaknya sebelum meninggal, mama dapat tenang kerana menyangka aku sudah beristeri. ”
Aku tertegun sesaat. Suaraku goyah dan agak sebak saat aku berkata, “Aku yang mesti berterima kasih kepadamu.”
“Untuk apa?”
“Untuk setahun yang kau tempohi bersama aku. Untuk kesabaranmu. Pengorbananmu.”
Kamil tersenyum kecil. “Aku tidak melakukan apa pun yang tidak kusukai. Satu tahun yang sangat menyenangkan untuk aku. Seharusnya aku yang berterima kasih.”
“Jangan memaksa,” aku cuba bergurau. “Aku yang harus berterima kasih. Mengalahlah sedikit.”
Kamil tersenyum dan mencubit hidungku. Tangannya tidak sedingin tadi dan tanda itu melenyapkan sisa-sisa kerisauanku.
“Aku masih tidak mengerti kenapa kau akhirnya mau terlibat dengan idea gilaku ini,” katanya.
“Entahlah, Mil..’’ aku tertawa kecil “Mungkin aku sudah sangat letih mengelak setiap kali ibuku menyentuh soal perkahwinan. Dan aku melihat cadanganmu itu sebagai jawapan yang paling tepat untuk menyelesaikan dua masalah sekaligus. Keenggananku untuk bernikah kerana tidak ada calon yang sesuai dan keninginan ibu yang menggebu untuk segera melihat aku bernikah.’’
“Apa yang kau dapat setelah setahun kita menikah?” tanyanya dengan wajah lebih serius.
Aku terdiam sejenak. “Banyak..” jawabku akhir nya. “Aku belajar bahawa aku tidak bernikah dengan malaikat atau flying ducthman, tapi dengan manusia, yang punya kekurangan yang harus kumaafkan dan keistimewaan yang tidak boleh kuabaikan. Aku belajar bahawa dalam pernikahan, bila kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan tidak selalu bererti kekalahan, tapi boleh jadi suatu kemenangan bersama.”
Aku ingin menambahkan bahawa pernikahan memerlukan cinta dan kesetiaan seperti gurun memerlukan air, tapi aku tidak punya keberanian untuk menyatakan semua itu.
“Kau memang.... pandai berkata-kata,” Kamil tersenyum.
“Kau sendiri? Apa yang kau pelajari selama ini?”
“Hanya satu. Hidupku mungkin tidak akan pernah sebahagia ini lagi setelah kau pergi.”
Aku terkejut. “Apa maksudmu?” |
|
|
|
|
|
|
|
tq.... 4 d n3.... sambung lagi ekkkk |
|
|
|
|
|
|
|
best..nak lagi................... |
|
|
|
|
|
|
|
sweetnya...nak n3 lagi...x cukuplah bintang... |
|
|
|
|
|
|
|
sambung lagi yer bintang............ |
|
|
|
|
|
|
|
bintang, tolong teruskan. herb suka baca cite2 nukilan bintang. |
|
|
|
|
|
|
|
wahh mintak2 kamil luahkan la yg dia sbnrnye mmng cintakan julia...... smoga juliet pun sedar yg sbnrnye dia mmng mmerlukan kamil dlm idupnye..... |
|
|
|
|
|
|
|
:pompom: :pompom: :pompom: :pompom: :pompom: :pompom: :pompom: :pompom: :pompom: :pompom: :pompom: :pompom: :pompom: :pompom: :pompom: :pompom: :pompom: |
|
|
|
|
|
|
|
Ku petik bintang-bintang...tolong sambung bintang |
|
|
|
|
|
|
|
55# yaya130501
amboi yaya.... |
|
|
|
|
|
|
|
56# rtac
rtac.... sambung abis lagu tuh... |
|
|
|
|
|
|
|
Post Last Edit by bintang at 1-12-2010 22:02
Kamil bangkit dan duduk mencangkung menatapku.
“Tahun ini adalah saat paling bahagia dalam hidupku. Setiapkali aku bangun pagi dan mendengar suaramu, aku jadi berfikir aku adalah lelaki paling bahagia di dunia ini. Dan setiap malam waktu aku pulang dan kau tersenyum menyambutku, aku merasa akulah manusia paling beruntung. Aku menjadi sangat terbiasa dengan kehadiranmu bahkan mulai berharap kau akan bersamaku selamanya, walaupun harapan itu, aku tahu... cuma mimpi. Tapi kalau kau mencintai seseorang seperti aku mencintaimu, kau akan kehilangan akal sihat.”
Kutatap wajah Kamil dalam. Dia tidak kelihatan sedang bergurau. Dia nampak sangat tenang dan serius.
“Aku masih belum mengerti,” bisikku.
“Pernikahan ini bukanlah sebuah kontrak untukku, Julia. Ini adalah pernikahan benar untukku.”
“Apa maksud kau mencintaiku ?” suaraku tercekik.
“Apa yang tidak kau fahami? Aku mencintaimu....”
kata-kata Kamil buatku tersedak, menghentamku seperti sebuah pukulan keras yang membuatku terhempas.
“Aku mencintaimu sejak kau memarahi aku kerana nyaris melanggar arnabmu, lima belas tahun yang lalu, waktu kita masih sama-sama belasan tahun. Dan aku tidak pernah dapat berhenti mencintaimu hingga kini.”
“Kau … kau tidak pernah ….”
“Kau tidak pernah memberiku kesempatan. Kau sering jatuh cinta dengan orang lain atau patah hati kerana orang lain, dan kau selalu datang kepadaku menceritakan semuanya. Aku tahu aku bukan lelaki idamanmu. Aku tidak seni. Tidak menulis puisi. Kalau kau kata sebuah lukisan itu bagus, aku tidak mengerti kenapa. Aku bukan aktivis kampus yang membuatmu mabuk kepayang waktu kuliah dulu. Aku terlalu biasa-biasa saja. Aku tahu ini sangat menyedihkan, memalukan dan aku benci kau kesiankan aku. Tapi selama ini aku benar-benar tidak punya keberanian, belum lagi berkesempatan, untuk berterus terang kepadamu.”
“Kau bukan biasa-biasa saja, Kamil,” ujarku jujur. “Kau istimewa dengan caramu sendiri.”
Dia mengangkat bahu. “Tidak cukup untuk kau cintai.”
Sesaat aku hanya boleh terdiam, menatap bola mata Kamil, mencari tanda-tanda kalau semua ini hanya salah satu dari sekian banyak permainannya. Tapi dia kelihatan sungguh-sungguh.
“Kenapa kau katakan semua ini kepadaku waktu kita akan berpisah seperti ini? Apa yang kau inginkan?” tanyaku mendatar.
Kamil tersenyum kecil. Ada kepedihan dalam senyumnya, sesuatu yang tak pernah kutemukan sebelumnya.
“Aku sendiri tidak tahu kenapa aku mesti mengatakan semua ini kepadamu. Aku hanya ingin kau tahu aku mencintaimu. Bukan kerana aku masih berharap kau akan mencintaiku juga. Sekarang tidak ada bezanya lagi. Tapi aku ingin kau tahu kalau kau tetap memiliki cintaku, apa pun yang terjadi, jika pun akhirnya kau benci kepadaku atau melupakan aku sekali pun.”
Dia tertunduk seketika. Ada sorot yang asing berpijar di matanya saat dia kembali menatapku.
“Dan kalau kau tanya apa yang kuinginkan, aku ingin kau di sini bersama aku, seumur hidupku. Aku ingin kau belajar dan akhirnya benar-benar mencintaiku, mungkin tidak akan pernah sedalam dan separah cintaku kepadamu, tapi setidaknya kau tidak lagi menganggap aku hanya sekadar sahabatmu, tapi juga kekasihmu, suamimu.... Aku ingin mencintaimu lebih dari yang pernah kutunjukkan.” Dia menghela nafas dan kemudian menyambung, “Tapi itu semua keinginanku. Bukan kemahuanmu. Kebahagiaanku, belum tentu kebahagiaanmu juga.”
Lama kami berdua saling berpandangan.
“Terimakasih, Mil....” desahku akhirnya. Kupeluk dia erat-erat, menyembunyikan airmataku di bahunya. |
|
|
|
|
|
|
| |
Category: Belia & Informasi
|