CARI Infonet

 Forgot password?
 Register

ADVERTISEMENT

View: 4893|Reply: 2

PERLUNYA REKONSTRUKSI SEJARAH SASTRA NUSANTARA

[Copy link]
Post time 17-2-2007 11:44 PM | Show all posts |Read mode
RekonstruksiSejarah Sastra Nusantara/Indonesia
Esai Asep Salahudin Samboja



Setiapkali membaca buku sejarah sastra Indonesia, baik tulisan A Teeuw maupun AjipRosidi, terasa ada yang hilang, yakni sastrawan besar seperti Hamzah Fansuridan Raden Ngabehi Ronggowarsito.

Belum lagi kita menyinggung pengarang besar Mpu Kanwa yang menulis dalam bahasaKawi Arjunawiwaha pada jaman Kediri (sekitar abad ke-11 dan 12), yang sudahditerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sanusi Pane pada 1948.



Ataukarya besar Mpu Prapanca yang dibuat pada jaman Majapahit, tepatnya tahun 1365(abad ke-14), Nagarakrtagama, yang dinilai sangat penting karena menguraikanriwayat Singhasari dan Majapahit dari sumber-sumber pertama, yang menurutarkeolog Soekmono, ternyata sesuai dengan prasasti-prasasti yang ditemukan.


Adamata rantai yang terputus ketika para pengamat sastra Indonesia seperti ATeeuw, Ajip Rosidi, dan Umar Junus membuat titik awal kelahiran sastraIndonesia. Tampak bahwa ketiganya menggunakan tolok ukur "kesadaran kebangsaan"(istilah Ajip Rosidi) dan "bersifat nasional" (istilah Umar Junus)yang merupakan kriteria di luar wilayah sastra untuk dijadikan acuan dimulainyasejarah sastra Indonesia. Mereka tidak mempertimbangkan dan bahkan cenderungmenafikan embrio yang melahirkan sastra Indonesia.


Ketikasekarang bangsa Indonesia mengakui bahwa candi Borobudur yang didirikan padaabad ke-8 di jaman dinasti Syailendra sebagai anasir sejarah nasionalIndonesia, kenapa karya-karya sastra pujangga-pujangga lama kita tidak diakuidalam sejarah sastra Indonesia?


Dalamhal ini persoalan bahasa sebagai media sastra bisa menimbulkan perdebatan. MpuKanwa, Mpu Prapanca, Hamzah Fansuri, Teungku Chik Pantee Kulu, Raden NgabehiRonggowarsito, Haji Hasan Mustapa, Raja Ali Haji, Nuruddin Alraniry, dansejumlah pujangga lainnya masing-masing menulis karya sastra dengan menggunakanbahasa ibunya. Apabila pengarang-pengarang yang berdomisili di dalam wilayahIndonesia itu telah meninggal bersama bahasa ibu yang mereka gunakan, makaseyogyanya kita tidak begitu saja menafikan hasil karya mereka sebagai bagiandalam khasanah sastra Indonesia. Sama halnya dengan pengarang modern yangmenulis dengan menggunakan bahasa ibunya, seperti Ajip Rosidi yang menggunakanbahasa Sunda dalam Jante Arkidam (1967) dan beberapa karya terbarunya.

Dalam tulisannya "Istilah dan Masa Waktu 'Sastra Melayu' dan 'SastraIndonesia'" Umar Junus mengatakan, sastra ada sesudah bahasa ada.


Premis yang dimuat dalam Medan Ilmu Pengetahuan Juli 1960 itu bermakna sastraIndonesia baru ada setelah bahasa Indonesia ada, yakni sejak Sumpah Pemuda 28Oktober 1928 (lihat pula Sejarah Sastra Indonesia Abad XX E Ulrich Kratz,Kepustakaan Populer Gramedia, 2000, yang mengawali sejarah pemikiran sastraIndonesia pada hasil putusan kongres pemuda-pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928).



UmarJunus tidak memasukkan karya-karya sastra yang terbit sebelum Sumpah Pemudaseperti Azab dan Sengsara (Merari Siregar, 1920), Siti Nurbaya (Marah Rusli,1922), Apa Dayaku Karena Aku Perempuan (Nur Sutan Iskandar, 1922), Muda Teruna(Muhammad Kasim, 1922), Tanah Air (Muhammad Yamin, 1922), Bebasari (RustamEffendi, 1926), Pertemuan (Abas Dt Pamoentjak, 1927), Darah Muda (Adinegoro,1927), dan Puspa Mega (Sanusi Pane, 1927) ke dalam golongan hasil sastra Indonesia,melainkan hanya menganggapnya sebagai hasil sastra Melayu baru atau modern.


Alasanyang dikemukakan Umar Junus, karya-karya itu bertentangan sekali dengan sifatnasional yang melekat pada nama Indonesia itu. Melihat tolok ukur Umar Junusyang menetapkan awal kelahiran sastra Indonesia sejak 1928 dan bersifatnasional, ada tiga titik kelemahan yang melekat padanya.
Pertama,Umar Junus menafikan unsur pengarang dan lebih menitikberatkan pada bahasanya.Padahal, tanpa pengarang, sastra tidak ada, dan pengarang bisa menggunakanbahasa apa saja dalam menghasilkan karya sastra, tidak harus dengan bahasaIndonesia.


Kedua,dengan menyebutkan sastra Indonesia bermula sejak 28 Oktober 1928, premistersebut gugur dengan sendirinya karena tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.Sanusi Pane, Muhammad Yamin, Rustam Effendi, Adinegoro, Muhammad Kasim, NurSutan Iskandar, Abas Dt Pamoentjak, Merari Siregar, dan Marah Rusli telahmenulis jauh sebelum tanggal 28 Oktober 1928, serta tidak ada yangmenyangsikan/meragukan bahwa nama-nama tersebut merupakan sastrawan Indonesiatulen (lihat dua buku sederhana Pamusuk Eneste, Buku Pintar Sastra Indonesia,Kompas, 2001, dan Bibliografi Sastra Indonesia, IndonesiaTera, 2001).


Belumlagi kalau kita bersikap jujur terhadap karya-karya sastra yang dihasilkansastrawan-sastrawan peranakan Tionghoa, seperti Allah jang Palsoe (1919) danBoenga Roos dari Tjikembang (1927) karya Kwee Tek Hoay, Tjhit Liap Seng(Bintang Toedjoeh) (1886) dan Siti Akbari (1884) karya Lie Kim Hok, yangmenurut Monique Zaini-Lajoubert, merupakan penjelmaan Syair Abdul Muluk (1847)karya Zaleha -- adik Raja Ali Haji.


Contohlainnya Istri yang Dibeli (1922) dan Nona Olanda sebagai Istri Tionghoa (1925)karya Njoo Cheong Seng, penulis paling produktif pada jamannya. Ada pula TjoemaBoeat Satoe (1927) Ong Ping Lok, Boekoe Tjerita Resianja Goela-goela (1912) TanBoen Kim, Soepardi dan Soendari (1925) Tan Hong Boen, Sair Oei-Se (1906) ThioTjin Boen, Nona Tjoe Joe (1922) Tio Ie Soei, Satoe Djodo Jang Terhalang (1917)dan The Loan Eng (1922) karya Tjoe Bou San, mantan Pemimpin Redaksi Sin Po.


Ketiga,tentang "sifat nasional" dalam karya sastra yang sangatdiagung-agungkan Umar Junus, yang kini menetap di Malaysia, justru menjadibumerang yang dapat mengungkung kebebasan berekspresi sastrawan. Karenasastrawan memiliki kebebasan untuk mengekspresikan apa saja. Chairil Anwar,Rendra, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo, Sitor Situmorang, PramudyaAnanta Toer, Seno Gumira Ajidarma, Iwan Simatupang, atau Budi Darma dalammenghasilkan karya sastra tidak selalu dan tidak harus memaksakan diri untukselalu "bersifat nasional"

[ Last edited by  jf_pratama at 17-2-2007 11:52 PM ]

Rate

1

View Rating Log

Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 17-2-2007 11:49 PM | Show all posts
ApakahOlenka Budi Darma bersifat "nasional"? Bagaimana pula denganPengakuan Pariyem Linus Suryadi Ag, Sri Sumarah dan Bawuk Umar Kayam, danGodlob Danarto? Saya yakin sastrawan besar tidak akan mau, bahkan tidak sudi,terkungkung dengan/oleh batasan apa pun, termasuk di dalamnya kungkungan berupa"sifat nasional" yang digagas Umar Junus dan "kesadarankebangsaan" yang digagas Ajip Rosidi.


KetikaR Ng Ronggowarsito menulis sajak "Zaman Edan", yang merupakan fragmendari Serat Kalatida (terbit pada tahun 1820-an) yang membuatnya masyhur sampaisekarang adalah lebih karena berisi pikiran-pikiran falsafah tentangperkembangan kemajuan manusia yang dituangkan dalam kata-kata... "Amenangizaman edan, ewuh aya ing pambudi, melu edan ora tahan, yen tan melu anglakoni,boya keduman melik, kaliran wekasanipun, dilalah kersaning Allah. Begja-begjanekang lali, luwih begja kang eling lan waspada".


Karyaini sudah diterjemahkan oleh sedikitnya tiga orang, yakni Slamet Sukirnantodalam Ketika Kata Ketika Warna (Yayasan Ananda, 1995), Ahmad Norma dalam ZamanEdan (Bentang, 1998), dan Kamajaya dalam Lima Karya Pujangga Ranggawarsita(Balai Pustaka, 1991).


Adapunterjemahan versi Kamajaya adalah, "Mengalami zaman edan, serba sulit dalampemikiran, ikut gila tak tahan, kalau tidak ikut menggila tidak mendapatbagian, akhirnya kelaparan, tapi takdir kehendak Allah, sebahagia-bahagianyaorang yang lupa, masih lebih bahagia orang yang sadar dan waspada".

Konsep yang menyebutkan sastra Indonesia harus bersifat nasional danber-kesadaran kebangsaan telah membuat pemikiran kita mandeg dalammerekonstruksi sejarah sastra Indonesia.


Hampir senada dengan Umar Junus, Ajip Rosidi dalam bukunya KapankahKesusastraan Indonesia Lahir? (1964) menyatakan, sastra Indonesia lahir pada1922. Tapi, menurut Ajip, bukan karena Azab dan Sengsara dan Siti Nurbayalahir, melainkan karena pemuda-pemuda Indonesia seperti Muhammad Yamin,Muhammad Hatta, dan Sanusi Pane mengumumkan sajak-sajak yang bercorakkebangsaan dalam majalah Jong Sumatra.



Puisi-puisilirik bertema cinta tanah air dan bangsa yang sedang dijajah tidak kita jumpaidalam khasanah sastra Melayu. Ajip Rosidi menetapkan tahun 1922 sebagai tahunkelahiran sastra Indonesia karena bertepatan dengan terbitnya kumpulan sajakTanah Air karya Muhammad Yamin.


AjipRosidi menambahkan, Azab dan Sengsara dan Siti Nurbaya tidak sesuai dengansifat nasional karena yang menerbitkan kedua buku tersebut adalah Balai Pustaka(saat itu) yang menjadi organ kolonial Belanda.


MeskipunAjip Rosidi memajukan sedikit tahun kelahiran sastra Indonesia dari angka tahunyang disebutkan Umar Junus, alasan yang dijadikan tolok ukur kelahiran sastraIndonesia juga tidak kuat. Jika "kesadaran kebangsaan" dijadikanukuran, bagaimana dengan karya-karya sastra yang tidak menghiraukan"kesadaran kebangsaan", apakah tidak dianggap sebagai anak kandungsastra Indonesia?


Padaperkembangannya, memang ada yang setia pada tema kebangsaan sebagaimana yangdiingini Ajip Rosidi, tapi lebih banyak yang mengangkat tema-tema kemanusiaan,keterasingan individu seperti dalam novel Iwan Simatupang, dan mengangkatmasalah keagamaan seperti yang terbaca dalam karya-karya Kuntowijoyo, EmhaAinun Nadjib, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, dan A Mustofa Bisri.


Lantasmengenai penafian Siti Nurbaya dan Azab dan Sengsara yang hanya gara-garaditerbitkan oleh penerbit organ kolonial Balai Pustaka, itu merupakan pandanganyang sempit. Sebab hampir semua karya sastra Indonesia modern yang terbit padamasa sebelum kemerdekaan (1945) diterbitkan oleh Balai Pustaka, yang disebutAjip Rosidi sebagai "organ kolonial" itu.


Selainmenerbitkan kedua buku di atas, Balai Pustaka juga menerbitkan Salah Asuhan(Abdul Muis), Salah Pilih (Nur Sutan Iskandar), Sengsara Membawa Nikmat (TulisSutan Sati), Kasih Tak Terlarai (Suman Hasibuan), Dian yang Tak Kunjung Padamdan Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana), Kalau Tak Untung (Selasih), NiRawit Ceti Penjual Orang dan Sukreni Gadis Bali (AA Panji Tisna), Di BawahLindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck (Hamka), dan AndangTeruna (Sutomo Djauhar Arifin).


Rasanyasulit bagi Ajip Rosidi untuk tidak menerima karya sastra Indonesia yangditerbitkan oleh "organ kolonial" itu ke dalam khasanah sastraIndonesia. Berdasarkan bukti-bukti yang telah dipaparkan di atas, maka gugurlahkonsep kelahiran sastra Indonesia yang dikemukakan Umar Junus dan Ajip Rosidi.
Kritikussastra Indonesia A Teeuw dalam bukunya Sastra Baru Indonesia I (1980)mengatakan, sastra Indonesia lahir pada 1920.

Kita tahu bahwa pada 1920 belum ada Sumpah Pemuda (1928) dan belum pulaIndonesia diproklamirkan (1945). Dengan demikian, belum ada konsep tentangIndonesia, meski sudah dipolemikkan pada 1930-an.



ATeeuw menyebutkan, pada ketika itulah (1920) para pemuda Indonesia untukpertama kali mulai menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berbeda dariperasaan dan ide yang terdapat dalam masyarakat setempat yang tradisional, danmulai berbuat demikian dalam bentuk-bentuk sastra yang pada pokoknya menyimpangdari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa, dan sastra lainnya yang lebih tua(lihat Sastra Baru Indonesia I, halaman 25). Benarkah demikian?
Sebab,jauh sebelum 1920, tepatnya 1637, sastrawan besar Hamzah Fansuri dan muridnyaSyamsuddin Pasai al Sumatrani telah menghasilkan karya sastra yang"menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berbeda dari perasaan danide yang terdapat dalam masyarakat setempat yang tradisional".


Pada1637, karya-karya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani yang terbit diAceh telah dilarang dan dimusnahkan atas perintah Raja Aceh, Sultan IskandarTsani, berdasarkan fatwa ulama istana Aceh, Nuruddin Al Raniri, yang menyatakanajaran tasawuf aliran wujudiyah sebagai ajaran atau aliran sesat.
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 17-2-2007 11:50 PM | Show all posts
Dalambuku yang sama, A Teeuw juga menyebutkan, kenapa sastra Indonesia lahir pada1920, karena pada tahun-tahun itu para pemuda menulis puisi baru Indonesia. Dankarena dilarang di bidang politik (oleh Kolonial Belanda), mereka mencobamencari jalan keluar yang berbentuk sastra bagi pemikiran, perasaan, emosi, dancita-cita baru yang mulai mengalir dalam diri mereka (lihat halaman 18).


Dalambukunya yang lain, Indonesia: antara Kelisanan dan Keberaksaraan (Jakartaustaka Jaya, 1994: 44-73), terutama dalam tulisan bertajuk "HamzahFansuri, Pemula Puisi Indonesia", Teeuw mengakui adanya tiga corakpembaruan yang dilakukan Hamzah Fansuri dalam karya-karyanya.


Pertama,individualitas, di mana puisi-puisinya tidak anonim. Kedua, Hamzah Fansurimenciptakan puisi baru untuk mengungkapkan gerak sukmanya dengan syair. Ketiga,penggunaan bahasa yang sangat kreatif.


PenemuanA Teeuw di atas melemahkan sekaligus meruntuhkan premisnya sendiri, yangmenyebutkan sastra Indonesia lahir 1920 dan mengakui Hamzah Fansuri sebagaipemula (pelopor) puisi Indonesia.


KepenyairanHamzah Fansuri juga menarik penelitian lebih mendalam. Seorang penyair sufiasal Madura, Abdul Hadi WM, dalam bukunya, Hamzah Fansuri, Risalah Tasawuf danPuisi-puisinya (Bandung, Mizan: 1995) mengungkapkan, di bidang sastra, HamzahFansuri mempelopori penulisan puisi-puisi filosofis dan mistis bercorak Islam.Kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yangsezaman atau sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad 17-18 kebanyakan berada dibawah bayang-bayang kejeniusan dan kepiawaian Hamzah Fansuri.


PenyairAbdul Hadi juga mengakui, Hamzah Fansuri adalah orang pertama yangmemperkenalkan syair, puisi 4 baris dengan skema sajak akhir a-a-a-a. HamzahFansuri juga dinilai berhasil meletakkan dasar-dasar puitika dan estetikaMelayu yang diasaskan dalam sastra Indonesia dan Melayu masih kelihatan sampaiabad ke-20 (sic!), khususnya di dalam karya penyair Pujangga Baru, Sanusi Panedan Amir Hamzah.


Daripenjelasan singkat di atas, sudah waktunya dilakukan rekonstruksi sejarahsastra Indonesia. Bukan hanya perlu, tapi menjadi satu kewajiban yang harussegera diwujudkan.


Kriteria"bersifat nasional" dan "kesadaran kebangsaan" yang dibuatUmar Junus dan Ajip Rosidi, yang menggunakan tataran nilai di luar wilayahsastra, memiliki banyak kelemahan dan sama sekali tidak mencerahkan.Sebaliknya, memasung pemikiran kita dengan pandangan yang sempit.


Kriteriayang digunakan A Teeuw justru dapat diterima, karena menggunakan ukuran-ukuranyang lazim di dunia sastra, yakni bentuk-bentuk sastra yang berbeda denganbentuk sastra yang sudah ada, serta adanya kebaruan dalam karya sastra yangdiciptakan.


Hanyasaja, ketika Teeuw menjatuhkan vonis bahwa awal kelahiran sastra Indonesia pada1920, kita meragukannya. Benarkah demikian? Temuan-temuan Teeuw dan Abdul Hadimenunjukkan bahwa Hamzah Fansuri (yang lahir jauh sebelum 1920)sangat layakdisebut sebagai pelopor perpuisian modern Indonesia.
Tapi,persoalan sejarah sastra Indonesia bukan persoalan siapa yang memulai dan siapayang mengakhiri, tapi lebih diutamakan pada kejujuran para peniliti sastraIndonesia itu sendiri.


Kenapakita dengan mudah mengakui tari Saman, candi Borobudur, candi Prambanan, danpatung Asmat sebagai anasir sejarah kebudayaan Indonesia, sementara kitamenutup mata pada Hang Tuah, Serat Centhini, La Galigo, Gatholoco, Babad TanahJawi, Nagarakrtagama, Arjunawiwaha, Serat Kalatida, Jaka Lodhang, Wulang Reh,Suluk Seh Siti Jenar, Suluk Seh Ngabdul Salam, Panitisastra, Babad JakaTingkir, Cemporet, dan sebagainya sebagai bagian dari khasanah sastraIndonesia?


LaGaligo, misalnya, yang baru dikodifikasi dan dikumpulkan dari para penuturlisan di akhir abad ke-19, diyakini merupakan karya sastra terpanjang di dunia.Tak kurang dari 300 ribu stanza -- bandingkan dengan Mahabarata yang panjangnya100 ribu stanza saja. Karya itu begitu indah bila dibaca dalam tulisan aslinyayang berbahasa Bugis kuno, dengan menggunakan aksara lontarak. Terjemahannya kedalam bahasa Indonesia sudah tersedia dalam dua jilid, masing-masing lebih dariseribu halaman.


Jikasejarah Indonesia mengakui bahwa masuknya Islam ke Indonesia dibawa olehsembilan wali (walisongo), kenapa kita tidak jujur mengakui bahwa beberapatahun setelah itu muncul Suluk Seh Siti Jenar?


SulukSeh Siti Jenar yang terbit pada abad 18 itu telah dilarang raja dan sudahdimusnahkan, karena dinilai mengandung ajaran sesat. Padahal, buku yangmeng-counter hal itu pun sudah ada, yakni Suluk Seh Ngabdul Salam. Pantaskahmelihat sastra hanya dengan kacamata politik?


Apakahkita masih percaya pada mitos "nenek moyangku seorang pelaut"? Kenapakita menutup mata pada nenek moyang bangsa Indonesia yang bernamaRonggowarsito, Hamzah Fansuri, Empu Kanwa, dan deretan panjang nama-namapujangga besar yang sekarang tersimpan rapi di perpustakaan Leiden, Belanda?
Apakahkita tidak merasa dirampok ketika kolonial Belanda memboyong berton- ton karyasastra Indonesia lama, cikal-bakal sastra Indonesia modern?
Terlepasdari hal itu, kita wajib belajar dari sejarah sastra Prancis yang sudahberjalan berabad-abad, sejak abad pertengahan (Moyen Age, abad ke-11) hingga AlainRobbe-Grillet (abad ke-20). Pada abad pertengahan di Prancis, penulisan sejarahsastra Prancis juga dimulai dengan kehidupan di sekitar raja-raja.


Kalaukita mau jujur, sebenarnya perjalanan sejarah sastra Indonesia pun sudahberabad-abad. Hanya saja, kita tidak pernah jujur dan tidak menghargai hasilkerja nenek moyang kita yang pujangga. Bangunan pemikiran para empu ataukatakanlah juru tulis kerajaan tertutup kabut ketidakjujuran kita sendiri
Reply

Use magic Report

You have to log in before you can reply Login | Register

Points Rules

 

ADVERTISEMENT



 

ADVERTISEMENT


 


ADVERTISEMENT
Follow Us

ADVERTISEMENT


Mobile|Archiver|Mobile*default|About Us|CARI Infonet

20-4-2024 06:30 AM GMT+8 , Processed in 0.054010 second(s), 30 queries .

Powered by Discuz! X3.4

Copyright © 2001-2021, Tencent Cloud.

Quick Reply To Top Return to the list