CARI Infonet

 Forgot password?
 Register

ADVERTISEMENT

View: 5661|Reply: 5

SEEKING KNOWLEDGE AND MERIT: INDONESIANS ON THE HAJ

[Copy link]
Post time 21-4-2007 10:19 PM | Show all posts |Read mode
Seeking Knowledge and Merit -Indonesians on the Haj
Martin van Bruinessen (1 of 6)

Di antara seluruh jemaah haji, orang Nusantara selama satu setengah abadterakhir merupakan proporsi yang sangat menonjol. Pada akhir abad ke-19 dan awalabad ke-20, jumlah mereka berkisar antara 10 dan 20 persen dari seluruh hajiasing, walaupun mereka datang dari wilayah yang lebih jauh daripada yang lain.Malah pada dasawarsa 1920-an sekitar 40 persen dari seluruh haji berasal dariIndonesia.[1]


Orang Indonesia yang tinggal bertahun-tahun atau menetapdi Makkah pada zaman itu juga mencapai jumlah yang cukup berarti. Di antarasemua bangsa yang berada di Makkah, orang 'Jawah' (Asia Tenggara) merupakansalah satu kelompok terbesar.[2]


Sekurang-kurangnya sejak tahun 1860, bahasa Melayumerupakan bahasa kedua di Makkah, setelah bahasa Arab. Kita tidak mempunyaidata statistik mengenai jemaah haji Indonesia abad-abad sebelumnya. Sebelummunculnya kapal api jumlah mereka pasti lebih sedikit, karena perjalanan dengankapal layar cukup berbahaya dan makan waktu lama sekali. Namun bagi umat IslamIndonesia ibadah haji sejak lama mempunyai peranan amat penting. Ada kesanbahwa orang Indonesia lebih mementingkan haji daripada banyak bangsa lain, danbahwa penghargaan masyarakat terhadap para haji memang lebih tinggi. Keadaanini mungkin dapat dikaitkan dengan budaya tradisional Asia Tenggara.


Makkah sebagai pusat dunia dan sumber 'ngelmu'


Dalam kosmologi Jawa, seperti halnya banyak kosmologi AsiaTenggara lainnya, pusat-pusat kosmis, titik temu antara dunia fana kita denganalam supranatural, memainkan peranan sentral. Kuburan para leluhur, gunung, guadan hutan tertentu serta tempat 'angker' lainnya tidak hanya diziarahi sebagaiibadah saja tetapi juga dikunjungi untuk mencari ilmu ('ngelmu') aliaskesaktian dan legitimasi politik ('wahyu' - istilah yang dipinjam kerajaanMataram dari Islam dengan mengubah artinya). Setelah orang Jawa mulai masukIslam, Makkahlah yang, tentu saja, dianggap sebagai pusat kosmis utama.Bukankah Makkah merupakan kiblat bagi seluruh umat Islam, bukankah di sanaturun wahyu kepada Nabi, bukankah tanah suci merupakan pusat keilmuan Islam?


Sebetulnya, pada masa itu ada berbagai pusat keilmuan lainyang tidak kalah dibandingkan dengan Makkah dan Madinah, tetapi orang AsiaTenggara mencarinya di Tanah Suci ini. Kita tidak tahu kapan orang Jawa yangpertama naik haji, tetapi menjelang pertengahan abad ke- 17 raja-raja Jawamulai mencari legitimasi politik di Makkah.


Pada tahun 1630-an, raja Banten dan raja Mataram, yangsaling bersaing, mengirim utusan ke Makkah untuk, antara lain, mencaripengakuan dari sana dan meminta gelar 'Sultan'. Agaknya raja-raja tersebutberanggapan bahwa gelar yang diperoleh dari Makkah akan memberi sokongan supranaturalterhadap kekuasaan mereka. Sebetulnya, di Makkah tidak ada instansi yang pernahmemberi gelar kepada penguasa lain. Para raja Jawa tadi rupanya menganggapbahwa Syarif Besar, yang menguasai Haramain (Makkah dan madinah) saja, memilikiwibawa spiritual atas seluruh Dar al-Islam. Rombongan utusan dari Bantenpulang pada tahun 1638 (sedang yang dari Mataram baru sampai pada tahun 1641).Selain gelar Sultan mereka membawa berbagai hadiah dari Syarif Besar kepadasang raja: antara lain suatu potongan dari kiswah, kain hitam yang menutupKa`bah dan yang setiap tahun diperbaharui - yang tentu saja dianggap sebagaijimat yang sangat mangkus.[3]


Beberapa puluh tahun kemudian, pada tahun 1674, untukpertama kalinya seorang pangeran Jawa juga naik haji. Ia adalah putra SultanAgeng Tirtayasa (Banten), Abdul Qahhar, yang belakangan dikenal sebagai SultanHaji.


Fungsihaji sebagai legitimasi politik terlihat jelas sekali dalam Sajarah Banten,babad yang dikarang pada paroh kedua abad ke-17. Menurut sejarah legendarisini, pendiri dinasti Islam di Banten, Sunan Gunung Jati, naik haji bersamadengan anak dan penggantinya, Hasanuddin, setelah mereka bertapa di berbagaigunung (pusat kosmis!) di Jawa Barat. Dari Sajarah sendiri sudah jelas bahwahaji mereka bukan suatu perjalanan biasa, dengan naik perahu dan sebagainya.Mereka sebagai wali mencapai Makkah dengan cara lain, yang tak patutdiungkapkan.[4]

Perjalanan haji ini digambarkan lebih lanjut dalam karyaberbahasa Melayu, Hikayat Hasanuddin, yang dikarang sekitar 1700. SunanGunung Jati mengajak anaknya:


"Hai anakku ki mas, marilah kita pergi haji, karenasekarang waktu orang naik haji, dan sebagai pula santri kamu tinggal jugadahulu di sini dan turutlah sebagaimana pekerti anakku!" Setelah sudah iaberkata-kata, maka lalulah ia berjalan dengan anaknya dan dibungkusnya dengansyal. Maka tiada beberapa lamanya di jalan lalu ia sampai di Makkah, maka laludi Masjidul Haram. Serta sampai di Masjidul Haram maka lalu dikeluarkannyaanaknya dari dalam bingkisan, lalu sama-sama ia thawaf ke Baitullah sertadiajarnya pada kelakuan thawaf dan do'anya sekalian, serta mencium pada hajarulaswad, dan ziarat kepada segala syaikh, dan diajarkannya rukun haji dankesempurnaan haji. Setelah sudah ia mendapat haji, maka lalu ia ziarat kepadaNabiyullah Khidhir. Setelah sudah ia ziarat kepada Nabiyullah Khidhir itu, laluia pergi ke Medinah serta mengajarkan anaknya ilmu yang sempurna, besertadengan bai'at demikianlah silsilah dan wirid dan tarekat Naqsyabandiyah sertadzikir dan talkin dzikir [dan] khirqah serta syughul...[5]


Selain dua tokoh sejarah ini, masih banyak tokoh lain yangbelakangan, untuk meningkatkan kharisma mereka, disebut telah naik haji secarasupranatural. Di sebuah gua besar di Pamijahan (Tasikmalaya Selatan), salahsatu pusat penyebaran tarekat Syattariyah di pulau Jawa, para juru kunci masihmenunjukkan sebuah lorong sempit yang konon dilalui Syaikh Muhyiddin untukpergi ke Makkah setiap hari Jumat. Di Cibulakan (Pandeglang, Banten) ada sumuryang konon berhubungan dengan sumur Zamzam di Makkah. Menurut riwayat, MaulanaMansur, seorang wali lokal yang dimakamkan di Cikaduwen, pulang dari Makkahmelalui Zamzam dan muncul di sumur ini. Dan sampai sekarang masih ada kyai diJawa yang, menurut penganut mereka yang paling fanatik, setiap Jumat secaraghaib pergi sembahyang di Masjidil Haram. Semua ini membuktikan betapa kuatnyaperanan haji dan hubungan dengan Makkah sebagai legitimasi kekuasaan ataukeilmuan seseorang dalam pandangan orang Jawa.


Penilaian orang Jawa yang begitu tinggi terhadap Makkahsebagai pusat spiritual tidak terbatas pada kalangan santri saja. Kasus yangpaling menarik dari tokoh yang belakangan 'dihajikan' oleh pengagumnya adalahAji Saka, pencipta mitologis budaya Jawa. Menurut suatu naskah Jawa, yangditemukan di Kediri pada pertengahan abad ke-19, Aji Saka pergi ke Makkah danmemperoleh ilmu dari Nabi Muhammad. Yang lebih mengagetkan lagi, orang Tengger,yang konon menganut agama Hindu Jawa, juga pernah mengaku demikian. Menurutlegenda Tengger ini, Aji Saka pada awalnya memperoleh ilmu dari Antaboga, sangraja naga.





[ Last edited by  jf_pratama at 21-4-2007 10:38 PM ]
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 21-4-2007 10:23 PM | Show all posts
Seeking Knowledge and Merit - Indonesians on the Haj
Martin van Bruinessen (2 of 6)

Setelah dikembalikan ke rumah kakeknya, Kiai Kures(Quraisy), sang kakek melihat cucunya menjadi luar biasa cakap. "Tetapiada satu yang masih lebih cakap dari ia", ujar Antaboga, "namanyaadalah Muhammad dan tempat tinggalnya Makkah. Kirimlah cucumu kepada beliauagar menambah ilmu." Aji dikirim ke Makkah, dan di sana berguru kepadaNabi Muhammad. Setelah selesai belajar, Muhammad memberikannya sebuah kropak(buku lontar) dan pangot (pisau untuk menulis atas lontar), dan mengirimnyakembali ke Timur.[6]


Legenda ini, pada hemat saya, menunjukkan sikap apologetisorang Tengger dan abangan terhadap kalangan santri. Kropak dan pangot merupakansimbol sastra dan budaya Jawa yang non-Islam (atau non-santri), sedangkan AjiSaka dikenal sebagai pencipta aksara Jawa, kalender Jawa (tahun Saka) danundang-undang Jawa. Seolah-olah mereka ingin mengatakan "kami sudahmempunyai ilmu dari Nabi Muhammad, jauh sebelum kalian, kaum santri, mulai naikhaji. Islam yang sebenarnya adalah budaya Jawa kami!" Yang menarik disini, mereka juga mengakui Makkah, dan bukan salah satu tempat di Jawa atauIndia sebagai pusat kosmis yang terpenting.


Seperti diketahui, di berbagai daerah di Indonesia adatempat yang oleh masyarakat sekitarnya dianggap setaraf dengan Makkah sebagaipusat kosmis. Pada awal abad ini, di daerah Kuningan terdapat kepercayaan bahwatiga kali naik Gunung Ciremai sama pahalanya dengan naik haji. Di Madura, masihada orang yang percaya bahwa bagi yang tidak mampu naik haji, ziarah ke BatuAmpar akan mendatangkan pahala yang sama. Dan di Sulawesi Selatan terkenalaliran yang menganggap bahwa naik gunung Bawa Karaeng pada hari Idul Adha samadengan ibadah haji ke Makkah. Tetapi tidak satu pun di antara tempat-tempat inidianggap lebih hebat daripada Makkah; semua dibandingkan dengan Makkah, yangkeunggulannya secara implisit diakui.


Haji sebagai ibadah dan sebagai pencarian ilmu


Selain untuk mencari legitimasi, 'ngelmu' atau ilmu, orangIndonesia sejak dulu, tentu saja, naik haji juga karena syari'at mewajibkannyabagi yang mampu. Penyair sufi yang kontroversial, Hamzah Fansuri, dalam salahsatu syairnya sudah bicara tentang haji sebagai rukun kelima. Hamzah sendiritelah naik haji, dan dengan menunaikan kewajiban ini ia berharap 'menemukanTuhan'. Tetapi untuk mencapai tujuan itu ternyata perjalanan lahir ke Makkahtidak cukup:


Sidang `asyiq mencari Lawan

ke Baital-Qudus pergi berjalan
kerjanyada'im membuangkan kawan
itulahsedia anak bangsawan

Ialah sampai terlalu `asyiq

da'im iaminum pada cawan Khaliq
mabukdan gila ke Hadhrat Raziq
itulahthalib da`wanya shadiq

Minuman itu terlalu masak habis

dapatdiminum pada fardh yang khamis
jikahendak kau minum sekalian habis
wujudwahmi jangan kau labis
.....
.....
.....


HamzahFansuri di dalam Makkah

mencari Tuhan di Bait al-Ka`bah

di Baruske Qudus terlalu payah
akhirnyadapat di dalam rumah[7]

Syairini mengingatkan kita kepada cerita sufi dalam karya al-`Attar, ManthiqAl-Thair ('Musyawarah Burung'). Tiga puluh burung berangkat mencari dewaburung mitologis yang namanya Simurgh. Pencarian ini membawa mereka melaluiseluruh dunia tanpa berhasil - sehingga mereka menyadari bahwa Simurghsebetulnya tidak lain dari mereka sendiri: si murgh berarti 'tiga puluhburung'. Demikian juga rombangan `asyiq ('pecinta') dalam syair Hamzahmencari lawannya, yaitu Tuhan, melalui perjalanan ke kota-kota suci Makkah danQudus (Yerusalem). Hamzah, yang lahir di Barus dan rupanya telah naik haji danberziarah sampai ke Qudus, mengklaim akhirnya menemukan Tuhan di dalam dirinya.


Pengalaman ruhani ini, yaitu suatu penghayatan mendalamfaham wahdat al-wujud, untuk pertama kali diperolehnya ketika iabermukim di ibukota Muangthai zaman itu, seperti diuraikannya dalam syair yanglain (Hamzah nin asalnya Fansuri / mendapat wujud di tanah Syahr Nawi). SyahrNawi (nama Farsi untuk kota Ayuthia) pada masa itu merupakan pusat perdaganganinternasional yang penting, tempat tinggal banyak orang Islam, terutama yangberasal dari Iran dan India. Namun bagi orang Indonesia generasi berikutnya,tempat 'mencari Tuhan', yaitu memperdalam ilmu ilmu Islam, baik fiqih maupuntasawwuf, metafisika dan 'ilmu ghaib', tetap adalah Makkah dan Madinah.Walaupun Islam di Indonesia pada abad ke-17 diwarnai oleh pengaruh India,pengaruh itu datang tidak langsung dari India tetapi melalui dua kota suci itu.Tokoh- tokoh yang menyebarkan faham wahdat al-wujud dan tarekat-tarekat diIndonesia pada abad ke-17 telah mempelajarinya di tanah suci.


[ Last edited by  jf_pratama at 21-4-2007 10:32 PM ]
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 21-4-2007 10:24 PM | Show all posts
Seeking Knowledge and Merit -Indonesians on the Haj
Martin van Bruinessen (3 of 6)

Kita hanya mengetahui beberapa nama saja dari semua orangIndonesia yang telah naik haji dan mencari ilmu di tanah suci. Syaikh YusufMakassar berangkat ke tanah Arab pada tahun 1644 dan baru kembali ke Indonesiasekitar tahun 1670. Ia belajar kepada banyak ulama besar, terutama ulamatasawwuf, dan memperoleh ijazah untuk mengajar berbagai tarekat. Yang dicariYusuf bukan kesaktian saja. Di bawah bimbingan Syaikh Ibrahim al-Kurani diMadinah ia antara lain mempelajari kitab falsafah, kalam dan tasawwuf yangsangat sulit seperti Al-Durrah Al-Fakhirah karangan `Abd al-RahmanJami.[8]


Setelah Yusuf pulang ke Indonesia, ia bukan hanyamenyebarkan tarekat Khalwatiyah saja tetapi punya peranan politik yang cukuppenting sebagai penasehat Sultan Ageng Tirtayasa di Banten. Ketika KompeniBelanda campur tangan dalam urusan intern Banten dan membantu putra Sultan Ageng,Sultan Haji, menyingkirkan ayahnya, Yusuf membawa penganutnya ke gunung danmemimpin gerilya melawan Belanda sampai akhirnya - setelah hampir dua tahun -ia ditangkap dan dibuang ke Selon (Sri Lanka).



Ulama lain yang juga lama menetap dan memperdalamilmu-ilmu agama di Makkah dan Madinah adalah `Abd al-Ra'uf Singkel, yangkemudian mencapai kedudukan tinggi di Aceh. `Abd al-Ra'uf dikenal sebagaipembawa tarekat Syattariyah ke Indonesia dan sebagai penerjemah dan penyuntingTafsir Jalalain dalam bahasa Melayu. Gurunya yang paling penting di Madinahtidak lain dari Ibrahim al-Kurani tadi. Pada masanya Ibrahim adalah ulama yangpaling besar di Madinah, dan murid-murdinya datang dari seluruh dunia Islam.Melalui muridnya ia mempengaruhi gerakan reformis abad ke-18 di berbagainegara. Baik Muhammad bin `Abd al-Wahhab di tanah Arab maupun Syah Waliyullahdi India dan reformis Muslim Cina Ma Mingxin telah belajar kepada murid-muridIbrahim al-Kurani.[9]


Selain Yusuf dan `Abd al-Ra'uf barangkali masih ada banyakorang Indonesia lainnya yang telah belajar kepada ulama besar ini. Salah satukarya Ibrahim ditulisnya khusus untuk murid-muridnya dari Indonesia, mungkinatas permintaan `Abd al-Ra'uf. Tulisan ini merupakan komentar terhadap suatuteks wahdat al-wujud yang sangat populer di Indonesia, Tuhfah Al-Mursalah.Karena kitab ini di Indonesia telah menimbulkan penyimpangan ke arah panteisme,Ibrahim menulis koreksi dan memberikan penjelasan lebih ortodoks tentang fahamwahdat al-wujud.[10]


Dari contoh di atas kita melihat beberapa fungsisosiologis haji. Orang Indonesia mencari ilmu di Makkah dan Madinah dan setelahpulang ke tanah air mereka mengajar kepada masyarakat sekitarnya ilmu-ilmu yangtelah mereka pelajari di tanah suci. Praktek-praktek keagamaan di Indonesiasenantiasa mendapat koreksi dari sana juga. Islamisasi Indonesia, pada hematsaya, perlu dilihat sebagai suatu proses yang sudah berlangsung sejak abadke-13 dan yang masih terus berlanjut sampai sekarang. Entah siapa yangpertama-tama membawa Islam ke Indonesia - apakah orang India, Arab atau Cina -yang jelas bahwa sejak abad ke-17 peranan utama dimainkan oleh orang Nusantarasendiri yang telah belajar di tanah suci. Semua gerakan pemurnian danpembaharuan di Nusantara, sampai awal abad ke-20, bersumber dari Makkah danMadinah.


Di tanah Arab, para haji Indonesia juga bertemu dengansaudara seiman dari seluruh dunia Islam, yang belajar kepada guru-guru yangsama, dan dengan demikian mereka mengetahui perkembangan dan gerakan dinegara-negara Muslim lainnya. Akhirnya, perkembangan-perkembangan di pelosokdunia Islam lainnya juga mempunyai dampak di Indonesia. Setelah penjajahanBelanda sudah mantap di pulau Jawa dan beberapa daerah lainnya, haji masihmendapat suatu fungsi baru. Di Makkah, para haji berada di bawah suatupemerintahan Islam, bebas dari campur tangan penjajah. Situasi ini tidakmungkin tidak membuat mereka lebih sadar terhadap kolonialisme. Pada tahun 1772,seorang ulama kelahiran Palembang yang menetap di Makkah (kemungkinan besar`Abd al-Samad al-Falimbani pengarang Sair Al-Salikin) menulis suratkepada Sultan Hamengkubuwono I dan kepada Susuhunan Prabu Jaka. Isinya,rekomendasi bagi dua orang haji yang baru pulang dan mencari kedudukan, tetapidalam pendahuluan surat ada pujian terhadap raja-raja Mataram terdahulu yangtelah ber-jihad melawan Kompeni. Surat-surat ini dapat dibaca sebagai anjuranuntuk meneruskan jihad melawan penjajah.[11]


Perjalananpanjang dan berbahaya

Sebelum ada kapal api, perjalanan haji tentu saja harusdilakukan dengan perahu layar, yang sangat tergantung kepada musim. Danbiasanya para haji menumpang pada kapal dagang, berarti mereka terpaksa seringpindah kapal. Perjalanan membawa mereka melalui berbagai pelabuhan di Nusantarake Aceh, pelabuhan terakhir di Indonesia (oleh karena itu dijuluki 'serambiMakkah'), di mana mereka menunggu kapal ke India. Di India mereka kemudianmencari kapal yang bisa membawa mereka ke Hadramaut, Yaman atau langsung keJeddah. Perjalanan ini bisa makan waktu setengah tahun sekali jalan, bahkanlebih. (Perjalanan Sultan Haji dari Banten, yang sudah pulang satu setengahtahun setelah berangkat, terhitung cepat). Dan para haji berhadapan denganbermacam-macam bahaya. Tidak jarang perahu yang mereka tumpangi karam danpenumpangnya tenggelam atau terdampar di pantai tak dikenal. Ada haji yangsemua harta bendanya dirampok bajak laut atau, malah, awak perahu sendiri.Musafir yang sudah sampai ke tanah Arab pun belum aman juga, karena di sanasuku-suku Badui sering merampok rombongan yang menuju Makkah. Tidak jarang jugawabah penyakit melanda jemaah haji, di perjalanan maupun di tanah Arab. Naikhaji, pada zaman itu, memang bukan pekerjaan ringan. Tidak banyak orangNusantara yang pernah menulis catatan perjalanannya, namun dalam ceriteralegendaris mengenai ulama-ulama besar petualangan mereka dalam perjalanan keMakkah sering diberikan tempat menonjol.[12]


Penuturan yang sangat jelas mengenai kesulitan dan bahayaperjalanan dengan kapal layar ke Makkah ditinggalkan oleh pelopor sastra Melayumodern, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Abdullah naik haji pada tahun 1854,tidak lama sebelum kapal layar digantikan oleh kapal api. Mendekati TanjungGamri di Seylon (Sri Lanka) kapalnya diserang angin kencang:



[ Last edited by  jf_pratama at 21-4-2007 10:33 PM ]
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 21-4-2007 10:27 PM | Show all posts
Seeking Knowledge and Merit -Indonesians on the Haj
Martin van Bruinessen (4 of 6)


Allah, Allah, Allah! Tiadalah dapat hendak dikhabarkanbagaimana kesusahannya dan bagaimana besar gelombangnya, melainkan Allah yangamat mengetahuinya. Rasanya hendak masuk ke dalam perut ibu kembali; gelombangdari kiri lepas ke kanan dan yang dari kanan lepas ke kiri. Maka segalabarang-barang dan peti-peti dan tikar bantal berpelantingan. Maka sampailah kedalam kurung air bersemburan, habislah basah kuyup. Maka masing-masing denganhalnya, tiadalah lain lagi dalam fikiran melainkan mati. Maka hilang-hilanglahkapal sebesar itu dihempaskan gelombang. Maka rasanya gelombang itu terlebihtinggi daripada pucuk tiang kapal. Maka sembahyang sampai duduk berpegang. Makajikalau dalam kurung itu tiadalah boleh dikhabarkan bunyi muntah dan kencing,melainkan segala kelasi selalu memegang bomba. Maka air pun selalu masuk jugake dalam kapal. (...) Maka pada ketika itu hendak menangis pun tiadalah berairmata, melainkan masing-masing keringlah bibir. Maka berbagailah berteriak akannama Allah dan rasul kerana Kep Gamri itu, kata mualimnya, sudah termasyhurditakuti orang: 'Kamu sekalian pintalah doa kepada Allah, kerana tiap-tiap tahundi sinilah beberapa kapal yang hilang, tiadalah mendapat namanya lagi, tiadahidup bagi seorang, ah, ah, ah!'[13]


Pada masa itu, Belanda juga mencatat bahwa banyak orangyang telah berangkat ke Makkah tidak kembali lagi. Antara tahun 1853 dan 1858,jemaah haji yang pulang dari Makkah ke Hindia Belanda tidak sampai separuh darijumlah orang yang telah berangkat naik haji.[14]


Kesan sementara pejabat pemerintah, bahwa selisihnyameninggal di perjalanan atau dijual sebagai budak, sangat berlebihan, tapi perjalananmemang makan banyak korban. Abdullah sendiri meninggal dunia beberapa harisetelah mencapai Makkah, sehingga tak dapat menyelesaikan bukunya yang terakhirini. Sekitar tahun 1930-an, ketika keadaan kesehatan sudah lebih baik daripadaabad sebelumnya, setiap tahun sekitar 10% dari jemaah haji Indonesia meninggaldunia selama mereka di tanah suci.[15]


Namun perbedaan antara jumlah orang yang berangkat danyang pulang terutama disebabkan oleh banyaknya orang yang tinggal di tanah suciselama beberapa tahun. Jumlah orang Nusantara yang mukim (menetap) di Makkahterus meningkat sejak pertengahan abad ke-19. Snouck Hurgronje, yang banyakmenulis mengenai 'Jawah mukim' itu, tidak memberi perkiraan tentang jumlahmereka, tetapi pada tahun 1931 van der Plas (yang pernah menjabat konsulBelanda di Jeddah) menulis bahwa mereka sekurang-kurangnya 10.000 jiwa(bandingkan dengan jumlah jemaah haji, yang waktu itu berkisar sekitar30.000).[16]

Pada tahun 1869 terusan Suez dibuka dan jumlah kapal apiyang berlayar dari Jawa atau Singapura lewat terusan ini, dengan mendarat diJeddah, naik cepat. Dengan demikian, perjalanan dari Nusantara ke Makkah sangatdipermudah dan dipercepat. Tiga maskapai perkapalan Belanda (disebut 'kongsitiga') bersaing dengan maskapai Inggeris (dan Arab Singapura) untuk mengangkutjumlah haji yang sebesar mungkin. Mereka membayar komisi kepada para syaikhhaji di Arab dan kepada calo di Nusantara untuk setiap penumpang yangdiantarkan.


Pejabat Hindia Belanda yang ingin membatasi jemaah hajikarena mereka takut pengaruh 'fanatisme' agama, mengalah terhadap kepentinganekonomi maskapai perkapalan ini. Maskapai-maskapai itu, tentu saja, tidakmengutamakan kesejahteraan jemaah haji; kapal diisi terlalu penuh dan kondisimakanan dan kesehatan kadang-kadang payah sekali. Snouck Hurgronje berulangkali mengeluh kepada pemerintah mengenai situasi ini. Salah satu kasus yangdisebutnya adalah kapal 'Gelderland', yang pada tahun 1890 (ketika wabah koleramelanda Makkah) membawa tidak kurang dari 700 orang dari Jeddah ke Bataviatanpa akomodasi memadai. Dari mereka, 32 orang meninggal dunia di perjalanan;jumlah mereka pasti akan lebih banyak kalau konsul Belanda di Jeddah tidakmemaksa kapten kapal agar membawa seorang dokter.[17]


Kenaikan jumlah haji terlihat dalam tabel berikut. Daricatatan konsul asing di Jeddah kita juga tahu perkiraan jumlah haji yang datanglewat laut dari negara lain (India, Mesir, Turki, dsb.). Ternyata orangIndonesia merupakan persentase yang cukup tinggi.[18]


Naik haji pada masa kapal api


Setiap tahun, rombongan haji dari Nusantara sudah mulaidatang ke Makkah beberapa waktu sebelum bulan Ramadhan, karena mereka inginmelakukan ibadah puasa di kota suci itu dan sembahyang taraweh di MasjidilHaram atau di zawiyah seorang syaikh tarekat yang termasyhur. Rata-rata merekatinggal empat sampai lima bulan di Hijaz sebelum pulang. Hampir semuanya jugamengunjungi kota Madinah setelah melaksanakan ibadah haji; ziarah ke makam Nabidi sana sudah lazim bagi jemaah haji Nusantara.


Selain itu, mereka mengikuti pengajian-pengajian yangdiberikan di mana saja di kota Makkah dan Madinah. Di antara jemaah haji initidak banyak yang bisa berbahasa Arab, tetapi itu tak menjadi masalah. Dimana-mana ada ulama berasal dari Nusantara, yang memberi pengajian dalam bahasaMelayu. Para syaikh tarekat pun mempunyai wakil-wakil 'Jawah' khusus untukmelayani jemaah haji Nusantara yang ingin memperdalam penghayatan tarekat. DiMakkah, jauh sebelum Sumpah Pemuda, bahasa Melayu sudah berfungsi sebagai ikatanpemersatu orang Nusantara. Bayangkan, di Makkah orang dari Jawa, Nusa Tenggara,Maluku, Sulawesi Selatan, Kalimantan, Semenanjung Malaya, Minangkabau dan Acehselama lima bulan bebas bergaul, tukar pengalaman dan pikiran.


Snouck Hurgronje mencatat bagaimana orang dari seluruhNusantara ikut membicarakan perlawanan Aceh terhadap Belanda, dan bagaimanamata mereka dibuka mengenai penjajahan Belanda maupun Inggeris dan Perancisatas bangsa-bangsa Islam.[19] Para haji hidup beberapa bulan dalam suasana anti-kolonial,yang sangat berbekas. Pemberontakan petani Banten 1888 dan pemberontakan Sasak1892 melawan Bali (yang menduduki Lombok pada zaman itu) jelas diilhami olehpengalaman tokoh-tokohnya ketika mereka berada di Makkah.


Dengandemikian, perjalanan haji mulai berfungsi sebagai pemersatu Nusantara danperangsang anti-kolonialisme. Dan masyarakat 'Jawah mukim' punya perananpenting sebagai perantara antara orang Nusantara dan gerakan agama maupunpolitik di bagian dunia Islam lainnya. Ulama seperti Nawawi Banten, MahfudzTermas dan Ahmad Khatib Minangkabau, yang mengajar di Makkah pada akhir abadke-19 dan awal abad ke-20, mengilhami gerakan agama di Indonesia dan mendidikbanyak ulama yang kemudian berperan penting di tanah air. Banyak 'Jawah mukim'yang juga pernah belajar di madrasah modern Shaulatiyah, yang didirikan diMakkah pada tahun 1874 oleh orang India[20].

Melalui madrasah ini, mereka juga tahu dari lebih dekattentang perjuangan orang India melawan penjajahan Inggeris. Keilmuan agama dankesadaran nasional berkembang dalam hubungan erat satu dengan yang lain. Padatahun 1934, karena suatu konflik yang menyangkut kebanggaan nasional orangIndonesia, guru dan murid 'Jawah' telah keluar dari Shaulatiyah dan mendirikanmadrasah Darul Ulum di Makkah. Selama dasawarsa terakhir masa kolonial,madrasah ini merupakan pusat intelektual bagi orang Indonesia dari kalanganpesantren di Makkah. Bagi kaum modernis, pada masa itu, Mesir telah menjadipusat pergerakan; tetapi untuk ke Mesir pun, Makkah tetap menjadi batu loncat.


[ Last edited by  jf_pratama at 21-4-2007 10:34 PM ]
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 21-4-2007 10:28 PM | Show all posts
Seeking Knowledge and Merit -Indonesians on the Haj
Martin van Bruinessen (5 of 6)

Naik haji pada masa komunikasi massa dan informasi


Dari hal-hal yang disebut di atas, barangkali sudah jelasbahwa haji, selain merupakan ibadah dalam arti sempit, telah mempunyai beberapafungsi penting lainnya bagi umat Islam Indonesia. Hajilah yang mempersatukanumat Islam Indonesia dengan seluruh umat Islam, hajilah yang merupakan salurankomunikasi dan informasi yang terpenting. Makkah, selain kiblat, juga merupakanjendela untuk melihat dunia luar dan sumber pemurnian dan pembaharuan agama.


Bagaimana situasi sekarang ini? Apakah haji masihmempunyai fungsi yang begitu esensial bagi umat Islam Indonesia? Yang jelas,dengan teknologi transportasi modern dan persediaan sarana perhotelan dankesehatan yang ada, menunaikan rukun Islam kelima telah menjadi sangat mudahbagi setiap orang yang mampu membayar ONH. Pengalaman ruhani di `Arafah ataudalam thawaf di seputar Ka`bah tetap sesuatu yang penting dalam kehidupanpribadi seorang mu'min. Tetapi bagaimana dengan fungsi-fungsi haji lainnya,yang bersifat sosial dan politik? Apakah haji masih berfungsi sebagai penggerakpembaharuan atau pemurnian agama? Apakah haji masih merupakan salurankomunikasi dengan sesama Muslim dari India, Pakistan, Afghanistan, Iran, Turki,Uni Soviet, negara-negara Arab?


Kesan saya, justeru karena kecanggihan teknologi modernitu, dan karena pengelolaan sentral melalui pemerintah, haji telah kehilanganfungsi sosialnya. Jamaah haji Indonesia diangkut secara massal dengan pesawatudara, dan hanya berada beberapa minggu saja di tanah suci. Tempat tinggaluntuk mereka - bersama dengan orang Indonesia lainnya - sudah disiapkansebelumnya, sehingga kontak dan komunikasi mereka dengan umat Islam lainnyaminim sekali.


Dalam waktu singkat itu, kesempatan untuk belajar diMakkah juga hampir-hampir tidak ada lagi. Kalau orang Indonesia sekarang tahutentang kejadian di Pakistan, Iran, Libya, Mesir atau Uni Soviet, itu bukanlagi karena mereka telah naik haji, tapi karena sekarang ada saluran informasiyang lebih efektif. Ambil saja sebagai contoh peristiwa berdarah di Makkahsendiri tahun 1988.


Berapa orangkah jamaah haji Indonesia yang sempat memahamiapa yang sebetulnya terjadi dan apa latar belakangnya? Memang, ada yang telahmelihat huru-hara, walaupun hanya melalui jendela hotel, tetapi mereka relatifsedikit; kalau ada yang sempat berbicara dengan orang yang terlibat, merekapasti sedikit sekali. Inilah suatu peristiwa yang terjadi di Makkah sendiriketika jamaah Indonesia berada di sana. Dapat dibayangkan bagaimana kesempatanuntuk memperoleh informasi mengenai perkembangan intelektual atau politik yangterjadi di dunia Islam lainnya.


Pemikiran Islam baru yang masuk Indonesia beberapadasawarsa terakhir ini (katakanlah, pemikiran orang seperti Hasan al-Banna, AbulA'la Maududi, Ali Syari'ati, Murtadha Muthahhari, Yusuf Qardhawi, SeyyedHossein Nasr, Fazlur Rahman) tidak masuk lagi melalui jalur Makkah.Perkembangan teknologi percetakan dan media komunikasi lainnya mengakibatkanterjadinya desentralisasi kehidupan intelektual. Bukan lagi Makkah yangmerupakan pusat intelektual dunia Islam yang terpenting.


Pemikiran Islam sekarang berkembang di banyak tempat(termasuk Amerika dan Eropa!), yang saling berhubungan melalui media komunikasimodern. Di Makkah, memang, masih ada madrasah Darul Ulum, dan masih terdapatguru yang sangat dihormati oleh kalangan pesantren, seperti Muhammad bin Alwial-Maliki. Dan ada juga perguruan agama negeri yang menerima siswa dariIndonesia. Tetapi peranannya sangat minim dibandingkan dengan peranan ulamabesar Makkah setengah abad yang lalu. Naik haji sekarang telah dipersempitmenjadi ibadah belaka - dan, tentu saja, simbol status sosial. Artinya bagisetiap pribadi tetap penting, tetapi tidak lagi sebagai motor penggerak prosesislamisasi Indonesia.


________________________________________
Catatan:
[1].Lihat statistik dalam artikel Jacob Vredenbregt,"The haddj: Some of its features and functions in Indonesia", Bijdragentot de Taal-, Land- en Volkenkunde 118, 1962, hal. 148-9. Pada masa itujumlah haji dari Indonesia memang sangat besar karena beberapa tahun sebelumnyaorang Indonesia tidak bisa naik haji sama sekali. Setelah Sultan Turkimemproklamasikan jihad pada tahun 1915, pemerintah Hindia Belanda melarangorang naik haji sampai perang berakhir (1918). Oleh karena itu banyak orangyang terpaksa menunda beberapa tahun perjalanan haji mereka secara massalberangkat ketika haji diizinkan lagi.


[2].Gambaran yang paling lengkap mengenai 'Jawah mukim'dan jemaah haji 'Jawah' ini, dan mengenai kehidupan di Makkah pada akhir abadke-19 pada umumnya terdapat dalam jilid II buku Snouck Hurgronje mengenaiMakkah. Seperti diketahui, Snouck Hurgronje pernah tinggal sekitar lima bulandi Makkah pada tahun 1885, setelah ia secara formal masuk Islam. Uraian kritismengenai Snouck Hurgronje dan 'masuk Islam'nya terdapat dalam: Ph.S. vanKoningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam, Jakarta: Girimukti Pasaka,1989.


[ Last edited by  jf_pratama at 21-4-2007 10:34 PM ]
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 21-4-2007 10:30 PM | Show all posts
Seeking Knowledge and Merit -Indonesians on the Haj
Martin van Bruinessen (6 of 6)

[3].Hoesein Djajadiningrat, Critische Beschouwing vande Sadjarah Banten. Haarlem, 1913, hal. 49-52, 174-8. Raja Bantenmendapatkan gelar Sultan Abu'l-Mafakhir Mahmud Abdul Qadir dan SusuhunanMataram Sultan Abdul Muhammad Maulana Matarani. Menurut sumber yang sama, rajaMakassar juga meminta gelar Sultan di Makkah.

[4].Djajadiningrat, op.cit., hal. 32.


[5].J. Edel (ed), Hikajat Hasanoeddin. Leiden,disertasi, 1938, hal. 36 (ejaan disesuaikan).


[6].Legenda Tengger diceritakan kembali dalam: J.E.Jasper, Tengger en de Tenggereezen. Weltevreden: G. Kolff & Zn,1927, hal. 41-43. Naskah Kediri disebut dalam C. Poensen, "Bijdragen totde kennis van den godsdienstigen en zedelijken toestand der Javanen",Medeelingen van wege het Nederlandsche Zendeling Genootschap 13, 1869, hal.191.


[7].G.W.J. Drewes & L.F. Brakel, The Poems ofHamzah Fansuri. Dordrecht: Foris, 1986, hal. 8-9, 104-109http://file:///C:/DOCUME%7E1/Windows/LOCALS%7E1/Temp/msoclip1/01/clip_image004.gif.



[8].Yusuf dua kali menyalin karya ini, serta berbagaisyarahnya, dengan tangan sendiri. Naskah ini sekarang berada di sebuahperpustakaan di Amerika Serikat, lihat: Nicholas Heer, The Precious Pearl. Al-Jami'sAl-Durrah Al-Fakhirah Together with his Glosses and the Commentary of `Abdal-Ghafur al-Lari. Albany, NY: State University of New York Press, 1979,hal. 13-15.


[9].Tentang pengaruh Ibrahim terhadap gerakan reformisitu, lihat John Voll, "Muhammad Hayya al-Sindi and Muhammad ibn al-Wahhab:An Analysis of an Intellectual Group in Eighteenth-Century Madinah". Bulletinof the School of Oriental and African Studies 38, 1975, 32-39.


[10].Kitab Al-Tuhfah Al-Mursalah Ila Ruh Al-Nabi dikarang(dalam bahasa Arab) oleh Muhammad bin Fadhl Allah al-Burhanpuri (dari Burhanpur,Gujarat, India; wafat 1620). Kitab yang menguraikan metafisika martabat tujuhini sudah dikutip oleh Syamsuddin Sumaterani (wafat 1630). Adaptasi TuhfahAl-Mursalah dalam bahasa Jawa kemudian menjadi sangat populer di Jawa. LihatA.H. Johns, The Gift Addressed to the Spirit of the Prophet. Canberra:Australian National University, 1965. Komentar Ibrahim al-Kurani berjudul IthafAl-Zaki dikarang sebelum tahun 1661.


[11].M.C. Ricklefs, Jogjakarta under Sultan Mangkubumi,1749-1792. London: Oxford UniversityPress, 1974, hal. 134; M. Chatib Quzwain, Mengenal Allah. Suatu StudiMengenai Ajaran Tasawuf Syeikh 'Abdus-Samad al-Palimbani. Jakarta: BulanBintang, 1985, hal. 16-17.


[12].Lihat misalnya cerita rakyat Sulawesi Selatanmengenai perjalanan naik haji Syaikh Yusuf dalam: Djirong Basang, RiwayatSyekh Yusuf dan Kisah I Makkutaknang dengan Mannuntungi. Jakarta: Dep. Pdan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1981, hal. 120-151.



[13].Kisah Pelayaran Abdullah. Ke Kelantan dan ke Judah.Disusun oleh Kassim Ahmad. Kuala Lumpur: Fajar Bakti, 1981, hal. 94.



[14].Statistik pemerintah menunjukkan angka-angka berikut:

Angka-angka ini diambil dari: F.G.P. Jaquet, "Mutinyen Hadji-Ordonnantie: Ervaringen met 19e Eeuwse Bronnen", Bijdragen totde Taal-, Land- en Volkenkunde 136, 1980, 283-312 (lihat tabel pada hal.310-2).



[15].Ch.O. van der Plas, "Les relations entre lesPays-Bas et le Hidjaz" ("Hubungan Belanda dengan Hijaz"), Grotius,Annuaire pour l'Ann閑 1931. La Haye, 1931, hal. 124.

[16].Van der Plas, op.cit., hal. 128-9.


[17].C. Snouck Hurgronje, Ambtelijke Adviezen(Nasehat-nasehat dinas), jilid II. 's Gravenhage: Nijhoff, 1959, hal. 1335.Dalam kumpulan surat-surat resmi Snouck Hurgronje kepada pemerintah terdapatbanyak sekali informasi menarik yang menyangkut haji (hal.1307-1465).

[18].Tabel ini berdasarkan tabel-tabel dalam: Vredenbregt,op.cit., hal. 91-15, dengan beberapa data dari Jaquet, op.cit., hal. 310-312 dan William Ochsenwald,Religion, Society and the State in Arabia. The Hijaz under Ottoman Control,1840-1908. Columbus: Ohio StateUniversity Press, 1984, hal. 61. Perlu dicatat bahwa selalu terdapat perbedaanyang cukup berarti dalam angka untuk tahun yang sama menurut sumber yangberbeda.

[19].Lihat C. Snouck Hurgronje, Mekka, jilid II, terutamahal. 331-5.


[20].Pendiri Shaulatiyah, Rahmatullah bin KhalilKairanawi, sangat aktif dalam polemik dengan misionaris Kristen di India dankemudian ikut serta dalam pemberontakan anti-Inggeris tahun 1857 (yang dikenalsebagai 'the Mutiny'). Lihat: A.A. Powell, "Maulana Rahmat Allah Kairanawiand Muslim-Christian Controversy in India in the Mid-19th Century",Journal of the Royal Asiatic Society 1976, 42-63. Mengenai Shaulatiyah, lihatOchsenwald, op.cit., hal. 75, dan A.A. Dohaish & M.J. Young, "Anunpublished educational document from the Hijaz (A.H. 1299)", Annali dell'Istituto Orientali di Napoli 35, 1975, 133-137.


[ Last edited by  jf_pratama at 21-4-2007 10:35 PM ]
Reply

Use magic Report

Follow Us
You have to log in before you can reply Login | Register

Points Rules

 

ADVERTISEMENT



 

ADVERTISEMENT


 


ADVERTISEMENT
Follow Us

ADVERTISEMENT


Mobile|Archiver|Mobile*default|About Us|CARI Infonet

2-5-2024 04:19 AM GMT+8 , Processed in 0.079689 second(s), 32 queries .

Powered by Discuz! X3.4

Copyright © 2001-2021, Tencent Cloud.

Quick Reply To Top Return to the list