CARI Infonet

 Forgot password?
 Register

ADVERTISEMENT

View: 5140|Reply: 16

Semua Itu Kisah Yang Lalu

[Copy link]
Post time 17-8-2009 10:16 AM | Show all posts |Read mode
Post Last Edit by bintang at 17-8-2009 10:33

Hari ini terasa panjang sekali dan mentari seperti enggan untuk bergerak ke barat lebih cepat. Hawa panas bak udara sahara menyelinap ke setiap tempat bahkan sampai di sebalik baju kurungku. Membuat tubuhku yang tadinya segar kerana disirami mandi menjadi berbau dan hapak. Pakaianku menjadi melekit dengan kulit. Keringat memenuhi wajahku dan sesekali aku menelan ludah hampir-hampir tak dapat bernafas. Mataku meliar menatap buah mangga matang yang bergantung anggun di tangkai pohon di luar. Benar-benar keadaan yang tepat untuk menyiksa orang yang sedang berpuasa.


Aku dan kedua temanku, Naimah dan Syikin, adikku Arif dan Hadi adik Syikin sedang berbaring di masjid, menempelkan pipi-pipi kami ke lantai putih yang dingin agar sedikit sejuk. Bukannya menjadikan masjid sebagai tempat lepak, tapi kami sedang menunggu kedatangan Ustaz Hisyam yang sememangnya sangat dihormati di kampungku. Kami di sini orang-orang terpilih, kata Ustaz, kerana mampu mengalihkan waktu yang seharusnya kami gunakan untuk tidur nyenyak di rumah menjadi waktu yang bermanfaat untuk menuntut ilmu yang mahal. Ya, kami juga bersyukur kerana merasa diberi hidayah. Kami bukan seperti kebanyakan muda mudi sekarang, suka menghabiskan masa tanpa haluan di jalanan. kami berbeza, meski kami tidaklah begitu soleh kerana adikku Arif juga Hadi adik Syikin adalah yang paling nakal. Kenakalannya sedikit merosak kelas kami. Namun tingkah mereka diampunkan kerana masih dalam pembelajaran dan mereka tetap mengikuti kuliah ilmu, begitu kata Ustaz. Hari ini kami ada kelas percuma dengan Ustad Hisyam sampai azan asar berkumandang


“Assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam,” jawab kami berlima.


Ustaz Hisyam akhirnya datang. Di tangan kanannya ada mushaf yang kecil sekali. Warnanya putih dan agak kusam. Janggutnya bergoyang manja ditiup angin sepoi. Wajahnya putih bersih, tua, dan teduh. Seluar panjangnya tergantung di atas mata kaki. Dia memakai kasut oblong warna putih. Agak kumal namun bersih. Jalannya sopan dan sangat tertib, sering tersenyum dan tunduk menahan pandangan. Dan dia berasal dari indonesia namun tidak pula aku ketahui penetapan asalnya di mana.

Sederhana namun menawan, fikirku.

“Maaf, saya sedikit terlambat. Jadi ngajinya kan?”

“Iya Ustaz, bukan... Ustaz.kan ganti.... Kan semalam kita yang terlewat,” kata Syikin dan Ustaz pun tersenyum. Senyum yang syahdu.


Akhirnya dia memulai kajiannya, membahas tentang makhraj huruf Al Qur’an. Kami memandangi kusyuk Qur’an kami masing-masing. Tapi ini sungguh membosankan kerana kami harus menyebutkan huruf-huruf hijaiyah dengan betul dan sebutan itu pula berpuluh-puluh kali. Kami jadi cepat haus. Berbeza dengan hari kemarin saat membahas Ghazwul Fikr. Kami kagum kerana waktu itu Ustadz menerangkan fakta-fakta betapa perang, pemikiran, atau ideologi itu sudah merusak umat Islam sampai ke akar-akarnya.

Akhirnya Arif adikku mengeluh.

“Ustaz, kalau gini jadi cepat haus. Tak ada pelajaran lain?”

“Baca yang tu dulu, kenapa malas-malas ni…,” tiba-tiba Ustaz  Hisyam berubah genit. Ini suara yang lain dari biasanya, suara yang berat namun ada unsur feminim yang kuat. Senyumnya menawan dan lidahnya menjilat-jilat bibirnya sendiri. Dengan tiba-tiba ia menyentuh dan mengelus tangan Hadi sementara Hadi hanya dapat melongo.


Kenapa ni? Aku pun terperanjat melihatnya. Ustaz kenapa jadi begini? Sama seperti Hadi dan Arif aku hanya memandangi Ustaz dengan takjub. Lain hal dengan Syikin dan Naimah, sebelah tangannya menutup mulut mau muntah setengah senyum, sebelah tangannya bersedekap di perut.


“Ustaz,” tegurku.

“Ya, kenapa? Kenapa macam terperanjat aje? Jangan begitu nyah..,” kata Ustaz sambil tersenyum, tingkah lakunya mirip pondan kelas bawahan. Kini dia menggenggam tangan Hadi dan menariknya. Hadi malah menolak-nolak dan mau menghindar. Ia kelihatan takut sekali.

“Hadi kok gitu? Nggak mau ya sama mbak?”

Aku beristigfar sambil tertawa. Bahasa Indonnya sudah meluncat. Aku dan teman-teman memang sekian lama tidak mendengari bahasa Indon meluncur dari mulut Ustaz. Cuma kadang-kadang bila dia bergurau adalah dua tiga patah perkataan yang diperkenalkan kepada kami. Sedetik kemudian aku panik namun sedetik lagi aku ingin tertawa lagi. Syaitan mana yang sedang berkunjung sehingga Ustaz Hisyam berubah jadi wanita? Tapi akhirnya aku yakin kalau Ustaz  ada gangguan jin. Bukankah jin itu wujud dan sering mengganggu manusia?


“Ustaz, sedar! Sedar....!” Aku membentaknya sambil menggoncangkan bahunya dengan keras.
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


Post time 17-8-2009 10:42 AM | Show all posts
erk! takat tu yer ke bintang?
baru mukadimah
Reply

Use magic Report

Post time 17-8-2009 01:50 PM | Show all posts
bintang, ustaz tue kena sampuk ke...
nanti letak n3 lagi k...
Reply

Use magic Report

Post time 17-8-2009 03:00 PM | Show all posts
uikk suspen ni...

knp plak ustaz tu ekk hmy3:
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 18-8-2009 10:01 AM | Show all posts
ok ok nak sambung neh...
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 18-8-2009 10:14 AM | Show all posts
Ustaz akhirnya terdiam dan terlihat berfikir agak lama. Aku menunggu dengan tenang namun jauh di sudutnya penuh debaran.


“Astagfirullah hal aziim,” ujarnya tiba-tiba sambil terus mengulang-ulang. “Tadi saya kenapa?”

“Ustaz jadi pondan,” jawab Syikin sambil tertawa. “Ustaz belajar berlakon di mana?”

Dan semua tertawa kecil.

Ustaz Hisyam beristigfar lagi dan tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu. Kepalanya ditundukkan dan kedua tanggannya saling meremas.

“Ustaz…Ustaz kenapa? Kalau nangis puasa batal, tak?”


Ia tak menjawab. Hanya terus menangis. Kami jadi terdiam, bahkan Syikin ikut memandang dengan hiba. Ia menangis lama sekali dan kami tak tahu bagaimana harus melakukannya. Suaranya serak dan sesekali ia beristigfar. Dan aku turut terharu tanpa sebab bila melihat tangisan Ustaz. Kami diam dan tunduk sehingga tanggisan Ustaz agak reda.


“Jangan bagitahu kepada sesiapa perihal tadi, saya mohon,” ucapnya tiba-tiba.


Jangan dibagi tahu siapa-siapa? Kalau ini disebarkan bakal jadi gosip paling hot. Makcik-makcik perumahan akan berkumpul lebih cepat di tempat perhentian van jualan ikan dan mula bergossip panas. Bila semua sudah tahu hal ini, tak ada lagi yang akan sudi Ustaz menjadi imam mereka pada setiap kali solat di masjid. Boleh jadi juga masyarakat akan mengusirnya.

Tapi itu ghibah dan mengurangkan pahala puasa juga sangat berdosa. Menyebarkan aib orang lain adalah perbuatan yang keji. Ku lirik kedua temanku, Naimah dan Syikin juga Arif dan Hadi mereka turut mengangguk, tanda faham betapa wajib menyimpan aib orang.


“Ya, kami tidak akan bercerita kepada sesiapa pun, kami janji,”    kataku menyakinkan.    “Tapi sebenarnya tadi Ustaz kenapa?”

“Supaya kalian tahu,“ katanya sambil menghapus air matanya.    “Saya dulu setengah wanita...”

“Hah?”    Syikin berteriak seolah-olah belum tahu.     “Jadi, Ustaz betul-betul pondan....?”

“Nyah...”

“Bapuk.”
Aku dan Naimah melengkapi.

“Ya, saya pondah tulen.”


Kami terdiam kagum. Kehidupan ini memang mengagumkan. Aku tidak pernah menyangka seorang Ustaz yang dihormati masyarakat ternyata dulunya adalah seorang manusia yang mengalami gangguan jiwa yang parah. Tetapi aku menyangka Ustaz sedang berbohong. Di dalam hati aku, biar semua ini tidak pernah berlaku dan aku seolah-olah tidak ingin mendengar apa-apa saja keburukan Ustaz di masa lalu.


“Tapi kenapa Ustaz boleh jadi pondan?”    tanyaku.

“Salah, seharusnya kamu tanya kenapa saya boleh menjadi seorang Ustaz. Masa lalu saya kelam, nak…”

“Ustaz, ceritalah…. Saya mau dengar,”   pinta Naimah yang masih takut-takut.

Ustaz menggeleng.

“Ustaz, ceritalah... Supaya kita tahu tentang kebenaran. Jadi kita ada niat untuk tidak mengumpat-ngumpat  kalau Ustaz pondan,’’  Syikin mendesak.

Akhirnya Ustaz Hisyam mengalah, dia mulai bercerita;

“Masa kecil saya kurang bahagia. Saya tiga bersaudara. Dua yang lain perempuan dan saya bongsu. Saya ingat waktu itu, saya sering dimarahi bapa saya kerana hanya mau main dengan budak perempuan. Saya lebih senang menyentuh anak patung, teddy bear dari pada bermain layang-layang atau bola sepak. Waktu itu saya benar-benar perempuan, maksud saya jiwa saya benar-benar perempuan. Saya adalah perempuan meski tubuh saya secara biologinya adalah laki-laki. Anu saya laki-laki...“


Syikin tertawa kecil. Aku menjeling kepadanya supaya diam. Dan aku membayangkan bagaimana Ustaz bermain boneka dengan jasad seorang lelaki dengan sentuhan feminin.. aduhai...


“Kerana merasa diri saya perempuan, saya berusaha menjadi perempuan. Saya memanjangkan rambut, pakai lipstik, dan bertingkah seperti perempuan. Kadang saya tidak terima dengan jasad saya ini. Saya merasa Tuhan salah perhitungan dalam menciptakan saya meski saya tahu sekarang ucapan itu salah. Waktu sekolah menengah saya hampir memotong anu.... kamu tahu kan?”


Tidak hanya Syikin yang tertawa, aku, Naimah, Alif dan Hadi juga tertawa. Ustaz hanya tersenyum melihat respon kami. Tapi aku tidak dapat membayangkan yang satu ini;

“Tapi waktu saya masih di sekolah atas, pihak sekolah dapat mengesan saya...,”   lanjut Ustaz.   “Saya dimasukkan ke hospital khas gangguan jiwa. Empat tahun saya ditahan di sana dan saya tidak berubah sedikit pun. Saya tetap seorang wanita. Suatu malam saya berhasil melarikan diri dan umur saya saat itu sembilan belas tahun. Kemudian saya hidup di jalanan, jadi pengembara. Saya berusaha bertahan di bawah kerasnya kehidupan itu sampai saya dewasa. Saya tetap seorang wanita. Maya adalah nama saya waktu itu.”


Aku tidak dapat membayangkan wajah Ustaz yang penuh janggut berjalan gemalai sebagai seorang Maya.. aduh!  Dan si Maya wajahnya di solek tebal, memakai baju ketat seksi dan ada dua bunjulan tisu di dada di sebalik pakaiannya. Suaranya garau punyai elemen perempuan buatan dan dia bernyanyi-nyanyi dengan penuh syahdu...

Aku tersentak dari lamunan apabila suara Ustaz tiba-tiba meninggi.

“Meski saya hidup di jalanan, saya paling takut dengan HIV atau AIDS, mungkin keduanya. Saya tidak tahu apa bezanya HIV dengan AIDS juga tidak tahu definisinya. Yang saya tahu penyakit itu mematikan. Saya punya seorang sahabat...”

“Sememangnya pondan punya kawan?” potong Syikin.

Ustaz sedikit tersinggung. Aku tahu itu dari raut wajahnya yang samar-samar.

“Ya, sesama pondan....”

Syikin mengangguk-angguk sambil tersengih..


“Namanya Widuri. Nama aslinya Sakti Wibisono. Dia kena kerana melakukan hubungan sesama jenis, bukan dengan saya. Setelah tahu dirinya mengidap HIV, dia tidak lagi berbuat itu. Dia mengucilkan diri dan saya selalu menenangkan hatinya. Sayalah yang selalu melindunginya kala dia disakiti teman-temannya. Sayalah yang membuatnya bertahan hidup lebih lama. Dia meninggal enam bulan setelah dinyatakan positif kena penyakit itu. Dia meninggal kerana demam yang berat berterusan, juga kanser paru-paru kerana terlalu banyak merokok. Virus itu membuat dia tidak dapat sembuh.”

Ustaz kembali terisak-isak.

“Sememangnya Ustaz tidak pernah melakukan?” tanyaku kurang ajar. Dan aku melihat Arif dan Hadi melopong memandang aku. Syikin dan Naimah menjengilkan matanya kepada aku. Aku sedikit kesal bertanyakan soalan itu kepada Ustaz, ternyata semua itu sudah sia-sia untuk aku menariknya kembali.
Reply

Use magic Report

Follow Us
Post time 18-8-2009 11:02 AM | Show all posts
5# bintang

blh buat kompilasi cerpen ni bintang.  indahnya bahasa bintang.  segan lak herb nak nulis.
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 19-8-2009 09:43 AM | Show all posts
5# bintang  

blh buat kompilasi cerpen ni bintang.  indahnya bahasa bintang.  segan lak herb nak nulis.
produkherba Post at 18-8-2009 11:02


TQ herb...

takde lah indah sangat pun, rasanya sempoi jek... kalo nak menulis cerpen berat rasa tak mampu walaupun berhajat sebenarnya...

hey, sape kata gaya bahasa herb tak best? smua orang ada citerasa sendiri tau...

membaca karya orang lain sebenarnya memberi inspirasi baru tau... melihat kecacatan diri dalam karya sendiri. banyak boleh belajarkan?
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 19-8-2009 10:01 AM | Show all posts
“Pernah,” kata Ustaz malu-malu, “tapi tidak lagi setelah tahu Widuri kena penyakit itu. Dan alhamdulillah, saya negatif.”


Aku terpana, tidak menyangka. Naimah berkerut ngeri membayangkan Ustaz sebagai seorang pondan dan Syikin mengekek-ngekek tergelak entah kenapa. Arif dan Hadi masih melopong barangkali masih cuba untuk memahami apa yang diperkatakan Ustaz.


Kalau harus mengkhayalkannya secara nyata maka kami harus mencukur habis janggut dan jambang Ustaz Hisyam agar tahu bagaimana wajahnya tanpa itu semua. Lalu ditambah rambut palsu dan sedikit kosmetik. Tapi sumpah kami tidak berani melakukannya.


“Lima belas tahun, nak. Lima belas tahun saya hidup di jalanan sebagai pondan. Tiga puluh dua tahun saya berjiwa wanita jika dihitung sejak lahir. Waktu yang lama, kan..? Saya takut kalian akan menyebarkan aib ini....”

“Tidak, Ustaz.... Tidak sama sekali. Kita kan sudah janji...” balas Naimah sungguh-sungguh. Malah kami semua turut mengangguk kepala mengiakan kata-kata Naimah.


Kami, biar pun kadangkalanya nakal namun ingat ajaran-ajaran mulia Ustaz selama ini. Allah menutupi aib kita seandai aib orang kita sembunyikan. Ternyata kisah lalu Ustaz adalah masa silam yang kelam. Sesungguhnya dia sudah berusaha sedaya upaya meninggalkan dosa-dosa tersebut.  Bukankah Ustaz sering mengingatkan di setiap kuliah Ustaz kepada kami bahawa orang yang bertaubat itu sungguh mulia di sisi Tuhan. Lalu layakkah kami untuk menghukum Ustaz di atas kekhilafan masa silammnya itu?


“Saya juga takut kamu semua kehilangan rasa hormat terhadap saya. Dan kamu tidak lagi mahu mengikuti kelas ilmu setelah tahu masa lalu saya.”


Aku memandang sedih Ustaz. Memang, di sebahagian sisi hati kami, kami sudah tidak lagi menghormati Ustaz Hisyam setelah tahu masa lalunya yang sungguh gelap. Tapi dia banyak berjasa dalam hidup kami dan masyarakat. Membuat kami berbeza dengan muda mudi lainnya. Syukur. Dan dari satu pihak itu adalah masa lalu Ustaz yang harus kami pertimbangkan. Manusia sering punyai dosa yang tersendiri, namun ketulusan memohon ampun pada dosa yang lalu bukankah ia menjadi suci seperti kelahiran seorang bayi?


“Tidak, saya masih menghormati Ustaz,”  kataku.   “Ustaz yang ajarkan kami mengeja a ba ta. Ustaz yang selalu mengarahkan kami ke jalan yang lurus. Hanya Ustaz sahaja... dan kami dulunya tidak masuk hitungan orang yang selalu memuliakan masjid ini yang dulunya sepi dan asing. Kalau tidak ada Ustaz, siapa yang akan azan, siapa yang memimpin jadi imam, siapa yang jadi khatib di hari Jumat? Hanya Ustaz. Hanya Ustaz cahaya masyarakat di sini. Masa lalu hanya masa lalu. Yang buruk dilupakan yang manis dikenang. Saya masih hormat kepada Ustaz.”

Kedua temanku mengangguk-angguk. Namun Arif dan Hadi sudah tersenguk dibayangi ngantuk barangkali tidak memahami topik yang tidak dapat dijangkau akal mereka yang berusia dua belas tahun itu.


“Lalu, Ustaz....  bagaimana Ustaz dapat jadi alim seperti sekarang?” tanya Syikin.

“Ya, ya.... bagaimana ceritanya..?” Aku juga penasaran. Pada aku babak yang paling menarik dan teruja pada setiap episod filem adalah endingnya yang menenangkan jiwa di mana kesemuanya berakhir dengan baik.

“Kerana ada bidadari turun dari langit,” kata Ustaz sambil tersenyum.

“Hah? Pondan jatuh cinta?”

“Begitulah. Saya dulu hanya jatuh cinta kepada sesama jenis. Bangsa-bangsa pondan hanya jatuh cinta kepada lelaki yang bertubuh sasa dan macho. Bagi kami itu pilihan paling tepat sekali. Kami sering menggoda para bodyguard yang menjaga pub-pub kelas atasan. Kebanyakan gagal dan hanya sedikit yang berhasil, termasuk Widuri. Widuri memang cantik. Dia laki-laki namun jiwa dan wajahnya adalah wanita. Tapi saya tidak pernah berhasil.”

“Siapa bidadari itu Ustaz? Once...?” tanya Syikin dan buat aku terbahak. Terlalu menggilai suara macho penyanyi Indon itu sehingga menyangka orang lain juga teruja sepertinya. Di depan aku, Arif dan Hadi sudah merengkuk di tepi dinding masjid, sudah begitu lena barangkali.

Aku, Syikin dan Naimah tertawa tapi Ustaz Hisyam mencuka. Lalu tawaku terhenti.

“Bukan, bukan laki-laki. Dia mahasiswi yang cerdas.”

“Aik boleh ke.... pondan suka hati sama perempuan?”

“Boleh, sebab mahasiswi itu yang menolong saya.”

“Ceritakan, Ustaz,” pinta kami.

“Suatu malam ada penangkapan. Hampir setiap bulan ada penangkapan beramai-ramai dan saya selalu lolos. Sebenarnya itu penangkapan pelacuran tapi kami para pondan selalu ikut dicekup. Malam itu saya berhasil bersembunyi di bawah jambatan dekat sebuah masjid. Sepatutnya waktu itu saya tidak bersembunyi di situ kerana mudah untuk diperiksa. Tiba-tiba seorang wanita mengusir rombongan penangkap pelacur itu. Dia cakap itu mengganggu tadarus yang sedang dilakukan di masjid itu dan tidak akan ada pelacur dan pondan yang mau mendekati masjid. Rumah suci tak akan disentuh orang-orang macam kami. Akhirnya pengawai dan polis itu berganjak pergi.”

Ustaz Hisyam menghela nafas berat dan menyambung kemudiannya;

“Namun tiba-tiba dia menemukan saya sedang membongkok bersembunyi di bawah jambatan itu. Dia terkejut namun akhirnya tersenyum lebar. Dia membawa saya ke bilik sewaannya. Saya tinggal di sana beberapa hari. Saya banyak ditanyai tentang kehidupan saya sebagai pondan. Katanya, dia tertarik dengan manusia macam kami dan berniat menjadikan kami sebagai kajian utama jurusan pengajiannya.”

Kami semakin asyik mendengar cerita Ustaz.

“Dia mempelajari jurusan psikologi dan lulus sarjana muda berkat kebersediaan saya untuk terus ditemuramahya. Setelah tamat belajar dia meminta saya tinggal di bilik sewaannya sewaktu dia pulang ke kampung halamannya di Bantul, Jogja. Satu setengah tahun saya tinggal di bilik itu dan perbelanjaan hidup saya dia yang menanggung. Dia sering mengunjungi saya dan berbincang-bincang tentang kehidupan. Selama kunjungannya itulah dia menyembuhkan saya.”

“Menyembuhkan?”

“Ya. Dia membuat saya semakin sedar bahwa saya adalah laki-laki. Menurutnya tidak ada jiwa wanita dalam tubuh laki-laki, itu hanya gangguan jiwa. Dalam kajiannya, dia menyimpulkan, yang membuat saya menjadi pondan adalah pergaulan di masa kecil. Lebih banyak kesempatan untuk bertemu dengan teman perempuan daripada teman laki-laki membuat saya terus seperti itu. Juga faktor keluarga. Kedua kakak saya perempuan dan saya cenderung mengikuti jejak mereka. Pada masa-masa tinggal di bilik sewanya itu saya mulai menemukan bahagian jiwa saya yang laki-laki. Sifat-sifat kejantanan.”

Syikin tertawa dan aku menjengilnya lagi agar ia diam.

“Sesuatu yang mengejutkan kala dia menyatakan cinta kepada saya dan mengajak saya bernikah. Tentu saja saya rasa terpana kerana saya seorang pondan dan pasti orang tuanya akan menolak jika anaknya saya nikahi. “

“Wah, ternyata pondan laku jugak....” ujar Syikin dalam tawa kecil dan aku menjegilnya lebih keras.

“Tapi dia memaksa dan menyuruh saya berbohong di depan orang tuanya. Dia memberi saya waktu satu tahun lagi untuk mengubah sikap dan tingkah laku saya menjadi seorang laki-laki tulen. Dalam waktu satu tahun itu saya menemukan bahawa agamalah yang dapat menuntun saya menjadi seorang laki-laki. Saya ingat masa kecil dan tahu bahawa saya seharusnya beragama Katolik kerana ibu bapa saya adalah orang Katolik. Tapi dia menuntun saya kepada Islam. Begitu terkejutnya saya mengetahui bahawa Al Quran mengancam orang-orang yang berusaha menyerupai lawan jenisnya. Saya akhirnya faham dan menyesali. Nama wanita itu Maya, itu ‘nama perempuan’ saya dulu.”

“Sekarang isteri Ustaz yang namanya Maya itu di mana? Saya tidak pernah pum melihatnya?” tanyaku menyelidik.

“Dia meminta saya menceraikannya kerana saya kembali kepada kebodohan saya sendiri. Empat tahun setelah bernikah saya kembali menjadi pondan kerana mengikut teman-teman dan dia sangat kecewa. Sekarang dia bernikah dengan lelaki lain dan saya harap dia bahagia. Sekarang dia tinggal di Kalimantan bersama puteranya, putera saya juga. Saya kembali insaf dan memutuskan untuk mempelajari agama lebih dalam. Saya memutuskan pindah ke sini jauh dari teman-teman dan berdakwah sampai sekarang.’’

Dia menghela nafas panjang dan aku melihat wajahnya serius sekali sebentar dia tertunduk kemudian mengangkat kembali wajah bersihnya itu menyambung bicara.

”Kalau kita benar-benar bertaubat kita harus berhijrah, nak.... saya lari jauh dari teman-teman supaya saya tidak mencari mereka dan mereka tidak dapat mencari saya. Pengaruh teman salah satu punca kenapa saya tidak dapat lari menjadi pondan. Ya.... akhirnya saya putuskan lari sejauh-jauhnya dari mereka, demi agama, demi Tuhan yang Maha Pengampun,’’ dia berbicara sayu dan airmatanya menitis lagi.
Aku dapat merasakan dia benar-benar bertaubat dan menginsafi kejadian yang menimpa dirinya selama ini.

Rupanya semakin panjang hidup ini semakin banyak tragedinya.

Ustaz Hisyam mengakhiri kisahnya dan kami terdiam. Tiba-tiba Naimah menangis.

“Laa...?” kataku tapi yang lain mengabaikan.

“Kalau pondan boleh insaf bererti tomboy tentu sekali boleh lakukan hal yang sama, kan Ustaz..?” tanya Syikin.

“Ya, iyalah, sayang. Yang itu lebih mudah kok.. seperti mbak yang khilafin,” kata Ustaz Hisyam gedik sambil mengedip-kedipkan matanya. Dialog Indonnya ternyata pekat sekali.

Naimah tertawa tapi aku yakin Ustaz tidak sedang main-main. Dia jadi pondan lagi tanpa disedari.



Tamat.
Reply

Use magic Report

Post time 21-8-2009 05:05 PM | Show all posts
Adeh... Jadi pakar pondan plak dah encik kentang kita ni...
Reply

Use magic Report

Post time 24-8-2009 08:50 AM | Show all posts
citer bintang memang pendek2 kan...
pape pun TAHNIAH...
Reply

Use magic Report

Post time 24-8-2009 03:58 PM | Show all posts
nice story......
ni untuk bintang :
:pompom::pompom::pompom::pompom::pompom::pompom::pompom::pompom::pompom::pompom::pompom::pompom::pompom::pompom::pompom::pompom::pompom::pompom:
Reply

Use magic Report

Post time 26-8-2009 12:16 PM | Show all posts
nice storyyyyyyy..thanks bintang:pompom:
Reply

Use magic Report

Post time 10-3-2010 12:03 PM | Show all posts
suka ngan citer2 cik bintangg
Reply

Use magic Report

Post time 11-3-2010 05:10 PM | Show all posts
dah abis dah tapi penuh dengan pengajaran
Reply

Use magic Report

Post time 8-2-2011 12:34 AM | Show all posts
orang alim jg ada kisah silam..
dan orang tak alim masih punyai masa depan...

Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


Post time 2-8-2015 06:40 PM | Show all posts
Ini psl gay yg berubh.what if org tu biseks? jrg diperbincangkn...
Iustaz yg insaf kerna msa  silmnya lebih mulianya dari ustaz yang rogol murid lelakinya.camne tu?
Reply

Use magic Report

You have to log in before you can reply Login | Register

Points Rules

 

ADVERTISEMENT



 

ADVERTISEMENT


 


ADVERTISEMENT
Follow Us

ADVERTISEMENT


Mobile|Archiver|Mobile*default|About Us|CARI Infonet

20-4-2024 01:59 PM GMT+8 , Processed in 0.440955 second(s), 43 queries .

Powered by Discuz! X3.4

Copyright © 2001-2021, Tencent Cloud.

Quick Reply To Top Return to the list