[size=12.1599998474121px]EYE FOR EYE, TOOTH FOR TOOTH ….
Anda kenal Raja Hammurabi dari Babylonia? Ya iyalaah … maksud saya tahu ceritanya gitu … bukan kenal langsung sampai punya nomor hape, account e-mail, atau tercatat di face book …
Raja Hammurabi adalah orang hebat (ada juga yang mengatakan ‘gila’) yang menciptakan “Code of Hammurabi” atau Hukum Hammurabi, salah satu dari beberapa hukum tertulis yang dibuat beberapa ribu tahun yang lalu. Sebelum ada hukum tertulis, titah raja berlaku sebagai hukum, sehingga tidak ada standar yang sama dan mengikat untuk seluruh rakyat. Code of Hammurabi ini menjadi dasar bagi berbagai aturan hukum yang berlaku di dunia modern saat ini.
Oke, kita kenalan dulu yuuk dengan Pak Hammurabi. Saya kenal Hammurabi pertama kali pada mata kuliah Aspek Hukum di Bidang Konstruksi. Salah satu hukum Hammurabi yang berkaitan dengan bidang konstruksi berbunyi demikian : “Tukang batu yang membuat rumah, dan rumah itu ambruk sehingga menewaskan penghuni yang ada di dalamnya, maka tukang batu tersebut harus dihukum mati”. Holoh, holoh ….
Hukum yang ‘mengerikan’ tersebut sesungguhnya memiliki filosofi tentang jaminan mutu dan profesionalisme, dimana setiap orang harus memiliki profesionalitas dalam bekerja, dan bertanggungjawab atas hasil pekerjaannya.
Hammurabi adalah raja ke enam dari kerajaan Babylonia, yang menguasai seluruh wilayah Mesopotamia yang subur. Ia lahir pada tahun 1795 BC, dan meninggal pada tahun 1750 BC. Hammurabi seorang raja yang sangat tegas dan disiplin. Ia ingin segala sesuatu berjalan dengan tertib dan teratur, dan semua orang menaati peraturan.
Pada suatu ketika, ia merasa kesal karena banyak gubernur di wilayah kekuasaannya yang tidak mau mengirimkan tentara untuk berperang. Maka ia memerintahkan semua gubernur untuk datang menghadap. Berdatanganlah para pemimpin wilayah itu, dari berbagai suku di Afrika dan Asia Barat. Mereka datang dengan pakaian kebesaran masing-masing. Ada yang datang dengan jubah sutera dan perhiasan emas-perak, ada yang menutup tubuhnya dengan bulu binatang, ada yang hanya bercawat dan melumuri tubuh serta wajahnya dengan cat warna warni, ada yang berambut panjang terjurai-jurai, ada yang mencukur plontos kepalanya. Pokoknya semua tampil dengan ‘dandanan terbaik’ mereka, menurut versi suku dan budaya masing-masing.
Hammurabi kaget melihat rakyatnya yang aneka corak itu. Kerajaan apa ini, yang rakyatnya gado-gado seperti ini, pikirnya. Ini bukan kerajaan yang tertib dan rapi, tapi panggung sirkus, geramnya dengan kesal. Jika dandanan mereka saja centang prenang, amburadul, pasti perilaku mereka pun semau-mau sendiri. Hammurabi urung memberi ceramah tentang pentingnya mengirimkan tentara bagi kerajaan, dan menyuruh semua gubernur dan utusan wilayah itu untuk pulang.
Hammurabi kemudian memilih orang-orang kasim yang paling pintar (pada masa itu, orang kasim memiliki kedudukan yang terhormat dan terpercaya di kerajaan), dan menyuruh mereka membuat suatu hukum yang akan mengatur perilaku seluruh orang di wilayah kekuasaan kerajaannya. Maka terciptalah Code of Hammurabi yang terdiri atas 282 hukum. Hukum Hammurabi ini bersifat spesifik, dan selalu disertai dengan sanksi yang berat. Jika dilihat dari perspektif modern masa kini, sanksi yang diberikan oleh Hukum Hammurabi sangat mengerikan, sering kali berupa potong tangan atau hukuman mati. Harus kita pahami, bahwa hukum ini diciptakan hampir empat ribu tahun yang lalu, dimana kehidupan masyarakat pada saat itu masih sangat bar-bar. Maka agar orang takut, ancaman hukuman pun harus memiliki tingkat kekejaman yang tinggi.
Filosofi yang dianut pada penyusunan Code of Hammurabi adalah “Eye for Eye, Tooth for Tooth”, filosofi ‘law of retalitation’ atau filosofi balas dendam.
Beberapa contoh hukum Hammurabi antara lain : seorang biarawati akan dibakar hidup-hidup jika kedapatan memasuki penginapan tanpa ijin, seorang dokter bedah yang pasiennya meninggal saat dalam penanganannya akan kehilangan sebelah tangannya, orang yang mencuri akan dipotong tangannya, orang yang berbohong akan dipotong lidahnya, orang yang …. wah, sudah ah, ngeri …
Ada juga hukum yang ‘a-moral’, yaitu : seorang peminjam dapat menghapus hutangnya setelah tiga tahun bila ia menyerahkan isteri atau anaknya kepada sang pemberi hutang (bersyukurlah semua wanita yang hidup pada zaman sekarang, yang bisa menolak jika akan dipakai untuk membayar hutang). Pada masa itu, perempuan berada pada posisi yang sangat direndahkan, tidak memiliki hak apa pun atas dirinya. Ia dianggap seperti barang yang dimiliki oleh ayah atau suaminya, yang boleh diperlakukan sesuka hati oleh laki-laki yang menguasainya.
Tetapi ada juga hukum yang melindungi perempuan, yaitu : seorang janda berhak mendapatkan warisan sejumlah yang diterima anak lelakinya. Mengingat bahwa pada saat itu perempuan sama sekali tidak memiliki hak (termasuk tidak memiliki hak atas harta benda), dan janda yang ditinggal mati suaminya berada pada posisi paling lemah (karena ia menjadi ‘barang tak bertuan’ yang boleh ‘diambil’ oleh siapa pun), maka hukum ini merupakan pembelaan dan perlindungan yang sangat besar maknanya bagi perempuan.
Gambar di atas menunjukkan Hammurabi yang menerima Code of Hammurabi dan penghormatan dari dewa Babylonia, yaitu Dewa Marduk atau Shamash. Relief tersebut terdapat pada bagian atas prasasti Hammurabi yang sekarang disimpan di Musee du Louvre, Paris. Prasasti ini terbuat dari batu, tingginya sekitar 2 meter dengan lebar 70 cm. Di bawah relief tersebut dipahatkan hukum Hammurabi yang terdiri atas 282 pasal dalam bahasa Akkadian. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1901 oleh seorang egyptologist (ahli tentang Mesir) bernama Gustave Jequier di Khuzestan, Iran.
Setelah hukum Hammurabi selesai disusun oleh orang-orang kasim jempolan itu, hukum tersebut kemudian dipahat pada lempengan-lempengan batu dan dipasang di tempat umum, sehingga seluruh rakyat bisa membacanya. Prasati itu diperbanyak dan disebarkan ke seluruh wilayah kekuasaan Hammurabi yang sangat luas.
Hammurabi sangat puas berhasil menciptakan hukum bagi seluruh umatnya. Dia, yang menganggap diri adalah dewa, berkeyakinan bahwa setelah hukum itu diundangkan, rakyat di seluruh wilayah kekuasaannya akan hidup tertib, rapi, semua terkontrol, dan semua memiliki standar perilaku yang sama.
Tapi apa yang terjadi?
Oleh karena pasal-pasal dalam hukum Hammurabi dibuat sangat spesifik, dan kebanyakan mengacu pada keadaan yang ditemui di Mesopotamia serta ditulis dalam bahasa Babylonia, maka kekacauan terjadi di wilayah-wilayah yang memiliki budaya dan bahasa berbeda.
Suatu ketika, tiga orang utusan membawa batu prasasti bertuliskan hukum Hammurabi ke daerah Hinterland. Mereka melintasi gurun yang sangat luas dan panas tak terkira selama berhari-hari. Ketika akhirnya tiba di sebuah oase, mereka yang sudah sangat kehausan itu ingin minum. Namun, mereka kebingungan ketika membaca aturan nomor 214 yang berbunyi : “Barang siapa yang ingin minum pada saat ia sedang bepergian harus segera mengikat keledainya pada sebatang pohon dengan aman”.
Peraturan ini sesungguhnya dimaksudkan untuk melindungi keledai dari perlakuan pemiliknya yang sewenang-wenang, karena binatang ini memiliki nilai yang tinggi di tanah milik Hammurabi. Celakanya, para pembawa prasasti ini berasal dari Hinterlands, dan pada aturan itu keledai disebut dengan istilah “ass”, sementara dalam bahasa Hinterlands, “ass” berarti pantat. Lagipula, orang-orang tersebut tidak membawa keledai, melainkan onta. Maka, mereka mengikatkan pantat mereka ke pohon, dan meregangkan tubuh mereka untuk mencapai tepian danau di oase tersebut agar bisa minum. Namun karena jarak pohon tersebut terlalu jauh, maka mereka tak pernah berhasil mencapai tepian danau, dan akhirnya tewas. Adapun onta-onta yang mereka tunggangi, setelah minum sepuas-puasnya, lalu melenggang pergi meninggalkan ketiga tuannya. Karena tidak tahu tujuannya, onta-onta itu tersesat dan tidak pernah sampai ke Hinterlands. Maka hukum Hammurabi tidak pernah diterapkan di wilayah itu.
Kisah sedih yang lain terjadi di Etiopia. Di sini, terdapat kebiasaan yang mengharuskan seorang pembuat roti menyisakan satu loyang roti setiap kali mereka memanggang, sebagai derma bagi kaum miskin. Roti ini ditaruh di sebuah jendela, dan para fakir miskin akan mengambilnya karena tahu roti itu memang disediakan untuk mereka. Tradisi yang terpuji ini sudah berlaku dari generasi ke generasi, dan menjadi pranata sosial yang membuat orang miskin hidup tenteram. Tapi hukum Hammurabi mengubah semua itu.
Hukum no 764 berbunyi : “Barang siapa mengambil barang apa pun yang tidak ia beli, dinyatakan bersalah atas tuduhan pencurian dan akan kehilangan tangannya.” Empat puluh orang papa kehilangan lengan mereka satu hari setelah prasasti hukum Hammurabi tiba di tempat itu.
Masih banyak kisah tragis pada penerapan hukum Hammurabi, akibat salah persepsi dan pengingkaran perbedaan budaya di berbagai wilayah. Namun demikian, Code of Hammurabi merupakan cikal bakal dari hukum tertulis yang kemudian diterapkan di dunia modern.
Relief Hammurabi dapat ditemukan di berbagai gedung pemerintahan di Amerika Serikat. Hammurabi adalah satu dari 23 pembuat hukum yang reliefnya terdapat di U.S. House of Representatives di United States Capitol. Relief Hammurabi yang menerima Code of hammurabi dari Dewa Shamash juga terdapat pada dinding selatan U.S. Supreme Court Building.
Nah, jika anda merasa diri keturunan dewa, raja yang memiliki kekuasaan mutlak, dan ingin mengatur kehidupan manusia menjadi lebih baik, barangkali bisa mencoba membuat hukum sendiri. Tentu saja hukum yang sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat saat ini. Keren kan, kalau nanti ada “Code of Gundul Pacul” atau “Hukum Ompung Ompong” ….
Ah, bercanda aja lu …