CARI Infonet

 Forgot password?
 Register

ADVERTISEMENT

12Next
Return to list New
View: 31699|Reply: 29

KISAH CANDI-CANDI & SITUS BERSEJARAH DI INDONESIA

[Copy link]
Post time 19-4-2007 11:03 PM | Show all posts |Read mode
CANDI BOROBUDUR




Keberadaancandi Borobudur ditemukan牋oleh GubernurJenderal Sir Thomas Raffles

padatahun 1814. Saat itu Belanda dan Inggris berperang dan sempat wilayah nusantaradipimpin oleh Inggris. Saat Raffles berkunjung ke Semarang, ia mendapat laporanada bukit yang penuh dengan relief. Bersama dengan H.C. Cornelius, seorangBelanda, disertai 200 orang dimulailah pembersihan situs berbentuk bukittersebut.




Tahun1835 dan seterusnya mulailah tampak wujud sebenarnya bagian atas candi,diteruskan bertahun-tahun hingga dianggap selesai pada tahun 1850-an. Dan padatahun 1873 seorang artis Belanda, F.C. Wilsen, menerbitkan monograf pertamarelief-relief candi Borobudur, hingga kemudian Isidore van Kinsbergen memotretcandi tersebut. Namun saat itu status dan struktur candi Borobudur masihdiyakini tak stabil.

Awalabad ke-20 dilakukan restorasi besar-besaran oleh Theodoor van Erp, yangbertugas di Magelang, sekaligus tergabung ke dalam Borobudur Commission. Erpmelakukan metoda yang disebut anastylosis, yaitu suatu metoda untukmerekonstruksi bangunan tua bersejarah dengan perhitungan, simulasi, disassemblydan disusun kembali dengan bantuan batu, plester, semen untuk menahan strukturdan bagian yang telah hilang. Namun upaya ini kurang sukses karena kurangnyadana, sehingga Erp hanya fokus pada restorasi struktur dan drainase. [Fotokoleksi van Erp, dari ProjectJigsaw, ANU]


Tahun1973 hingga 1984 UNESCO ikut membantu dalam upaya restorasi dan pendanaan candiini. Dibongkar lebih lengkap, struktur tanah dan bukit diperkuat, serta kembalibatu-batu disusun hingga tampak kemegahannya hingga sekarang. UNESCO punmemasukkannya ke dalam daftar World Heritage Siteatau Warisan Dunia UNESCO.


21Januari 1985 beberapa stupa hancur karena serangan ledakan bom. Beberapa waktulalu pembangunan di sekeliling candi juga menjadi isu kontroversial. Terakhir,kejadian gempa di Yogyakarta tidak membuat kerusakan struktur candi ini.
Dongengsetempat mengatakan Gunadharma memimpin pembuatan candi ini di jaman Satilendradi akhir abad ke-8. Menurut seorang akademisi Belanda, nama Gunadharma adalahmurni bahasa Sansekerta yang berarti dongeng rakyat tersebut bersumber darifakta sejarah, sebab dongeng rakyat yang semata-mata dongeng hanya menampilkanfigur nama lokal/setempat.

According to local legend, thisis the body of Borobudur’s legendary architect Gunadharma, who has elected toremain in the area in order to keep watch over his creation. Since Gunadharmais a pure Sanskrit name, the Dutch scholar N.J. Krom thought that this locallegend might actually be based on some historical figure. Javanese folk talestypically present figures that bear the names of local, rather than Indiancharacters.
–

Rate

1

View Rating Log

Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


Post time 22-5-2007 12:08 PM | Show all posts
aku pernah dgr, candi2 nie dibuat oleh seorang raja disana dengan tujuan utk meminang seorang puteri. Ianya dibuat dalam satu malam sahaja dengan bantuan jin. Namun puteri yang ingin dipinang tidak suka kat raja nie telah membuat helah dngan membunyikan ayam jantan berkokok menyebabkan jin2 yang menolongnya menyangka usdah siang dan hanya mampu menyiapkan 99 candi shja berbanding 100 candi seperti yang dijanjikan.

wallahualam..

Rate

1

View Rating Log

Reply

Use magic Report

 Author| Post time 2-6-2007 12:42 PM | Show all posts
Keindahan di Puncak Borobudur
Gede Prama

Borobuduradalah sebuah "buku tua" yang terbuka. Banyak yang mencoba membacanya.Namun, seperti buku lain, kebenarannya jadi probabilistik ketika diolaholeh pikiran manusia.

Dalamterang pemahaman seperti ini, tidak ada niat sepercik pun untukmenempatkan keping-keping keindahan dalam tulisan ini sebagaisatu-satunya keindahan. Untuk itu, izinkan tulisan ini melaksanakantugas probabilistiknya.

Sepertimau diolah arsiteknya, dalam kawasan Borobudur terbentang garis lurusyang menghubungkan tiga candi: Mendut, Pawon, Borobudur. Hampir semuapengunjung biasa maupun peziarah spiritual memulai kunjungan atausetidaknya melewati Candi Mendut lebih dulu.

Kendatitidak besar, Mendut menyimpan banyak pesan. Di bagian luar, ada reliefkura-kura menggigit kayu yang diterbangkan dua burung. Melihatkeindahan ini, sejumlah anak berteriak gembira: "duh burung betapaindahnya ide kalian!". Kontan saja kura-kura menjawab: "bukan ideburung, ideku!". Dan setelah jatuh, matilah kura-kura dengan badanberantakan berkeping-keping.

Setiaporang boleh punya penafsiran, namun perjalanan suci menuju Borobudurseperti diingatkan di pintu awal, hati-hati dengan ego. Membuka mulutatas nama ego, berisiko begitu besar.

Kelembutan vs ketekunan

Didalam Candi Mendut, tersimpan tiga patung megah: Buddha diapitkelembutan Avalokiteshvara dan ketekunan Vajrapani. Seperti mauberpesan, setelah sadar akan bahayanya ego, temukan kebuddhaan diBorobudur dengan dua spirit: lembut pada orang lain, penuh ketekunanpada diri sendiri.

Dapur(pawon) adalah tempat memasak. Bahannya jelas, hati-hati membuka mulutatas nama ego, untuk orang lain hanya ada kelembutan, untuk diritersedia ketekunan. Ini yang dimasak matang di Candi Pawon.

Bedadengan makanan sebenarnya yang diolah sekali waktu di tempat tertentu,makanan batin diolah setiap saat di tiap tempat. Itu sebabnyaorang-orang Zen menyebut meditasi sebagai makan ketika lapar, tidursaat mengantuk. Atau keseharian itulah meditasi. Keseharianlah tempatkita memasak makanan-makanan batin.

Meminjampesan sejumlah guru, dalam keadaan mata tertutup maupun terbuka,jadilah saksi penuh kasih (compassionate witness) terhadap apa sajayang muncul saat meditasi. Baik-buruk, suci-kotor, sukses-gagalsemuanya disaksikan dengan penuh kasih.


Siapapun yang lama berlatih penuh ketekunan menjadi saksi kasih, mengisikeseharian dengan kelembutan, akan merasakan kalau Borobudur menyimpanjauh lebih dari sekadar tumpukan batu-batu yang diukir.

Sebagairangkaian makna, Borobudur kerap diceritakan sebagai gunung kehidupan,berisi alam nafsu di bawah, alam bentuk di tengah, alam tanpa bentuk diatas. Namun, setelah membaca tanda-tanda awal di Mendut, mengolahnyadalam keseharian berisi ketekunan dan kelembutan, tersedia penafsiranlain. Borobudur adalah perjalanan pembersihan batin dari segalakekotoran (serakah, benci, bodoh, dan lainnya).

Dibagian bawah terpampang kekotoran batin yang kasar ala nafsu badaniah.Di atasnya, terpampang kisah-kisah indah Siddharta Gautama. Darikelahiran,
pencerahan sampai menjadi guru manusia sekaligus dewa.Namun, tanpa kewaspadaan cukup, kisah-kisah para suci bisa menjadisumber kekotoran batin.

Terutama jika kisah para suci digunakan untukmenghakimi kehidupan. Guru ini salah, aliran itu salah, dan jadilahkisah para suci sumber amarah, permusuhan. Mempelajari kisah para sucitentu baik, membadankannya dalam keseharian lebih baik lagi, namunwaspada jika kesucian juga bisa menjadi awal kekotoran batin adalahpraktik meditasi yang membuat keseharian jadi bersih.

Kesucianyang dijaga kewaspadaan inilah lalu membukakan pintu pemahaman tanpakata. Persis seperti bagian atas Borobudur yang tidak lagi berisirelief. Hanya lingkaran sempurna, diisi stupa, di tengahnya berisiBuddha dengan mudra memutar roda Dharma. Tanpa kata, tanpa penghakiman,hanya gerak keseharian yang melaksanakan kesempurnaan ajaran.

Mudahdipahami jika Dr Rabindranath Tagore (pemenang Nobel pertama dari luarEropa), yang datang ke Borobudur 23 September 1927, lalu menulisrangkaian kesempurnaan ala Borobudur di Visva Bharati News.

Tiaprangkaian kalimat indah Tagore tentang Borobudur selalu diakhiridengan, "let Buddha be my refuge". Biarlah kuberlindung padasifat-sifat bajik di dalam diri. Artinya setiap batin yang bersih akanmengambil perlindungan hanya pada sifat-sifat bajik di dalam diri.

Perhatikanpuncak perjalanan Tagore saat menulis Borobudur. Bila waktunya tiba,digapainya keheningan suci itu, yang berdiri diam di tengah geloraabad-abad keriuhan, sampai dia dipenuhi keyakinan, dalamketidakterbatasan, ada makna kebebasan tertinggi, yang bergumamsekaligus bergetar: "biarlah kuberlindung pada sifat-sifat bajik didalam diri

Rate

1

View Rating Log

Reply

Use magic Report

Post time 2-6-2007 01:45 PM | Show all posts
Candi Dibina untuk dijadikan kubu Pertahanan, Makam atau Kuil...???
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 3-6-2007 04:03 AM | Show all posts
Pemugaran Candi Muarojambi (Kerajaan Melayu Kuno)



Jambi (ANTARA News) - Pemugaran 83 unit situs Candi Muarojambi di Kabupaten Muarojambi berjarak 35 km arah timur Kota Jambi baru selesai 10 persen.


Berdasarkan master plan yang telah dibuat pemugaran itu akan dilanjutkan pada 2007 kerjasama Pemprov Jambi, Balai Peninggalan Sejarah dan Suaka Purbakala, dan Himpunan Pelestarian Candi Muarojambi, kata Gubernur Jambi, H Zulkifli Nurdin di Jambi, Sabtu.

"Pemugaran Candi Muarojambi untuk menyelamatkan peninggalan sejarah amat berharga itu dari ancaman kepunahan," ujarnya.

Pemugaran situs candi selain untuk melestarikan aset nasional dari ancaman kepunahan akibat ulah manusia, juga untuk memajukan sektor pariwisata di Jambi yang nantinya melibatkan investor dalam dan luar negeri.

Misalnya setiap pengusaha memugar satu candi. Situs Muarojambi peninggalan abad IX dan XIV sebelum masehi itu juga merupakan salah satu benteng pertahanan Kerajaan Sriwijaya dan Melayu Kuno.

Di kawasan itu juga ada benteng dan sungai yang mengelilinginya, serta gundukan tanah (menapo), dan patung Prajnaparamita.

Para ahli berpendapat situs Candi Muarojambi masa lampau juga komplek peribadatan agama Budha.

Sebab itu berbagai penelitian, pemugaran dan rekonstruksi akan terus dilakukan.

Situs Candi Muarojambi juga berhubungan erat dengan Kerajaan Melayu Kuno yaitu sebuah kerajaan lokal yang pada awal abad VII Masehi pernah mengirim utusan ke China.

Kerajaan itu hidup hingga abad XV dengan dua kali berpindah tempat ke arah hulu Sungai Batanghari yaitu ke Dharmasraya dan Pagaruyung Sumatera Barat.

Ia menjelaskan, tindak lanjut pemugaran Candi Muarojambi seluas 2.025 hektare karena masih terdapat puluhan reruntuhan candi dan sisa aktifitas yang mencerminkan hubungan luas penduduk masa itu dengan dunia luar melalui perdagangan, dan mungkin pula keagamaan.

Jika dilihat keragaman simbol-simbol sejarah (artefak) yang ditemukan memperlihatkan adanya hubungan erat dengan komunitas lain di Sumatera, daratan Asia Tenggara, China, India hingga Timur Tengah.

[ Last edited by  jf_pratama at 30-6-2007 01:44 AM ]
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 3-6-2007 04:18 PM | Show all posts
Situs Melayu Memesona
Dari Seratusan Candi, Baru Tujuh Dipugar


Jambi, Kompas - Wisata kepurbakalaan peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan tradisi Melayu di Provinsi Jambi dianggap memiliki pesona tersendiri, lebih lagi karena banyaknya situs yang belum dipugar. Masalah klasik terbatasnya dana pemugaran mengakibatkan pengembangan potensi wisata budaya itu terasa lambat.

Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin pekan lalu mengemukakan, sebenarnya masih banyak potensi peninggalan benda purbakala yang belum ditemukan. Keterbatasan dana pemerintah daerah membuat program pemugaran dan pelestarian banyak situs purbakala yang sudah ditemukan berjalan sangat lambat.

"Pemerintah Provinsi Jambi punya komitmen untuk menghidupkan kembali kejayaan peninggalan sejarah yang ada di wilayah ini, terutama dari peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Karena itu, Pemprov Jambi terbuka bekerja sama dengan berbagai pihak yang peduli terhadap upaya pemugaran dan pelestarian situs kepurbakalaan yang tersebar di wilayah ini," kata Zulkifli Nurdin, seusai menghadiri Perayaan Waisak Nasional yang pertama di kawasan Candi Muara Jambi di Jambi, Jumat (1/6).

Zulkifli menjelaskan, dari sekitar seratus candi peninggalan masa lalu yang sudah ditemukan, baru sekitar tujuh candi yang sudah dipugar. Jumlah yang teramat sedikit, padahal pesona situs purbakala itu amat menawan.

"Sayang jika candi-candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya, yang pada zamannya juga sangat terkenal di dunia, ini justru hampir terlupakan. Pemprov Jambi sangat mendukung saat umat Buddha ingin menghidupkan kembali keagungan Candi Muara Jambi yang dulunya sebagai pusat agama Buddha. Dengan memakai ikatan emosional ini, mudah-mudahan umat Buddha di dunia juga bersedia mendukung pemugaran candi yang tidak kalah pentingnya dengan Candi Borobudur di Jawa," kata Zulkifli.

Sekretaris Umum Pengurus Pusat Majelis Buddhayana Indonesia Budiman mengatakan, umat Buddha mendukung pemugaran kawasan Candi Muara Jambi itu, dan mengembangkannya sebagai kekayaan warisan budaya. Budiman berharap Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) juga mau membantu pemugaran dan pelestarian warisan kekayaan dunia ini.

Terhenti


Dari pantauan Kompas, kawasan Candi Muara Jambi memang belum tergarap maksimal. Di beberapa tempat terlihat pemugaran candi yang terhenti. Meski masih belum sepenuhnya bisa dipastikan, lokasi tersebut dulunya diyakini sebagai lokasi Kerajaan Sriwijaya.

Situs Candi Muara Jambi yang terletak di tepi Sungai Batanghari merupakan situs purbakala terluas di Indonesia. Total luas situs ini sekitar 12 kilometer persegi, atau sekitar 10 kali luas kawasan Candi Borobudur.

Di kawasan ini ada Candi Gumpung yang terletak di pusat kunjungan wisata Percandian Muara Jambi. Selain itu, ada juga Candi Tinggi, Candi Astano, Candi Kedaton, dan Kolam Telagorajo.

Zulkifli mengatakan, Pemprov Jambi sudah memperoleh komitmen dari seorang konglomerat nasional yang bersedia membiayai pemugaran candi. "Jika satu konglomerat bersedia memugar satu candi, tentu benda-benda purbakala di Jambi bisa terselamatkan. Ini akan memberi nilai ekonomi bagi masyarakat sekitar dan pemerintah daerah," ujar Zulkifli. (ELN)


[ Last edited by  jf_pratama at 30-6-2007 11:12 PM ]
Reply

Use magic Report

Follow Us
 Author| Post time 4-6-2007 07:57 PM | Show all posts
Pemugaran Candi
Dari Borobudur untuk Prambanan


YUNI IKAWATI

Setahun sudah kejadian gempa Yogya berlalu. Namun, penderitaan masyarakat masih belum beranjak dari sana, dan berbagai masalah pun belum terselesaikan, di antaranya soal kerusakan Candi Prambanan.

Bebatuan yang tersusun dan terukir menjadi bangunan yang indah bentuknya itu adalah paduan karya arsitektur dan budaya yang tak ternilai serta mempunyai multimanfaat. Borobudur dan Prambanan dua di antara puluhan hingga ratusan situs candi yang pernah ditemukan di Indonesia adalah ikon atau ciri khas budaya Nusantara di mata dunia.

Bagi masyarakat Buddha dan Hindu, dua obyek peribadatan itu wajib dikunjungi untuk melakukan prosesi ritual mereka pada hari-hari besar keagamaan. Pada hari Waisak, Jumat (1/6) pekan lalu, misalnya, umat Buddha berbondong-bondong mendatangi "rumah peribadatan" Bodobudur itu.

Ketika candi Buddha Mahayana yang dibangun pada abad ke-10 itu mengalami kerusakan berarti pada tahun 1948, Pemerintah Indonesia pada tahun 1965 meminta dukungan dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) untuk melakukan perbaikan.

Pada tahun 1968, profesor Soekmono, seorang arkeolog, meluncurkan kampanye "Save Borobudur" dan memimpin proyek besar restorasi itu. Lebih dari 15 tahun dan 20 juta dollar AS diperlukan untuk pemugaran Borobudur, dan melibatkan tenaga profesional dari 27 negara. Selama masa restorasi yang memakan waktu 8 tahun, lebih dari satu juta blok batu dipindahkan dan dipasang kembali seperti menata kepingan jig-saw puzzle. Ada 13.000 panel batu pahatan yang harus dibersihkan dan dirawat untuk preservasi.

Untuk megaproyek ini dilibatkan para insinyur, ahli kimia, biologi, arkeologi, dan arsitektur yang saling berbagi keahlian dalam mengatasi masalah tersebut. Mereka di antaranya menerapkan beberapa teknik konservasi baru, termasuk prosedur baru untuk mengatasi kerusakan batuan oleh mikroorganisme.

Di antara pakar yang terlibat adalah doktor teknik sipil, Vijay K Khandelwal dari IBM India, yang sebelumnya juga menangani restorasi candi di negaranya. Memperingati 70 tahun berdirinya IBM Indonesia, 26 Mei 2007, dipamerkan dokumentasi hasil aplikasi komputer untuk membantu restorasi Borobudur.

Dalam laporannya pada tahun 1975, Vijay yang melaksanakan proyeknya selama dua tahun menjelaskan, peran komputer terutama dalam melaksanakan tiga tugas penting untuk pemugaran Borobudur, yaitu pengendalian proyek, meregistrasi batuan, dan memadupadankan batuan yang hilang dan rusak atau terlepas dari susunannya (matching missing stones).

Dalam proses pemugaran Borobudur, sekitar 750.000 batuan yang penting diberi nomor sebelum diurai. Akurasi sistem pelaporan ini akan menjamin tidak ada batu yang mendapat perlakuan kimiawi yang salah, kesalahan dalam penempatannya kembali, mudah dan cepat dilacak bila diperlukan. Diketahui ada sekitar 40.000 bagian batuan candi yang harus menjalani "perawatan" karena mengalami kerusakan dan memerlukan waktu pemugaran hingga lima tahun.

Sistem juga akan mengoptimasikan perencanaan pemugaran, efisiensi proses analisis, koordinasi antarberbagai operasi, dokumentasi dan analisis ilmiah perawatan batuan, serta penggunaan bahan kimia dalam proses perawatan.

Dengan sarana komputer, pekerjaan restorasi dapat selesai dengan cepat dan hasilnya akurat. Dalam pemrosesan data itu digunakan komputer sistem mainframe yang ketika itu berukuran sangat besar, memenuhi ruangan 5 meter x 5 meter. "Sistem komputer ini juga telah diterapkan untuk proyek pemugaran Piramida di Mesir, dan membantu menyelamatkan kota Venisia yang tenggelam," urainya.

Restorasi Prambanan

Belajar dari pengalaman pada proyek restorasi Borobudur, mantan Direktur Utama IBM Indonesia Joni P Soebandono, Kamis (31/5), mengatakan ada baiknya sistem komputer juga diaplikasi pada restorasi Candi Prambanan. Hal ini ditimpali Dirut perusahaan komputer saat ini, Betti Alisyahbana, yang akan menjajaki kemungkinan berpartisipasi dalam proyek pemugaran Prambanan.

Namun Joni, yang kini menjadi dosen manajemen, bisnis, dan psikologi di beberapa perguruan tinggi ini mengharapkan ada insentif dari pemerintah berupa keringanan pajak bagi perusahaan yang mengalokasikan dananya—lewat program Social Corporate Responsibility—membantu pemugaran warisan budaya yang bernilai tinggi ini. Penanganan pemugaran candi juga memerlukan kolaborasi banyak perusahaan dan lembaga.

Seperti diketahui, Candi Prambanan dan Borobudur merupakan obyek wisata yang menarik, setiap tahun dikunjungi sekitar sejuta wisatawan domestik dan mancanegara. Lokasinya kira-kira 18 kilometer sebelah timur Yogyakarta di Desa Bokoharjo. Dibangun pada tahun 850 pada masa Kerajaan Mataram Hindu dengan rajanya Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya.

Sebagai salah satu candi Hindu terbesar di Asia Tenggara, Prambanan dinyatakan UNESCO sebagai situs warisan dunia. Ketika terjadi gempa pada 27 Mei 2006, sebagian tumpukan batu di puncak candi setinggi 47 meter itu runtuh. Sedangkan Borobudur yang turut diguncang gempa hanya sedikit retak.

Guru besar arkeologi Universitas Gadjah Mada Timbul Haryono mengatakan, akibat gempa itu candi yang terletak di antara Yogyakarta dan Klaten ambles atau turun hingga 10 cm.

Upaya rehabilitasi Prambanan dan Taman Sari (juga di Yogyakarta), sebenarnya tim dari UNESCO yang April lalu telah melakukan survei ke lokasi. Dalam menggalang partisipasi internasional, Kantor UNESCO di Jakarta, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia dengan bantuan pendanaan dari Kerajaan Arab Saudi menyelenggarakan pertemuan para ahli internasional di Yogyakarta pada 5-8 Maret 2007.

Tujuan pertemuan itu untuk mempersiapkan Action Plan yang terintegrasi dalam pemulihan pascagempa dan rehabilitasi di situs-situs budaya penting ini. Formulasi Rencana Aksi juga melibatkan ahli dari Australia, China, India, Italia, Jepang, dan Amerika Serikat. Sebelum itu tim ahli dari Jepang Maret lalu telah melakukan riset teknis selama tiga minggu di Prambanan.

Restorasi Prambanan, jelas Richard Engelhardt, UNESCO Regional Advisor untuk Kebudayaan di Asia Pasifik dalam pertemuan di Yogyakarta itu, terkait dengan Konvensi Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1972 yang telah merumuskan kerangka kerja internasional untuk konservasi warisan budaya. Ketika itu ada 183 negara yang berkomitmen melindungi 830 situs alam dan budaya sebagai warisan dunia.

Sementara itu, Direktur Kantor UNESCO Jakarta Hubert J Gijzen menekankan pentingnya Kampanye Penyelamatan Internasional koordinasi dalam restorasi dan manajemen berkelanjutan terhadap situs warisan dunia, yaitu Borobudur, Prambanan, dan Taman Sari. Semua obyek wisata budaya itu menempatkan Yogyakarta sebagai "the Cultural Hub of Indonesia".

Reply

Use magic Report

 Author| Post time 15-6-2007 09:21 PM | Show all posts
SIAPA PENDIRI CANDI-CANDI ITU ?

Sisa-sisa ritual agama Hindu dan Buddha banyak tersebar di beberapa pulau di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Sisa-sisa ritual tersebut kebanyakan berupa bangunan suci yang disebut candi, kemudian ada pula beberapa kolam suci yang disebut patirthan, dan beberapa goa pertapaan.

Kehadiran candi-candi sangat menarik perhatian. Bentuknya unik, mirip dengan bangunan kuil Hindu di India, serta terbuat dari batu andesit, batu padas, dan beberapa dibuat dari bata. Pertanyaan yang sering muncul adalah apa fungsi candi-candi itu? Apakah hanya untuk memuja dewa atau untuk fungsi lain?

Sementara itu, juga ada yang beranggapan bahwa candi adalah makam raja-raja pendirinya. Suatu anggapan yang tidak tepat. Demikian pula ada pertanyaan, siapakah pendiri candi-candi itu? Karena mirip dengan kuil-kuil India, dengan serta-merta ada anggapan bahwa pendirinya adalah orang-orang India yang "menaklukkan" raja-raja Indonesia dahulu kala. Ini pun suatu anggapan yang—sekali lagi—tidak tepat.

Candi dan sisa-sisa ritual agama Hindu-Buddha lainnya telah diteliti, dari segi keagamaan, arsitektural, fungsinya dan lain sebagainya, oleh para ahli arkeologi yang mengkhususkan diri untuk mempelajari hal-hal tersebut. Salah satu hasil penelitian mereka akan dipaparkan di sini, yaitu tentang siapa pendiri candi-candi tersebut.

Hubungan dagang antara India dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, telah lama terjadi. Hubungan yang bermotif komersial ini kemudian berkembang ke arah hubungan yang bersifat keagamaan. Hal itu dimungkinkan karena awal hubungan dagang India-Indonesia ini waktunya hampir bersamaan dengan perkembangan agama Buddha, yang mewajibkan para pendetanya untuk menyebarkan agama tersebut.

Salah satu usaha para biksu itu ikut kapal-kapal pedagang India. Kehadiran para biksu di kapal-kapal dagang ini dibuktikan oleh penemuan arca-arca Buddha di situs-situs yang dekat dengan alur perdagangan, misalnya arca Buddha dari Sempaga di pantai Sulawesi Selatan yang berasal dari abad II Masehi. Di Kota Bangun (Kutai) ditemukan pula arca-arca Buddha gaya Gandhara yang diperkirakan berasal dari abad II-III Masehi. Demikian pula sebuah arca Buddha ditemukan di Bukit Siguntang, Palembang, dari masa yang sama dengan kedua arca dari daerah Sulawesi tersebut.

Berbeda dengan pendeta Buddha, pendeta agama non-Buddha, yakni agama Veda dan Hindu, tidak menyebarkan agamanya seperti halnya para biksu, tetapi mereka datang atas undangan para raja yang memerlukan pertolongan untuk melaksanakan suatu upacara agama. Salah satu contohnya terdapat dalam prasasti yang disebut Yupa dari tepi Sungai Muarakaman. Para wipra (pendeta ahli Veda) pernah diundang oleh raja-raja Kutai untuk menjalankan upacara agama di sebuah lapangan suci (ksetra) yang disebut Vaprakesvara.

Di samping pendeta-pendeta India secara aktif menyebarkan agamanya di Indonesia, terdapat orang-orang Indonesia yang pergi ke India untuk belajar agama. Hal ini disebutkan minimal oleh dua buah prasasti. Bahkan, menurut salah satu prasasti itu, seorang raja Sriwijaya telah minta kepada raja dari Dinasti Pala untuk membuatkan asrama untuk tempat tinggal para pelajar Indonesia tersebut di Nalanda. Para pelajar inilah yang memegang peranan penting dalam pendirian candi-candi di Jawa.

Seni dan religi

Hubungan antara seni dan religi dalam agama Hindu dan Buddha sangatlah erat. Para pelajar tersebut belajar dari kitab-kitab peraturan untuk membuat kuil dan kelengkapannya, seperti arca dan relief. Kitab-kitab itu secara umum disebut Vastusastra.

Di samping mempelajari Vastusastra, mereka mengunjungi pusat-pusat kesenian agama dan berbagai kuil di India. Kemudian mereka membuat replika bangunan suci, dan hasilnya sangatlah terpengaruh oleh pengetahuan dan kemahiran si pembuat. Replika-replika tersebut kemudian dibawa pulang untuk dijadikan contoh candi yang akan mereka dirikan di Indonesia. Oleh karena itu, para peneliti candi hingga sekarang belum pernah menemukan naskah Vastusastra di Jawa dan tempat-tempat lain di Indonesia.

Candi tertua yang ada di Indonesia adalah candi-candi di kompleks Dieng, Wanasaba, Jawa Tengah. Hal yang menarik perhatian dari candi-candi ini adalah bahwa walaupun candi- candi di kompleks Dieng berasal dari satu masa, gaya setiap candi sangat berbeda. Misalnya, Candi Bhima di kompleks tersebut mempunyai gaya kuil India Utara, sedangkan candi-candi lainnya mempunyai gaya India Selatan.

Gaya India Utara pada Candi Bhima khususnya terlihat pada atap candi yang menjulang tinggi, dan tingkatan-tingkatan (lapisan-lapisan) atapnya tidak terlihat. Demikian pula atap Candi Bhima dihias dengan relung-relung palsu dengan gambaran muka manusia di tengahnya. Motif ini disebut motif Kudu di India Selatan dan di India Utara disebut motif Gavaksa (go-aksa).

Sementara itu, candi-candi seperti Candi Arjuna, Candi Puntadewa, Candi Subhadra, Candi Srikandi, dan sebagainya di kompleks yang sama mempunyai gaya India Utara. Walaupun begitu, terlihat ada beberapa perbedaan ciri di antara candi- candi tersebut. Dengan demikian, candi-candi di kompleks Dieng bisa menjadi salah satu bukti peranan para silpin (seniman) Indonesia, walaupun tidak menutup kemungkinan adanya campur tangan para penguasa daerah itu.

Contoh kedua adalah Candi Borobudur. Beberapa adegan pada relief Borobudur menggambarkan kehidupan sehari-hari di Jawa. Misalnya, orang-orang yang sedang berjualan di pasar, orang menanam padi di sawah, memanen dan memikul padi, dukun menolong kelahiran bayi, dan sebagainya.

Di samping itu, di atas relief Mahakarmawibhanga yang dipahat di kaki Candi Borobudur yang tertutup, di atas panil terdapat tulisan (inskripsi) berupa kata-kata petunjuk untuk para seniman, yang akan memahat adegan di panil-panil tersebut. Petunjuk ditulis dengan aksara Jawa Kuno (bukan Deva-Nagari!). Kalaupun ada kata-kata Sanskerta, itu tidak ditulis secara benar, maksudnya tidak diberi akhiran kasus tertentu.

Misalnya untuk pemahatan surga hanya ditulis "swargga" tanpa embel-embel akhiran (ber-)kasus. Sebab, bila inskripsi itu ditulis oleh seniman India, maka kalau yang digambarkan di surga harus diberi akhiran kasus lokatif, yakni jadi "swargge"; atau makhluk surga kata swargga harus diberi akhiran kasus genitif, dan sebagainya. Petunjuk tanpa akhiran kasus, bagi seniman Jawa Kuno tidak masalah, demikian pula aksara Jawa Kuno adalah aksara mereka.

Berbeda bagi silpin atau seniman India, petunjuk tanpa akhiran kasus akan membuat mereka kesulitan, adegan apa yang harus mereka gambarkan di panil itu. Terlebih lagi aksara Jawa Kuno bukanlah aksara yang mereka kenal.

Demikianlah, ada dua contoh yang dapat membuktikan bahwa yang mendirikan candi-candi di Jawa bukan orang India, tetapi orang Jawa sendiri. Mungkin dapat ditambahkan di sini, ketika mengadakan penelitian di sekitar candi-candi, ahli arkeologi tidak pernah menemukan sisa-sisa "kampong ******". Apabila benar orang-orang India yang mendirikan candi-candi di Indonesia, tentunya hal itu akan memakan waktu lama, dan mereka dengan sendirinya akan menetap di sekitar candi yang sedang dibangunnya. Lewat tulisan singkat ini diharapkan tidak lagi terjadi mispersepsi mengenai siapa pendiri candi-candi di Indonesia.

Hariani Santiko Guru Besar Ilmu Arkeologi, FIB UI


[ Last edited by  jf_pratama at 30-6-2007 01:47 AM ]

Rate

1

View Rating Log

Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 29-6-2007 10:42 PM | Show all posts

Captured from higher ground, the frontal facet of the Temple III cluster of the Candi Gedong Sanga complex in Semarang, Central Java, looks serene against the backdrop of a green pine forest and clear morning sky. When visiting the temple in the morning it is advisable to bring a sweater, for the mountain air could be chilly. JP/Ani Suswantoro

Gedong Songo temple complex offers culture, nature
Ani Suswantoro, Contributor, C. Java

Central Java is rich with the cultural heritage of Hindu, Buddhist and Islamic historical eras. The famous Buddhist temples -- or candi -- of Borobudur, Mendut and Pawon, and the Hindu temple Prambanan are a few of the numerous cultural influences that spread through the province.

Aside from these famed temples are other, lesser-known temples such as Sewu, Kraton Boko, Sambi Sari, Sari, Kalasan and Plaosan.

Some of these temples are located on a mountain slope or on a plateau: the Dieng temples on Dieng Plateau, the Sukuh and Cetho temples on Mount Lawu, and the Gedong Sanga temples on Mt. Ungaran.

If you are both a culture and nature lover, then the Gedong Sanga temples might be an ideal choice for an outing.

The Candi Gedong Sanga complex is located at Candi village of Ambarawa district in Semarang regency, 25 kilometers from Ungaran or 45 km from Semarang, the provincial capital.

The complex is easily accessible from either Yogyakarta (about 2 hours by car, or 3 hours by bus) or Semarang. The roads are paved and smooth -- except for the one linking Ambarawa to the complex, which is steep and rather narrow.

Near the complex is a traditional market, Pasar Bandungan, and on market days the street might become congested, so drivers must be alert -- from Pasar Bandungan, it is still 4 km to the temples.

The Gedong Sanga temple complex, discovered by Sir Stamford Raffles in 1804, was built during the 9th-century Syailendra Dynasty. The temples are situated at about 1,200 meters above sea level and are scattered within a pine forest.

The local temperature ranges between 19-27 degrees Centigrade. A number of sulfur springs exist inside the complex, where simple bathing facilities are available -- at a small fee -- for those wanting to bathe or wade in the hot water. It is said the sulfur hot springs can cure minor dermatological ailments.

Facing south from the slope of Mt. Ungaran are Rawa Pening Lake, Mt. Merbabu and Mt. Merapi, while to the west are Mt. Sumbing and Mt. Sindoro.

A complete trip through the complex is roughly a 2-km hike. The journey, which ascends and descends through groves of pine trees, ravines and sulfur springs, surely requires a good deal of energy.

Luckily, horses are available for rent at the entrance to the complex. Be sure to get a fair price: approximately Rp 50,000 per horse. When the deal is made, just climb on to the horse and enjoy the panorama while its owner guides the way, rein in hand. Visitors may dismount during the trip to observe the temples at their leisure.

A variety of accommodation are available along the ascending road to the temple complex, at some 3 km from the temples. Among them are the Amanda, Gaya and Rawa Pening hotels, whose rates range from Rp 200,000 for a single to Rp 900,000 for a three-bedroom villa. The rates may increase 30 percent over weekends and public holidays.

The Candi Gedong Sanga complex consists of five clusters of temples, simply called Temples I, II, III, IV and V.

Temple I, at 1,260 meters above sea level, only has one complete temple left. Temple II, some 300 meters away from Temple I, has one complete temple, named Temple IIA; the other, Temple IIB, is in ruins.

Temple III, at 1,298 meters above sea level and about 100 meters from Temple II, consists of three complete temples. Temple IV is slightly higher at 1,300 meters and 200 meters across a ravine from Temple III, consists of two sub-clusters.

The northern sub-cluster comprises four structures, the southern, nine structures -- only one of these are whole.

Temple V, located still higher at 1,310 meters and 507 meters from Temple I, consists of two sub-clusters. The first sub-cluster holds three temples in a row, with the middle one intact; the other sub-cluster comprises three ruins.

Legend has it that Queen Simha of the Kalingga Kingdom was in power when the Gedong Sanga complex was built. She was known for her fair and respectable reign.

The Queen taught her people to worship Sang Hyang Widi, the Powerful God, and in order to accomplish this, she ordered that a temple devoted to Sang Hyang Widi be built.

According to the belief, human beings must be able to control their desires to live a peaceful life. The desires were said to come from the nine orifices of the body, called Babahan Hawa Sanga in Javanese. The erection of the Candi Gedong Sanga could be thus considered a symbol of controlling these origins of desire.


[ Last edited by  jf_pratama at 30-6-2007 12:24 AM ]
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 30-6-2007 09:51 PM | Show all posts
Benda Cagar Budaya: Situs Hindu-Buddha Banyak yang Rusak

Magelang, Kompas - Sebanyak 34 situs dari masa Hindu dan Buddha ditemukan tersebar di empat kecamatan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Selain komponen candi, benda cagar budaya peninggalan masa lampau tersebut berupa yoni dan batu lumpang.

"Sebagian situs ada yang masih utuh. Namun, kebanyakan situs Hindu sudah berada dalam kondisi rusak karena sebagian komponennya runtuh," papar Yodi Suhartono, arkeolog dari Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, di Magelang, Jumat (29/6).

Hasil pendataan awal menunjukkan, sebagian situs Hindu tersebut terbuat dari batu bata.

Empat kecamatan tempat sebaran benda-benda purbakala tersebut adalah Kecamatan Borobudur, Kecamatan Mungkid, Kecamatan Mertoyudan, dan Kecamatan Tempuran. Keempat kecamatan tersebut masih termasuk dalam zona satu hingga lima kawasan Candi Borobudur.

Di Kecamatan Borobudur, situs ini ditemukan di Desa Wringinputih, Majaksingi, Deyangan, Tegalarum, Wanurejo, Tuksongo, dan Candirejo. Adapun di wilayah Kecamatan Tempuran terdapat di Desa Ringin Anom.

Di Kecamatan Mungkid terdapat di Desa Ngrajek, dan Progowati. Sedangkan di Kecamatan Mertoyudan, ditemukan di Desa Deyangan, Rambeanak, dan Pasuruan.

Yodi menyebutkan, sebagian besar situs itu ditemukan sekitar tahun 2000. Setelah diteliti, keseluruhan peninggalan Hindu yang ada ternyata didirikan pada masa Dinasti Syailendra, sezaman dengan pendirian Candi Borobudur.

Toleransi umat beragama

Yodi menerangkan, semua temuan tersebut sudah dilaporkan ke Balai Perlindungan Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. "Sebagian di antaranya ada yang dititipkan ke kami, namun sebagian lainnya ada yang masih dibiarkan berada di lokasi temuan semula," ujarnya.

Dari banyaknya temuan situs tersebut, Yodi mengungkapkan, belum ada penelitian yang menyebutkan bahwa di zona satu hingga lima di kawasan Candi Borobudur tersebut sebagai pusat pemerintahan.

"Namun, dari temuan situs Hindu dan Buddha itu kita bisa menyimpulkan bahwa pada zaman dahulu toleransi antarumat beragama sudah terjalin dengan baik," ujarnya.

Selain itu, Yodi menyebutkan masih ada sekitar 10.000 komponen batu Candi Borobudur yang belum ditaruh pada bangunan candi karena belum diketahui posisi serta pasangannya. Komponen yang disebut batu lepas itu kini ditumpuk dan dipelihara di halaman Museum Karmawibangga, di Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur.

Setiap tahun, pihaknya juga terus berupaya mencari pasangan batu-batu tersebut. "Namun, itu juga bukan hal yang mudah. Setiap tahun kami hanya mampu mencocokkan 5-10 pasang batu," ujarnya. (EGI)


[ Last edited by  jf_pratama at 30-6-2007 09:53 PM ]
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 30-6-2007 10:00 PM | Show all posts
Candi SambiRejo: Serakan Batu Candi Gedong Songo


  Diilhami runtuhnya dua dari sembilan gugusan Candi Gedong Songo di kaki Gunung Ungaran, Kabupaten Semarang, banyak kalangan pengamat kebudayaan memperkirakan reruntuhan batu-batu candi itu pasti berserakan di kawasan sekitar kompleks Candi Gedong Songo. Candi Gedong Songo adalah kompleks candi yang didirikan Raja Sanjaya pada 927 Masehi, wahana pemujaan dewa-dewa umat Hindu. Adanya patung- patung Syiwa, Mahadewa, bukti kuat Candi Hindu Gedong Songo, di samping penemuan lingga dan yoni.

  Ketika berada di depan Pasar Sumowono, Kamis (28/6) sore, Martijo, pedagang makanan, memberi informasi adanya batu-batu candi yang masih tersimpan di perkampungan penduduk di Dusun Candi. Kawasan Dusun Candi, tepatnya di Desa Candi Ngaron, jaraknya sekitar dua kilometer dari Gedong Songo ke arah selatan.

  Berbekal info itulah perjalanan ke Dusun Candi agaknya sangat menarik. Apalagi, cuaca kawasan wisata di Bandungan tengah berkabut tebal. Perjalanan harus ekstra hati-hati melewati jalan desa yang licin dan berkabut. Tebalnya kabut menyebabkan jarak pandang terbatas, hanya kurang dari enam meter. Untungnya, jalan desa sudah beraspal, meski sempit.

  Desa Candi Ngaron sangat asri, seperti halnya khas perkampungan daerah pegunungan. Lahan sawah di sekitar desa, tengah ditanami jagung dengan tanaman selanya, tembakau. Ketika memasuki perkampungan desa itu, di tengah-tengah kampung terdapat bangunan kuncup. Di dalam bangunan yang berpintu kaca itulah tersimpan batu candi berbahan andesit yang sudah lama disimpan penduduk.

  Menurut warga setempat, Haryono, batu-batu andesit berbentuk mirip lingga itu awal 1970 masih terserak di persawahan. Kemudian oleh Mbah Munawar, tokoh masyarakat setempat, dipindahkan ke perkampungan penduduk. Batu-batu itu kemudian dibuatkan rumah dan di tata beralaskan karpet.

  Pengamat budaya di Ungaran, Anwar Hudaya menilai, boleh jadi batu-batu yang kini tersimpan di Dusun Candi itu serakan dari bangunan candi. Sejak pemugaran candi kali pertama dilakukan arkeolog Belanda EB Volger beberapa tahun setelah ditemukan 1740, pemugaran kompleks candi itu sepertinya belum tuntas. Tidak tertutup kemungkinan serakan batu candi tersebar di perkampungan desa itu.

  Beberapa penduduk Dusun Candi mengaku, keberadaan batu candi di tengah desa mereka sudah lama mendatangkan banyak pengunjung. Pihak desa pun kerap mengadakan sedekah bumi, terutama menjelang perayaan bulan Syuro. Alangkah baiknya, batu-batu candi yang memiliki sejarah itu kembali ke induknya di Candi Gedong Songo. (WINARTO H SANSONO)


[ Last edited by  jf_pratama at 30-6-2007 11:16 PM ]
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 30-6-2007 10:53 PM | Show all posts


Candi Sukuh Mirip Bangunan Peninggalan Kebudayaan Maya

SEMARANG--MIOL: Candi Sukuh yang dibangun menjelang runtuhnya Kerajaan Majapahit, bentuknya mirip dengan peninggalan kebudayaan Maya di Mexico, atau situs-situs purbakala sejenis di Peru, Amerika Latin.

“Candi ini terletak di lereng barat kaki Gunung Lawu pada ketinggian 910 meter di atas permukaan laut (Dpl), di Dukuh Berjo, Desa Sukuh, Ngargoyoso, sekitar 20 km dari Kota Kabupaten Karanganyar,” kata Yogi, staf humas Dinas Pariwisata Jateng di Semarang, Kamis.

Mengenai keberadaan relief candi yang berjejer di bagian kanan depan candi menggambarkan dan menceritakan asal mula tradisi ruwatan.Selain itu candi ini menggambarkan alat kelamin laki-laki (lingga) dan perempuan (yoni).Relief dan patung yang ada di candi ini bukanlah sesuatu yang dapat dianggap pornografi, karena tujuan dari relief itu untuk menggambarkan keharmonisan dan kesakralan suatu hubungan seksual.

Bagi wisatawan yang berkunjung ke candi ini, kata dia, selain dapat melihat kemegahan candi juga dapat melihat keindahan pemandangan alam pegunungan di sekitar candi dan turunnya matahari (sunset) secara perlahan dengan aneka cahaya berwarna-warni.

Posisi candi ini menghadap ke barat, melambangkan matahari terbenam, dan ini identik dengan candi yang ada di Jawa Timur, di mana candi yang dianggap sakral berada di bagian belakang.

Selain Candi Sukuh, di Kabupaten Karanganyar pada bulan Mei 2007 ditemukan bangunan candi kuno bergaya arsitektur vastu vidya Hindu oleh penduduk Desa Gumeng, Jenawi.

Saat ditemukan oleh masyarakat setempat bangunan candi kuno itu tertutup semak belukar. Kemudian dilaporkan kepada Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar. "Setelah itu dicek pada 31 mei lalu, ternyata benar bahwa bangunan itu bangunan candi," kata Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar Joko Suyanto.

Ia mengatakan, candi yang baru ditemukan itu letaknya di punggung Gunung Lawu dengan ketinggian sekitar 1.400 meter dari permukaan laut, sebelah utara Candi Ketek yang ditemukan beberapa tahun lalu."Kalau melihat letaknya candi tersebut memang satu deretan dengan Candi Sukuh, Candi Ceto, dan Candi Ketek. Kemungkinan peninggalan Candi Hindu," katanya.Menurut dia, temuan candi ini diharapkan dapat melengkapi sebagian tempat objek wisata yang dikembangkan di Candi Sukuh, Candi Ceto, dan Candi Ketek.


[ Last edited by  jf_pratama at 30-6-2007 11:00 PM ]
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 16-7-2007 09:30 PM | Show all posts
SITUS BATUJAYA: Misteri Hilangnya pengaruh Hindu-Budha

Batujaya adalah sebuah desa di tepi Sungai Citarum, sekitar 20 km di sebelah barat laut kota Rengasdengklok, Kabupaten Karawang. Batujaya hanya 20 km dari Ujung Karawang - tempat bermuaranya Sungai Citarum di Laut Jawa yang membentuk delta. Sekitar 25 km ke sebelah timur, terdapat kampung Cibuaya - sebuah kampung yang di kalangan para ahli arkeologi terkenal sebab di dalamnya terdapat situs Cibuaya yang menyingkapkan artefak-artefak penting pra-sejarah (Neolitikum) Jawa Barat dan Indonesia. Cibuaya terletak 5 km dari tepi pantai. Dulu, mungkin Batujaya dan Cibuaya terletak di tepi pantai, sedimentasi Kuarter di wilayah ini sangat aktif.

Batujaya sekarang terletak di tengah hamparan sawah. Telah 22 tahun situs ini digali dan dipelajari para ahli arkeologi Indonesia dan mancanegara. Situs ini pertama kali diketahui tahun 1984, semula berupa bukit-bukit kecil di tengah sawah, penduduk setempat menyebutnya unur-unur (bukit-bukit kecil). Sekarang tak ada lagi bukit-bukit tetapi candi-candi hasil rekonstruksi dan lubang-lubang parit dan terbuka galian para archaeologists.

Hasan Djafar, ahli arkeologi UI, kepala tim penggalian situs Batujaya, menerangkan dengan runtut penemuan situs ini. Penggalian yang telah berlangsung selama 22 tahun ini telah menghasilkan banyak penemuan artefak : bongkah2 bata merah yang kemudian bisa direkonstruksi menjadi candi-candi yang cukup besar, tembikar-tembikar, manik-manik, tablet-tablet tanah liat dan yang mengejutkan dan baru ditemukan tahun 2006 ini (terutama Juli 2006) adalah penemuan puluhan kerangka manusia yang masih utuh dari tengkorak sampai tapak kaki.

Dua orang perempuan ahli arkeologi berkebangsaan Prancis dan Belanda khusus datang ke situs ini untuk mengekskavasi kerangka-kerangka di situs Batujaya, mengambil beberapa sampel tulang dan gigi dan akan melakukan penelitian DNA atas fosil tulang dan gigi guna mendapatkan data karakteristik ragawi yang lebih lengkap. Metode terbaru dalam arkeologi adalah bahwa pengambilan spesimen fosil suatu ras manusia harus dilakukan oleh ahli arkeologi dari ras yang berlainan. Mungkin, ini untuk menghindarkan kontaminasi saat pengambilan sampel. Karena kerangka manusia di Batujaya diperkirakan dari ras Indonesia, yaitu Mongolid, maka yang mengambil sampel adalah orang2 dari ras Eropa (Kaukasoid).

Penelitian lebih dari 20 tahun ini tentu telah menghasilkan beberapa kesimpulan sementara, yaitu : (1) situs ini berumur di ambang pra-sejarah dan sejarah Indonesia (abad ke-4 dan ke-5 Masehi, saat ini batas pra-sejarah dan sejarah Indonesia adalah tahun 400 Masehi), (2) Candi Batujaya terbuat dari batamerah dan mempunyai ciri-ciri candi Budha, (3) tembikar dan manik-manik yang ditemukan adalah dari masa Neolitikum, (4) votive tablets (semacam meterai) dari tanah liat bakar bertuliskan tulisan pendek dalam aksara Palawa.

Implikasi penemuan situs Batujaya ini sangat penting bagi perkembangan kepurbakalaan Indonesia, Jawa khususnya. Situs di pinggir Citarum ini menunjukkan bahwa masyarakat purbakala Indonesia telah cukup terorganisasi dan siap untuk meningkatkan peradaban. Keberadaan Candi Batujaya meruntuhkan mitos bahwa di Jawa Barat tidak ada candi lain selain Candi Cangkuang (candi Syiwa) di Leles Garut. Candi Batujaya justru adalah candi yang paling tua di tanah Jawa yang berasal dari abad ke-4 atau ke-5. Juga, Candi Batujaya ini meruntuhkan mitos bahwa candi-candi yang berumur lebih mudalah yang dibangun dari bata merah setelah candi yang lebih tua dibangun dari batuan gunung (andesitik) (model candi Jawa Tengah ke Jawa Timur).

Aksara di tablet2 tanahliat yang ditemukan di Batujaya sama dengan aksara yang dipakai pada prasasti-prasasti Tarumanagara yang ditemukan lebih tersebar di daerah Jawa Barat. Bagaimana hubungan Batujaya dengan Tarumanegara dan juga kerajaan-kerajaan Sunda sesudahnya (Galuh, Sunda, Pajajaran). Penanggalan absolut dan posisi stratigrafik situs Batujaya dan situs2 lainnya di Jawa Barat akan menjawab hal ini.

Bagaimana pula hubungannya dengan pengaruh pedagang-pedagang India beragama Hindu dan Budha adalah persoalan tersendiri yang harus dijawab.
Penggalian dan penelitian di Situs Batujaya masih terus berlangsung, analisis laboratorium atas sampel-sampel artefak dan fosil dari Batujaya masih terus dilakukan. Data hasil analisis DNA pada kerangka2 manusia yang ditemukan di situs ini nanti akan mengungkapkan banyak fakta. Semoga dalam waktu yang tidak terlalu lama, kita akan dapat mendengar hasilnya.

Situs Batujaya begitu pentingnya buat prasejarah dan awal sejarah bangsa Indonesia. Dan, situs Batujaya menghadirkan artefak dan kerangka manusia yang begitu lengkapnya, tak pernah dalam sejarah arkeologi ditemukan artefak dan kerangka manusia pembuatnya dalam satu tempat secara sangat lengkap.

Tetapi, penelitian arkeologi di situs Batujaya harus berdampingan dengan kepentingan ekonomi pesawahan Karawang sebagai lumbung padi nasional, dan rencana Pertamina dalam mengembangkan penemuan minyak di Pondok Tengah. Mungkin, tumpang-tindih lahan penelitian dan kepentingan ekonomi kelak akan terjadi.

Secara ekonomi, Situs Batujaya bisa saja dianggap tak menguntungkan, namun dilihat dari sudut kebutu*an memperkuat jati diri bangsa, maka sejarah bangsa yang jelas terbaca adalah sebuah modal pokok untuk berjati diri. Bangsa yang dihapus sejarahnya akan menjadi bangsa yang tidak percaya diri, yang dengan mudah akan dijadikan sasaran dominasi bangsa lain. Siapa tahu Situs Batujaya kelak mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang telah berbudaya tinggi sejak zaman pra-sejarah pun

















[ Last edited by  jf_pratama at 16-7-2007 08:36 PM ]
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 1-8-2007 05:04 PM | Show all posts
Situs Muaro Jambi (1): Menghidupkan Kembali Pesona Melayu Kuno
Ester Lince Napitupulu dan Irma Tambunan

Menyusuri Kompleks Percandian Muaro Jambi dengan kapal, yang melintasi kanal-kanal kuno warisan Kerajaan Melayu Kuno, suatu saat nanti bukanlah sekadar angan-angan. Daya tarik yang unik inilah yang akan ditawarkan Pemerintah Provinsi Jambi untuk mengembalikan pesona peninggalan purbakala Kerajaan Melayu Kuno di Pulau Sumatera tersebut.

Saat ini, kondisi kanal yang dibuat sebelum abad X ini memang masih tertimbun tanah sehingga air tidak dapat mengalir lagi. Bahkan, bekas kanal tersebut sudah ditanami karet dan tanaman buah-buahan oleh masyarakat sekitarnya.

Namun, seiring tekad pemerintah setempat untuk tidak mengabaikan potensi situs purbakala yang ada di wilayah ini, rencana pengembangan Kompleks Situs Percandian Muaro Jambi seluas 12 kilometer persegi itu mulai dimatangkan.

Pemerintah dan masyarakat Jambi menaruh harapan besar terhadap pengembangan Kompleks Percandian Muaro Jambi, yang di dalamnya tersimpan lebih dari 80 reruntuhan candi dan sisa-sisa permukiman kuno dalam rentang abad IX-XV Masehi. Meskipun belum sepopuler candi-candi lain di Pulau Jawa, situs purbakala yang diyakini juga sebagai salah satu pusat pengembangan agama Buddha di masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya itu merupakan aset yang dapat dimanfaatkan di bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan, pariwisata, sosial, agama, dan ekonomi.

Situs purbakala ini membentang dari barat ke timur di tepian Sungai Batanghari sepanjang 7,5 kilometer. Dari sekitar 80 reruntuhan candi yang sudah diketahui, yang oleh masyarakat setempat disebut menappo, baru sebagian kecil yang sudah dipugar. Berdasarkan sisa-sisa reruntuhan yang ada, sebuah bangunan menggunakan batu merah.

Candi-candi yang sudah dibangun dan bisa dikunjungi wisatawan adalah Candi Vando Astano, Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Kembar Batu, Candi Gedong 1, Candi Gedong 2, dan kolam Talaga Rajo. Lokasinya tersebar di Desa Muaro Jambi, Kemingking Dalam, dan Danau Lamo. Akan tetapi, kondisinya memang masih jauh dari sebuah daerah tujuan wisata yang berkesan. Apalagi jika rombongan besar datang berkunjung hingga mencapai ribuan orang, fasilitas yang ada, semisal toilet, tempat makan, tempat parkir, belumlah memadai.

"Kami punya komitmen untuk menghidupkan kembali kejayaan peninggalan sejarah yang ada di wilayah ini," kata Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin.

Keinginan untuk mengembalikan minat masyarakat Indonesia dan dunia terhadap keberadaan Kompleks Percandian Muaro Jambi itu semakin hidup tatkala sebagian umat Buddha Indonesia dan dunia memulai tradisi baru, yakni menggelar Perayaan Waisak Nasional yang pertama di kawasan Candi Muaro Jambi, awal Juni lalu. Sekitar 3.000 umat Buddha di Indonesia dan beberapa negara asing berkumpul di tempat ini. Bahkan, ke depan, ada keinginan untuk menjadikan Muaro Jambi sebagai pilihan tempat merayakan Waisak secara nasional atau ritual umat Buddha lainnya.

"Dengan memakai ikatan emosional ini, mudah-mudahan umat Buddha di dunia juga bersedia mendukung pemugaran Muaro Jambi. Suatu saat, Muaro Jambi juga bisa hidup sebagai daerah tujuan wisata ritual," kata Zulkifli.

Bagi Budiman, Sekretaris Umum Majelis Buddhayana Indonesia, Kompleks Percandian Muaro Jambi merupakan warisan budaya yang sangat luar biasa dari peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Warisan masa lalu ini tidak kalah agungnya dengan Candi Borobudur dan candi- candi lain di Pulau Jawa. Sejarah Kerajaan Sriwijaya pun tidak kalah luar biasanya dibandingkan dengan Mataram dan Majapahit.

Keunikan dan nilai yang tinggi dari Kompleks Percandian Muaro Jambi ini menarik perhatian pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan pengelolaannya. Rencana induk pengembangan kawasan Muaro Jambi bahkan sudah disusun. Dalam rencana induk pengembangan akan dibangun area perlindungan dengan jarak 150 meter dari candi-candi di kawasan cagar budaya ini. Dengan mempertimbangkan keadaan fisik, seperti kontur, sungai, rawa, dan kanal, akan dibuat deliniasi yang diharapkan dapat menampung kegiatan preservasi dan konservasi percandian.

Buffer sejauh minimal 100 meter keluar dari kawasan zona penyangga akan mempertimbangkan aspek fisik budaya. Ini diharapkan dapat menunjang pariwisata, perdagangan, dan permukiman.

Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jambi menata ruang situs ini dengan pembagian ke dalam empat zona, yakni zona inti, penyangga primer, penyangga sekunder, dan pengembangan. Khusus pada zona inti, diberlakukan larangan mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam seperti penambangan dan pengubahan lahan, kecuali untuk kepentingan konservasi sumber daya budaya di dalamnya. Kawasan yang masuk zona ini ada sebanyak 12 candi, 69 menappo (pecahan candi), dan Kolam Telagorajo.

Menurut Ja’far Rasuh, Kepala Subdinas Permuseuman Sejarah Kepurbakalaan Seni Budaya dan Film Dinas Pariwisata Provinsi Jambi, pihaknya juga akan menormalisasi kanal yang mengelilingi percandian. Kanal pada masa lalu diperkirakan berfungsi sebagai sarana transportasi dan drainase. Sayangnya, kanal itu kini telah menjadi kebun duku dan durian, sawah, semak belukar, serta permukiman.

"Normalisasi dilakukan dengan mengeruk tanah di atasnya, supaya nantinya sekaligus dapat berfungsi mengendalikan banjir," tutur Ja’far.

Ujung kanal yang masuk Sungai Batanghari disarankan menggunakan pintu air buka tutup. Pintu dibuka pada musim hujan untuk mengendalikan banjir dan ditutup saat kemarau supaya air air tidak kering. Melalui program normalisasi kanal, akses masuk menuju percandian tidak hanya lewat jalur darat, tetapi juga jalur air.

Pengembangan situs Muaro Jambi juga mulai dipersiapkan bagi kunjungan wisatawan mancanegara. "Seiring dengan itu, pemerintah menawarkan paket-paket tur desa wisata di kawasan percandian bagi anak sekolah," kata Muhammad Taufik, Kepala Kantor Pariwisata Kabupaten Muaro Jambi.

Kerajaan Melayu berdiri pada pertengahan abad VII Masehi dan berjaya sampai akhir abad XIV Masehi. Sampai saat ini baru ditemukan sekitar 30 prasasti dari kerajaan tersebut, yang tersebar di berbagai tempat. Sebagian terletak di wilayah Jambi, dan lainnya masuk Sumatera Barat dan Jawa Timur.

Menurut Nini Susanti, arkeolog dari Universitas Indonesia, berita asing sangat membantu memberi titik terang mengenai keadaan kerajaan ini. Catatan kisah perjalanan I-Tsing—pendeta Buddha dari China yang pernah tinggal cukup lama di Sriwijaya—menyebutkan, dalam pelayarannya dari Kanton di China ke Nagapattam di India dalam tahun 671/672 Masehi, ia singgah di She-Li-Fo-She untuk belajar bahasa Sanskerta selama enam bulan. Dari sini ia menuju Mo-Lo-Yeu dan tinggal selama dua bulan, kemudian melanjutkan ke Chieh-Cha (Kedah) dan ke India. Dalam perjalanan pulang dari Nalanda (India) pada 685 Masehi, ia singgah lagi di Mo-Lo-Yeu. Kisah perjalanan I-Tsing itu memberi gambaran bahwa Melayu merupakan persinggahan penting karena tidak dilewatkan begitu saja, baik dalam pelayaran dari China ke India maupun sebaliknya.

Pada saat itu, Kerajaan Melayu Kuno adalah aktor penting dalam hubungan perdagangan di kawasan Asia Selatan dan Timur Tengah. Sabak bahkan menjadi tempat persinggahan barang-barang ekspor.

Junus Satrio Atmodjo, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, mengatakan bahwa bangsa Melayu kuno adalah bangsa yang kuat. Selain berani berlayar ke mana-mana, mereka membuka hubungan dagang dengan sangat aktif pada dunia luar.

Bangsa China dan Arab merupakan penyumbang terbesar dalam penyediaan sumber informasi kuno tentang kawasan ini. Mereka memiliki tradisi menuliskan pengalaman-pengalaman pribadi seseorang dan urusan kenegaraan di dalam catatan-catatan yang tersimpan di perpustakaan. Dari catatan-catatan bangsa asing ini diperoleh gambaran parsial tentang perdagangan di Jambi berkaitan dengan komoditas yang dipertukarkan dengan bangsa-bangsa asing tersebut.

Sumber-sumber ini mencatat, Jambi atau Pulau Sumatera pada umumnya dikenal sebagai penghasil bahan-bahan berharga yang sangat diminati. Di antara bahan-bahan itu adalah emas, getah damar, kemenyan, berbagai jenis kayu, gading gajah, cula badak, atau madu yang merupakan hasil hutan, hasil tambang, hasil perburuan, dan hasil perkebunan. Komoditas ini sangat diminati dalam perdagangan dunia pada masa itu.

Sebagai daerah yang memiliki kekayaan alam berlimpah, Jambi diuntungkan oleh aktivitas perdagangan yang berkembang antara Asia Barat dan China. Penemuan ribuan keramik China di daerah Muaro Jambi, Ujung Plancu, dan Lambur ikut memberi gambaran akan tingginya lalu lintas komoditas perdagangan di masa lalu.

Dibawanya bahan-bahan komoditas ini ke kawasan pantai memperlihatkan adanya hubungan ekonomi di antara kedua kawasan: Asia Barat-China. Masyarakat di masing-masing kawasan dapat berperan baik sebagai pemakai maupun pemasok komoditas tersebut. Hubungan inilah yang menyebabkan ditemukannya benda-benda impor dari luar Jambi sampai jauh ke pedalaman. Sebaliknya juga demikian, di daerah pantai dapat ditemukan benda-benda atau bahan-bahan yang berasal dari lingkungan pedalaman.

Semua itu adalah cerita dari lintasan sejarah masa lalu. Tentu saja, sejarah sebagai sebuah peristiwa yang sudah terjadi tidak akan memberi banyak manfaat bagi kehidupan di masa kini bila keberadaannya sekadar untuk kepentingan romantisme semata. Oleh karena itu, dalam kaitan tinggalan sejarah dari masa Kerajaan Melayu Kuno ini, pesona dari masa silam itu harus juga dipetik manfaatnya dari kearifan-kearifan yang sudah dilakukan nenek moyang bangsa ini di masa lampau....


Reply

Use magic Report

Post time 1-8-2007 06:32 PM | Show all posts
Bung pratama! kamu asal dari mana?
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 7-8-2007 12:07 AM | Show all posts
Originally posted by kupia at 1-8-2007 17:32
Bung pratama! kamu asal dari mana?


Saya dari Jakarta....
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 7-8-2007 12:11 AM | Show all posts
Kebudayaan Buni: Kebudayaan Tertua di Nusantara

PENINGGALAN KUNO
Horison Buni, di Tepi Kali Bekasi

Her Suganda

Siang itu, matahari di atas Desa Kendal Jaya mulai terasa terik. Panasnya menyengat, tetapi sama sekali tidak mengurangi semangat penduduk laki-laki dan perempuan yang berdatangan dari beberapa desa di Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang.

Dengan berlindung di balik payung, mereka berusaha mengadu untung dengan menggali tanah yang dianggap kubur kuno. Dalam pikiran mereka tebersit harapan, siapa duga bisa menemukan perhiasan emas yang bisa segera dilego ke penampung.

Perburuan emas dan barang-barang antik lainnya di tempat yang diduga merupakan kubur kuno tersebut sudah berlangsung sejak pertengahan Januari lalu. "Ada yang menemukan pendil tanah," kata Riman mengungkapkan salah satu benda temuan dari kubur kuno tersebut. Ia menambahkan, "Kalau sedang mujur, bisa menemukan perhiasan emas," tambahnya.

Kisah perburuan barang-barang di tempat semacam itu bukan sekali ini terjadi. Pada tahun 1958, di sebuah daerah yang terletak di dekat Kali Bekasi, seorang petani yang sedang menggarap sawahnya menemukan sejumlah barang berupa perhiasan-perhiasan emas yang tersimpan di dalam periuk kuno yang terbuat dari tanah.

Temuan itu segera saja mengundang minat penduduk lainnya. Mereka datang berbondong-bondong mengadu nasib melakukan pencarian barang-barang yang dianggapnya sebagai harta karun. Tanah sawah digali, lahannya diacak-acak. Tulang-tulang kerangka manusia yang dikubur di tempat itu dibuang.

Namun, apa yang dilakukan para penggali liar itu akhirnya menyulitkan penelitian arkeologi yang saat itu dilakukan Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional—kini Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional/Puslitarkenas yang bernaung di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2006).

Ketika tahun 1960 para arkeolog melakukan penyelamatan dan penjajakan, tempat itu sudah berantakan. Mereka sedih. Karena penggalian dilakukan tanpa prosedur ilmiah, banyak data di "tempat kejadian perkara" hilang karena kecerobohan dan kebodohan.

Kedudukan peninggalan dalam lapisan tanah tidak diketahui lagi dan tulang belulang dibiarkan berserakan di mana-mana bercampur dengan tanah hasil penggalian.

Pinggir Kali Bekasi

Setelah tiga kali dilakukan survei dan ekskavasi, yakni pada tahun 1964, 1969, dan tahun 1970, akhirnya diperoleh temuan-temuan yang sangat berarti. Buni yang terletak di pinggir Kali Bekasi diduga merupakan permukiman, dengan masyarakatnya sudah mengenal tradisi penguburan secara langsung yang dilengkapi dengan bekal kubur berupa beragam gerabah, beliung persegi, artefak logam perunggu dan besi, perhiasan emas, gelang kaca, manik-manik batu dan kaca, serta bandul jaring.

Penyertaan bekal kubur itu merupakan bagian dari ritus komunitas Buni yang dilatari kepercayaan adanya kehidupan sesudah mati. Untuk melanjutkan perjalanan ke alam arwah, jenazah yang dikuburkan perlu diberi bekal.

Berbagai artefak, terutama tembikar yang ditemukan di situs Buni, telah menarik perhatian para arkeolog. Apalagi bentuk dan corak hiasan tembikar Buni ternyata ditemukan pula di dalam bentang wilayah yang luas. Ibarat sebuah pelangi yang sedang mengembang, penemuan corak hiasan tembikar yang ditemukan di Buni dijumpai dalam wilayah yang begitu luas.

Dalam dunia arkeologi Indonesia, daerah sebarannya dinamakan sebagai Kompleks Buni. Namun, ada pula yang menjulukinya Horison Buni. Kompleks Buni atau Horison Buni merupakan kompleks kebudayaan gerabah. Kompleks tersebut ditafsirkan sebagai bentuk awal peradaban.

Horison Buni di daerah pantai utara Jawa Barat mencakup Kali Bekasi di sebelah barat sampai Kali Cilamaya di sebelah timur, meliputi daerah-daerah Kedungringin, Cabangbungin, dan Bulaktemu di Kabupaten Bekasi.

Di pantai utara Karawang antara lain di Cilebar, Kobakkendal, dan Babakan Pedes di daerah Kecamatan Rengasdengklok. Bahkan sebarannya lebih luas lagi sampai daerah aliran Sungai Ciliwung di Jakarta dan Tangerang. Penggalian arkeologis yang dilakukan di pinggiran Sungai Ciliwung, Jakarta, yang terletak di Pejaten, Condet, Lenteng Agung, dan Kelapa Dua telah memberikan hasil penting melalui pertanggalan carbon 14, sehingga dapat ditetapkan rentang pertanggalannya antara 1000 tahun sebelum Masehi dan 500 Masehi.

Horison Buni merupakan ciri yang mewakili sebuah kelompok masyarakat dan budaya sezaman yang menghuni pantai utara Jawa Barat. Situs ini sekaligus memperlihatkan adanya kehidupan pada masa akhir prasejarah dengan tingkat kebudayaan manusia yang sudah tinggi.

Akan tetapi, selama itu para arkeolog masih menyimpan dendam bahwa suatu saat mereka bisa menemukan kerangka manusia dalam keadaan utuh beserta bekal kuburnya sehingga pemahaman tentang budaya Buni menjadi lebih baik. Perkiraan saat itu hanya tinggal menunggu waktu saja. Mereka yakin, suatu saat kompleks hunian masyarakat Buni yang lebih besar dan utuh pasti akan ditemukan.

Impian itu akhirnya menjadi kenyataan ketika dilakukan penelitian di Batujaya pada tahun 2005. Daerah yang merupakan situs kompleks percandian bata paling luas di Jawa Barat itu terletak sekitar 45 kilometer arah utara Kota Karawang.

Situs kompleks percandian Batujaya meliputi luas sekitar lima kilometer persegi. Di sana ditemukan tidak kurang dari 28 runtuhan bangunan yang semuanya tertutup tanah sehingga menyerupai bukit kecil. Ketinggian puncak bukit kecil itu sekitar dua meter di atas permukaan tanah sekitarnya, berada di wilayah Desa Segaran dan Desa Telagajaya.

Situs tersebut ditemukan sejak tahun 1985 oleh tim Jurusan Arkeologi, Universitas Indonesia. Sejak itu penelitian dan ekskavasi hampir tak pernah henti dilakukan setiap tahun oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas). Mula-mula Candi Jiwa dan kemudian Candi Blandongan.

Penduduk setempat menamakannya Unur Jiwa dan Unur Blandongan. Unur menurut dialek setempat artinya sama dengan hunyur dalam bahasa Sunda, yaitu rumah sarang rayap yang berbentuk gundukan tanah. Dinamakan Unur Jiwa karena tempat itu dianggap angker.

Karena daerah sekitarnya sering dilanda banjir, Unur Jiwa sering dijadikan tempat menambatkan kambing milik penduduk. Namun beberapa hari kemudian, selalu terdapat kambing mati di sana. Akan halnya Unur Blandongan, tempat itu dipercaya merupakan tempat berkumpul. Dalam dialek setempat, belandongan artinya sama dengan pendopo tempat menerima tamu.

Bangunan candi yang dinamakan Unur Jiwa berdenah bujur sangkar berukuran 19 meter x 19 meter dan tinggi 4,7 meter. Profil dindingnya berbentuk pelipit rata (patta), pelipit penyangga (uttara), pelipit setengah lingkaran (kumuda). Pada bagian permukaan atas bangunan terdapat susunan bata yang melingkar dengan garis tengah sekitar enam meter. Gejala ini masih dipertanyakan, apakah susunan bata yang melingkar itu merupakan bagian dari stupa atau merupakan bentuk lapik dari sebuah teras.

Ekskavasi runtuhan bangunan Unur Blandongan sudah dilakukan sejak tahun 1992 hingga tahun 1998. Kegiatan ini berhasil menampakkan gambaran dan ukuran denah bangunannya yang berbentuk bujur sangkar berukuran 25,33 meter x 25,33 meter. Pada sisi timur laut, tenggara, barat daya, dan barat laut terdapat tangga naik yang terbuat dari bata dan batu andesit. Anak tangga paling bawah berukuran lebar 1,58 meter dan anak tangga bagian atas berukuran lebar 2,33 meter. Anak tangga tersebut menuju ke arah pintu masuk berukuran lebar 2,20 meter yang mengarah ke sebuah lorong.

Dalam ekskavasi tahun 1995, dari runtuhan Unur Blandongan ditemukan tidak kurang dari 43 buah votive tablet dengan salah satu sisinya terdapat relief yang menggambarkan mandala Buddha. Bentuk penampangnya persegi panjang dengan bagian atas membentuk setengah lingkaran, berukuran panjang 6 sentimeter, lebar 4 sentimeter, dan tebal 0,8 sentimeter. Bagian sisi votive tablet tersebut dilingkari bingkai yang berhias garis-garis bersusun menyerupai shikara (bagian puncak stupa). Pada salah satu votive tablet tersebut terdapat inskripsi yang ditulis dalam aksara Khmer.

Situs Batujaya terletak sekitar 500 meter dari aliran Sungai Citarum yang bermuara di Ujung Karawang. Kawasan ini dilalui aliran sungai kecil Kali Asin yang kini masih tetap berfungsi sebagai saluran pembuang.

Situs ini menjadi surga para arkeolog. Lapisan-lapisan tanah yang digali tidak hanya berhasil menampakkan sosok bangunan candi. Yang lebih menarik lagi, dalam penggalian yang dilakukan tim Puslit Arkenas yang bekerja sama dengan Ecole Francaise d’Extreme-Orient dari Perancis, ditemukan lapisan budaya pendahulunya.
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 7-8-2007 12:12 AM | Show all posts
Kebudayaan Buni: Kebudayaan Tertua di Nusantara

PENINGGALAN KUNO
Horison Buni, di Tepi Kali Bekasi


Her Suganda

Permukaan tanah


Dalam penggalian di bawah Unur Lempeng, di bawah struktur bangunan yang berada pada kedalaman tanah sekitar 2,5 meter di bawah permukaan tanah sekitar, ditemukan kerangka manusia yang masih utuh dengan bekal kuburnya. Kerangka tersebut dikuburkan dengan memakai gelang emas pada pergelangan tangan kanannya sambil memegang pisau besi.

Di antara kedua lutut dan bagian punggungnya terdapat pula senjata dari besi. Di bagian kaki dan atas kepala kerangka terdapat wadah tembikar dengan motif hiasan khas Buni.

Tidak jauh dari kerangka itu ditemukan pula lima kerangka lainnya. Kerangka-kerangka tersebut ada yang masih baik, tetapi ada pula yang sudah rusak. Semuanya dilengkapi dengan bekal kubur berupa barang tembikar.

Menuju ke arah barat dari tempat ditemukannya kerangka pertama, ditemukan sisa bangunan bata berdenah empat persegi panjang. Dindingnya bersekat-sekat berbentuk ruangan. Di bagian bawah, sejajar dengan dinding fondasi, lagi-lagi ditemukan kerangka manusia dalam posisi membujur arah timur laut-barat daya. Kerangka tersebut tidak disertai bekal kubur. Mungkin karena bekal kuburnya sudah terangkat lebih dulu ketika dilakukan penggalian.

Sampai awal pertengahan tahun 2006, di situs Batujaya sudah ditemukan 30 individu yang dikuburkan di sana. Kerangka manusia tersebut sangat beragam, baik usia maupun jenis kelaminnya.

Dalam penelitian paleontologi menunjukkan, ciri tengkoraknya bundar atau sedang, dahi membulat dengan rongga mata tinggi dan persegi. Bagian mulut menonjol sedikit. Keseluruhan ciri menunjukkan pada ras Mongolid. Mereka diduga turunan dari koloni Austronesia yang bermigrasi dari arah utara sekitar Kalimantan dan Taiwan.

Temuan tersebut sangat berharga. Karena itu, untuk melakukan tes DNA, digunakan metode terbaru dengan cara mengambil sampel gigi.

Penemuan kubur komunitas Buni di situs Batujaya tidak hanya memberikan bukti fisiografis dan biologis manusia pada zaman dahulu. Dengan temuan itu juga bisa diketahui aspek budaya yang berkaitan erat dengan ritus dan latar belakang religi. Komunitas Buni yang mendiami pantai utara Jawa Barat sudah memiliki teknik pertanian dan budaya yang tinggi. Hal ini terbukti dengan ditemukannya peralatan yang terbuat dari logam, di samping manik-manik bahan kaca, gelang batu, perkakas dari logam, dan tembikar yang jumlahnya sangat banyak. Barang-barang tersebut ada yang ditemukan dalam keadaan masih utuh ataupun bentuk pecahan.

Setelah dilakukan rekonstruksi, pecahan-pecahan tembikar itu merupakan peralatan rumah tangga seperti kuali, periuk, wajan, piring, pendil, guci, dan jambangan. Dilihat dari jenisnya, tembikar tersebut terdiri dari dua jenis, yakni tembikar lokal dan tembikar nonlokal. Tembikar lokal adalah tembikar Buni. Permukaannya agak kasar, beda dengan tembikar nonlokal. Tembikar nonlokal yang ditemukan di situs Batujaya merupakan tembikar yang berasal dari Arikamedu, sebuah pelabuhan laut di India selatan. Bagian luar tembikar Arikamedu berwarna hitam dan bagian dalamnya berwarna kemerah-merahan, memiliki hiasan dengan teknis hias cungkil atau gores. Jika berbentuk piring, dasar bagian dalam piring tersebut memiliki hiasan lingkaran konsentris. Hiasan ini dikenal oleh para ahli tembikar dengan istilah Rolated Wear.

Bagaimanakah tembikar-tembikar dari Arkamedu itu bisa sampai di "Horison Buni"? Dalam hal ini, hanya ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Selain melalui hubungan dagang, tembikar-tembikar itu dibawa oleh orang-orang India dari negeri asalnya. Para ahli menduga, komunitas Buni yang melandasi awal kebudayaan di Jawa Barat tersebut berlanjut terus hingga masa Tarumanagara.

Situs Cibuaya

Tidak jauh dari kompleks percandian Batujaya, terdapat situs Cibuaya. Dinamakan demikian karena situs tersebut terletak di Desa/Kecamatan Cibuaya, sekitar 40 kilometer arah utara Kota Karawang. Penduduk setempat menamakannya lemah duwur.

Karena salah satu di antaranya memiliki lingga di bagian puncaknya, situs tersebut dinamakan Lemah Duwur Lanang. Situs lainnya dinamakan Lemah Duwur Wadon. Lemah duwur dalam dialek setempat berarti tanah yang tinggi. Sedangkan lanang dan wadon menunjukkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Ketinggian puncak lemah duwur tersebut rata-rata 2 meter di atas permukaan tanah sekitarnya.

Situs Cibuaya terletak pada satu dataran rendah seluas lebih kurang 600 meter x 1.200 meter, sebagian besar area situs itu merupakan sawah. Penelitian arkeologis terhadap situs tersebut sudah beberapa kali dilakukan, baik oleh Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional kini Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) maupun dengan kerja sama Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia menyusul ditemukannya arca Wisnu. Arca Wisnu 1 ditemukan sekitar tahun 1951, arca Wisnu 2 pada tahun 1957, dan arca Wisnu 3 tahun 1977.

Dugaan adanya bangunan suci dan tidak mustahil adanya masyarakat pendukungnya, diperkuat dengan ditemukannya runtuhan batu bata yang terdapat hampir di semua situs Cibuaya. Sampai tahun 1993, di situs Cibuaya terdapat tidak kurang dari tujuh runtuhan bangunan yang tersebar di sektor CBY 1 sampai CBY 5. Dua runtuhan di antaranya terdapat di sektor CBY 5. Namun, tiga di antaranya sudah tidak bisa dikenali lagi, baik bentuk maupun ukurannya.

Dari seluruh runtuhan bangunan yang masih bisa dikenali, para arkeolog menyatakan, bangunan di Lemah Duwur Lanang tergolong paling menarik.

Her Suganda Pengurus Forum Wartawan dan Penulis Jawa Barat

[ Last edited by  jf_pratama at 6-8-2007 11:14 PM ]
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 7-8-2007 12:16 AM | Show all posts
Penemuan Situs Purbakala
Kerangka Manusia Diperkirakan dari Kebudayaan Bun
i
       
JAKARTA - Kerangka manusia setinggi 2,5 meter yang ditemukan warga di Des Kendal Jaya, Kecamatan Pedes, Karawang, diperkirakan berasal dari kebudayaan Buni yang hidup disepanjang pantai utara pulau Jawa. Dari ciri-ciri temuan warga di lokasi penggalian, terdapat kesamaan dengan temuan kerangka manusia Buni yang ditemukan di Desa Buni, Bekasi.

Kepala Seksi Sejarah Nilai Tradisional Museum dan Kepurbakalaan (Jarahnitra dan Muskala) Dinas Penerangan, Pariwisata dan Kebudayaan (Dispenpar) Karawabf, Ii Wahyudi menyebutkan terdapat kemiripan antara kerangka manusia yang ditemukan di Desa Kendal Jaya dengan kerangka manusia Buni.

“Dilihat dari temuan dan perhiasan yang tersimpan bersama di dalam satu makam, maka ciri ini mirip dengan temuan manusia Buni yang ditemukan di Bekasi dan Cibuaya,” jelas Ii seperti dilaporkan wartawan SINDO Karawang Asnil Bambani Amri untuk okezone, Sabtu (20/1/2007).

Ii menyebutkan, lokasi temuan yang ada sekarang juga tidak terlalu jauh dari situs Cibuaya dan Batujaya, sehingga diperkirakan kerangka manusia temuan di Desa Kendal Jaya tersebut masih berkaitan dengan situs yang ada di Cibuaya dan Batujaya. “Letak lokasi yang masih berdekatan, dan temuan yang sama juga pernah ditemukan di Kecamatan Cibuaya,” jelasnya.

Ii memperkirakan kalau temuan tersebut masih terkait dengan peradaban prasejarah manusia di sepanjang pantai utara (Pantura). Menurut Ii, peradaban di pantai utara Sunda pernah bermukim kebudayaan Buni sebelum masuknya budaya lain. “Berdasarkan penelitian yang berakhir tahun 1993 lalu, peradaban tersebut adalah peradaban tertua yang ditemukan di pantai utara Sunda,” terang Ii.

Menurut dia, ciri-ciri dan kebiasaan dari manusia Buni adalah pemakaman manusia yang disertakan dengan harta dan miliknya selama hidup. Selain itu, manusia Buni mempunyai ukuran tubuh lebih besar dari manusia Indonesia yang sekarang. “Manusia Buni itu dulunya sudah mendiami daerah sepanjang Pantura dengan tata cara pemakaman berikut dengan harta milik orang yang dimakamkan seperti ciri yang kita temukan di lokasi,” ungkapnya.

Akan tetapi, Ii belum berani memastikan temuan kerangka tersebut adalah manusia Buni, menurutnya untuk memastikan temuan harus telebih dahulu dilakukan oleh tim ahli arkeologi. Sedangkan kemungkinan kerangka tersebut adalah manusia Buni menurut Ii sangat besar, karena dilihat dari ciri-ciri temuan yang mirip dengan temuan manusia Buni sebelumnya.

“Seperti manik-manik yang digunakan, serta adanya tembikar di dalam kuburan tersebut bisa menguatkan ke arah sana,” tandas Ii.

Ii sendiri mengaku khawatir jika hasil tim arkeologi menyimpulkan lokasi temuan kerangka tersebut sebagai cagar Budaya. Sebab, saat ini kondisi lokasi sudah dirusak warga, sehingga Ii merasa kecolongan. “Kecolongan kita jika ditetapkan sebagai cagar budaya oleh tim arkeologi,” pungkasnya. (mbs)
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 7-8-2007 12:21 AM | Show all posts
Benda Berharga di Cipedes Diduga Peninggalan Manusia Buni

Penemuan berbagai jenis benda berharga di Desa Kendal Jaya Dongkal, Kec. Pedes Kab. Karawang dalam bebera hari terakhir ini, diduga kuat merupakan peninggalan Suku Buni Abad ke I atau seusia dengan candi Jiwa di Kec. Batujaya.
WARGA menunjukkan sejumlah benda bersejarah berupa tembikar, pendil, dan mute yang diduga peninggalan suku Buni dari abad pertama yang ditemukan di areal sawah Kp. Pajaten, Desa Kendal Jaya Dongkal, Kec. Pedes, Kab. Karawang.*DODO RIHANTO/"PR"



Hal tersebut dikemukakan Kepala Dinas Penerangan Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Karawang Drs. H. Aa Nugraha yang mengutip keterangan tim ahli dari Balai Penelitian Arkeologi Bandung dan Balai Penelitian Arkeologi Pusat Jakarta, beberapa waktu lalu.

Menurut Aa Nugraha, benda-benda yang ditemukan di Desa Kendal Jaya itu, bahkan jauh lebih tua dibanding Candi Borobudur Jawa Tengah yang dibangun abad VI.

"Kalau benda-benda seperti tembikar, pendil, dan mute yang berwarna merah, itu sudah dipastikan sebagai benda bersejarah yang sudah ada sejak abad 1 peninggalan Suku Buni, dan usianya sama dengan tuanya Situs Candi Jiwa di Kec. Batujaya," ujar AA Nugraha, saat melepas tim peneliti menuju lokasi penemuan ke Desa Kendal Jaya Kec.Pedes Karawang, pekan lalu.

"Sekarang, kita akan menyisir seluas 62 km2 wilayah yang terdapat di Desa Kendal Jaya, karena ada kemungkinan di bawah temuan benda-benda tersebut terdapat candi seperti yang berada di situs Candi Jiwa Kec. Batujaya," kata Aa.

Menurut dia, kalau memang terbukti di bawah temuan benda-benda kuno tersebut terdapat candi baru, maka pemkab akan membebaskan lahan masyarakat yang akan dijadikan penelitian oleh pihak terkait.

Seperti diketahui, sejak beberapa hari terkahir ini sejumlah warga di Desa Kendal Jaya Dongkal Kec. Pedes, dibuat heboh menyusul ditemukannya barbagai jenis benda berharga berupa emas, tembikar, bahkan tulang manusia yang diduga manusi purba. Mereka menemukan emas berbentuk anting, cincin patah berdiameter sangat kecil, cantelan/gandulan kalung yang beratnya mencapai 1 hingga 2 gram, atau ringgitan emas bulat seperti uang logam (benggolan-red.), ditemukan warga di tengah kedalaman tiga meter.

Bukan pertama

Penggalian emas yang dilakukan warga Desa Kendal Jaya Dongkal, sebenarnya bukanlah yang pertama terjadi di daerahnya. Menurut Tolih (35) warga Kampung Pajaten Rt 03/05 Desa Kendal Jaya Dongkal, kebiasaan warga desanya mencari emas dilakukan setiap musim kemarau, atau setelah petani melakukan dua kali masa panen padi yaitu panen rendeng dan morekat. Kebiasaan itu menurut dia sudah dilakukan warga sejak tahun 70-an.

Tak hanya emas dan liontin yang kini sering ditemukan warga. Benda-benda berusia ratusan tahun seperti pendil (kendi terbuat dari tanah liat yang sudah dibakar-red) dengan motif ukiran batik, batu putih, bahkan tulang rangka manusia berukuran tinggi tiga meter, sering kali ditemukan warga ketika penggalian berlangsung.

Menurut Warno (24) warga setempat, emas-emas itu kebanyakan berbentuk bulat kecil seperti cincin patah. Benda itu ditemukan berserak di sela-sela tengkorak kepala manusia. "Seperti kemarin saya mendapatkan emas itu terselip di dalam tengkorak," tutur Warno (24).

Sementara itu,Tolih, warga lainnya bercerita, sebenarnya kegiatan pencarian emas di desanya dimulai sejak tahun 1966. Pertama kali penggalian itu dilakukan seorang warga Pulo Nangka Babelan Kab. Bekasi. Ia bersama 10 orang timnya, waktu itu mengontrak sawah milik H. Lander (seorang tuan tanah sawah kaya di desa tersebut-red), Rp 10 juta sebagai daerah yang dijadikan tempat melakukan penggalian emas.

Mahkota raja

Bendo c.s. berhasil mengangkat barang berharga miliaran rupiah berupa mahkota kerajaan dan emas gelang bahu yang biasa digunakan para punggawa di istana kerajaan. Kedua barang yang ditemukan itu pun dibawa pulang Bendo c.s. "Tidak tahu dibawa kemana," ujar Tolih.

Pascapenggalian emas yang dilakukan Bendo c.s., diam-diam warga Desa Kendal Jaya Dongkal atas inisiatif sendiri melakukan penggalian emas di sawah yang sebelumnya digunakan Bendo c.s. Penggalian emas itu dilakukan warga secara berlanjut hingga sekarang di sawah milik H. Lander (alm) yang kini sudah berpindah tangan ke anaknya, H. Ridho dan H. Sidik. Di atas lahan sawah seluas 4 hektare milik H.Ridho, dan 4,5 hektare milik H. Sidik ratusan warga dari luar desa Kendal Jaya pun seperti Desa Pawarengan Kec. Cikampek, Rengasdengklok, Kutawaluya, Cilamaya Wetan, Cilamaya Kulon, dan Desa Pusaka Jaya Selatan (Cikunir) Kec. Cilebar, hampir setiap hari mendulang emas di sawah tersebut.

Setelah menjadi sorotan media televisi, lokasi penggalian emas makin ramai . Dalam sehari jumlah pengunjung yang datang mencapai seribu orang. Mereka yang menggali sawah, biasanya membentuk lubang seperti kelinci. Di sekeliling lubang tersebut, puluhan warga terdiri dari ibu-ibu, muda-mudi, hingga anak-anak, menyaksikan proses penggalian emas. Bila ada penggali mendapatkan benda aneh, apalagi serpihan emas, kontan masyarakat ikut berlari mengerumuni lubang penggalian sekadar untuk mencari tahu seperti apa bentuk barang aneh yang ditemukan tersebut. "Mereka hanya penasaran saja," ujar Upas Warsyid (48), warga Kampung Pajaten RT 05/03 Desa Kendal Jaya Dongkal yang sudah mendapatkan dua batu putih, kalung mute dengan gandulan emas campuran perunggu berbentuk naga laut, dan 11 gram emas murni di tempat penggalian tersebut.

Hingga azan subuh

Warga Desa Kendal Jaya Dongkal, umumnya melakukan penggalian emas sejak matahari terbit. Kegiatan penggalian akan berlanjut hingga pukul tiga dini hari sebelum azan Subuh. Berbekal lampu damar (lampu kecil dengan satu sumbu-red.), atau lampu petromak, warga melakukan penggalian tak mengenal lelah dari pagi hari hingga dini hari.

Setiap satu gram emas murni yang didapat warga, biasanya langsung dijual di tempat kepada salah seorang bandar pembeli emas yang sudah menunggu. Bandar pembeli emas itu datang dari daerah Cilamaya Wetan dan Rengasdengklok. Seperti diakui Wati (47) seorang pembeli dari Desa Kalangsari Kec. Rengasdengklok, sudah seharian menunggu para penggali emas menjual hasil galiannya. Setiap satu gram emas dibelinya seharga Rp 120.000,00 - Rp 140.000,00. Menurut dia, harga emas itu bisa naik turun tergantung dari kondisi barangnya,

Penggalian emas yang dilakukan warga di lahan sawah tersebut, dinilai Kepala Desa Kendal Jaya Dongkal, Hj. Syara Qulsum mengganggu areal sawah milik H. Ridho dan H. Sidik. Bu kades pun meminta pihak media massa tidak hanya mengekspos temuan emas dan benda sejarah yang ada di desanya. "Saya mah mintapemkab untuk mengairi areal sawah di wilayah kami yang kini masih kekeringan, karena dengan datangnya air otomatis akan menghentikan kegiatan penggalian," ujar Qulsum.

Melihat kerusakan areal sawah di lokasi penggalian, pemerintah desa langsung mengoperasikan mesin pompa untuk mengairi sawah. Namun, aksi itu mendapat kecaman dari sebagian besar masyarakat terutama para pemuda Kampung Pajaten Desa Kendal Jaya Dongkal.

"Upaya pengairan areal sawah itu sangat merugikan masyarakat yang tengah mengais rezeki. Padahal, seharusnya bu kades bersyukur, ketika di daerah lain terjadi banyak bencana seperti tsunami, gempa bumi, lumpur panas, tapi di daerah kita malah subur dengan emas," ucap warga yang enggan disebutkan namanya.
Reply

Use magic Report

12Next
Return to list New
You have to log in before you can reply Login | Register

Points Rules

 

ADVERTISEMENT



 

ADVERTISEMENT


 


ADVERTISEMENT
Follow Us

ADVERTISEMENT


Mobile|Archiver|Mobile*default|About Us|CariDotMy

5-6-2024 12:25 AM GMT+8 , Processed in 0.104002 second(s), 49 queries .

Powered by Discuz! X3.4

Copyright © 2001-2021, Tencent Cloud.

Quick Reply To Top Return to the list