CariDotMy

 Forgot password?
 Register

ADVERTISEMENT

View: 2103|Reply: 4

Marsose, Anak Emas Penjajah Pembantai Rakyat

[Copy link]
Post time 21-5-2019 12:29 PM | Show all posts |Read mode






Di bawah pimpinan beberapa orang perwira telah dilakukan kekejaman-kekejaman yang tidak terlukiskan dan ekspedisi-ekspedisi teror oleh brigade-brigade marsose, yang mengakibatkan ratusan orang laki-laki, perempuan, serta anak- anak terbunuh.

75.000 orang Aceh terbunuh oleh serdadu-serdadu penjajah Belanda dalam usaha Belanda menguasai Aceh. Sebagian dari mereka terbunuh oleh satuan khusus bernama Marsose.

Perang Aceh yang dimulai dengan invasi tentara penjajah Belanda atas Kesultanan Aceh pada tahun 1873 bisa dikatakan sebagai perang terdasyat antara pribumi melawan pendudukan Belanda kala itu.

Seperti yang diceritakan Ibrahim dalam bukunya yang berjudul “Perang di Jalan Allah, Perang Aceh 1873-1912”, perang Aceh menghasilkan begitu banyak korban jiwa dalam kurun waktu perang tersebut.

Bukan cuma sekadar pasukan vs pasukan, tapi juga terjadi pembantaian demi pembantaian penduduk sipil. Jumlah korban yang membengkak akibat banyak pasukan yang berperang, tak memiliki kecakapan untuk berperang.

Salah satu alasan mengapa begitu banyak korban jiwa dan begitu dasyatnya perang, karena di perang ini, teknik gerilya digunakan begitu sempurna oleh pasukan pribumi kala menghadapi pasukan Belanda.

I’anah Wulandari, Sejarawan dari Universitas Negeri Surabaya dalam tulisannya berjudul “Satuan Korps Mareschausse di Aceh tahun 1890-1930”, membenarkan kesuksesan taktik serangan gerilya tersebut. Sampai-sampai, dalam perang Aceh, Belanda tak begitu banyak memberikan perlawanan berarti.

Pasukan Belanda bagaikan dikepung prajurit-prajurit gerilyawan Aceh yang sukar untuk dilacak. Belum lagi ditambah keadaan geografis Aceh yang berbukit, banyak sungai, dan banyak pegunungan serta hutan membuat pasukan gerilyawan pribumi makin sulit dilacak pasukan Belanda. Akibatnya, Belanda hanya bisa mempertahankan wilayahnya saja.

Mulanya, sebenarnya Belanda terlalu menganggap enteng untuk menaklukan wilayah Aceh yang dirasa “cukup mudah ditaklukan”. Nyatanya, dari tahun 1873 hingga awal tahun 1880, Belanda memperoleh begitu banyak kerugian. Bahkan nilainya mencapai 115 juta florin. Biaya yang bigitu besar dibanding hasil yang didapat.

Belanda dalam kurun waktu tersebut, hanya sanggup menguasai Aceh dalam luas wilayah sebesar 74 Km2. Artinya, Belanda hanya mampu menguasai kota Raja (Keraton) dan Masjid Raya Aceh saja.

Di luar itu, Belanda tak memiliki kuasa apapun. Artinya, sebenarnya Belanda dikepung pasukan gerilyawan Aceh. Dan hal ini pula yang justru menguntungkan pasukan Aceh. Musuh mereka, yakni Belanda bagaikan digiring di satu titik pertempuran saja.

Sehingga memudahkan para gerilyawan Aceh untuk melakukan serangan taktis yang menghasilkan efek yang besar.

Belanda saat itu, menggunakan strategi “Gecocentreerde Linie” atau pola bertahan terpusat. Strategi ini diputuskan oleh Menteri pertahanan Belanda kala itu, Weitzel pada tahun 1884. Dalam strategi tersebut Belanda memusatkan pasukannya di sekeliling Kotaraja (ibukota).

Daerah ini dikelilingi satu lini yang terdiri dari pos-pos atau benteng-benteng. Hubungan antar benteng dilakukan dengan jalan darat dan trem. Para pejabat Belanda mengacu pada perang Diponegoro di Jawa dalam merancang strategi tersebut. Namun strategi tersebut gagal mencapai hasil yang diinginkan.

Mereka tidak memperhitungkan keadaan sosial-ekonomi yang berbeda taraf dan sifat masyarakat pedesaan ditambah dengan perbedaan medan perang.

Pada masa konsentrasi (Gecocentreerde Linie), pasukan gerilya kecil-kecil menyusup dan menyerbu sampai ke lini benteng-benteng, taktik dan perlengkapan konvensional tentara penjajah tidak mampu menghadapinya.

Pada tahun 1889 dibentuk dua detasemen khusus gerak cepat yang dianggap sebagai pelopor korps yang sesudah dua puluh tahun kemudian dianggap sebagai solusi terhadap masalah-masalah militer yang dihadapi penjajah dalam Perang Aceh. Korps ini adalah Korps Marsose Jalan Kaki.

Korps ini dibentuk pada 20 April 1890 atas usul seorang Pribumi yang menjadi jaksa kepala pada pengadilan di Kutaraja, bernama Muhamad Arif. Ia menasihati gubernur militer Aceh ketika itu, Jenderal Van Teijn, dan kepala stafnya, seorang kapten yang bernama J.B. van Heutsz, untuk membentuk sejumlah detasemen gerak cepat kecil-kecil yang terdiri dari orang-orang yang berani untuk mencari gerilyawan dan melawannya dengan senjata-senjata mereka sendiri.

Kontra gerilya sebagai jawaban atas perang gerilya yang dilakukan oleh para pejuang Aceh.

Usul ini diterima, akhirnya dibentuk sebuah pasukan elit bernama pasukan Marsose atau dikenal pula dengan sebutan Korps Mareschausse yang didirikan pada tanggal 2 April 1890 dan tercatat dalam sebuah surat keputusan yang ditandatangani Ratu Belanda yang berjudul “Staatsblad Van Nederlandsch Indie”.

Korps ini bukan sembarang korps. Melainkan sebuah korps tentara bayaran berdarah dingin yang anggotanya merupakan orang-orang pribumi pilihan. Hanya pimpinannya saja yang berdarah Eropa Belanda.

Keunggulan yang ditawarkan oleh pasukan ini adalah karena mereka pribumi yang dilatih khusus, mereka akan lebih mengenal musuh mereka yakni sesama pribumi. Artinya, bisa dikatakan, korps Marsose ini ditugaskan untuk membunuh saudara mereka sendiri. Marsose dapat menguasai pegunungan dan hutan rimba raya di Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan Aceh. adalah karena jumlah gaji mereka.

Jumlah gaji mereka lebih tinggi dibandingkan dengan gaji para serdadu-serdadu Hindia Belanda lainnya. Keunggulan lain pasukan ini adalah kepandaiannya dalam berenang. Kemampuan berenang menjadi keistimewaan tersendiri karena pasukan Belanda saat itu kebanyakan tidak bisa berenang sehingga banyak yang tenggelam di sungai pedalaman Aceh. Dengan peralatan canggih di zamannya dan gaji yang besar, pasukan Marsose dikenal sebagai pasukan elit berdarah dingin.

Korps ini tidak memiliki hubungan dengan pasukan polisi Militer Marechaussee di Belanda. Dari nama korps baru ini menunjukkan bahwa pada mulanya ia dimaksudkan sebagai polisi militer. Pembentukan pertama korps ini terdiri dari satu divisi yang terbagi dalam dua belas brigade, yang masing- masing terdiri dari dua puluh orang serdadu Ambon dan Jawa di bawah pimpinan seorang sersan Eropa dan seorang kopral Indonesia.

Pada tahun 1897 menyusul peluasan sampai dua divisi, dan pada tahun 1899 sampai lima divisi, semuanya berjumlah 1.200 orang. Kemudian ada lagi beberapa kompi marsose di Jawa, tetapi korps ini tidak pernah menjadi lebih besar.

Dalam renungan-renungan para penjajah, dengan nada romantis tentang Perang Aceh, digambarkan seakan-akan 1.200 orang inilah yang membereskan apa yang tidak dapat dilakukan oleh bala tentara yang sepuluh kali lebih besar sebelumnya.

Secara kekuatan efektif, kekuatan pasukan seluruhnya di Aceh di bawah Van Heutsz lebih besar daripada kekuatan-kekuatan sebelumnya. Marsose memang mempunyai semangat yang lebih (dan ini sangat penting) jika dibandingkan dengan infanteri lama.

Di bawah pimpinan beberapa orang perwira telah dilakukan kekejaman-kekejaman yang tidak terlukiskan dan ekspedisi-ekspedisi teror oleh brigade-brigade marsose, yang mengakibatkan ratusan orang laki-laki, perempuan, serta anak-anak terbunuh. Tetapi, ada pula pekerjaan brigade marsose kecil-kecil yang beroperasi sendiri di daerah musuh, dengan daya tahan yang luar biasa disertai keberanian yang hebat, yang oleh penjajah Belanda sering disebut kepahlawanan militer dalam Perang Aceh.

Kemandirian brigade merupakan rahasia besar pasukan marsose. Persenjataannya sebaik-baik persenjataan pada masa itu: karaben repetir pendek (senapan pendek yang panjang larasnya 45 cm, berkaliber 6,5 mm), kelewang dan rencong, sepatu dan pembalut kaki untuk semua anggota dan juga topi anyaman sebagai pengganti helm yang tidak praktis.

Brigade-brigade itu juga membawa beberapa narapidana kerja paksa untuk mengangkut dua tenda, satu untuk ‘komandan’, satu untuk brigade, dan bagasi umum lain, tetapi seluruhnya mereka berdikari. Masing-masing di antara mereka memasak dalam periuknya sendiri dan membawa perbekalannya sendiri-sendiri.

Keberadaaan pasukan Marechausse ini juga menyebabkan perang Aceh menjadi semakin berdarah dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Hal ini dikarenakan tingginya jumlah kematian akibat perang baik dari pihak Belanda maupun dari pihak Aceh. Bahkan pasukan ini mampu mendatangi lembah- lembah serta gunung-gunung yang dijadikan basis gerilyawan pasukan Aceh dan membantai penduduk kampung tersebut secara besar-besaran.

Akibatnya pada masa itu hampir dua ribu lebih anggota militer meninggal dunia. Dari pihak Aceh sendiri masa itu merupakan masa kelam karena pada tahun 1899 sebanyak 21.865 orang Aceh terbunuh, angka ini belum termasuk angka di atas tahun tersebut.

Dalam ekspedisi ke Gayo dan Alas contohnya, seorang komandan marsose penjajah Belanda, van Daalen membawahi 10 brigade Marsose (200 orang serdadu) dengan 12 perwira dan diiringi 450 straapan (napi yang dijadikan kuli).

Ekspedisi itu berakhir pada 24 Juni 1904. Korbannya: 2.902 orang Aceh terbunuh, dan 1.159 di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Sementara di pihak van Daalen 26 orang terbunuh.

Di Kuta Reh, seperti disebut dalam laporan perwira bernama Kempees, van ‘t Veer menulis, “Sebelum serangan dimulai, terdengar bagaimana orang berdoa dan berzikir. Kemudian mulailah pembantaian”. Van Daalen, sebagai komandan dalam pembantaian itu sama sekali tidak merasa malu atas tindakannya, justru bangga atas keberhasilannya,”

Henk Schulte Nordholt dalam artikel “A Genealogy of Violence” dalam Roots of Violence in Indonesia (2002) suntingan Freek Colombijn & J. Thomas Lindblad, mengungkapkan bahwa 75.000 orang Aceh terbunuh oleh serdadu-serdadu penjajah Belanda dalam usaha Belanda menguasai Aceh. Sebagian dari mereka terbunuh oleh satuan khusus bernama Marsose.

“Ekspansi kolonial menciptakan kekerasan oleh negara yang hanya sedikit diakui dalam sejarah Belanda,” tulis Nordholt. Jumlah korban dalam Perang Aceh (1873-1904) ini melebihi jumlah korban pasukan Raymond Westerling di Sulawesi Selatan, yang disebut-sebut mencapai sekitar 40.000 orang.

Ketenaran pasukan Marsose berakhir pada tahun 1930, karena setelah merayakan HUT nya yang ke 40, seluruh divisi pasukan Marsose dibubarkan. Sejak saat itu berakhirlah legenda tentang pasukan paling kejam berdarah dingin bernama Marsose.



Referensi:
A.Hasjmy, Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agressi Belanda, Penerbit Bulan Bintang Jakarta, Cetakan Pertama 1977.
Freek Colombijn & J. Thomas Lindblad (eds), Roots of Violence in Indonesia, KITLV Press, Leiden 2002. https://tirto.id/kejahatan-perang-belanda-di-aceh-cFZJ
Hario Kecik, Pemikiran Militer I, Sepanjang Masa Bangsa Indonesia, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, September 2009.
I’anah Wulandari, Satuan Korps Marechausse Di Aceh Tahun 1890-1930, AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 1, No. 3, Oktober 2013, Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya
Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, Perang Aceh 1873-1912, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, 1987.
Paul Van T Veer, Perang Aceh, Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje. PT. Grafiti Pers. 1985.


Rate

1

View Rating Log

Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


Post time 2-6-2019 12:45 AM From the mobile phone | Show all posts
Payah skit nk faham. Tp gambar tu sedihnye
Reply

Use magic Report

Post time 2-6-2019 01:01 AM From the mobile phone | Show all posts
noraidil_06 replied at 1-6-2019 04:45 PM
Payah skit nk faham. Tp gambar tu sedihnye

Tu pasal lah pakcik selalu akan menelaah dulu artikel dan sampaikan balek kepada enkorang supaya mudah nak paham. Matlamat utama kita adalah menyampaikan sesuatu untuk orang faham. Kalau tak faham habislah tujuan dan malamat sesuatu ilmu.
Reply

Use magic Report

Post time 2-6-2019 01:16 AM From the mobile phone | Show all posts
OttoVonBismark replied at 2-6-2019 01:01 AM
Tu pasal lah pakcik selalu akan menelaah dulu artikel dan sampaikan balek kepada enkorang supaya m ...

Baiklah :p
Reply

Use magic Report

Post time 2-6-2019 01:25 AM From the mobile phone | Show all posts
Edited by katana1 at 2-6-2019 01:33 AM

Macam pakai google translate je. Banyak bahasa indon.

Edit balik. Tambah yg bawah ni

Ooo sejarah indonesia. TT kene olah semula supaya mudah difahami.
Reply

Use magic Report

You have to log in before you can reply Login | Register

Points Rules

 

ADVERTISEMENT



 

ADVERTISEMENT


 


ADVERTISEMENT
Follow Us

ADVERTISEMENT


Mobile|Archiver|Mobile*default|About Us|CariDotMy

31-1-2025 05:19 PM GMT+8 , Processed in 0.051154 second(s), 20 queries , Gzip On, Redis On.

Powered by Discuz! X3.4

Copyright © 2001-2021, Tencent Cloud.

Quick Reply To Top Return to the list