Pada musim semi 1969, sebuah speedboat berawak 15 pasukan khusus Korea Utara meluncur melalui Laut Kuning menuju Korea Selatan dalam sebuah misi rahasia.
Kapal itu seharusnya menjemput agen rahasia Korut yang beroperasi di Korea Selatan dan membawanya kembali ke Utara.
Kru kapal tiba di daratan Pulau Heuksan, Korsel pada tengah malam untuk menjemput agen yang dimaksud. Tak menemukan apa yang mereka cari, kru kapal justru mendadak berhadapan dengan pasukan keamanan Korea Selatan yang telah menyiapkan serangan kejut di lokasi tersebut.
Baku tembak pun terjadi. Semua kru Korea Utara itu tewas dalam baku tembak itu. Dan secara keseluruhan, operasi penjemputan itu gagal total.
Kegagalan operasi itu bukan kebetulan. Intelijen Korea Selatan (KCIA) telah mempersiapkan "jebakan yang cermat" untuk merespons kapal Korea Utara itu.
Sebulan sebelumnya, KCIA telah menangkap agen Korut yang seharusnya dijemput tim tersebut dan mengubahnya menjadi agen ganda serta menggunakannya sebagai umpan. Untung saja, peristiwa tegang itu tak berujung menjadi krisis internasional yang memanas, seperti misalnya Perang Dunia III.
Bukan sekali itu saja Korea Utara melakukan operasi gerilya senyap yang mampu memicu eskalasi tensi dan berujung pada Perang Dunia III Sejak tahun 1966, agen intelijen rahasia Korea Utara beberapa kali melancarkan kampanye gerilya melawan Korea Selatan dalam upaya untuk menangkapi anggota militer Korea Selatan dan Amerika Serikat, serta memicu keresahan rakyat Negeri Ginseng di bawah kepemimpinan Presiden Park Chung-hee.
Namun seiring waktu, Korea Selatan telah lebih baik dalam mengidentifikasi dan menanggulangi agen rahasia Pyongyang.
Sisa tahun 1960-an terjadi lebih banyak lagi operasi spionase-gerilya yang dilakukan Korea Utara ke Selatan. Salah satunya adalah pengerahan Unit Angkatan Darat ke-124 Korea Utara untuk melakukan percobaan pembunuhan terhadap Presiden Korea Selatan.
Pasukan berkomposisi serupa juga pernah menembaki sebuah pesawat mata-mata Angkatan Laut AS EC-121 yang terbang di Semenanjung Korea hingga jatuh di Laut Jepang menewaskan seluruh 31 kru AS di dalamnya.
Kendati demikian, memasuki 1970-an, semua operasi spionase-gerilya itu tak membuahkan hasil. Di sisi lain, seiring waktu, Korea Selatan justru tumbuh semakin siap untuk menghadapi segala bentuk ancaman personel gerilya Korea Utara -- seperti, meningkatkan kemitraan pertahanan dengan Amerika Serikat, mempelajari strategi kontra-infiltrasi, menambah pasukan keamanan nasional hingga mencapai 40.000 orang, dan mengoperasikan strategi patroli laut.
Akhirnya, hal tersebut memaksa Pemimpin Korea Utara saat itu, Kim Il-sung, memikirkan strategi lain.
|