CariDotMy

 Forgot password?
 Register

ADVERTISEMENT

View: 30395|Reply: 137

Satu Kontrak Pernikahan

[Copy link]
Post time 7-8-2009 10:58 PM | Show all posts |Read mode
Post Last Edit by bintang at 2-2-2011 10:03

‘’Aku sungguh-sungguh tidak faham kenapa orang harus bernikah,” gerutuku.

Kamil tertawa.  “Ibu kau menanyakan calon lagi?”

Aku mengangguk mencebik.

“Apa jawaban kau kali ini?” godanya.

“Aku tak jawab. Aku tinggalkan ruang makan dan masuk ke bilik.”

Kamil terbahak. “Kau kebudak-budakan,”  katanya.

“Habis jawapan apa lagi nak kuberikan, Mil? Aku sudah kehabisan alasan, kehabisan stok bohong.  Dan ibu pulak makin mendesak.”

Kamil tersenyum.  “Kau memang seperti kanak-kanak. Kalau kau jadi ibu, tidakkah kau risau kalau anak kau belum juga bernikah pada usia tiga puluh tahun?.”

“Aku akan sangat gembira kalau anakku tidak bernikah seumur hidupnya.”


Huh, itu komentar aku!
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 8-8-2009 12:03 AM | Show all posts
Post Last Edit by bintang at 2-2-2011 10:14

Kening  Kamil terangkat. “Kenapa?”

“Pernikahan hanya merumit hidup perempuan.”

“Pernikahan juga membuat hidup laki-laki lebih susah.....”

“Tepat!”   potongku.   “Untuk apa menikah kalau yang kita dapat hanya kesulitan?”

“Mungkin kerana kesulitan itu hanya efek sampingan, sementara keuntungannya lebih banyak?”

“Mana tahu,”   cebekku.   “Kau sendiri belum bernikah.  Apa yang kau tahu tentang keuntungan bernikah.”

“Aku sudah cukup banyak belajar, Julia. Umurku sendiri sudah tiga puluh dua, kebanyakan kawan-kawan aku dah berkeluarga.”

“Tapi kau tidak! Akui sajalah. Kau setuju kan kalau hidup sudah cukup pelik tanpa perlu lagi bernikah?”

Kamil tersenyum. “Ya, memang.”

“Lebih enak hidup seperti ini. Bebas!”

“Setuju. Tapi ingat, aku bukan sama sekali tidak mau bernikah. Aku hanya masih menunggu calon yang serasi.”

Dan aku menghela nafas panjang.   “Aahhh... Calon.”

“Itu kan sebenarnya alasan kau untuk tidak juga bernikah?”

“Ya, ” gumamku enggan.

“Bukan sebab kau sama sekali anti bernikah.”

Aku menggeleng.   “Jangan bagi tahu siapa-siapa, tapi kadang-kadang aku nak gak digandeng seseorang saat datang ke majlis-majlis, hehee”

“Tapi kau boleh saja bergandengan dengan salah satu teman lelaki kau kan?”

“Gandengan teman lelaki tu tak best. Cepat jek putus,”  komenku pahit.   “Maksudku, aku mau orang yang sama menggandeng tanganku ke mana pun aku pergi.”

“Apa susahnya menggaji orang yang mau menggandeng tanganmu ke mana-mana?  Ini zaman susah. Banyak pengangguran.”

“Kamil!”  kuayunkan tanganku, tapi begitu hafalnya ia dengan reaksi aku dia menghindar sambil tergelak.

“Kau sedar kan kalau bernikah itu lebih dari sekadar mengontrak dua pasangan?”  tanyanya kemudian, lebih serius.

“Ya...  dek kerana itu, aku tidak dapat membayangkan bernikah dengan orang yang salah. Kalau saja...,” aku terdiam.

“Apa?”

“Kalau saja aku dapat yakin bahawa lelaki itu tampan dan baik hati setelah ia berhasil menikahi aku. Bagaimana seorang perempuan dapat tahu kalau lelaki yang merayunya ternyata suami yang salah? Yang suka memukul, mencaci-maki, menghina, cemburu buta, suka berbohong dan kaki perempuan?.”
Reply

Use magic Report

Post time 8-8-2009 12:33 AM | Show all posts
sambung lagi beb... layan la pulak aku baca... heh heh
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 8-8-2009 10:40 AM | Show all posts
Post Last Edit by bintang at 2-2-2011 10:20

“Julia, laki-laki yang begitu sedikit sekali.”

Aku menggeleng.  “Semua laki-laki sama.”

“Bagaimana dengan aku? Aku laki-laki.”

“Kau bukan lelaki, Mil. Kau malaikat.”

Kamil terbelalak. Didekap dada kirinya dan dia terkulai di kerusinya.

“Kamil!”  marahku. “Nanti orang memerhatikan kita!”

“Julia, kau sedar kalau aku belum mati? Aku harus mati dulu sebelum jadi roh dan mengajukan lamaran menjadi malaikat,”  dan dia kembali terkulai, mata tertutup, lidah terjulur. Isk, mengada sungguh!

“Mil, Mil....,” aku menjadi geram seketika. “Kalau kau memang mau bernikah, berubahlah.”

Dia tergelak. “Dan kau. Kalau kau memang mau bernikah, percayalah setidak-tidaknya pada satu orang saja dari golongan lelaki.”

“Aku tak boleh, Mil.”

“Berarti kau memang tidak boleh bernikah. Tidak mungkin dan tidak akan. Dan kalau kau memaksakan diri, kau akan merana. Dan kalau kau sengsara kau akan makan makin banyak. Dan kalau kau makan banyak-banyak kau akan....”

“Kamil!”   walaupun nada suara aku keras, aku tidak dapat menahan senyum mendengar kenyataan sengal itu. Setelah dua puluh tahun menjadi sahabatku, dia benar-benar telah memahami aku.

“Kau pernah berfikir tak tentang ibumu?”  katanya kemudian. Seperti biasa dia boleh menjadi sangat jenaka dan kemudian serius hanya dalam selang beberapa detik.    “Dia pasti sangat ingin kau segera mendapat  pasangan. Dia akan lebih tenang kalau tahu kau akhirnya punya seseorang yang akan menemani dan melindungi kau.”

“Jangan cakap camtu,”   cetusku, kembali sugul.   “pertama, ini hidup aku bukan hidup ibu aku. Aku sedih kalau ibu aku sedih.   Tapi kalau suami aku curang atau jahat, apakah ibuku mahu menanggung rasa malu dan sakit hati aku? Kedua, aku tidak perlu pelindung. Kau pun tahu aku dapat mengurus diri aku sendiri. Kalau itu yang aku perlukan, aku boleh aje menggaji lebih banyak pembantu, dengan bodyguard kalau perlu.”

“Baik, baik, Tuan Puteri. Hamba mengaku salah,” Kamil menarik nafas dalam-dalam. “Jadi, dengan pendapat kau tidak sama sekali menghampakan kemungkinan bernikah, apa yang ingin kau capai dengan itu?”

Aku tertunduk lemas. “Itulah, Mil,”  desah aku.    “Aku tidak tahu.  Apalagi  yang aku inginkan saat ini? Aku punyai pekerjaan dengan masa depan yang baik.  Jadi bernikah  untuk  alasan  ekonomi nyata  bukan pilihan aku.  Aku ada teman bicara, sahabat yang baik,  jadi kesepian juga bukan alasan bagiku untuk bernikah.”

“Bagaimana dengan keturunan?”

“Anak? Apa aku harus menikah untuk ada anak? Aku boleh aje mengambil anak angkat kan? Di luar sana banyak anak-anak yang tidak diinginkan orang tuanya. Kalau aku mahu, aku boleh mengasuh satu, dua atau bahkan tiga dari mereka.  Jadi tolong, jelaskan kenapa aku harus bernikah, mempertaruhkan diriku sendiri,  mengambil risiko dilukai zahir dan batin.   Tak ada kepastian sama sekali bahawa pernikahan itu akan bertahan sepanjang hidup aku. Disamping itu, kalau pernikahan itu hancur di tengah jalan, aku akan jadi pihak yang paling banyak menanggung kerugian. Kenapa, Mil?  Untuk apa?”

Kamil termenung agak lama. Akhirnya ia menjawab. “Cinta mungkin?”

“Kau terlalu banyak menonton film romantik ,” selorohku.    “Kau tahu berapa lama cinta bertahan dalam suatu pernikahan?”

“Berapa lama?”

“Satu sampai tiga bulan. Setelah itu, toleransi, kompromi, frustration dan imaginasi.”

“Imaginasi?”

“Kalau kau terjebak di dalam penjara dengan lelaki yang kau benci sekaligus yang kau tahu membencimu, kau harus membayangkan bernikah dengan Richard Gere atau kau boleh jadi gila.”

“Astaga....” gumam Kamil.    “Kalau itu terjadi padaku, siapa kau ingat yang harus aku bayangkan? Michelle Pfeiffer atau Nicole Kidman?”

“Gorila,” jawabku sekenanya dan Kamil meledak tawa.

“Mil,”   keluhku. “Berhentilah tertawa. Aku bukan melawak.  Aku sedang memperkatakan masalah serius, dan aku sebal kau gelak terus menerus.”

Wajahnya serta-merta menjadi serius.    “Aku tidak gelakkan kau. Kalau kau benar-benar sahabat aku, kau tahu beginilah aku menanggani semua masalah, yang genting sekalipun. Termasuk soal nikah.  cubalah.  Kau akan merasa jauh lebih baik.  Kalau ibumu menanyakan calon  sekali lagi, tertawalah. Ketawalah kuat-kuat.”

“Mil, kau benar-benar tak boleh menolong,” gumamku.   “Aku perlu penyelesaian, Mil. Bukan idea-idea sengal.”
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 8-8-2009 02:44 PM | Show all posts
Post Last Edit by bintang at 1-12-2010 19:37

Kamil membisu. Dan untuk beberapa waktu kami berdua sama-sama merenung.
Akhirnya,  Kamil  berkata dengan hati-hati.    “Julia, aku tahu ini akan kedengaran seperti gila. Tapi dengar dulu. Aku rasa sarananku ini dapat menyelesaikan kedua masalah kau.  Pertama, ketidakpercayaanmu kepada lelaki. Kedua, ketidakmengertianmu kenapa kau perlukan seorang suami.”

Aku mengangguk,  dalam hati bersiap-siap untuk mempertahankan kata seriusku walaupun idea yang akan dilontarkan Kamil nantinya ternyata tidak cukup kuat.

“Sebelumnya, aku ingin tanya satu hal, dan ini sangat-sangat penting,  jadi aku perlu jawapan jujur kau. Kau percaya kepada aku?”


Aku tatap Kamil dengan dahi berkerut. Dia telah mejadi sahabatku selama puluhan tahun. Banyak yang berubah dalam hidup aku, dan setidaknya enam lelaki  telah hadir dan menghilang dari hidupku. Hanya Kamil yang tidak berganti.   Ia seakan-akan selalu ada   mengulurkan tangan menolong aku, sementara jenakanya tidak pernah gagal membantu aku keluar dari tekanan yang paling parah sekali pun.


“Ya. Aku percaya kepadamu.”

“Kalau  begitu, percayalah  bahawa yang kulakukan ini semata-mata untuk kebaikanmu. Percayalah bahawa aku sama sekali tidak memiliki niat jahat berselindung di balik idea ini. Percayalah....”

“Kamil! ” potongku cepat. “Idea apa?”

“Aku ingin mengajakmu mengadakan sebuah eksperimen,”   dia berkata dengan hati-hati, kedua matanya terpancar pada ekspresi wajahku.

“Kita akan melakukan pernikahan.”

“Apa?”

“Kontrak!”   lanjut Kamil sesegera mungkin.  “Tentu saja lengkap dengan semua adat-adatnya, lamaran, akad nikah, kalau perlu honey moon….”

“Bulan madu?”


Kamil mengangkat tangannya menyuruhku diam,   ”Kontrak.   Sekali lagi, kontrak. Setelah itu kita akan menjadi suami isteri kontrak sambil mempelajari kenapa kebanyakan manusia yang normal dan waras begitu ghairah untuk berumahtangga. Kalau pada akhir eksperimen kau merasa yakin bahawa kerugiannya tidak sebanding dengan keuntungannya, kita bercerai dan kau dapat hidup bujang, merdeka selama-lamanya. Kalau ternyata kau kecanduan hidup sebagai isteri, kita bercerai dan kau dapat cari suami yang paling sesuai untukmu.  Anggaplah ini sebagai test untuk melihat apa kau akan memilih bernikah atau tidak. Tanpa komitmen, tanpa peraturan. Bagaimana?”

“Kamil,” desisku.   “Ini idea terbodoh yang pernah aku dengar.”

“Semua geng genius selalu diolok-olokan pada awalnya,”    bantah Kamil mantap.   “Pikirkan, Julia.  Ini satu-satunya cara supaya kita dapat belajar erti sebuah pernikahan itu sebenarnya tanpa perlu sungguh-sungguh bernikah. Kau tidak mungkin melakukannya dengan lelaki lain selain aku, yang telah terbukti memiliki sifat hero, dapat dipercayai dan teguh pendirian….”

“Serius, Mil, serius!”

“Dan kau sama sekali tidak melakukan pengorbanan apa pun. Kau tidak akan mengalami kerugian apa pun.”

“Kecuali ribuan yang harus keluar untuk perbelanjaan pernikahan….”

“Kontrak,”  Kamil mengingatkan sambil mengangkat telunjuk.

“OK.   Pernikahan kontrak,”   geramku.   “Dan aku akan menyandang status janda setelah kita bercerai.”

“Kontrak.”

“Mil!”

“Julia!”

“Oh, Tuhan,”   aku bangkit dengan marah dan beranjak keluar. Kamil segera mengejariku.

“Julia, kau tidak perlu semarah ini,”   katanya.   “Apakah aku seburuk itu di matamu hingga kau tidak mau pura-pura bernikah dengan aku?”

Aku berhenti berjalan dan menatap wajahnya, dan menggeleng...

“Biarpun wajahmu seperti mengkarung sekali pun, aku akan tetap memujimu di depan perempuan malang mana pun yang mencintaimu.”

Matanya berbinar.  “Kau tidak marah lagi, kan?”

Aku menggeleng.  “Aku bukan  marah kerana idea kau tu, Mil.  Aku tahu otak kau memang selalu bergeliga tiap kali memikirkan jalan ke luar dari suatu masalah serius.  Aku faham.  Aku hanya kesal kerana kau seperti tidak peduli dengan masalah aku.”

“Dan kerana aku sangat peduli aku mengusulkan ini, Julia,”   pada wajahnya kelihatan begitu tulus.

“Terima kasih. Tapi idea itu memualkan.”

“Fikirkan  ibumu, Julia.  Kalau dia tahu kau akan segera bernikah, dengan aku, orang yang selama ini dikenalnya sangat baik, sopan, hormat kepada orang tua, kacak, rajin…,”   ia berhenti saat melihat raut wajahku,    “ibumu akan sangat bahagia, Julia. Fikirkan juga dirimu.”

Dia diam sejenak.  “Aku janji akan merangkul tanganmu di setiap pesta, di mana pun.”  Ucapannya begitu menyentuh hatiku hingga aku nyaris menangis terharu.

Kalau saja di antara bekas kekasihku ada yang mengatakan begitu kepadaku, aku pasti sudah lama sekali bernikah, fikirku sebelum mentertawai diri sendiri. Perempuan yang tidak perlu seorang pelindung, tapi haus digandeng tangannya. Aku pasti sama kurang warasnya dengan Kamil.

“Apakah aku harus menciummu?”   tanyaku sedikit berbisik.

“Sesekali mungkin, kalau orang tua kita diam-diam memerhati,”   matanya kembali tertawa.  “Di pipi. Aku tidak akan melewati batasan. Kalau kita hanya berdua, kau bebas untuk meninju atau karate aku….”


Aku tersenyum terasa ingin mencubitnya.
Reply

Use magic Report

Post time 8-8-2009 03:28 PM | Show all posts
best... best... best
Reply

Use magic Report

Follow Us
 Author| Post time 8-8-2009 08:56 PM | Show all posts
Post Last Edit by bintang at 1-12-2010 19:44

Suaranya bergetar.    “Saya terima nikahnya Julia binti Anwar dengan mas kahwin tersebut, tunai.”

Dan wajahnya kelihatan sedikit pucat.  Berapa lama dia tidur semalam? Apakah dia terjaga berjam-jam dalam gelap, memikirkan jenaka terbesarnya, seperti aku yang berkebil-kebil sepanjang malam tadi?


Ibuku menitiskan air mata sementara senyum lebar memenuhi wajahnya. Ibu Kamil,  walau menyaksikan dari kerusi rodanya, juga nampak bahagia. Seharusnya aku juga bahagia hari ini. Kamil juga. Mungkin dengan orang-orang lain. Tapi seharusnya aku merasa bahagia. Perasaanku, reaksi para tamu, dan wajah Pak Imam.


Pak Imam menyuruhku menyalami suamiku. (Kontrak, Julia, jangan lupa itu. Suami kontrak.)   Tangannya dingin.  Ekspresi wajahnya aneh, kedua matanya gemerlapan dengan rasa takjub, saat aku mendongak setelah mencium jemarinya. Dia mengucup dahiku dengan bibirnya yang nyaris pucat. Lalu kami berdua duduk berdampingan mendengarkan khutbah Pak Imam, Kamil menunduk menatap baju melayu putihnya dan mataku terpaku baju kebaya putihku sedondong dengan Kamil.


Akhirnya aku beranikan diri untuk berbisik, ”Kau pucat sekali.”

“Aku lapar. Tidak sarapan tadi pagi.”

“Terlalu nervous?”

“bangun dinihari. Aku nonton bola sampai subuh.”

Aku tersenyum.

“Bagaimana aku tadi?” bisiknya.

“Meyakinkan. Berapa lama kau berlatih?”

“Hanya waktu aku berpakaian tadi pagi. Catatan yang kau beri basah tercuci dalam jeans,’’  dia tersengih.

Ah, Kamil, Kamil. Bernikah dengannya tidak akan pernah membosankan.   Kontrak. Nikah kontrak  dengannya tidak akan membosankan!

Tiga hari sebagai isteri Kamil (kontrak) aku berada di rumahku sendiri. Tiga hari berikutnya di rumah Kamil, kerana keadaan ibunya yang telah lama sakit,  dan kami tidak ingin memberatkan beliau lalu pada hari ketujuh kami pindah ke rumah milik Kamil sendiri. Dan setelah seharian mengatur perabut, memasang langsir dan berkemas, malam itu kami tidur dalam keletihan.


Esok paginya, aku terbangun kerana mendengar bising di dapur.  Aku melihat Kamil di sana, sedang mendadar telur, sementara di atas meja terhidang nasi goreng dan seteko kopi yang harumnya menggoda.

“Aku ada mesyuarat pukul lapan setengah nanti,”  kata Kamil sambil membalik dadar telurnya. Aku mengangguk saja.

Aku rasai sedikit nasi goreng buatannya. “Aku tidak tahu kau pandai masak.”

“Amatur,”  kata Kamil tersenyum. Diletakkannya telur di atas meja dan duduk untuk sarapan.   “Aku juga pandai mengait”

“Percaya, percaya. Kalau kau mau menangani urusan memasak, aku akan baiki plug rosak, atap bocor, dan mesin rumput.”

Kamil terbahak.  “Ini hanya sekali-sekala Julia.  Aku tak mungkin masak setiap pagi.”

“Apa lagi aku . Kita perlu cari pembantu.”

“Jangan,”   Kamil menggeleng.   “Dia mesti curiga kalau melihat kita tidur di bilik berasingan.”

“Jadi?”

Kamil menggaru kepalanya.   “Bolehkah kau masak nasi tiap hari?”  mohonnya.  “Aku ada rice cooker.”

Kutatap wajahnya. Dalam hati aku berfikir, haruskah? Ini hanya sebuah permainan. Tidakkah Kamil akan jadi besar kepala kalau aku mematuhinya? Tapi di lain hal, kalau aku benar-benar ingin tahu bagaimana rasanya menjadi seorang isteri,  mungkin ada baiknya aku mengikuti keinginannya.

“Kalau kau mau memasakkan lauk-pauk bergantian dengan aku, baik.”

Dia tersenyum,  beranjak dari meja dan kembali dengan sebatang pen merah. Dilingkarinya tanggal hari itu di kalender yang tergantung di dinding dapur.

“Hari pertama kita menyelesaikan suatu masalah dengan musyawarah keluarga,”   katanya saat kembali ke kerusinya.

“Masih banyak perkara seperti ini yang mesti kita sepakati,”  katanya.  “Misalnya, aku ingin kau beritahu aku kalau kau akan pulang lambat.”

Dahiku berkerut.   “Untuk apa?”

“Apa kau tidak beritahu kepada ibu kalau kau akan balik lambat?”

Aku menggeleng.   “Ibu aku sudah percaya bahawa aku dapat menjaga diriku sendiri dan tidak akan melakukan hal-hal yang bodoh.”

“Tapi aku suamimu..... ya,  kontrak. Aku perlu tahu kenapa dan di mana kau kalau pulang lambat.”

“Kau kedengaran seperti diktator.”

“Aku rasa aku tidak minta terlalu banyak.”

“Itu terlalu banyak untuk aku.”

Kamil meletakkan sudunya dan menatapku dengan mata menyala.  Aku lupa bila terakhir kali aku melihatnya marah. Tapi aku yakin aku tidak salah membaca gelagatnya kali ini. Dia benar-benar marah.

“Ingat,”  kataku hati-hati.   “Aku bukan isterimu betul. Kau tidak punya hak untuk mengatur aku seperti itu.”

Dia menunduk lama sekali, tangannya terkepal, buku-buku jarinya memutih. Dan ruang makan itu menjadi sangat sunyi sepi.

“Baik. Kalau itu yang kau mahu,”  katanya kemudian.

Kami meneruskan sarapan dalam diam. Aku ingin mengatakan bahawa aku sama sekali tidak menduga permainan itu akan membuat persahabatanku dengan Kamil semakin buruk. Tapi aku tak berani mengungkapkan itu. Aku yakin Kamil akan semakin berang kerananya.
Kamil meninggalkan meja makan tanpa mengatakan apa-apa dan pergi ke kamarnya untuk bersiap-siap ke pejabat. Tidak lama dia kembali menemui aku di ruang makan.

“Aku pergi, Julia,” katanya dingin.

Aku bangkit dari meja menghampirinya, berniat untuk memperbaiki situasi.    “Sebahagian teman-temanku menyarankan ini,”  ujarku sambil meraih tangan kanan Kamil dan mengucupnya. “Ku fikir ada baiknya aku cuba. Oh, ya... mereka juga kata kau harus mencium dahi aku.’’
Reply

Use magic Report

Post time 8-8-2009 09:17 PM | Show all posts
sekali baca macam cerita indon plak.... bintang ni orang indon ke? sori.. bukan mengutuk ye sebab most of the greatest novel yg milan baca semuanya dari indonesia. so this is a compliment coming from me.

chaiyok!! tak sabar menunggu sambungan.. best!!!
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


Post time 8-8-2009 10:42 PM | Show all posts
cam bes pla
Reply

Use magic Report

Post time 8-8-2009 11:20 PM | Show all posts
sekali baca macam cerita indon plak.... bintang ni orang indon ke? sori.. bukan mengutuk ye sebab most of the greatest novel yg milan baca semuanya dari indonesia. so this is a compliment coming from  ...
milanhawkin Post at 8-8-2009 21:17

Tu bukan Bahasa Indonesia mbak! Tu Bahasa Melayu Laras Tinggi.

Idea agung terhasil dari bahasa yang berlaras tinggi.
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 9-8-2009 07:32 AM | Show all posts
Post Last Edit by bintang at 1-12-2010 19:59

Dia membongkok dan mengucup dahiku dengan bibirnya yang tertutup dan berlalu tanpa mengucapkan apa-apa lagi.

Dasar tidak tahu berterimakasih!


Aku sengaja pulang lambat malam itu. Dalam perjalanan pulang aku singgah di sebuah kafe yang belum pernah aku kunjungi, sengaja untuk bersendirian dan sebahagiannya untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang pasti oleh kawan-kawan yang biasa bersamaku menghabiskan sisa petang.


Perasaan aku gundah. Rasa bersalah dan kesal berkecamuk di dadaku. Aku tahu Kamil telah banyak berkorban dalam permainan ini. Tapi walau aku sungguh-sungguh ingin mempelajari bagaimana rasanya menjadi seorang isteri, mesti aku akui bahawa aku belum terbiasa menganggap Kamil sebagai suamiku. Bagiku, dia masih seorang sahabat. Dan seorang sahabat tidak boleh menuntut terlalu banyak.


Mataku tertaut pada cincin emas mungil yang disisipkan Kamil di jari manisku selepas akad nikah. Ini hanya permainan, kata batinku. Tapi dalam permainan ini, Kamil adalah suami aku.  Dan sebagai  suami aku, tuntutannya wajar. Kalau aku menjadi tidak suka dengan keterbatasannya, itu hanya satu pelajaran pertama dari permainan ini.


Kupejamkan mata, dan ku tarik nafas dalam-dalam.  Aku benci kekalahan. Tapi kali ini aku mengalah, bukan kalah. Aku akan belajar satu hal dari semua ini. Bagaimana menjaga keakuan dan memilih kebersamaan. Getir, memang. Aku yakin Kamil akan mentertawakan aku.


Alangkah terkejutnya aku mendapati rumah gelap dan kosong. Sudah pukul dua belas setengah malam dan Kamil belum pulang?  Aku cuba menghubungi handphonenya dan hanya memasuki mailbox. Dengan menggunakan berbagai tipu daya, memperhitungkan lemahnya keadaan ibu mertuaku , aku telefon rumahnya.  Aku juga cuba menghubungi pejabatnya, tetap tidak berhasil. Kamil tidak ada di mana-mana.

Inikah balasannya atas penolakanku pagi tadi?  Kebudak-budakan sekali!


Dengan kian larutnya malam,  aku jadi semakin cemas.  Apalagi hingga pagi Kamil tidak balik.  Rupanya dia tidak pergi ke pejabat.  Di pejabat aku tidak keruan jadinya.  Aku minta izin pulang setengah jam lebih awal dengan dalih yang dibuat-buat.  Tapi saat aku tiba di rumah, Kamil tetap tidak ada.  Malam itu telefon aku genggam kemas, berfikir untuk menghubungi polis dan hospital.  Pukul tiga telefon berdering. Bermacam-macam kengerian terlintas di benakku saat aku mengangkat panggilan tersebut.

“Julia...”

“Kamil!!” jeritku.   “Kau di mana?”

“Julia, aku minta maaf kerana marah dan keluar begitu saja. Boleh aku balik?”

“Kamil, ini rumah kau!”  meski pun aku tersenyum, air mata kelegaan mulai meleleh di pipiku.   “Kau di mana?”

“Di luar.”

“Di luar rumah?

“Ya. Dan aku lapar.”

“Oh, Tuhan….”       Aku lari ke luar rumah. Di garaj aku melihat Kamil berdiri di sisi keretanya.  Entah sudah berapa lama dia di sana.

“Kau  keterlaluan! Aku  sudah berfikir  untuk menelepon polis!”  teriakku kepadanya.

“Aku juga rindu kepadamu!”  balas Kamil tertawa.  Dan mataku rasanya semakin perih melihat tawanya lagi.

“Di mana saja kau dua hari ini?”

“Di hotel kecil dekat pejabat.”

Dia baru saja menghabiskan piring ketiga sup ekor kesukaannya.  Dia tidak berkata apa-apa ketika melihat aku sudah membeli semua makanan kegemarannya. Dia makan begitu lahap.

“Kenapa kau akhirnya memutuskan untuk pulang?”  suaraku bergetar.

“Aku perlu baju bersih,”  Dia tertawa malu.  “dobi hotel mahal.”

Saat dia mencuci pinggan makannya, dengan belakangnya ke arahku, dia menyambung,  ''Selain itu, aku risau kau sendirian di sini.’’  

Dan dadaku tiba-tiba terasa ngilu.

“Aku akan pulang lambat esok,”  ucapku perlahan.   “kejar deadline.”

dia berhenti membilas pinggan dan aku tahu dia berpaling menatapku. Tapi mataku terpaku pada aiskrim di hadapanku.

“Ok,”  katanya.   “Kau tak keberatan kalau aku makan malam dulu?”

“Asal kau tinggalkan bakinya cukup untuk aku,”  aku tersenyum.



Paginya aku melihat lingkaran merah kedua di kalendar.  Aku dapat melihat kebiasaan Kamil membiarkan buku yang telah dibacanya berserakan di ruang tamu. Aku dapat memaklumi kegemarannya nonton film action genre yang paling tidak aku minati, dan bola sepak - yang padaku amat membosankan. Aku dapat memaafkan kebiasaannya mengeluarkan ubat gigi dengan memicit bahagian tengah, tidak dari bawah seperti yang biasa aku lakukan.


Hanya satu yang aku belum sanggup terima. Caranya menghabiskan hujung minggunya. Setiap pagi minggu dia keluar sebelum pukul tujuh untuk bermain bola dengan kawan-kawannya dan di sebelah petang pula sekitar pukul lima dia pergi memancing. Untuk aku yang selalu menghabiskan waktu terluang pergi dari satu galeri ke galeri lain, ke pameran lukisan, ke function fashion show, dari mall ke mall atau pun hi-tea. Kebiasan Kamil itu tidak dapat ku fahami. Aku tidak sanggup menontonnya bermain bola atau menemaninya memancing kerana aku dengan cepat akan merasa jemu.


Bulan pertama aku berusaha mengerti. Kamil selalu pulang dengan mata yang kuyu sehingga aku tak sangguh mengeluh dan protes. Tapi di minggu kelima kesabaran aku mula hilang kewarasan. Dan pagi itu saat dia tengah memasukkan botol air minuman dan roti ke dalam beg, aku memintanya untuk tidak pergi memancing.


“Temani aku jalan-jalan ke mall petang ini,’’  pintaku.
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 9-8-2009 10:07 AM | Show all posts
Post Last Edit by bintang at 1-12-2010 20:06

“Kau kan boleh pergi sendiri,’’ katanya sambil memasukkan kasut bersih dan tuala kecil.

“Seingat aku kau berjanji untuk selalu menggandeng tanganku ke mana pun.”

“Aku tidak boleh batalkan rancangan memancing hari ini, Julia.’’   Kamil tidak memandang ke arahku, sibuk dengan kasut bolanya.   “Aku  sudah  janji dengan kawan-kawan aku untuk mencuba tempat memancing baru.”

“Kau boleh mencubanya minggu depan.’’

“Malam tadi tidak ada bulan, Julia. Ikan akan aktif pada hari ini,’’

Kamil tersenyum sambil melompat-lompat dengan kasut bola barunya.  “Aku boleh memecahkan rekod sepuluh kilo petang nanti!”

“Minggu depan voucher diskaun salon sudah tidak laku lagi,” gumamku.

“Pakai voucher dari aku saja,”  sahut Kamil ringan sambil mulai lari-lari setempat.   “Berapa diskaun yang kau dapat dengan voucher itu? Kalau aku beri dua puluh ringgit cukup?”

“Mil! Itu hanya cukup untuk membeli minuman selama di salon.’’

“Aku boleh gunting rambut, urut dan minum kopi dengan dua puluh ringgit.”

“Oh, Tuhan!”

Kamil berhenti berlari-lari dan berdiri di hadapanku dengan tangan di pinggang.    ‘’Julia, kau sudah cantik begini. Tidak perlu ke salon lagi.”

“Aku sudah cukup yakin dengan kecantikan aku, terima kasih. Yang aku perlu cuma keluar dari rutin harian aku, dan aku memilih untuk berjalan-jalan.”

“Jadi? Apa yang kau tunggu? Pergilah. Aku tidak melarang. Kalau kau belikan aku apa-apa, aku lagi tidak keberatan.”
  
“Ini bukan masalah kau melarang atau tidak, Mil. Apa seronoknya berjalan sendirian?  Aku perlu teman.’’

“Kalau begitu ajaklah teman-teman.”

“Mereka sudah ada program sendiri dengan suami mereka.”

Kamil mengerut keningnya. “Kau mau menghabiskan hari minggu dengan aku?’’

“Ya!”

“Kenapa tidak cakap dari tadi. Tentu saja kau boleh ikut ke padang bola lagi.  Aku akan lebih seronok kalau kau ada.”

“Kamil!’’ jeritku. ’’Kau ni buta, tuli atau pasif? Kau tahu aku tak suka bola sepak dan aku juga mual dengan memancing!”

“Dan kau tahu aku alergi jalan-jalan ke mall,’’ getusnya.

“Cubalah kau mengalah sekali-sekala.”

“Mengalah?!”  suaranya meninggi.   “Apa aku  masih kurang  mengalah selama ini?  Julia, kau sudah menyita enam kali dua puluh empat jam waktu aku.  Apakah tidak boleh kau berikan aku......’’

“Enam kali dua puluh empat? Enam kali dua! Kita hanya bertemu  dan bercakap satu jam saat sarapan dan satu  jam waktu makan malam!”

“Kita boleh bercakap lebih banyak kalau kau mau lebih banyak menghabiskan waktu dengan aku! Tapi tidak! Kau lebih memilih mengurung diri dalam bilik dengan Kenny G, Kitaro, drama korea....’’

“Maaf, Mil... waktuku terlalu berharga untuk menyaksikan orang saling membunuh pada setiap dua minit atau dua puluh dua orang duduk berebut satu bola kulit.’’

“Setidak-tidaknya itu lebih jujur dan boleh difahami dari filem-filem yang berair mata itu!”

“Kau memang mengada!!”

“Dan kau, Tuan Puteri egois!”

Kamil  menyambar begnya dan melangkah laju keluar. Aku masuk ke ruang makan dan menghempas pintu di belakangku.  Seperti inikah perasaan para isteri setelah bertengkar dengan suaminya?  Dadaku sesak dan kepalaku sakit.  Aku benci menjadi sensitif dan seorang yang hiba.  Tapi air mata kecewa mulai membuat mataku pedih. Aku sama sekali tidak menyangka  sesuatu seperti ini terjadi kepada aku.   Aku tahu Kamil melakukan semua ini, kontrak  ini, untukku, tapi selama ini aku tidak pernah menuntut apa pun darinya.  Sebaliknya, aku telah banyak berkorban.


Semenjak aku bernikah  - kontrak -  dengan Kamil jadual aku banyak berubah. Pulang awal dari pejabat, sesegera yang mungkin.  Berkira-kira membeli makanan yang disukainya.  Apakah dia juga telah melakukan sama banyaknya untuk aku? Tidak!
Reply

Use magic Report

Post time 9-8-2009 10:26 AM | Show all posts
Padan muka!

Nak tunjuk ego sangat. Sekali bila hati terguris, terus pecah berderai umpama keping-keping kaca...
Reply

Use magic Report

Post time 9-8-2009 12:42 PM | Show all posts
aduh... bahasa laras tinggi ni mmg menarik ye... bahasa laras tinggi ni kiranya dlm kontek sastera ke? cik juwaini mesti tau ni.. bleh la kasi kelas sampingan sikit kat sini.

apa2pun, cik bintang, tolong sambung cepat2 ye. milan dh ketagihan dgn citer ni... tak sabo nk tau sambungan. cara bintang olah ayat tu tersangatlah hebat sampai milan nk baca all the sentences in details. all the best!
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 9-8-2009 01:56 PM | Show all posts
Post Last Edit by bintang at 1-12-2010 20:20

Aku membuka peti sejuk dan keluarkan satu kotak aiskrim cokelat kesukaanku. Pagi itu aku lepak di depan television, menyaksikan filem melankolis, airmataku kubiarkan meleleh tanpa henti, dan sekotak aiskrim itu pun habis tanpa terasa.

Kamil pulang pukul dua belas setengah, masih berwajah kerut. Dia mandi dan tidak lama kemudian kembali ke ruang duduk sudah siap dengan t-shirt merah dan jeans biru tua.

“Kalau kau mahu ke mall, kau bersiap cepat, aku tunggu,’’  katanya.

“Aku tidak mau pergi ke mall.”

“Kau cakap pagi tadi .....”

“Aku tidak mau menyusahkan kau. Aku tidak mau kau gatal-gatal kerana alergi kau tu.”

“Julia, kalau kita tidak pergi sekarang, kita akan pulang senja nanti tau.  Aku ada janji pukul lima.....”

“Aku kata aku tidak mau ke mall..! Kau boleh pergi saja memancing sekarang.”

“Jangan seperti budak kecil, Julia,  cepaaatt...!”

“Tidak! Dan kalau kau marah dan mahu meninggal rumah seperti dulu lagi, silakan!”

Wajah Kamil benar-benar merah sekarang.    “Julia! Jangan main-main dengan aku!  Aku tidak mau kau menolak pergi ke mall kemudian menghukum aku dengan bermuka kelat sepanjang hari.... mandi sekarang.... kita pergi setengah jam lagi.”

“Aku bukan budak suruhan kau... jangan suruh-suruh aku..... dan aku tetap tak mau pergi..!”

“Ok. Terserah..! Kalau kau mau duduk di sini seharian, makan aiskrim dan cokelat sambil mengasihani diri sendiri dan bermelankolik.....’’

“kamil!”   jeritku sambil melempar kotak aiskrim itu ke arahnya. Dia terlambat mengelak dan sisa aiskrim yang telah mulai cair itu melumuri t-shirtnya.  Aku lari ke kamarku, membanting pintunya dan menghempas diri ke ranjang, menangis.


Aku dengar ia memaki dan menendang pintu. Saat itu aku takut, takut sekali. Ia seperti telah menjadi manusia lain yang tidak ku kenali sama-sekali, asing dan mengerikan. Ku tutup telingaku dengan bantal dan aku terus menangis hingga dadaku sakit dan kepalaku yang berat memaksaku tertidur kelelahan.


Petangnya aku keluar dari bilik mengendap-ngendap. Kamil pasti telah pergi memancing. Memikirkan yang dia pergi sementara aku masih menangis kerana kata-kata kasarnya membuatku makin marah kepadanya. Kali ini aku yakin tidak ada pilihan lain kecuali meninggalkannya dan pulang ke rumah ibuku.


Selesai mandi aku segera memasukkan semua pakaianku ke dalam beg. Saat itu kamil datang. Dia kedengaran sangat gembira, bernyanyi kecil. Nyanyian yang entah apa-apa itu berhenti saat dia melihat beg aku dari pintu kamar yang terkuak.

“Ada apa ni, Julia? ”  tanyanya.

“Pulang ke rumah ibu,” menjawab tanpa menoleh kepadanya.

Dia masuk dan duduk di atas tilamku, mengawasi gerak-gerikku.  “Semudah ini kau menyerah?”

“Ini di luar dugaanku.”

“Apa?”

“Aku tidak menyangka aku menikahi flying dutchman.”

Kamil terdiam, menunduk.

“Aku…,” katanya perlahan. “Aku bawa pizza kesukaanmu.”

“Aku sudah terlalu gemuk.”

Dia menggeleng dengan mimik muka bersalah,    ”Tidak. Kau cantik.”

“Aku tidak perlu pendapat kau. Kau bukan suamiku, ingat? Penilaianmu tidak punya erti apa-apa.”

“Aku sudah cuba jadi suami yang baik.”

“Kau gagal.”

“Setidaknya aku mencuba. Kau…  kau tidak melakukan apa pun supaya pernikahan kita berhasil....”

“Kontrak.”

Dia menghela nafas panjang dan mengangguk singkat. “Kontrak.”

“Kau salah, Mil....  aku sudah melakukan terlalu banyak. Sudah belajar terlalu banyak....  Dan aku sudah mengambil keputusan. Aku tidak akan bernikah. Aku tidak suka bernikah. Apalagi dengan kau.”
Reply

Use magic Report

Post time 9-8-2009 02:32 PM | Show all posts
pasangan bernikah sebab - sayang,    bela kucing sebab - sayang ,
hormat mak bapak sebab - sayang,     ikut makwe pegi shopping sebab - sayang
kamil dan julia hati mereka kosong.....
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 9-8-2009 03:38 PM | Show all posts
Post Last Edit by bintang at 1-12-2010 20:34

Kamil tidak berkata apa-apa, agak lama.  Ketika dia keluar dari kamarku, aku meluru ke atas tempat tidur. Semua topeng ketegaranku hancur berkeping-keping. Aku tidak pernah menduga Kamil menyakitiku sehebat ini.  Lama kemudian, setelah aku dapat sedikit menguasai diri, aku bangkit. Kurapikan dandananku dan aku heret begku keluar.

“Setidaknya tunggulah sampai hujan reda,” suara Kamil menyambutku.

“Terlalu lama,”  kataku.    “Aku tidak boleh tinggal dengan kau selama itu.”

Aku tak peduli hujan yang serta merta lebat basah kuyupkan pakaian aku saat aku membuka pintu kereta. Meninggalkan Kamil secepatnya, hanya itu yang ada dibenakku. Dan ketika keretaku  mulai tersangkut direndami genangan air hujan hanya lima puluh meter dari rumah, aku begitu berang dan putus asa hingga aku keluar dari kereta dan menendang pintunya, meninju atapnya, airmataku larut dalam siraman hujan. Saat itu aku melihat Kamil datang. Tanpa mengatakan apa-apa dia mencabut kunci keretaku dan mengunci kereta itu dari luar.

“Meh, pulang,” katanya.

Aku menggeleng tanpa berani menatap wajahnya.

Dan Kamil mengangkatku, menggendongku, tanpa menghiraukan rontaan aku. Kamil menggendongku sampai ke rumah, tidak memberiku kesempatan untuk melarikan diri. Setiba di dalam, dia mengunci pintu dan menyimpan kuncinya di kocek seluarnya.

“Ganti baju,” katanya.

“Semua baju aku di dalam beg.”

“Ambil baju aku.”

“Jangan harap..!”

Dia mencengkam pergelangan  tanganku dan  menatapku dengan mata  berkobar,   ”Ini bukan waktunya melawan aku, Julia. Kau akan sakit...!”

“Flying dutchman,” desisku.


Malam itu suhu badanku mendadak naik, kepalaku sakit dan tekakku perit. Aku  masih ingat saat Kamil menyuruhku menelan sebutir panadol buat menurunkan suhu panas badanku dan aku membangkang. Ketika abangku yang juga seorang doktor datang untuk memeriksa keadaanku, aku masih boleh menangis dan merengek meminta dihantar pulang ke rumah ibu. Setelah itu semuanya kabur.
Aku di antara sedar dan tidak.  Ketika aku terjaga dan melihat Kamil sedang mengganti tuala basah di dahiku, sentuhannya begitu sejuk dan mententeramkan. Ketika aku tiba-tiba tersentak dari salah satu mimpi burukku dan mendapati Kamil tengah membersihkan ceceran muntahku di lantai. Ketika aku terbangun dari tidurku yang gelisah dan merasakan tangannya erat menggenggam jemariku. Hingga akhirnya, entah setelah berapa lama, aku terbangun dan nyalaan api dalam kepala dan dadaku telah pun padam.  Jendela kamarku terbuka dan cahaya matahari hangat menerobos masuk, membawa aroma melati dari rumpun di luar kamarku. Ibuku sedang duduk dekat di jendela, membaca.

“Ibu.”

Ibuku menutup bukunya. Senyumnya mengembang saat dia menghampiriku.  “Bagaimana? Sudah sihat…?”

“Abang mana?” bisikku – panggilan abang ini adalah sebahagian agenda nikah kontrak kami. Cuma di hadapan keluarga dan teman-teman - Ah,   pertanyaan bodoh. Mungkin sepatutnya aku bertanya di mana aku sekarang atau setidak-tidaknya siapa namaku. Kenapa pertanyaan pertamaku harus tentang Kamil..? kutuk aku pada diri sendiri.

“Masih di pejabat. Sekejap lagi pulanglah tu.”

Aku sakit dan dia pergi ke pejabat. Suami teladan!

“Ibu sudah lama di sini?”

“Dari pagi. Kau tidak ingat ibu datang pagi tadi?”

Aku cuba menggeleng dan kepalaku serta merta terbelah tiga. Tapi yang paling menyakitkanku adalah, kamil sama-sekali tak peduli aku sakit. Aku mengiring membelakangi ibu dan memejamkan mata. Air mataku yang panas luruh satu-satu.

Petang itu ketika Kamil pulang, aku berpura-pura tidur.  Aku sama sekali tidak ingin bercakap dengannya.   

“Bagaimana, bu?”   tanyanya,  suaranya mendekati tempat  tidurku. Dan kemudian tangannya hinggap di dahiku,  sejuk dan membawa ketenangan. Dengan belakang tangannya Kamil menyentuh leherku, dan kalau pun aku sanggup menepiskan tangannya dengan tenagaku yang lemah ini, aku tak sanggup melakukannya.

“Tadi bangun sebentar , menanyakan kamu. Lalu tidur lagi. Tapi panasnya sudah turun dan tadi sudah mahu minum susu.”

Tangan Kamil berpindah ke bahuku dan memicit dengan lembut. Jangan berhenti, jangan berhenti, jangan berhenti...  pintaku dalam hati. Tapi dia bangkit dan merapikan selimutku sambil terus bercakap dengan ibuku.

“Kalau ibu letih, ibu pulang berehat dulu.”

Ibu tertawa kecil. “Mil sendiri? Mil tidak tidur entah berapa malam dah. Dan Mil buat semuanya. Mencuci, membersihkan rumah, mengurus Julia. Tak letih?”

“Saya pakai bateri Energizer, bu.”

Ibu tertawa lagi, ”Kamil, Kamil. Mil mesti berehat juga. Kalau Mil sakit, Ibu tidak yakin Julia dapat mengurus sesabar Mil merawat dia.”

Ibu! Kamil itu hanya menantu ibu! Cuma kontrak pula!

“Sudah tanggungjawab saya, bu.”

Alangkah klisenya!

Sunyi.

“Mil betul-betul tidak perlu bantuan ibu?”

“Terima kasih. Kalau ada apa-apa, saya telefon ibu lagi.”

“Baiklah kalau begitu. Nanti malam suap dia, jangan lupa ubatnya. Kalau dia mahu makan, ibu sudah masak bubur di dapur. Kalau tidak, beri saja apa yang dia mau.”

“Ya, bu.”

“Dan jangan tidak tidur lagi nanti malam. Julia sudah makin sihat.”

“Baik, bu.”


Dan saat itu juga aku bersumpah akan membuat malam itu mimpi buruk untuknya.
Aku ingin menghukumnya kerana kata-katanya yang menyakiti perasaanku. Aku ingin menghukumnya kerana dia melukai harga diriku. Dan aku ingin menghukumnya kerana dia membuatku benci pada diriku sendiri. Dia yang membuat aku sakit dan entah berapa lama tidak berdaya, bahkan terpaksa membiarkannya mengurusku seperti bayi. Dia harus membayar untuk semua penghinaan itu. Aku benci, sangat benci padanya.


Aku membuat segalanya sangat sulit untuk Kamil malam itu. Aku memberontak saat dia cuba menyuap aku. Aku menolak saat dia memintaku makan ubat.
Aku  memintanya membuka  jendela kerana aku kepanasan,  lalu menyuruh menutupinya, kerana aku kedinginan,  dan membuka lagi, menutup lagi  entah berapa belas kali. Aku memintanya membuatkan aku susu yang tidak kuminum, merebuskan maggie yang tidak kumakan, menyiapkan roti yang kubuang ke lantai, mengupaskan epal yang kubiarkan di meja hingga berubah coklat dan memasakkan omelet yang hanya kurasainya sedikit. Picitannya di kakiku  terlalu keras, terlalu lembek, terlalu kasar, tidak terasa. Dan saat dia mulai tersengguk-sengguk di kerusi, aku membangunkannya untuk membuka television agar aku dapat menyuruhnya mengganti saluran setiap kali dia mulai mengangguk terlelap.

Semua itu akan membuatku sangat puas jikalah Kamil mahu menolak, memprotes, mengeluh, atau marah dan memakiku seperti dulu. Tapi dia sama sekali tidak mengeluh, tidak membantah. Kesabarannya merosakkan segalanya. Makin lama aku makin menyedari kelembutan dalam suaranya yang hanya dapat dilihat dari kekhuwatiran, dan kelelahan di matanya yang aku tahu hanya dapat datang dari keputus asaan.
Aku dibuatnya merasa bersalah, kerana aku sedar dia juga sedang  menyalahkan dirinya sendiri, menghukum dirinya sendiri, mungkin lebih berat dari yang aku lakukan. Dan kebencianku akhirnya musnah dan berganti kasihan, sesuatu yang sama sekali tidak kuharapkan, namun tidak dapat kuelakkan.
Reply

Use magic Report

Post time 9-8-2009 04:51 PM | Show all posts
best .... sambung lagi

pompuan ni suka benor " play games" kan

pastu gelabah bila laki cari lain ... keh keh keh
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 9-8-2009 08:47 PM | Show all posts
to milan & juwaini :

ini bukanlah tulisan laras tnggi... (segan dengan pujian yg sebenarnya tidak setaraf pun)

inilah penulisan santai yg paling patek suka....


terimakasih dengan sokongan dan sudi membaca novel kecil ini.... buat patek seronok untuk terus menulis lagi.... hehee
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 9-8-2009 08:49 PM | Show all posts
18# sang_arjuna


memang macam tu kan... nampak keras hati diluar tp dalam takungan dada penuh dengan keinginan..
Reply

Use magic Report

You have to log in before you can reply Login | Register

Points Rules

 

ADVERTISEMENT



 

ADVERTISEMENT


 


ADVERTISEMENT
Follow Us

ADVERTISEMENT


Mobile|Archiver|Mobile*default|About Us|CariDotMy

28-11-2024 07:51 PM GMT+8 , Processed in 0.089816 second(s), 32 queries , Gzip On, Redis On.

Powered by Discuz! X3.4

Copyright © 2001-2021, Tencent Cloud.

Quick Reply To Top Return to the list