|
training anti teror Yonif 500 Raider di hotel sahid surabaya |
|
|
|
|
|
|
|
waktu Kopassus lagi action dihadapan tamu dari Thailand
|
|
|
|
|
|
|
|
apakah ranpur di depan bus diatas milik Kopassus juga? |
|
|
|
|
|
|
|
TNI mengenal 2 jenis kriteria pasukan khusus : PASUKAN KOMANDO ( Commando Special Forces ) dan PASUKAN KHUSUS non KOMANDO ( Irreguler Special Forces ).
Kenapa disebut Pasukan Komando ?
1. Mempunyai organisasi ( Berdiri Sendiri ) dalam jumlah pasukan besar yang teratur dan hirarki-nya jelas dari tingkat atas sampai dengan bawah dan tidak terkait dengan KOTAMA secara langsung. Bekerja atas perintah Panglima TNI
2. Jenis dan mekanisme Pelatihan pasukan serta historis (keunikan) pasukan itu sendiri
3. Penugasan khusus ( Diukur dari penugasan matra dan lintas matra )
4. Mempunyai Komandan setingkat Danjen / Dankorp ( Komandan Jenderal )
5. Skill Per orangan sangat jelas dalam pelatihan Komando. Prajurit Komando dibentuk dengan konsep unconventional warfare yang mengandalkan 80% kemampuan individual.
Kenapa disebut Pasukan Khusus Irreguler ?
1. Pasukan ini berada dibawah KOTAMA ( ex : Taifib ber induk pada korps Marinir , TOn TAi Pur Pada KOSTRAD / detasemen Intelijen)
2. Jenis Latihan untuk penugasan khusus terbatas dan mendalami keahlian tertentu. Jumlahnya juga sedikit.
3. Jenis penugasan selalu dikaitkan untuk kepentingan korps / KOTAMA
4. Komandan Satuan ini adalah Pamen berpangkat KOLONEL ke bawah.
5. Skill Per orangan pada satuan khusus irreguler tidak tekankan karena berkonsentrasi pada kemampuan regu. Namun ada beberapa personelnya yang mempunyai keahlian tersebut disesuaikan dengan penugasan unit.
6. Pasukan ini tercipta dari komsep pengembangan pasukan yang telah ada sebelumnya. dengan ditingkatkan kualifikasinya.
Pasukan Komando dalam TNI :
1. Kopassus ( TNI AD )
2. Korpaskhasau ( TNI AU )
Pasukan khusus Irreguler dalam TNI :
1. Raider ( 8 batalyon dibawah kendali KODAM + 2 Batalyon dan 1 kompi anti teror dibawah kendali KOSTRAD )
2. TON TAI PUR ( 3 kompi dibawah kendali Den Intel KOSTRAD )
3. Yon Taifib Marinir ( 2 Batalyon dibawah kendali Pasmar 1 dan 2 Korps Marinir )
4. Kopaska ( 2 Satuan dibawah kendali Armatin dan Armabar, apabila rencana adanya 1 komandan jenderal yang memimpin Kopaska atau menjasi Danpuspaska maka Kopaska berhak disebut sebagai pasukan Komando )
Satuan khusus penanggulangan teror yang dipunyai TNI, mempunyai aturan sendiri2 dalam merekrut calon personelnya. Antar Angkatan tidak selalu sama. Ada yang mempersyaratkan harus berpengalaman dalam medan tempur unconventional ( seperti Kopassus ) ada juga yang tidak ( Korpaskhasau ) sebenarnya semua disesuaikan kebutu*an matra.
Satuan penanggulangan teror tingkat Matra :
1. Sat 81 GULTOR Kopassus TNI AD ( direkrut dari personel Grup 1,2,3 Kopassus dan PUsdik Passus juga beberapa personel yang mempunyai keahlian kecabangan persenjataan di luar korps Infanteri / matra darat Misal : artleri, CHB, Kes, Peralatan , Kavaleri ,Penerbangan, selam tempur dan zeni ). Anngota Gultor minimal harus 2 kali bertugas khusus bersama unit. Mempunyai skor diatas rata2 untuk menembak, jasmil. psiko tes,tikrupan,beladiri ( minimal sabuk biru karate/ taekwondo) atau ranking 5 besar dalam Sepursus ( Sekolah Pertempuran Khusus )+ Terjun Free Fall dan Terjun Payung Olahraga, Jumpmaster atau Para Lanjut tingkat 2 ( HAHO / HALO). Pendidikan Gultor dilaksanakan di Pusdik Passus dan Makopassus Cijantung. Organisasinya terbagi dalam 2 batalyon.
2. Detasemen Jala Mengkara TNI AL ( Direkrut dari gabungan personel Taifib Marinir dan personel Kopaska AL) Calon anggota mesti min. 3 tahun berdinas dan 2 kali penugasan bersama satuannya. Mempunyai nilai diatas rata2 dalam hal selam tempur, renang, menembak, jasmil, pelajaran taktik dasar militer,navigasi laut, psikologi dan beladiri. Personel dari Marinir harus sudah mempunyai brevet Intai Amfibi sebelumnya. Mempunyai Brevet terjun Payung minimal tingkat Free Fall dan Water Jump. Denjaka Terdiri dari 2 unit. 1 sebagai Unit Serang dan 1 unit sebagai bantuan. Personel Denjaka di didik di Bumi Marinir Cilandak dan Pondok Dayung. Pendidikan ini disebut PTAL ( Penanggulangan Teror Aspek Laut ). Komando Denjaka terletak pada Danjen Marinir.
3. Detasemen Bravo Korpaskhasau TNI AU (Direkrut dari saringan lulusan terbaik sekolah KOMANDO UDARA dan seleksi di tiap Wing, skadron dan flight) Khusus Bagi Calon yang berasal dari Wing, Skadron atau Flight harus min 3 tahun berdinas dan bertugas min 1 kali bersama satuan / unitnya. Mempunyai nilai diatas rata2 untuk jasmil, pengetahuan dasar militer, brevet terjun payung min para lanjut tingkat 2 HAHO HALO , free fall atau para olahraga, renang, menembak, psikologi, beladiri, tehnik operasi khusus pengendalian bandara. Detasemen Bravo terdiri dari 5 tim ( 3 alfa tim dan 1 tim bantuan khusus 1 tim perawatan ). Personel Bravo dididik di WING III Diklat Paskhas Margahayu. Pendidikan Intelijen di gelar link-up dengan BAIS TNI dan Pusdik Passus.
Perlu diketahui bahwa setiap pasukan khusus Irreguler juga mempunyai kemampuan penanggulangan teror.
1. Unit Gultor Batalyon Raider : dilatih oleh SAT 81 Gultor.
2. Unit Gultor Ton Tai Pur KOSTRAD : Dilatih oleh SAT 81 Gultor dan Kopaska.
3. Detasemen Counter Terorism Kopaska : Kemampuan Gultor aspek laut KOPASKA adalah hasil studi banding dan latihan bareng US Navy SEAL dan dikombinasi pelajaran yang didapat dari Kopassus
Terus terang setau saya Yon Taifib tidak punya unit Gultor. Karena Penugasan Yon Taifib dikhususkan sebagai tim pengintai pantai untuk mempersiapkan operasi amfibi Korps Marinir. itu kata teman teman dari Yon Taifib 1. Kalau toh ada ya mohon informasi.
Orang awam cenderung salah memahami apa itu KOSTRAD , apa itu Marinir dan apa itu Paskhas?....apakah semua sama?....apa semua pasukan elit?......tentu saja persepsi ini SALAH!!! Ada perbedaanya :
1. KOSTRAD adalah KOMANDO CADANGAN STRATEGIS ANGKATAN DARAT. KOSTRAD adalah nama sebuah KOMANDO TEMPUR PASUKAN REGULER ( KOTAMA ) sekaligus "Bala Pertahanan Pusat" AD sejajar dengan Kopassus. Bedanya adalah KOSTRAD ini terdiri dari 2 Divisi Infanteri. Walaupun namanya DIVISI INFANTERI....namun Divisi ( I dan II ) itu membawahi Brigade Linud, Brigade Lintas Medan, Resimen Armed, Batalyon2 Kavaleri, Batalyon2 Infanteri (termasuk Raider), batalyon Arhanud, CPM ( POMAD PARA ), Detasemen Perhubungan, Peralatan, Ajudan Jenderal, Keuangan detasemen intelijen ( termasuk Ton Tai Pur). Hampir 99 % persen Korps Kecabangan dalam TNI AD terdapat dalam organisasi KOSTRAD. Nah, intinya adalah Prajurit KOSTRAD itu berasal dari korps kesenjataan yang beragam lalu mereka dilebur pada 1 komando tempur. Sedangkan kepangkatan mereka tetap menyandang korps kesenjataan/kecabangan masing2 , baretnya juga ngikut korps kecabangan masing kecuali batalyon ZIPUR dan detasemen2 non tempur ( Baretnya hijau dengan lambang "roda gila" sama dengan Yon Infanteri KOSTRAD). Prajurit2 KOSTRAD yang mengenal pelajaran tempur mirip Marinir, sebagian besar ( 90 %) adalah Mereka yang berasal dari Batalyon Infanteri ( karena materi tentang kelautan, sea survival, raid pantai terdapat dalam latihan Yudha Wastu Pramuka / Latihan Infanteri Tahap II) atau Personel Kostrad non Infanteri tetapi dia pernah mengenyam pendidikan tersebut ( termasuk saya....hehehehe saya orang Ajen om...hehehe) sehingga ybs dimasukkan dalam status kombatan dan berhak menempuh latihan tempur lainnya atau khusus ( saya menempuh pendidikan Raider tahun 1999 di Pusdik Passus ) Jadi tidak semua prajurit KOSTRAD mempunyai kualifikasi tempur seragam ( dasar pendidikan kualifikasi yang sama) seperti Prajurit Korps Marinir....maka itulah mereka suka muntah dan masuk angin kalau naik kapal perang.....hahahahaahaha. 70 % persen Prajurit KOSTRAD sekarang telah memiliki kualifikasi PASUKAN PARA atau minimal AIR ASSAULT FORCES ( Mobile dengan helikopter ). KOSTRAD membangun PUSDIKLAT di gunung Sanggabuwana untuk pendidikan + menyamakan standart pelatihan calon anggota KOSTRAD ke depan.
2. Korps Marinir : Dilihat saja dari namanya MARINIR memang adalah nama sebuah Korps. Ini adalah jenis Korps yang berasal dari Infanteri yang bertugas khusus di wilayah pantai pada awalnya. Dalam tubuh TNI, Marinir adalah sebuah korps pasukan reguler yang unik. Orang awam menyangka marinir adalah sebuah nama satuan pasukan khusus dalam TNi sampai detik ini karena dulu Korps Marinir bernama KKO ( Korps Komando Operasi) TNI AL. Mereka dikenal mempunyai standart sendiri ( intern qualification ) untuk membentuk dan membuat seseorang menjadi prajurit infanteri laut dengan latihan yang keras dan brutal. Walaupun Secara Hirarki, pendidikan untuk menjadi seorang marinir ( walaupun disebut latihan "Komando" Hutan ) setingkat dengan pendidikan YUDHA WASTU PRAMUKA ( Pendidikan kecabangan Infanteri) dalam TNI AD. Yang membedakan adalah doktrin, tugas pokok dan fungsi. Seorang Marinir bisa dikatakan lebih lengkap meteri pelajarannya dibanding Infanteri di AD karena dia terspesifikasi untuk peperangan / operasi amfibi. Jadi disamping tehnik peperangan darat, menu yang berbau "air asin" juga banyak diterima oleh seorang Marinir pemula. Termasuk pelajaran Renang tempur, raid pantai dan pengintaian secara lebih sempurna. Tetapi juga hal dana juga berpengaruh. Andai saja 80% persen saja prajurit KOSTRAD yang 400 ribu orang itu menjalani pendidikan kecabangan Infanteri dengan pelajaran laut yang lengkap seperti marinir ( pukul rata 1 standart ) maka berapa biaya yang dihabiskan?....hehehe jumlah Prajurit Marinir kira 20 ribuan orang bahkan mungkin kurang. Wajar mereka mendapat tunjangan lebih baik, seragam PDL sus , dan pelatihan yang bisa dibilang komplit untuk seorang tentara ( plus terjun payung dan selam tempur ). Baret Marinir berwarna Ungu. Untuk mendapat Baret ini, Setelah siswa mendapat brevet "KOMHUT" di Pusdik Marinir Karangtekok , Dia harus berjalan kaki sekaligus latihan berganda dari Banyuwangi sampai dengan Surabaya dengan berbagai rintangan, peng aplikasian pelajaran yang diberikan dan waktu yang ditentukan pelatih. Puncaknya adalah pada siswa dihadapkan pada operasi amfibi yang sesungguhnya. Setelah Prajurit2 muda ini lulus pendidikan marinir , maka mereka akan dibagi lagi ke dalam batalyon2 tempur dan Satbanpur juga administrasi apabila memerlukan. Nah inilah KEBALIKAN ANTARA ASAL MUASAL PRAJURIT KORPS MARINIR DAN KOSTRAD. Bagi para prajurit Marinir yang mempelajari kesenjataan berat seperti artileri , kavaleri, peralatan dan zeni....mereka dididik intern dalam batalyon tetapi tidak jarang disekolahkan pada pusat2 pendidikan serupa di TNI AD. Korps Marinir terbagi dalam 3 Divisi ( Korps Marinir menyebutnya dengan PasMar ) yang menaungi sejumlah batalyon Infanteri, Batalyon Taifib ( pasukan khusus ), Batalyon Angkutan, Batalyon kesehatan, Yon Kav, Yon Kav Amfibi, Yon Zipur. 80 % mirip organisasi KOSTRAD-lah. bagi seorang Marinir hisup sebagai Marinir maka matipun sebagai seorang Marinir , amaknya muncul "tradisi" bahwa seorang prajurit Marinir pantang melepas baretnya dan lambang korps -nya ( di lengan sebelah kiri ) walaupun dia sudah tidak berdinas di lingkungan Korps Marinir. Sentimen ini terjadi turun temurun sampai detik ini. Korps Marinir seluruh dunia punya 1 rasa persaudaraan yang luar biasa yang disebut "MArines Brotherhood"
3. Korpaskhasau : Inilah satu - satunya wadah pasukan khusus (Special Forces) terkomplit matra udara di dunia yang dikorps-kan. Sebutan kepangkatan untuk korps adalah Psk. ( Pasukan ). Paskhas boleh bangga karena tidak ada satupun pasukan khusus AU di dunia yang sama dengannya. Baik dalam bidang keahlian dan penugasan semua membaur dalam 1 wadah saja : Korps Pasukan Khas Angkatan Udara. Bagi matra udara gampang2 susah untuk menemukan konsep pasukan yang penugasannya "khas" matra udara dan kemampuan personelnya yang "khas" itu tidak dimiliki pasukan khusus di matra lainnya. Sebut saja Terjun Payung....bisa dikatakan Korpaskhasau masih kalau dari Kopassus. Begitu juga masalah sabotase pangkalan udara tri media dan operasi lintas udara....AD dan Marinir sudah jauh hari melakukan latihan untuk penugasan semacam itu. Malah muncul yang namanya PPRC KOSTRAD yang beranggotakan batalyon2 linud AD dibawah KOSTRAD dan memiliki kualifikasi yang katanya "khas" punya paskhas. Tim Combat Control juga banyak dipunyai dalam AD dan Marinir. Apalagi Detasemen Anti Bajak Udara Bravo.........Paskhas seakan telat melangkah !! Kopassus telah melanglang buana dengan gultor-nya.mulai operasi woyla, operasi wamena, latihan simulasi di bandara ngurah rai....latihan anti teror aspek udara dengan SAS......Den Jaka sudah mulai unjuk gigi di lautan....sejak 1985
Pembauran Korpaskhas malah membuat kemampuan "khas"matra udara menjadi HILANG dan bahkan menjadi bumerang bagi organisasi ini apabila tidak segera ambil tindakan cepat...
Korpaskhasau berasal dari penggabungan 3 unit pasukan AU yang berbeda tugas. Sebenarnya 3 unit inilah yang bisa dikatakan unit "khas" Matra......: PPP ( Pasukan Pertahanan Pangkalan bertugas untuk pertahanan pangkalan dan Combat SAR), PSU ( Pasukan Penangkis Serangan Udara), PGT ( PAsukan Gerak Tjepat - Combat Control and Combat Weather Unit ). Nama Pertama paskhas sejak dilebur adalah KOPASGAT (KOMANDO PASUKAN GERAK TJEPAT)......nama inilah yang membuat HARUM prajurit KOPASGAT pada masa operasi SEROJA. Operasi tempur Kopasgat sangat terselubung sehingga masyarakat Tim tim dan Fretilin mengira bahwa KOPASGAT tidak menyerang secara langsung. Baju Doreng khusus milik Kopasgat yang sejuk tidak dipandang sebagai momok selayaknya militer. Maka orang Tim Tim banyak yang bersahabat dengan Pasukan Elit AU ini. Pernah suatu saat 60% prajurit TNI yang bertugas dalam wilayah rawan memakai PDL milik Kopasgat untuk meminimalkan kontak senjata.
Entah apa sebab yang pasti....Petinggi AU mengganti nama Kopasgat dengan Puspaskhas ...yang berubah lagi hingga Korpaskhasau. Dan sejak itu pula pamor paskhas menurun drastis. Dari pasukan elit terus merosot sampai kepada opini masyarakat yang menyamakan paskhas seperti pasukanyang memang ditugaskan sebagai penjaga lapangan terbang saja. Paskhas minim penugasan luar sesuai background-nya yang lahir dari pasukan tempur lintas udara (awal lahirnya di kotawaringin 1947). Mereka jarang membaur dengan prajurit tempur TNI lainnya. Sehingga tak jarang menimbulkan kesan negatif dia antara prajurit sendiri. Latihan besar paskhas di kalijati adalah "pukulan telak" sekaligus "hukuman" Panglima TNI kepada petinggi AU yang dianggap "menelantarkan" korps ini sehingga tidak berjalan pada jalurnya. Kasum TNI menilai Kinerja Paskhas terus menurun. Apakah ini artinya....petinggi2 AU yang didominasi oleh penerbang, elektronika, tehnik dsb....tidak mengerti hirarki atau kebanggan menjadi sebuah pasukan tempur ?...atau para pilot ini sudah terlalu lama duduk di kokpit dan jarang atau tidak pernah memakai pakaian PDL sejak lulus AKABRI / sekolah penerbang/ SEPA sehingga pengetahuan mereka tentang pasukan tempur ground combat sangat kurang?.....Semoga ke depan satuan ini dipimpin oleh Komandan korps yang memang berasal dari paskhas dan mampu mengkoordinasikan kebutu*an latihan dan perlengkapan pasukan kepada petinggi2 AU.
Calon Personel Paskhas di didik di WING III Diklat Paskhas Margahayu. Saya sudah 3 kali ke tempat ini ( dlm rangka latihan) dan melihat langsung bagaimana paskhas dididik. Pendidikan paskhas adalah standart Komando yang diadopsi dari Kopassus dan dimodifikasi dengan pelajaran "khas" matra oleh korpaskhasau. Pendidikan Komando berjalan 7 bulan dengan berbagai materi peperangan darat, jungle warfare, sea survival, air, land dan sea navigation, menembak tepat, para dasar dsb. Setelah lulus, 10 besar akan dimasukkan seleksi Detasemen Bravo. Selebihnya ditempatkan di skadron2 Paskhas. |
|
|
|
|
|
|
|
Pasukan KOMANDO TNI :
1. Kopassus TNI AD : adalah Komando Tempur resmi organisasi pasukan khusus AD sekaligus bala pertahanan pusat TNI. Yang dimaksud adalah selain sebagai organisasi pasukan khusus yang Berdiri Sendiri, Kopassus adalah pusat pendidikan dari semua personel pasukan khusus yang berada di lingkungan AD selain Kopassus dan melaksanakan misi khusus sesuai perintah panglima TNI. Anggota 70% berasal Korps Infanteri dan 30% dari campuran kecabangan Korps artileri, kavaleri, CPM, Kesehatan, peralatan, perhubungan, Ajudan Jenderal, Intendant , Keuangan dan Angkutan. Kopassus mempunyai satuan penanggulangan teror yang dikenal dengan nama SAT 81 GULTOR dan Group khusus Intelijen Sandhi Yudha
Perbandingan di luar negeri : Green Berrets dan SAS Inggris
Sat 81 Gultor setara dengan Delta Force ( US ARMY walaupun anggota Delta konon ada yang berasal dari US NAVY )
2. Korpaskhas TNI AU : adalah korps kecabangan pasukan lintas udara dalam AU. Dalam perkembangannya pasukan LINUD AU ini berkembang menjadi salah satu pasukan yang bersifat KHUSUS dalam lingkungan TNI ditandai dengan munculnya konsep pelatihan komando dan brevet komando yang diadaptasi dari pendidikan komando Kopassus yang kemudian di upgrade oleh para petinggi paskhas sehingga pas untuk kebutu*an AU. Sesuai Namanya Pasukan ini melaksanakan tugas khusus "khas" matra udara. Prajurit direkrut langsung dari tamtama dan bintara muda ( PK ) dan Sumber perwira diambil dari berbagai korps kecabangan dalam AU. Korpaskhasau mempunyai Detasemen Bravo sebagai Detasemen Khusus Penanggulangan Teror khususnya di wilayah matra udara.
Perbandingan di luar negeri : USAF Special Tactic dan PVO ( Pasukan Pertahanan Udara Rusia)
Pasukan khusus TNI (Irreguler)
1. Kopaska : adalah organisasi "combat frogmen" resmi satu satunya dalam tubuh TNI. Kopaska adalah "Kopassus di alam bawah air" dalam operasi peperangan laut - amfibi. Anggota awal Kopaska memang adalah anggota Kopassus AD ( RPKAD ). Kopaska adalah pemegang "lisensi" dalam TNI untuk urusan underwater combat dan combat scuba. Semua unsur pasukan khusus TNI maupun pasukan reguler yang ingin memperdalam kemampuan selam tempur dan demolisi bawah air ( UDT ) berguru kepada KOPASKA. Prajurit KOPASKA direkrut dari pelaut, tehnisi atau prajurit AL ( non Marinir ) yang pernah bertugas di kapal perang. Hal ini disesuaikan dengan integrasi KOPASKA dalam SSAT ( Sistem Senjata Armada Terpadu ) Naval Warfare secara utuh. Berkaitan dengan sabotase bawah air (lepas pantai), operasi amfibi, penyapu ranjau dan perintis operasi amfibi bagi AL ( diterjunkan bersama Yon Taifib Marinir) dan operasi pengintaian. Apabila KOPASKA punya 1 KOmandan Pusat ( DANSATPASKA ) berpangkat Jenderal Bintang 1 ( LAKSMA ) maka KOPASKA berhak menyandang nama pasukan KOMANDO. Kultur KOPASKA sangat lekat dengan 2 saudaranya Kopassus dan Paskhas...yaitu Lipatan lengan panjang baju PDL loreng dilipat ke luar seperti halnya lipatan baju PDL AD dan AU. KOPASKA punya 2 detasemen gultor di wilayah barat dan timur dan 1 unit gultor gabungan dengan Personel korps Marinir yang dikenal dengan nama Detasemen Jala Mengkara
Perbandingan di luar negeri : US NAVY SEAL dan SBS ( Inggris)
2. Raider : Pasukan ini adalah konsep pengembangan Infanteri Gaya Baru pada awalnya. Pada masa awalnya, Raider adalah pasukan yang diciptakan untuk bisa digunakan dengan keadaan minimal tetapi hasilnya maksimal. Aplikasi saat itu adalah pasukan pemukul reaksi cepat dan peperangan hutan serta patroli panjang. Pasukan pertama yang berkualifikasi Raider adalah Batalyon 401 dan Batalyon 328. Setelah KOSTRAD terbentuk, menu latihan kualifikasi raider adalah mutlak bagi tiap personel LINUD KOSTRAD. Tetapi pertengahan tahun 1968, Kualifikasi Raider mulai terbuka untuk Yonif non KOSTRAD maupun lingkungan SATBANPUR dan Administrasi. Perlu dicatat saat itu tidak ada pendidikan kecabangan Infanteri setelah Pendidikan Pertama untuk semua golongan. Pelajaran Infanteri didapat ketika prajurit telah berda dalam kesatuannya masing2. Awal tahun 1980-an Batalyon berkualifikasi Raider dihapus tanpa sebab yang jelas. Tetapi bagi satuan satuan yang dulunya adalah satuan RAIDER, tetap menerapkan pelatihan ini secara intern kepada Prajurit baru sebagai syarat menjadi warga batalyon.
Sesuai tuntutan tugas TNI, maka kualifikasi Raider dihidupkan kembali dan di "up grade" dengan pola pertempuran modern tentang perang anti gerilya, perang berlarut, dan CQB ditambah konsep baru yaitu " Pasukan MOBUD" alias Air Assault. Pasukan dipelajari tehnik rappeling dari heli dengan benar. Khusus Raider Para ( yang berasal dari Yonif Linud KOSTRAD ) mendalami tentang combat troops dengan benar dan sabotase pangkalan udara. Personel Raider masih diseleksi lagi oleh Kopassus untuk mendalami Penanggulangan Teror. Menjadi pasukan CQB , mendalami pertempuran kota dan kontra teroris + penyelamatan sandera. Terdapat 10 Batalyon Raider di tiap KODAM dan 2 Divisi KOSTRAD + unit Gultor Raider Makostrad (Gabungan KOSTRAD)
Perbandingan luar negeri : US ARMY RANGER
3. Ton Tai Pur KOSTRAD : Pasukan berbentuk peleton ( 3 Peleton) ini dikhususkan untuk pengintaian tempur ( darat, laut dan udara), pengintaian jarak jauh, perang hutan dan anti gerilya. Berada di bawah kendali Detasemen Intelijen KOSTRAD. Ton Tai Pur dididik oleh Kopassus, KOPASKA dan KOSTRAD sendiri. Hal ini terkait dengan penjabaran tugas yang kompleks dalam pengintaian tempur utamanya untuk kepentingan pasukan KOSTRAD. Dalam pengembangannya TON TAI PUR diajarkan pula menjadi pasukan gultor yang bisa dioperasikan di wilayah perkotaan. Anggota Ton Tai Pur DIREKRUT DARI ANGGOTA TON TAI KAM DI SETIAP BRIGADE INFANTERI LINUD / LINMED KOSTRAD. Seluruh prajurit Ton Tai Pur harus mempunyai brevet PARA. Kelebihan Ton tai Pur dibandingkan dengan Taifib Marinir adalah medan penugasan yang lebih luas karena bernaung dalam matra darat ( Jend Ryamizard Ryachudu Pendiri Ton Tai Pur)
Perbandingan luar negeri : Sayeret mat'kal "The Unit" ( Israel ) dan Special Mission Battalion South Korean Army.
4. Yon Taifib Marinir : Pasukan ini dibentuk dengan konsep awal pengintaian pantai untuk kepentingan operasi amfibi korps marinir. Kemudian berkembang menjadi sekaligus pasukan penyerang apabila diperlukan. Karena itulah maka pasukan marinir yang satu ini diakui menjadi salah satu elit forces TNI. Pasukan ini dibagi dalam 2 batalyon ( pasmar 1 dan 2 ) dan anggotanya direkrut dari anggota marinir ( khususnya infanteri ,artileri dan kavaleri) yang telah bertugas min 2 tahun di korps marinir dan pernah bertugas tempur minimal 1 kali. Juga fisik dan stamina , pengetahuan militer, kualifikasi menembak, brevet para, water jump, IQ diatas rata2. Den Jaka adalah detasemen gultor yang anggotanya adalah anggota Taifib dan Kopaska. Kendali Komando Den Jaka terletak pada Dankormar.
Perbandingan luar negeri : US Marines Force Recon, 3rd Commando Marines ( Inggris ) |
|
|
|
|
|
|
jonkepet This user has been deleted
|
Pasukan Pemburu Rajawali: Indonesian Army Counter-Insurgency Taskforce
Interesting story about Army Operation crushing GAM Guerillas in Aceh, Taken From Indonesian Newspaper.
Download here h1.ripway.com/cutmemey/pengalaman_aceh.zip
QUOTE
.....Menjelang akhir September, saat batas waktu saya ikut dengan pasukan teritorial habis. Rokhim menyemangati saya untuk ikut dengan pasukan gerak.
"Cerita sebenarnya ada di front," katanya, "Ini sudah masuk musim hujan. Wah pasti mantap masuk hutan. Saya doakan situ diguyur hujan malam-malam. Tidak usah takut. Nanti lihat bagaimana caranya tentara tidur saat hujan. Nanti badannya pasti kekar. Sehat. Nanti kita cari sepatu boot. Itu enak dipake masuk rawa." .....
.....Awalnya, saat berkenalan, seorang serdadu Kostrad dari Batalyon 433 seperti menyesalkan kenapa saya tak datang meliput pasukan lebih awal.
"Dulu waktu di Bukit Tengkorak .... oh mak ....," prajurit itu tak menyelesaikan kalimatnya. Dia hanya memeragakan memiting leher dengan tangan kanan seolah sedang menggorok leher seseorang.
"Sayang Abang terlambat. Sekarang ini sudah sepi," sambungnya.....
....TENTARA punya istilah khas berburu GAM di hutan-hutan Aceh: masuk kolam mencari ikan. Sekiranya diizinkan ikut, saya diminta menyiapkan perlengkapan standar masuk kolam seperti matras, ransel serbu, shebo, kaos tangan. Paling tidak, saya harus berbaju dan bercelana gelap.
Tapi dari semua itu, demi keselamatan, saya disarankan meminjam rompi antipeluru. Tentara biasanya punya cadangan. Memakainya akan membuat orang merasa aman. Ini juga bagus dipakai supaya kita tak terlihat seperti bondo nekat masuk hutan.
Ada dua lempengan baja di rompi itu. Satu letaknya di depan dada dan satu di punggung. Masing-masing beratnya 10 kilogram. Saya selalu mencopot lempengan baja di punggung. Terlalu berat. Kalau matahari menyengat, lempengan-lepengan itu akan berubah seperti setrika. Saat hujan, ia berubah seperti balok-balok es. Dingin, menusuk tulang. Banyak serdadu yang juga mencopot pelat baja belakang. Beban mereka sudah berat. Jika masuk kolam selama 15 hari, di punggung mereka menggantung ransel 25 kilogram-untuk mudahnya, bayangkan Anda menggendong segalon air selama dua minggu. Itu ditambah SS-1 yang beratnya sekitar lima kilogram. Yang membawa Minimi lebih siksa lagi. Senapan otomatis itu beratnya sampai 15 kilogram.......
....DI ACEH, tugas utama mencari ikan di kolam-kolam tanggung jawab Pasukan Pemburu Rajawali. Ini tentara terlatih dengan kualitas fisik prima, yang memang dilatih khusus untuk mengejar GAM. Mereka didoktrin untuk rajin jalan, waspada, dan jeli....
....Jika Basis Operasi Depan (BOD) pindah, Anda sukar menemukan jejak Rajawali. Semua sampah ditanam. Bekas galiannya ditutupi dedaunan sehingga tanah seolah tak pernah diinjak lars.
Kalau di tengah hutan Aceh Anda mendengar SS-1 menyalak dua-dua kali, itu tembakan khas Rajawali. Kalau ada "Purpa" (Pertempuran Perjumpaan), setiap serdadu akan mengejar sasaran seperti orang kesetanan.
"Ciiiiihuuuyyyy!"
"Ciiiiihuuuyyyy!"
"Ciiiiihuuuyyyy!"
"Ciiiiihuuuyyyy!"
"Ciiiiihuuuyyyy!"
"Ciiiiihuuuyyyy...!"
Sambil berteriak, mereka berlari zig zag, mendekati sasaran. Tapi larinya hanya sebentar-sebentar. Tiga detik tiga detik. Mereka mengantisipasi musuh yang bisa membidik sasaran hanya dalam tempo tiga detik.
Sekali masuk kolam, Rajawali kadang tahan sampai 15 hari. Selama itu mereka diharamkan jalan di jalan setapak apalagi beraspal....
....Rajawali bukan barang asing bagi seisi hutan. Kalau lagi mengendap, burung pun kadang lupa kalau yang dihinggapinya itu punggung manusia. Rajawali dikenal dengan kesabaran dan keuletannya. Mau panas mau hujan, mereka akan tetap di tempat pengendapannya sampai ada perintah pemindahan BOD.
"Hujan kawan. Panas kawan," kata seorang serdadu menirukan doktrin prajurit infanteri....
..."Sekolahkan saja. Siapa yang mau?" komandan peleton itu menawari anak buahnya. Dia yakin ketiga orang itu GAM. Di kantong plastik tadi anak buahnya menemukan sebuah pistol rakitan.
Dari belakang, seorang serdadu muda bergegas. "Danru .... Danru .... biar saya."
Tawanan itu diminta berjongkok. Sebutir peluru menembus kepalanya, "Crook .... crookk." Darah muncrat dari kepala. Mengira masih hidup, serdadu muda itu mengarahkan larasnya ke punggung korban. "Tak-tak-tak." Tiga peluru 5,56 milimeter bersarang.
Setelahnya, komandan regu minta serdadu muda itu untuk mencicipi darah orang yang ditembaknya. Ada kepercayaan di kalangan tentara bahwa mencicipi darah orang yang telah dibunuh akan menghilangkan bayang-bayang wajah korban yang bakal menghantui.
Saat pulang ke pos, serdadu muda itu mengeluh ke komandan regunya.
"Danru, perut saya mual."
"Kau minum apa tadi?"
"Darah itu," katanya seraya menunjukkan ukuran darah yang diminumnya: dua genggaman tangan!
...
"Disekolahkan" adalah bahasa slang tentara Indonesia untuk eksekusi mati bagi anggota GAM yang tertangkap. Pasukan Brigade Mobil (Brimob) menggunakan istilah "kosong-satu" untuk hal yang sama.
[ Last edited by yipun78 at 3-10-2006 08:07 AM ] |
|
|
|
|
|
|
|
Wooww... keren banget bro! ada lagi ngga cerita2 tentang operasi militer Indonesia? btw kyanya ini Tontaipur yah? yang gue tau operasitempur pertama Tontaipur di aceh ini.. |
|
|
|
|
|
|
|
Sepenggal Kisah Perebutan Jembatan
JANGAN membayangkan operasi pemulihan keamanan di Aceh seperti perang antara Amerika Serikat dan Irak yang merupakan perang konvensional. Operasi di Aceh ini adalah pertempuran melawan gerilya yang sporadis, yang tidak terduga kapan terjadinya. Biasanya pertempuran berlangsung jika pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) memukul pertahanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau dihadang oleh gerilyawan GAM dalam suatu patroli.
Salah satu kisah pertempuran yang cukup berkesan di hati prajurit TNI adalah perebutan sebuah jembatan yang melintasi Krueng (Sungai) Tingkeum di Desa Darul Aman, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen, sekitar 50 kilometer ke arah barat Kota Lhok Seumawe, Rabu (21/5). Daerah tersebut dikenal sebagai basis pertahanan GAM. Wilayah itu menjadi tanggung jawab Detasemen Pemukul (Denkul) 1 Batalyon 712/Wiratama Manado, Sulawesi Utara, pimpinan Letkol Hipdizar.
Namun, sayangnya wartawan tidak berkesempatan meliput langsung jalannya pertempuran tersebut. Meskipun demikian, perebutan jembatan itu terus menjadi bahan cerita para prajurit selama dua hari wartawan berada di Markas Denkul 1 di Desa Matanggeulumpang, Peusangan.
"Coba kalau wartawan datang kemarin, bisa langsung melihat langsung. Itu pertempuran terbesar sejak kami enam bulan bertugas di sini," tutur Hipdizar hari Kamis lalu.
JEMBATAN di Desa Darul Aman itu panjangnya sekitar 500 meter dan berkonstruksi baja. Jembatan itu sangat strategis untuk menuju ke pedalaman Bireuen termasuk ke Desa Pante Raya yang merupakan basis GAM. Di tempat tersebut pernah dirayakan milad ke-26 GAM pada 22 Desember 2002. Oleh karena itu, perebutan jembatan menjadi penting bagi TNI untuk dapat menembus pertahanan GAM.
Jembatan tersebut sudah sejak beberapa hari sebelumnya diincar TNI untuk direbut. Namun, tampaknya GAM juga mati-matian mempertahankan jembatannya. Sejumlah bom rakitan diletakkan di sekitar penyambung wilayah itu. Selain itu, sejumlah pohon kelapa pun dirobohkan guna menghalangi orang yang menuju jembatan tersebut. Sekitar 100 meter ke arah selatan jembatan, jalan telah digali selebar tiga meter dengan dalam sekitar dua meter.
Untuk menembus jembatan itu sempat terpikir untuk menggunakan bantuan helikopter karena begitu gencarnya tembakan dari arah seberang. Namun, Denkul 1 tetap berusaha menggunakan kekuatan yang ada. Salah satu yang membuat mereka berhasil menembus jembatan itu adalah penggunaan dua truk Reo yang dilapisi baja antipeluru.
"Truk Reo ini sudah dikenal ditakuti oleh GAM," ujar Prajurit Kepala Ong Lee, pengemudi salah satu truk Reo, membanggakan truk yang dikemudikannya. Itu diketahuinya dari pembicaraan radio panggil handie talkie (HT) GAM yang frekuensinya ditangkap oleh Denkul 1, di mana GAM membatalkan penghadangan jika truk Reo ini lewat di basis GAM.
Warna kedua truk milik Komando Daerah Militer (Kodam) VII/Wirabuana, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) ini juga lain dari mobil/truk standar TNI yang biasanya hijau polos. Warna dua truk Reo ini loreng hijau, putih, hitam.
Sambil melaju kencang di jembatan, tembakan melalui senapan mesin SMR yang dioperasikan Kopral Dua (Kopda) S Mongkow dan Kopda ABD Haris terus diarahkan ke arah depan. "Selain tembakan, granat-granat yang dilontarkan dengan granate launching machine (GLM) meledak di kiri kanan truk. Tetapi saya terus melaju ke depan," ujar Ong Lee.
Tidak mudah untuk menembus pertahanan GAM itu. "Apalagi SMR saya sempat macet tiga kali. Buat tentara, hal yang paling mengkhawatirkan adalah jika senjata macet. Namun, teman saya membantu dengan tembakan senapan mesin minimi, sambil saya memperbaiki SMR," kata Mongkow. Maklum SMR tersebut sudah berumur 29 tahun, sedangkan gerilyawan GAM umumnya menggunakan AK47 versi baru. Pukul 11.00, akhirnya jembatan itu dapat dikuasai dan TNI membuat pos di rumah-rumah kosong dan sekolah yang dibakar.
Tingkat kesulitan perang gerilya memang lebih tinggi dibanding perang konvensional. Dalam konteks ini, berbaurnya GAM dengan masyarakat adalah kesulitan yang mesti dipecahkan. Apalagi di wilayah Denkul 1 itu GAM telah menarik Kartu Tanda Penduduk (KTP) masyarakat sehingga antara GAM dan masyarakat sulit diidentifikasi.
Intel GAM yang dikenal sebagai cantoi yang berada di mana-mana-termasuk duduk-duduk di kedai sekitar pos TNI-juga menyulitkan TNI. "Baru kami mengikat tali sepatu, mereka sudah tahu kami akan jalan dan menyebarkan rencana itu melalui HT. Malah kadang orang yang mentraktir di kedai bertemu di lapangan ketika bertempur," ujar seorang prajurit.
Belum lagi persoalan bahasa karena umumnya masyarakat berkomunikasi dengan bahasa Aceh. "Kami sudah biasa kalau bertanya ke masyarakat yang dijawab dengan hana teupu (tidak tahu)," ujar Perwira Seksi Operasi Denkul 1 Lettu Wiryanto. Istilah hana teupu itu sudah menjadi istilah yang populer di kalangan prajurit.
Lain halnya pertempuran di Desa Lancuk, Kecamatan Jeumpa, Bireuen, TNI/Polri memang mampu masuk ke wilayah basis-basis GAM, tetapi agak kesulitan untuk menembaki anggota GAM. Hal yang sama terlihat di Desa Teupin Jalo, Kecamatan Samalanga. Masalahnya, anggota GAM yang bertempur tidak begitu melayani ketika TNI/Polri melepaskan tembakan. Kalaupun GAM melayani serangan TNI/Polri, sifatnya hanya kalau mereka terdesak untuk membela diri dan sekaligus melarikan diri. Bahkan, anggota GAM sendiri sudah menggabungkan dirinya dengan warga setempat tanpa menggunakan atribut seragam militernya.
Tidak jarang keluar dari mulut personel pasukan TNI/Polri bahwa GAM pengecut karena tidak berani bertempur secara kesatria menunjukkan jati dirinya. Ketika terjadi pertempuran, biasanya GAM hanya mau melayani sekali-sekali saja. Kalaupun ada serangan balik dari GAM, sifatnya hanya sebagai serangan psikis. Seolah-olah GAM masih kuat dan berani bertempur.
Padahal setiap kali TNI/Polri merangsek ke basis-basis pertahanan GAM, tak ada perlawanan yang berarti. Anggota GAM terlihat justru mundur dan melarikan diri.
Begitulah kesulitan yang terjadi di lapangan. Entah kapan perang gerilya itu akan membuahkan hasil di seluruh Nanggroe Aceh Darussalam. (BUR/SMN/B03/JOS)
[ Last edited by Badak-Jawa at 3-10-2006 11:09 PM ] |
|
|
|
|
|
|
|
Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan. [Bagian 1]
Oleh ALFIAN HAMZAH
MEREKA memulai perjalanannya dari pelabuhan Armada Laut Timur Ujung di Surabaya. Sekitar 700-an serdadu dari Batalyon Infanteri (Yonif) 521/Dadaha Yodha menyemut di bibir dermaga, menunggu giliran naik ke kapal Teluk Bayur. Mereka akan berlayar ke Aceh, medan perang yang jaraknya 3.000 kilometer, dari asrama mereka di Kediri. Di dermaga, seorang gadis berambut kepang mencari-cari sesosok wajah. Saat kapal beringsut meninggalkan Surabaya, pipinya basah dengan air mata.
Suasana di atas kapal mirip pasar tumpah. Orang lalu lalang tapi ruang terbatas. Prajurit hanya diizinkan menggunakan anjungan geladak. Ada terpal besar yang menutup seantero geladak. Para serdadu ini sukar tidur nyenyak. Matras tak dapat diandalkan melawan permukaan dek yang keras. Ruangan sempit. Tidur berdesak-desakan. Punggung yang semestinya rebah di matras terganjal ransel. Hanya kaki yang bisa diluruskan.
Mereka mengisi waktu luang dengan bercengkerama atau bermain kartu. Sesekali mereka menyumpahi nenek moyangnya saat melihat kapal perang mereka disalip kapal barang di laut lepas. Kedongkolan itu bertahan sehari, dua hari, lima hari, sepekan .... hingga kapal Teluk Bayur merapat di pelabuhan Malahayati, Banda Aceh, 18 Juni 2002. Untuk pelayaran yang biasa ditempuh tiga hari dengan kapal komersial, para serdadu Kediri ini menghabiskan delapan hari.
Sehari sebelum merapat di Banda Aceh, Teluk Bayur membongkar sebagian muatannya di Lhokseumawe. Pertimbangannya, perairan Malahayati relatif dangkal. Sukar merapat jika muatan kapal penuh. Di Lhokseumawe, empat truk Mercedes-Benz, satu ambulans dan satu jip komandan batalyon diturunkan dan segera bergerak ke Banda Aceh, menyusul rekan mereka yang akan tiba di sana keesokan harinya.
Prajurit Kepala Muhamad Khusnur Rokhim ditunjuk sebagai pemandu jalan.
"Kami berangkat," kata Rokhim, "(Dikawal) tim khusus satu peleton. Tiga puluh orang. Senjata lengkap. Saya bilang ke anak-anak, di sini sudah masuk Aceh, jangan kaya' tugas di Ambon, Timor Timur. Tidak ada apa-apanya. Di Aceh, sejengkal tanah tidak ada yang aman."
"Keluar dari Lhokseumawe, kita menuju ke Bireun. Bireun 'kan rawan? Perjalanan Lhokseumawe ke Bireun aman. Lepas Bireun ke Peudada. Saya kasih tahu ini titik rawan. Medan terbuka. Waspada!"
"Masuk ke Bandar Dua. Saya kasih tahu juga."
"Uleglee, hati-hati!"
"Habis Trienggading masuk Luengputu. Nah di situ kelapa-kelapa 'kan banyak! Saya kasih tahu, 'Awasi ketinggian!' Mobil jalan terus. Sampai Luengputu dua mobil yang mengawal sejak dari Lhokseumawe pulang. Alasannya sudah dekat kota. Sigli 100 persen aman. Saya tetap nggak yakin. Tidak ada di sini aman. Saya juga (pernah) di sini. Lama. Saya bilang ke kawan-kawan, 'Hati-hati di depan, samping kanan-kiri.'"
Sebelum bertolak ke Sigli, konvoi berhenti di kantor Komando Rayon Militer (Koramil) Geulumpang Minyeuk, kecamatan Geulumpang Tiga, kabupaten Pidie. Letnan Dua Ruben Rihi turun menanyakan kondisi perjalanan ke Sigli. "Saya jamin sini ke Kodim Pidie," kata orang Koramil. Ruben Rihi lega. Konvoi kembali bergerak. Ruben ikut truk Rokhim, jalan paling depan. Selepas kitar 200-an meter, laju kendaraan yang berlapis baja tiga milimeter itu terganggu. Ada segerombolan sapi melintas.
Perasaan Rokhim mendadak tak enak. Tapi dia tak ingin menurutinya. Medan di seputarnya berbicara lain: bukan medan kritis. Tak ada ketinggian. Di kiri jalan, ada pertigaan yang menghubungkan jalan besar dengan sekolah di sana. Dia melihat serombongan murid bergerak ke arah simpang itu. Tak jauh dari sekolah ada rimbunan pohon kelapa, sagu, dan nipah.
Sapi telah lewat. Jalan telah bersih. Konvoi kembali bergerak. Truk paling belakang telah melewati simpang tiga itu. Lewat jendela, Rokhim melihat ada mobil penumpang dan sepeda motor bergerak dari arah berlawanan. Ada pompa bensin tak jauh di depan sana. Ramai orang di situ.
Konvoi telah bergerak sekitar 500 meter meninggalkan Koramil.
Tiba-tiba .... rrrreetttttttttttt-ret-rettttttttt .... tang-tang-tang.
Ada AK-47 yang menyalak dari rimbunan kelapa tadi. Sekitar dua menit lamanya, menyasar bak truk paling depan. Baja pelindung tangki angin mobil Rokhim jebol. "Tang-tang-tang .... tang-tang-tang."
Di bak belakang, Ruben Rihi dan beberapa serdadu pengawal terperanjat. Belum sehari mereka di Aceh sudah disiram tembakan. Seisi bak sontak menyembunyikan kepala. "Peluru sejengkal di atas kepala," kata Ruben.
Sersan Satu Handoko ada di jip komandan. Dia berjuang mengatasi kekagetannya. Untung, peluru sudah di kamarnya. Buru-buru dia membuka kunci. Senjata otomatis Minimi buatan Belgia di tangannya menyalak. Sayang, sentakan gas mobil membuat tembakannya tak terarah. Dia terpelanting. Jatuh.
"Kami," kata Rokhim, "Mau turun (tapi) ngeri juga karena medan terbuka. Melarikan diri itu jalan satu-satunya."
Konvoi meninggalkan tempat penghadangan selekas mungkin. Tak ada yang celaka siang itu. Tapi ketegangan di wajah mereka baru cair sejam kemudian. "Goreng jagung" di siang bolong itu, demikian beberapa prajurit menyebut dentingan proyektil menghantam pelat baja mobil, membekas di benak banyak serdadu Indonesia yang ditugaskan di Aceh. "Sejak itu saya ndak percaya lagi sama orang Aceh. Ini menyangkut nyawa. Kalau ada (orang) Koramil waktu itu, sudah saya hantam. Orang Aceh itu (memang) tidak bisa dipercaya," kata Letnan Dua Ruben Rihi.
[ Last edited by Badak-Jawa at 3-10-2006 11:20 PM ] |
|
|
|
|
|
|
|
Kejarlah Daku kau Kusekolahkan. (bagian 2)
SAYA menemui pasukan yang bermarkas di Kediri itu awal September silam-sekitar tiga bulan sesudah mereka mendarat di Malahayati-setelah mendapatkan izin dari Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan Aceh Mayor Jenderal Djali Yusuf. Saya ingin tahu bagaimana serdadu-serdadu Indonesia bekerja di provinsi yang bergolak sejak 1970-an ini. Djali Yusuf setuju dan menunjuk Batalyon Infanteri 521/Dadaha Yodha. Batalyon teritorial ini tugas utamanya mengamankan wilayah Aceh Barat, dari Lambaro hingga Beutong, yang dari ujung ke ujung jaraknya ada 150 kilometer.
Ada sejumlah hal yang harus saya patuhi bila ingin tinggal dengan pasukan. Saya, misalnya, dilarang meninggalkan pos sekali pun untuk membeli rokok tanpa dikawal seorang prajurit. Kalau jaraknya lebih 200 meter dari pos, yang kawal sedikitnya mesti tiga orang.
Hari pertama, saya banyak mendengar peringatan seperti ini:
"Mas ini orang sipil. Tapi akan sering dilihat orang jalan sama tentara. Bahaya. Di luar sana, mungkin ada cuak (mata-mata) GAM."
"Peluru di sini tak ada matanya, lho."
"Kamu harus hati-hati karena kalau ada apa-apa, semoga tidak yah, siapa yang akan tanggung jawab ke Pangkoops (Djali Yusuf)."
Para serdadu itu, ternyata seperti saya, dilarang meninggalkan pos tanpa membawa teman. Mereka hanya bebas bergerak radius 100 meter dari pos. Begitu keluar pos, serdadu membawa senapan sudah terkokang. Serdadu yang kekhawatirannya lebih tinggi kadang sudah membuka kunci senapannya.
Jika hendak berbelanja kebutu*an dapur ke pasar, orang pos selalu berangkat dengan jumlah besar, minimal lima orang. Bila sudah di pasar, dua orang berbelanja dan sisanya melakukan pengamanan. Kondisi itu berbeda dengan keadaan sewaktu mereka tugas di Timor Timur, Maluku, atau Papua. Sewaktu di Timor Timur, kata seorang kopral kepala, mereka berani lenggang kangkung sendiri ke pasar.
Aceh memang bukan sembarang daerah. Di sini, kelengahan taruhannya nyawa. Sebuah satuan Lintas Udara dari Makassar, misalnya, kehilangan 11 orang anggotanya hanya dalam tempo 10 bulan. Enam di antaranya tewas setelah kontak senjata dengan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka terlambat dievakuasi saat pendarahan hebat. Sisanya karena faktor non-pertempuran: seorang tewas dalam kecelakaan bermotor, dua orang tenggelam di laut, seorang salah tembak oleh pasukan Indonesia lainnya, dan seorang lagi ditembak komandan sendiri di sebuah hotel karena dianggap melakukan insubordinasi.
"Di sini perangnya perang gerilya. Siapa yang lengah dia yang kalah," kata komandan Batalyon 521/Dadaha Yodha Letnan Kolonel (Infanteri) Ucu Subagja.
Dan saya belum pernah menjumpai tentara yang kewaspadaannya seperti Prajurit Kepala Muhamad Khusnur Rokhim. Pada jarak 10 meter, dari potongan rambutnya saja, orang sudah bisa menebak kalau dia tentara. Ada banyak bekas luka di wajahnya yang hitam. Perawakannya sedang, bahkan kurus untuk ukuran tentara. Tingginya sekitar 170 centimeter. Wajahnya tirus dengan rahang menonjol. "Ini," katanya menunjuk rahang kanannya, "Sering bengkak kena popor pas latihan membidik sasaran."
Ke mana saja Rokhim pergi, matanya selalu awas. Apa saja yang nampak jadi bahan perhatian. Kalau ada orang yang gerak-geriknya aneh, dia tak segan-segan memelototinya sampai yakin kalau orang itu tak akan membahayakan keselamatannya.
Di Meulaboh, sekitar 250 kilometer selatan Banda Aceh, saya sering mengajaknya minum kopi di kedai, yang jaraknya kurang dari semenit jalan kaki dari pos. Begitu masuk, perhatian Rokhim langsung tertuju ke seisi kedai. Dia selalu memilih tempat di pojok agar punggungnya aman dan leluasa memperhatikan semua orang yang keluar masuk. Kemudian dia memeriksa bagian belakang kedai, mengecek jalan pelolosan kalau ada gangguan dari depan dan sekaligus mencari tahu kemungkinan ada yang masuk ke kedai, lewat belakang, tanpa sepengetahuannya.
Dia juga selalu memperhatikan wajah pemilik kedai. Kadang dia mendekat, memperhatikan si empunya kedai meracik kopi, seperti ingin memastikan kalau kopi itu tak beracun.
Awalnya, tingkah Rokhim itu membuat saya geli. Tapi dia selalu punya jawaban setiap kali saya menertawakan kekhawatirannya. Pertama, dia tak ingin setor nyawa di Aceh. Dia punya seorang istri dan anak di Kediri. Kedua, dia membawa senjata yang harus dijaga. "Kalau ini jatuh ke tangan musuh, bisa lebih banyak tentara yang mati."
Rokhim membawa SS-1-senapan serbu buatan Indonesia. Senjata itu istri keduanya. Ke mana pergi selalu dibawa. Bahkan saat tidur pun, dia ada dalam pelukan Rokhim. Saya jarang melihat dia melipat popor senapannya. Teorinya, popor yang terlipat membuat prajurit sukar menembak tepat. Menembak dengan popor terlipat hanya akan menghasilkan berondongan. Risikonya, yang bukan sasaran bisa berdarah dan amunisi dijamin mubazir.
Rokhim selalu memanjangkan tali sandang senjatanya. Dia yakin, itu akan memudahkan dirinya merapatkan popor ke bahu dan segera membidik. Itu belum semua. Tangannya selalu lengket di pistol grip (pegangan pelatuk) sementara telunjuk tegang di picu. Dia masih terbawa-bawa hukuman pelatihnya dulu yang mengikat tangan serdadu yang tak menempel di picu.
Di kalangan sejawatnya, Rokhim dikenal sebagai "raja" Taman Wisata Pagora, Kediri. Dia kadang melancarkan jalan serdadu yang kepengen berfoto dengan artis yang manggung di taman hiburan itu. Dia mengenal hampir semua orang yang kerja di situ. Istrinya, Yuni Wijayanti, bekerja sebagai penjaga loket di sana.
Rokhim suka musik dangdut. "Setiap tanggal muda artis datang. Cici Faramida sering. Yang paling mahal bayarannya itu yah, Vetty Vera .... sama kita itu biasa, lho. Mau foto-fotoan .... Ine Sinthya yang ketus orangnya. Nggak mau diajak ngobrol-ngobrol. Susah."
Rokhim termasuk serdadu yang mudah diajak berteman. Jika sudah percaya, apa saja akan dilakukan untuk kenalannya. Sekali waktu, saya panik karena bloknot saya hilang sementara truk yang saya tumpangi akan berangkat. Tanpa diminta Rokhim turun mencari catatan itu. Komandan batalyon dan dua truk serdadu terheran-heran melihat Rokhim mengubek-ubek semak-semak di sana. Sekiranya saya tak segera menemukan bloknot yang terselip di tas, saya kira dia tak akan naik ke truk.
Dia juga pernah merogoh kocek sendiri karena prihatin melihat saya kehabisan uang. Dia, seperti orang-orang pos lainnya, selalu memperhatikan keperluan saya. Pernah sekali dia menyindir saya karena urusan makan. "Situ kok nggak makan? Makanlah, tidak enak kalau teman-teman tersinggung. Mereka sudah masak, lho. Apa situ harus seperti raja. Makanannya diantarkan tiap saat?"
Urusan makan, Rokhim terbilang unik. Ada banyak makanan yang tak bisa lewat di tenggorokannya. Dia, misalnya, tak suka daging sapi, daging ayam (kecuali ayam kampung), ikan laut, telur, sayur-sayuran, dan masih banyak lagi. Menu favoritnya: nasi panas, tahu, tempe plus jus alpukat pakai susu kental manis coklat.
Di asrama dulu, istrinya rutin menyajikan sarapan termasuk membuatkan susu saban pagi. Yuni Wijayanti risih melihat berat badan suaminya tak naik-naik sementara prajurit lain berbadan subur. Tapi Rokhim tetap dengan seleranya. Jarang-jarang dia menyentuh sarapan yang dibuat istrinya. |
|
|
|
|
|
|
|
Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan (Bagian 3)
Suatu malam, saat merebus mi di pos, Rokhim berikrar melahap apa saja yang disajikan istrinya jika bisa pulang selamat dari Aceh. Dia merasa gaya makannya selama ini tak menunjukkan kecintaannya pada istri.
Dia juga mencanangkan program "menggencar" Yuni dengan surat. Setiap tiga hari sekali, katanya, dia mau menulis surat. Khusus untuk anaknya, dia selalu mengingat dengan menuliskan namanya di kasur lipat: Muhamad Ikhsan Bagaskara.
Ada yang bilang, 90 persen penyakit tentara kita adalah suka mabuk. Rokhim masuk golongan 10 persen. Dia bahkan tak merokok sejak seorang komandannya di Timor Timur pada 1997 menghukumnya jungkir sampai muntah. Sembahyang dan mengajinya tak putus. Saat salat berjamaah, dia yang selalu melantunkan azan. Saban Jumat, dia rutin merapal Yasin dan Tahlil.
Kadang, tanpa diduga, dia bertanya tentang hal-hal yang membuat saya tak habis pikir. "Menurut situ apa kebebasan pers itu harus dibatasi?" Pertanyaan itu merujuk aneka jenis tabloid esek-esek yang banyak beredar di Aceh -gambar-gambar syurnya jadi hiasan dinding hampir semua pos.
Atau kali lain dia bertanya begini, "Jujur yah, Indonesia ini bagusnya kesatuan atau federal?"
"Mas, Munir itu ibunya PKI, yah?"
"Cut Keke itu apanya Abdullah Syafi'ie?"
Munir seorang aktivis hak asasi manusia terkemuka di Jakarta. Cut Keke artis cantik asal Banda Aceh, yang menempuh karier di Jakarta dan pernah menemui Panglima GAM Teungku Abdullah Syafi'ie sebelum Syafi'ie meninggal ditembak pasukan Indonesia pada 22 Januari 2002.
Rokhim termasuk serdadu yang dari kecil memang bercita-cita jadi tentara. Dia lahir di Mojokerto, Jawa Timur, 29 tahun silam. Berbekal ijazah SMA dia masuk dinas militer berpangkat prajurit dua, sembilan tahun lalu.
Di batalyon, kekuatan fisiknya masyhur. Dia dikenal jago lari dan renang. "Kalau ada junior saya yang malas-malas lari pasti saya tendang." Dia senewen karena dulu pernah diperintahkan lari berkilo-kilo meski butiran-butiran batu menempel di tumitnya yang lecet.
Tapi sekarang Rokhim tak lagi bersemangat ikut lomba olahraga tempur. Kekecewaannya muncul setelah dia dua kali gagal mengikuti tes Sekolah Calon Bintara. Padahal, katanya, pernah ada perwira yang menjanjikan serdadu yang berprestasi akan direkomendasikan untuk ikut tes dan dibantu kelulusannya. Banyak serdadu yang mumpuni secara fisik dan mental, gondok setelah tahu kalau beberapa tentara yang kerjanya "hanya makan dan minum di batalyon" bisa lulus tes.
Nasib juga yang mempertemukan saya dengan Rokhim. Dia tahu saya hanya bermodal dengkul ikut dengan pasukan. Dia meminjami saya beberapa baju lengan panjang dan kaos tangan untuk jalan malam di hutan. Dia rela digigit nyamuk dan menyerahkan shebo-nya (penutup kepala) untuk saya pakai. Dia juga memberikan isi kotak obatnya; obat sakit perut, cairan antinyamuk, pembalut luka, Betadine, dan lain-lain. Dia bahkan menyerahkan karet pengikat ujung celananya dan membiarkan betisnya jadi sasaran empuk lintah.
Dari Rokhim juga saya mendapat kursus singkat tentang gerakan militer. Pelajaran pertama teknik melompat dari truk. Ini penting karena banyak tentara berdarah-darah karena menyepelekan teori. Lompatan salah bisa bikin patah gigi, memar siku, atau luka lutut. "Saat menjejak tanah jangan tumit duluan. Syaraf bisa rusak. Kaki harus dalam posisi menjinjit dengan badan condong ke depan. Setelahnya, langsung lari cari perlindungan."
"Kalau ada tembakan, jangan panik. Tanam kepala. Cari perlindungan secepatnya di batu, pohon atau apa saja yang kira-kira kuat. Jangan berlindung di pohon karet atau kelapa. Itu tembus peluru AK."
"Kalau ada nyamuk atau lintah tahan saja. Nanti pas berhenti baru lepas lintahnya. Tapi jangan terburu-buru. Cari tembakau, perciki air sedikit dan teteskan ke tempat melengketnya. Nanti lintahnya jatuh sendiri. Kalau dipaksa dikeluarkan, sementara giginya masih menancap, akan gatal sekali."
"Jangan banyak mengeluh. Tidak baik karena menghambat gerak pasukan."
"Kalau jalan malam, jangan berisik. Harus senyap. Kaki jangan diseret-seret. Setiap melangkah, tumit duluan yang menjejak tanah. Baru kemudian bagian telapak kaki lainnya."
"Jangan jalan paling belakang. Usahakan di dekat yang bawa senapan otomatis atau radio. Kalau ada tembakan, yang bawa SO (senapan otomatis) tugasnya mengikat tembakan. Dia akan diam di tempat dan tidak ikut lari bersama pasukan yang melambung. Mas nggak tahu medan, jadi mending tidak usah ikut. Kalau ketinggalan bagaimana?"
"Sebaiknya pakai lars. Nanti saya pinjami. Sepatu yang Mas pakai itu bisa hilang kalau kita masuk rawa."
"Boleh merokok kalau sudah siang."
"Kalau jalan jauh, jangan banyak minum. Kaki pasti berat melangkah. Di betis ini seperti digandoli air. Minum banyak nanti kalau pasukan berhenti lama. Kalau haus dan tidak ada air minum tahan saja. Kalau ditawari air, jangan ditenggak semua. Minumnya sedikit saja. Asal kerongkongan basah. Gelasnya pakai penutup veples. Praktis. Tidak usah takut sakit minum air tidak dimasak. Minum saja, nanti dimasak di perut."
"Mas ini orang sipil. Kalau ada gerak pasukan di lapangan yang Mas tidak suka jangan diperlihatkan. Simpan dalam hati saja."
***
SAYA tak bisa mengikuti nasihatnya agar selalu diam. Saya pernah merepet seharian setelah melihat seorang Aceh bernama Ruslan tewas ditenggo (ditembak) akhir September silam. Hari itu kami datang terlambat. Mayat Ruslan sudah tertelungkup di atas kolam ikan nila di belakang sebuah rumah di desa Tanjung, sekitar seperempat jam dari Meulaboh.
Beberapa serdadu di situ bilang kejadiannya baru saja. Tapi mayat pria yang seluruh rambutnya memutih itu sudah kaku. Rahangnya sulit dirapatkan. Saya kira kejadiannya sudah lebih dari sejam.
Satu regu serdadu yang ada di sana saat kejadian, sudah bergerombol di simpang jalan desa. Mereka sepertinya enggan berkotor-kotor mengurusi jenazah itu. Mereka cerita kalau Ruslan sudah dua kali mencoba melarikan diri. Saat mencoba peruntungannya yang ketiga, di hari yang sama, dia berubah jadi "laron merah"-istilah tentara untuk orang GAM yang mati tertembak.
Seorang serdadu mencoba membalik mayat yang telah membengkak itu. Jelaslah kalau ada sebutir peluru bersarang di perutnya. Saya juga melihat ada sebutir lagi di paha dan dada.
Tapi apa salah Ruslan sampai ditembak? Menurut seorang prajurit, Ruslan memang "target operasi." Ruslan dianggap bagian logistik GAM. Saat ditangkap di rumahnya dan hendak digiring ke pos tentara terdekat, Ruslan melarikan diri meski telah diberi tembakan peringatan.
Saya sulit mengecek klaim itu. Dua-tiga letusan senapan di siang bolong sudah cukup membuat warga desa meringkuk ketakutan di rumah masing-masing.
Yang saya heran tak ada bekas ikatan di pergelangan tangan Ruslan. Kenapa tak ada yang berinisiatif mengikatnya setelah percobaan melarikan diri pertama kali? Saya juga heran kenapa mereka tak berpikir taktis sehingga memilih menembak seseorang yang informasinya mungkin sangat berharga? Berapa jauh sih larinya kakek berumur 51 tahun di area persawahan sehingga serdadu-serdadu muda itu tak dapat mengejarnya? Saya menaksir dari tempat Ruslan melarikan diri hingga tertembak, dia hanya sanggup berlari sekitar 30 meter.
Okelah kalau memang harus ditembak, tapi kenapa bukan dilumpuhkan saja? Tembak di paha saja? Tidak adakah satu di antara belasan serdadu itu yang bisa menembak tepat sasaran dalam jarak 30 meter?
Saya tak sempat menggali lebih dalam. Hanya 10 menit saya di dekat jenazah Ruslan. Setelah itu, truk yang saya tumpangi pergi ke tempat lain.
Sebelum cabut, dengan menahan mual mencium amis darah, Rokhim berinisiatif menutup mata Ruslan yang membelalak itu dan mengangkat mayat Ruslan ke tanah kering. Seorang serdadu lainnya menutupi jenazah dengan atap rumbia. |
|
|
|
|
|
|
|
Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan (Bagian 4)
Keesokan harinya, saya bertemu lagi dengan beberapa serdadu yang ada saat penembakan Ruslan. Saya ingin mengorek informasi lebih dalam. Tapi saya mengurungkan niat itu setelah seorang di antaranya ngeles, beralasan tak berada di tempat kejadian. Padahal jelas-jelas dia yang mengulurkan kepada saya kartu tanda penduduk Ruslan, penduduk desa Palimbungan, kecamatan Kaway XVI.
Saya protes kepada Rokhim. Dia lebih banyak diam mendengarkan repetan saya.
"Semoga saja benar-benar GAM," katanya.
Ucapan singkatnya itu mengingatkan saya pada salah satu butir "Prinsip-Prinsip Dasar Menghancurkan Insurjensi" yang diterbitkan Komando Resort Militer Teuku Umar yang salinannya ditempel di setiap pos tentara. Bunyinya kira-kira begini: menghilangkan satu nyawa tak berdosa sama dengan menciptakan 1.000 musuh.
Rokhim mungkin tahu saya tak akan diam. Tapi hubungan kami tetap baik. Dari teman-temannya saya tahu kalau dia termasuk serdadu yang disegani kendati sehari-hari dia hanya bertugas sebagai sopir cadangan. Jarang-jarang ada serdadu yang berani sesumbar jika ada Rokhim di situ.
Di atas truk, Rokhim jaya. Disuruh mengemudikan mobil apa saja dia bisa. Dari yang pakai per keong sampai yang bannya 10 biji. Dia juga pemegang rekor 10 kali selamat dari penghadangan GAM di atas truk.
Rokhim dua kali ikut pendidikan pasukan penyergap Rajawali, 1997 dan 1999. Kurun itu, dia ikut sebagai pasukan pemburu di Timor Timur dan Aceh. Baru pada 2002 dia ikut sebagai pasukan kerangka atau teritorial.
Pada 1999, Jakarta mengirim sekitar 1.500 orang Pasukan Rajawali ke Aceh Utara dan Pidie. Rokhim dapat Pidie. Dia masih ingat sebagian pengarahan komandan Kopassus Mayor Jenderal Prabowo Subianto, menantu Presiden Soeharto, sebelum Rajawali diterbangkan ke Aceh.
"Gini pesannya," kata Rokhim menirukan Prabowo, "Prajurit saya harus seperti Hanoman. Tidak boleh sombong. Berani .... kalau dapat satu pucuk M16, saya bayar Rp 5 juta .... kalau SP (senjata kayu) Rp 1 juta. Kalau dapat gembongnya GPK .... Rp 100 juta. Saya akan datang ke tempat TKP. Saya tidak bisa datang, kirim kepalanya!"
"Bilang gitu. Aaaaapa nggak gila! Saya senang bener itu .... saya masih ingat. Wah, mantap bener," kata Rokhim.
Di Pidie, Rokhim melihat bangunan-bangunan sekolah dan kantor-kantor pemerintahan yang luluh lantak. Dia juga menyaksikan kecemasan warga Aceh saat melihat tentara kembali masuk ke pedalaman Aceh pascapencabutan status Daerah Operasi Militer oleh Presiden B.J. Habibie pada akhir 1998.
Sekitar sembilan bulan Rokhim di Pidie. Dan dia paling senang bercerita tentang pengalamannya mengubek-ubek hutan dan mengendap-endap di pelosok.
"Apa khasnya pengendapan (Rajawali)?" tanya saya suatu waktu.
"Pake sandi. Hari ini pake ikat kepala hijau, umpamanya. Besok pagi, lengan baju kanan dinaikkan. Kadang baju dibalik. Celana pun kadang dibalik."
"Apa kalau ada (GAM) langsung sikat?"
"Yang bersenjata aja."
"Apa diberhentiin dulu?"
"Ngapain? Bersenjata sikat langsung. Nggak ada berhenti. Itu pun nembaknya kalau sudah bener-bener bersenjata. Kalau nggak bersenjata ya nggak ditembak. Masyarakat berarti. Dulu itu buka tembakan di sini susah. Nggak boleh nembak-nembak. Kalau tidak bersenjata nggak boleh ditembak. Kalau ada yang bersenjata, kita tembak yang bersenjata. Yang nggak, ya nggak. Harus titik bidik titik kena. Tapi kalau orang sini 'kan kernetnya yang banyak. Satu pucuk kernetnya lima. Jadi satu ditembak satu ngambil lagi. Ya ditembak lagi .... hahahaha .... sampai lima orang .... kan repot. Maunya pimpinan ditembak satu. Saya sebenarnya kasihan 'kan. Tapi kalau dia ngambil tembak lagi. Ngambil tembak lagi."
"Bagaimana pertama kali nembak?"
"Biasa. Saya yakin kalau pertama takut. Nggak kena. Ngawur. Kalau perasaan kena, ya kena itu. Nggak yakin berarti nggak kena. Tapi kalau udah dua kali tiga kali ya pasti kena. Harus tenang."
Di Aceh Rokhim baru bisa menembak musuh dan pertama kali kena pada 5 November 1999. "Jam tujuh pagi (kami) istirahat. Mau lanjutkan perjalanan dengar suara motor Honda GL Pro .... truuunggg. Kita sembunyi. Dia tujuh orang, empat motor. Kita ada satu kompi. Waktu lewat wah .... ternyata GAM. Kita hajar. Pang-pang-pang. Kena semua."
"Habis kontak ada dua orang masuk. Bawa semprotan padi. Kita periksa di BOD (basis operasi depan). Kita tanya baik-baik."
"Apa dibilang Bapak saya, Bang," kata seorang pemuda yang diinterogasi pagi itu, "'Nak, kamu jangan ikut-ikutan GAM. GAM itu nggak bakalan merdeka. Jadilah orang baik-baik saja.' Pesan ayah saya gitu, Bang. Bener Bang. Sumpah Bang. Saya bukan GAM."
Si pemuda kembali meyakinkan dengan mengulang kalimat yang sama. Beberapa serdadu sudah berpikir untuk melepas pemuda itu.
Tapi seorang serdadu yang sedari tadi mengamati interogasi itu bertanya-tanya. Dia terus berpikir dan teringat secarik foto-guntingan koran-di ranselnya. Foto itu memuat pose Panglima GAM Teungku Abdullah Syafi'ie, yang dikelilingi sejumlah pengawalnya. Buru-buru dia mengambil foto itu dan mengamatinya. Anak muda itu .... anak muda itu ternyata berdiri memegang handy talky di samping Syafi'ie!
"Ini foto siapa?"
"Bukan saya, Bang."
"Apa kau bilang ...!"
"Ini foto siapa?"
"Betul Bang, ini bukan saya Bang. Ayah saya bilang, 'Nak kamu jangan ikut-ikutan GAM. GAM itu nggak bakalan merdeka. Jadilah orang baik-baik saja.' Pesan ayah saya gitu, Bang. Bener Bang. Sumpah Bang. Saya bukan GAM."
"Akhirnya dia .... pura-pura goblok 'kan dia. Ngomong sama orang goblok ya 'disekolahkan' biar pandai."
"Disekolahkan" adalah bahasa slang tentara Indonesia untuk eksekusi mati bagi anggota GAM yang tertangkap. Pasukan Brigade Mobil (Brimob) menggunakan istilah "kosong-satu" untuk hal yang sama.
Cerita soal kontak di Cot Mamplam, Keumala, itu juga saya dapatkan dari seorang bintara yang juga ada di lokasi. Dia membenarkan cerita Rokhim. Dia sendiri malah ingat identitas salah seorang yang "disekolahkan" itu.
Menjelang akhir September, saat batas waktu saya ikut dengan pasukan teritorial habis. Rokhim menyemangati saya untuk ikut dengan pasukan gerak.
"Cerita sebenarnya ada di front," katanya, "Ini sudah masuk musim hujan. Wah pasti mantap masuk hutan. Saya doakan situ diguyur hujan malam-malam. Tidak usah takut. Nanti lihat bagaimana caranya tentara tidur saat hujan. Nanti badannya pasti kekar. Sehat. Nanti kita cari sepatu boot. Itu enak dipake masuk rawa."
Rokhim berharap-harap saya bisa ketemu GAM di hutan. Dia pernah mengatai saya penakut karena tak mau ikut penyerbuan ke daerah Kuala Tripa. "Itu kesempatan emas. Kenapa tidak diambil? Kapan lagi bisa dapat kesempatan seperti itu? Kalau ikut, situ akan tahu tentara kita berani apa tidak kalau dengar AK."
Saya cerita kalau saya sungkan ikut karena yang punya hajat pasukan gabungan dari Kostrad dan Kopassus. Saya belum "diserahterimakan" kepada komandan dua pasukan itu. Saya juga tak mau dikira tergila-gila bertemu GAM. Selain itu saya sudah diberi tahu kalau medannya berat. Mesti pakai berenang di sungai dan masuk rawa segala.
Tapi Rokhim tak percaya. Hampir seharian dia menyindir saya. "Kalau takut sama sungai lebar, berenang pakai ponco saja. Lepas baju lepas celana. Sepatu digantung di leher. Ponco diikat ujungnya trus .... kluk-kluk-kluk .... pasti mengapung sampai di sebelah. Ah, situ memang penakut!"
Memang, pasukan gabungan yang berangkat ke Kuala malam itu bertemu GAM. Dua orang serdadu GAM tewas dan satu pucuk senapan pelontar granat rakitan berhasil disita. "Semalam kita sudah masuk killing ground. Kontak selama berjam-jam. Untung nggak ikut," cerita seorang sersan satu.
Sekitar sebulan lamanya saya pergi dengan Rokhim. Ke mana dia pergi saya ikut. Sampai suatu saat Rokhim jengah setelah seorang perwira pertama bertanya, "Rokhim, mana body system kamu?"
Body system adalah istilah yang sering digunakan pasukan gerak. Dalam setiap gerakan, setiap prajurit punya seorang pendamping. Bukan sekadar pendamping. Pendamping itu harus tahu segala hal menyangkut rekannya, dari ujung kaki sampai ujung rambut, dari warna celana dalam hingga berapa jumlah uang di dompet.
Ditanyai begitu, Rokhim sepertinya menyadari sesuatu. Selama ini dia praktis menghabiskan waktunya dengan saya. Ke mana dia pergi selalu ada saya. Dia nyaris tak punya banyak kesempatan bergaul dengan rekan-rekannya. Suatu malam, Rokhim membuka pembicaraan, "Mas ini saudara saya. Tapi mulai sekarang kita jaga jarak yah. Saya nggak enak sama anak-anak yang lain. Mas hanya dua bulan di sini."
Saya berpisah dengan Rokhim awal Oktober silam. Saat itu, dia masih menanggung sakit yang sudah sebulan tak mau hilang: sariawan. "Mas kalau ketemu istri saya tidak usah cerita yang sengsara-sengsara di sini, yah." |
|
|
|
|
|
|
|
Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan (Bagian 5)
RASA bosan adalah salah satu beban dalam peperangan. Saya juga merasakannya. Rekor saya tinggal di pos hanya tiga hari. Memasuki hari keempat, saya mulai mencari informasi kapan ada lanjutan ke kota atau ke pos lain.
Orang-orang pos punya berbagai macam cara untuk mengatasi kebosanan. Mereka punya dunia sendiri. Bangun pagi, seisi pos sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Yang memelihara burung akan memandikan piaraannya. Makhluk-makhluk itu disuapi makanan, diajari bicara, diajak berjemur menikmati matahari pagi, diperbaiki sangkarnya. Kadang mereka menyetelkan lagu buat piarannya itu. "Biar suaranya bagus," kata seorang serdadu.
Banyak tentara dari Jawa suka memelihara burung. Saya pernah mendapati pos dengan 40 buah sangkar burung, dua kali lipat dari jumlah penghuni pos. Kicauan burung-burung terdengar hampir setiap saat. Suaranya bahkan lebih nyaring ketimbang kicauan teman-temannya di hutan belakang pos.
Burung memang mudah didapatkan di Aceh Barat. Biasanya, warga yang datang berobat (gratis) ke pos menyerahkan burung atau makanan burung. Ada banyak jenis burung. Murai batu yang paling sering saya lihat di samping perkutut, beo, dan tekukur.
Membuat sangkar burung jadi kesibukan tersendiri. Rangkanya dari kayu, jerujinya dari bambu. Orang pos membuatnya bermodalkan sangkur dan besi panas untuk melubangi rangka. Ukurannya bervariasi. Yang paling besar yang pernah saya lihat seukuran tempat tidur anak lima tahun. Dipernis dan dicuci tiap hari. Mereka kadang menamai burung piaraannya dengan nama orang-orang GAM yang jadi target operasi di Aceh Barat, seperti "Juragan" dan "Cut Man."
Biasanya, setelah merawat binatang piaraan, orang pos merawat diri. Di setiap pos, selalu ada peralatan fitness seperti barbel, erekan, dan samsak. Mereka tak ingin pulang tugas dengan perut buncit.
Sudah itu mandi. Tentara umumnya mandi telanjang bareng-bareng. Yang tidak suka, biasanya mandi pakai celana kolor atau pas sumur sepi. Mandi dan sekalian mencuci pakaian. Baju dan celana loreng biasanya dicuci dua kali seminggu. Kalau lebih dari itu, di baju ada garis-garis putih yang kalau banyak seperti peta saja. Awalnya saya kira peta itu terbentuk karena mereka tak bersih saat membilas. Kemudian seorang serdadu bercerita kalau peta itu karena air keringat (bergaram) yang menempel di baju. Pakaian yang kering habis dijemur biasanya langsung dilipat.
Kegiatan bersama orang pos sudah direncanakan sejak malam sebelumnya. Komandan peleton atau bintara sudah menunjuk siapa giliran patroli dan jaga pos. Porsinya setengah-setengah. Sepuluh orang patroli, sisanya jaga pos plus memasak.
Mereka bergiliran masak. Sejak lepas subuh, mereka mandi asap kayu bakar di dapur. Pagi sarapan dengan telur dadar dan nasi panas. Baru siangnya ada sayur dan ikan. Kalau ada kelapa, mereka bikin sayur santan. Ikannya rata-rata digoreng. Nanti kalau banyak bawang merah dan cabai besar, ikan goreng itu diberi bumbu. Soal rasa bergantung pada siapa yang memasak. Terkadang terlalu asin dan seringkali anyep karena kurang bumbu.
Ada satu menu yang tak pernah hilang di pos: sambel. Kalau ada terasi, pakai terasi. Kalau tidak, ya cabai, tomat, bawang, garam dan sedikit vietsin diulek. Tentara Jawa biasanya bawa ulekan akar pring dari Jawa sana. Mereka tak nyaman memakai ulekan Aceh yang besarnya seperti lesung penumbuk padi.
Masih soal menu, saya pernah terperanjat menyaksikan mewahnya daftar menu pos Rajawali di Kabong. Menu ditulis jelas-jelas di papan dapur. Pagi: Nasi Putih, Telur, Teh Manis, Krupuk. Siang: Ayam Goreng, Sop, Empal, Lodeh, Sayur (asam/bening), Ikan Asin, Sambal, Lalap. Sore: Sarden, Cornet, Ikan Bakar, Opor Ayam, Gudeg, Soto, Telur. Makanan tambahan: Susu, Jeruk, Mi (rebus/goreng), Telor setengah matang, Kelapa muda. Ternyata ini hanya fantasi orang dapur saja. Realitasnya ya sama dengan pos lain.
Jadwal makan orang pos teratur, pagi biasanya antara pukul tujuh dan pukul delapan, siang sebelum masuk duhur, dan makan malamnya menjelang magrib. Mereka biasanya makan dengan serba plastik: piring plastik, sendok plastik, dan gelas plastik. Semua peralatan makan itu, termasuk peralatan masak, dibeli dengan uang sendiri.
Setiap bulannya, mereka dapat pembagian beras dan beberapa kaleng konserven (makanan kaleng). Praktis orang pos tinggal mencari lauknya. Rata-rata per orang menyetor Rp 1.000 setiap makan. Mereka kadang minta ikan kepada nelayan atau penjual yang lewat depan pos.
Semua mengambil makanan di dapur kecuali komandan pos. Bos satu ini memang spesial. Dia yang paling duluan dapat jatah makanan, porsinya lebih banyak, dan diantar ke kamarnya. Kalau saya datang, orang dapur punya dua bos. Seringkali apa-apa wartawan duluan. Saya pernah mendengar seorang serdadu menegur temannya karena mengambil makan terlalu banyak. "Nanti wartawan tidak dapat."
Suatu saat, saya iseng bertanya kepada orang dapur, "Kok kita nggak pernah makan daging?"
"Bagaimana kalau saya tembakkan Bandung Ambon Bandung Irian?"
Saya menolak karena tak makan babi.
"Kalau (saya tembakkan) burung rangkong mau?"
"Kelelawar?"
Saya tetap menggeleng dan iseng-iseng bertanya, "Orang pos bagaimana bisa marah kalau tidak makan daging?"
"Bang, tentara itu biar tidak makan daging sudah sangar."
Patroli adalah saat orang pos bergaul dekat dengan warga desa. Satu hingga enam bulan pertama mereka masih menikmatinya. Tapi kalau sudah lewat enam bulan, istilah tentara sudah masuk yang namanya "masa bodoh." Di kepala prajurit yang terpikir cuma kapan pulang. Mereka biasanya kembali hapal hari dan tanggal berapa sekarang. Satu sampai enam bulan pertama boro-boro.
Saat patroli mereka akan bertegur sapa dengan setiap orang desa. Kadang mereka singgah sekadar untuk tahu berapa jumlah penghuni rumah dan siapa-siapa saja orangnya.
Setiap pekan, orang pos sudah punya jadwal desa mana yang harus mendapatkan apel. Mereka memilih hari Jumat karena orang kampung di Aceh tak pergi ke ladang hingga usai jumatan.
Saya pernah mengikuti apel di desa Mugah Rayeuk. Jangan bayangkan apel yang kaku. Ini tanpa baris-berbaris, terkesan santai saja. Warga desa, tua muda laki perempuan, berkumpul di tempat yang teduh dan komandan pos berdiri di depan.
Acara pertama absensi. Orang-orang desa diabsen. Kalau seisi rumah tak bisa datang, mesti ada yang mewakili. Mereka utamanya yang pernah terlibat GAM. Orang pos punya catatannya. Mereka mendapatkan catatan itu dari pasukan yang bertugas sebelumnya. Mereka yang ada namanya di daftar itu harus melakukan registrasi ulang setiap pasukan di pos berganti. Pemutihan, istilahnya. |
|
|
|
|
|
|
|
Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan (Bagian 6)
Selepasnya, ada pengarahan dari komandan pos. Isinya macam-macam. Tapi intinya ini: "Jaaaaaaaaaaaaangan sekali-sekali ikut GAM. Tidur di hutan itu tidak enak. Saya di pos sana nyamuknya saja sudah minta ampun. Anak ditinggalin, istri ditinggalin. Kalau ikut ke sana akibatnya rugi semuanya. Nggak usah gaya-gayaan bawa senjata, bapak-bapak. Tidak ada gunanya! Mendingan kita ambil cangkul, pergi ke ladang, ada hasil bisa dimakan sama-sama dengan keluarga."
Kalau ada apel, mungkin keuchik (kepala desa) yang paling terbebani pikirannya. Dia harus punya jawaban kalau orang pos bertanya kenapa si A atau si B tak ikut apel. Dia juga kadang jadi sasaran awal kekesalan tentara terhadap apa yang terjadi di desa.
Pernah suatu hari saya bertanya kepada orang pos apa yang akan dilakukannya kalau pos diserang. "Gampang," katanya, "Cukup panggil keuchik dan suruh orang desa apel dan guling di jalan sampai aspal di depan pos ini rata."
Keuchik juga kadang jadi sasaran kekesalan orang GAM. Sudah banyak keuchik yang mati karena berselisih dengan orang GAM. Biasanya soal pajak. Pajak Nanggroe, istilahnya. Saya tak pernah melihat langsung orang GAM memungut pajak, tapi saya punya contoh kwitansinya. Isinya memuat keterangan nama barang yang diserahkan dan berapa jumlahnya dalam bahasa Aceh. Di pojok bawah kwitansi tertera keterangan "aseuli meuwarna, fotocopy hana sah" (asli berwarna, fotokopi tidak sah).
Sepulang patroli, orang pos beristirahat. Selepas asar, mereka berolahraga. Ada yang turun main voli (enam yang main, empat mengamankan) dengan warga desa. Ada juga yang kembali menekuni alat-alat fitness.
Kalau capek gerak badan seharian, begitu habis isya orang pos langsung tidur. Jangan bayangkan ada kasur dan ranjang di pos. Mereka tidur beralaskan matras dan berjejer di sebuah ruang panjang seperti bangsal rumah sakit. Biasanya, dari rumah mereka sudah membawa bantal, yang kadang ada sulaman nama istri dan anak-anaknya.
Yang belum ngantuk biasanya nonton VCD. Orang pos punya banyak koleksi VCD dari film Mickey Mouse, Tom and Jerry, hingga film India Kuch-Kuch Hota Hai. Tapi yang sering diputar VCD Dangdut Koplo (itu lho, dangdut yang penyanyinya berpakaian superketat dan melenggok-lenggok menirukan adegan di film porno). Kadang, kalau punya persediaan, mereka nonton VCD porno yang mudah dicari di rental VCD di kota terdekat.
Tidurnya serdadu di pos selalu disela jadwal jaga serambi. Biasanya mereka berjaga selang sejam. Ini berlaku buat semua penghuni pos. Saat jaga, semua lampu dipadamkan. Di pos jaga selalu ada senapan otomatis.
Kalau pas malam Jumat, di pos biasanya ada yasinan. Tahlilan kalau orang pos mendengar ada tentara Indonesia mati di Aceh. Dan kalau malam Minggu, orang pos biasanya gitar-gitaran. Banyak yang pintar menyanyi. Dangdut biasanya. Instrumen musik yang digunakan lumayan lengkap. Ada gitar melodi, drum, bass, suling, dan lain-lain. Tapi .... semuanya dengan mulut.
Minggu siang waktunya pelesiran. Pelesiran tentara di Aceh tetap saja dengan senjata sudah dikokang. Tujuan mereka biasanya ke kota kecamatan atau ibukota kabupaten. Tempat yang pertama kali mereka datangi biasanya warung telekomunikasi. Di situ mereka melepas rindu dengan orang di rumah.
Saban minggunya, ada ratusan tentara yang turun gunung untuk menelepon. Mereka yang seringkali bayar mahal adalah serdadu yang sudah berkeluarga. Makin banyak anak makin besar yang mereka bayar. Kadang sampai Rp 90 ribu sekali telepon.
Selain telepon, banyak serdadu yang memilih berkomunikasi lewat surat. Saya pernah melihat seorang serdadu yang sekali duduk menulis sampai 10 surat. Dia masih bujangan.
"Banyak fans," katanya.
***
Operasi Penyergapan
MALAM itu 100 orang serdadu disiapkan menyergap persembunyian GAM di wilayah Jeuram. Sebuah kekuatan besar untuk menghadapi musuh yang ditaksir 30 orang. Ada pengarahan tambahan setelah seorang mayor memberikan perintah operasi. "Kalian jangan salah lirik," katanya, "Ada empat orang sipil yang ikut dengan kita. Tiga orang ini adalah panah (penunjuk jalan). Yang di belakang itu wartawan. Dia sudah dapat izin dari Pangkoops. Liat baik-baik mukanya."
Mayor itu sepertinya dapat membaca kecemasan saya. Saya satu-satunya orang yang berpakaian preman malam itu. Tiga sipil lainnya mengenakan setelan loreng tentara. Salah seorang bahkan menyembunyikan wajahnya di balik shebo karena mengira saya bisa membongkar identitasnya.
Pengarahan ditutup dengan doa. Sesudah doa, seluruh serdadu sudah tahu apa yang harus mereka lakukan: mengokang senjata. Seratus-seratusnya. "Krak-krak-krak-krak-krak ....." Ramai tangkai pelocok beradu dengan besi pembungkus kamar senjata.
Beberapa prajurit juga dibekali senapan pelontar granat. Panjangnya sekitar dua jengkal. Hitam manis warnanya. Diameter larasnya seukuran kaleng soft drink. Granat yang ditembakkan dari laras itu berbentuk tabung. Setengah jengkal panjangnya, kaliber 40 milimeter. Sebagian serdadu menyebutnya granat lintas mekar. Bila mengenai sasaran, serpihannya akan bermekaran seperti bunga kol. Bayangkan jika itu mekar di tubuh manusia .....
Soal suara, jangan ditanya. Bila meletus, granat itu cukup untuk membuat musuh kecut. "GAM hanya ketawa kalau dengar SS-1. Mereka itu hanya takut sama Minimi, TP, dan SPG," kata seorang prajurit kepala.
Senapan Pelontar Granat atau SPG memiliki banyak kesamaan dengan GLM (Grenade Launching Machine). Peluncur granat GLM melekat di M16 sedangkan SPG melekat di senapan serbu SS-1.
Minimi. Senapan Belgia ini sanggup menghamburkan ratusan butir peluru hanya dalam hitungan detik. Panjangnya sekitar semeter, hampir sama dengan panjang SS-1. Amunisinya sama-sama berkaliber 5,56 milimeter kendati pada Minimi amunisi dalam renteng sepanjang dua meter.
Di setiap rentengnya, amunisi terikat empat-empat. Setiap treknya ada tiga amunisi Anti-Personel dan satu amunisi pembakar. Rumput kering akan terbakar jika tersiram amunisi pembakar itu.
Soal ukuran diameter, laras Minimi sedikit lebih besar daripada laras SS-1. Jika 200 butir peluru muntah dalam sekali tarik picu, laras Minimi akan memerah seperti besi tempa. Karena itu, penembak Minimi selalu membawa laras cadangan di ransel.
Malam itu saya melihat banyak prajurit yang menggantung Tabung Pelontar atau TP di pinggang. Ada TP Anti-Tank dan TP Anti-Personel. Yang Anti-Tank berwarna hitam dan yang Anti-Personel berwarna hijau. Mereka hanya membawa TP Anti-Personel.
TP Anti-Personel tersimpan dalam sebuah tabung plastik. Barangnya sepanjang dua jengkal orang dewasa. Modelnya seperti roket mini. Ada serdadu yang pernah kurang ajar menakut-nakuti seorang kakek dengan menyelipkan roket itu di bajunya. Kakek itu menangis sesegukan karena cemas roket itu meledak di perutnya.
Jika Anda ingin mendengar letusan TP, pasang saja di laras SS-1. Proyektil yang keluar dari laras SS-1 akan menghantam picu TP dan membuat granat di ujungnya melenting hingga 400 meter. Begitu mengenai permukaan keras, granat itu akan meledak. Apa saja yang rapuh dalam radius 15 meter dari lokasi ledakan akan terhambur. Yang kering akan terbakar.
"Ini jangan dinyalakan yah," kata Kapten Dedi Hardono ketika melihat saya membawa tape recorder. Kapten Dedi adalah perwira seksi operasi. Dia panglima perangnya Batalyon 521 di Aceh Barat. Dia tak ingin lampu merah penanda rekaman di tape recorder saya merusak kerahasiaan gerak pasukan di gelap malam.
Tepat tengah malam, kami berangkat menumpang empat truk Mercedes-Benz. Nyaris tak ada pembicaraan selama perjalanan. Serdadu tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Beberapa di antaranya menyalakan rokok, mengisapnya dalam-dalam, karena mereka tak bisa merokok dalam operasi.
Truk melaju dengan kecepatan sedang. Deru mesinnya berpadu dengan embusan angin yang seolah hendak merobek terpal mobil. Jalanan sepi. Di luar sana gelap.
Sekitar sejam kemudian, gerak konvoi tiba-tiba berhenti di depan Komando Rayon Militer Jeuram, kecamatan Nagan Raya.
"Diaannncuk! Kenapa berhenti di sini?"
"Kenapa?"
"Wes nggak rahasia lagi. Bocor pasti. Cuak GAM pasti sudah melapor ke hutan. Orang Koramil ini tidak bisa dipercaya."
Ada jeda sebelum sersan satu itu kembali mengumpat, "Diannnnnnnnncukkkkk!"
Selang beberapa menit, saya tahu kalau konvoi ternyata salah jalan. Kami harus balik kanan.
Konvoi lalu bergerak ke sebuah simpang empat yang telah terlewati. Truk masuk ke jalan berbatu. Kiri-kanan persawahan. Makin ke dalam, makin gelap. Perumahan penduduk makin jarang.
"Sebentar lagi sampai," kata seorang serdadu yang duduk di samping saya. Kami masih tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Melihat rokok saya hampir habis, dia menawarkan yang baru. "Santai saja," katanya, tersenyum.
Kami akhirnya sampai di "titik bongkar." Muatan dibongkar depan sebuah pasar kecil. Belasan penduduk yang ronda malam itu terkejut melihat serdadu berlompatan dari bak mobil. Mereka dikumpulkan, diberi pengarahan singkat, dan ancaman. Intinya, cukup mereka saja yang tahu kehadiran pasukan malam ini.
Lima menit kemudian, truk yang telah kosong balik kanan, meninggalkan serdadu yang mulai berbaris menurut kelompoknya.
Si kapten nampak kesal melihat beberapa serdadu lupa di mana kelompoknya.
"Kamu jangan jauh-jauh dari saya," katanya kepada saya.
Empat tim itu mulai bergerak dengan selang keberangkatan sekitar lima menit. Tim Kopassus dan Kostrad yang berangkat pertama.
Tiba giliran tim saya bergerak. Tak sampai dua menit, kami telah mencapai ujung kampung. Pasukan telah melewati lampu jalan yang terakhir.
Gelap menyergap. Saya tak dapat melihat apa-apa dalam jarak setengah meter. Yang saya tahu harus terus melangkah, mengikuti derap lars di depan. |
|
|
|
|
|
|
|
Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan. (Bagian 7)
Lima menit, 10 menit. "Har .... Har .... berhenti dulu. Saya ketinggalan." Kapten Dedi Hardono, dengan suara lirih, mencoba meminta prajurit yang bergerak paling depan berhenti.
Panggilan di handy talky itu tak berjawab.
Orang di depan saya mulai jalan setengah berlari. Ternyata kami tertinggal jauh di belakang. Sekitar lima menit setelah kehilangan kontak, tim kembali utuh.
Pasukan terus bergerak. Sekitar setengah jam kemudian, voor spiets (bahasa Belanda; prajurit terdepan dalam formasi tempur) tiba-tiba menghentikan langkahnya. Semua di belakangnya kaget. Kami seperti nenek kehilangan tongkat. Ada yang nyaris mencium tanah karena ditubruk dari belakang. Kaki serdadu di belakang saya rupanya tidak punya rem juga. Larasnya menghantam betis saya.
Pasukan berhenti. Semua jongkok. Saya dapat mendengar gemercik air dari kejauhan. Kami sepertinya jalan dekat saluran irigasi.
Enam meter di depan sana, muncul suara yang lamat-lamat di telinga. "Ssstttttttttttt ....." Rupanya, serdadu paling depan menyuruh yang di belakangnya senyap. Yang di belakangnya juga mengulangi pesan serupa hingga ke telinga serdadu terakhir.
Ada sekitar lima menit kami berjongkok. Tak jelas apa yang melatari sampai voor spiets tiba-tiba berhenti. Tapi tindakannya itu menyebabkan ketegangan yang sedari tadi mengiringi makin menjadi.
Pasukan bergerak lagi .... berhenti lagi .... bergerak lagi .... berhenti lagi.
Sekali dua, pemberhentian tiba-tiba itu meremas-remas jantung. Tapi setelahnya banyak serdadu yang mulai santai. Sudah ada yang berani duduk berselonjor dan melepas kentut. Kewaspadaan mulai menurun.
Saya juga capek. Lutut rasanya mau copot. Mata letih memelototi kegelapan di sekeliling.
Ah, sudah pukul tiga. Sudah dua jam kami berjalan. Kaki rasanya otomatis melangkah mengejar langkah orang di depan. Seandainya tak malu, saya rasanya ingin bilang ke Kapten Dedi agar berhenti dulu dan baru jalan saat tanah sudah terang.
Pasukan berhenti lagi. Kali ini, belum sempat jongkok, ada kata yang merayap dari depan, "Balik kanan. Balik kanan."
Ternyata pasukan salah jalan lagi!
Hampir pukul empat subuh tapi pasukan terus bergerak. Kali ini setengah merunduk saat melintas di sebuah tanah lapang. Setelahnya, semak-semak menghadang. Berkali-kali saya tersandung. Dalam hati saya berharap semoga kami tak salah jalan lagi.
"Mundur. Mundur. Sasaran sudah di depan! Sasaran sudah di depan!"
Pendadakan itu membuat banyak serdadu gelagapan mundur.
Sasaran ternyata sudah di depan sana dan kami hampir menerobos begitu saja tanpa persiapan.
Kapten Dedi menyiapkan formasi penyerangan.
"Mana Minimi," bisiknya, mencari serdadu yang menenteng Minimi.
"Minimi .... Minimi ....." Beberapa serdadu mengulangi panggilan itu. Ada 12 belas pucuk Minimi malam itu tapi tak satu pun yang berada di dekatnya.
Selang sebentar, yang dipanggil akhirnya datang merayap. "Kamu ini ....!" Kapten Dedi berbisik dengan nada membentak.
"Mana wartawan?" bisiknya ke seseorang di dekatnya. Hari masih gelap. Dia tak dapat melihat saya yang tiarap di semak dua meter di kirinya.
Terang-terang tanah, 25 serdadu bergerak mendekat. Sedekat mungkin ke bangunan yang mereka incar. Tiga puluh meter, 20 meter .... 10 meter. "Diancukkkkk!" Setengah terperanjat, beberapa prajurit menyumpahi bangunan 10 meter di depan sana, yang ternyata kandang kambing.
Saat itu baru jelas. Sasaran sebenarnya ada 50 meter sebelah kanan kandang kambing itu. Sebuah gubuk dan beberapa petak rumah kopel beratap seng.
Kokok ayam kian jelas terdengar. Sebentar ini mungkin ada nyawa yang akan meregang.
Pasukan mengepung perumahan di tengah hutan sawit itu dalam formasi L.
"Tang-tang-tang." Beberapa serdadu menghujani rumah beratap seng itu dengan batu. Mereka ingin tahu reaksi penghuninya. Senyap. Tak ada senjata menyalak dari sana.
Prajurit dari Kopassus dan Kostrad bergerak cepat. Mereka telah mengepung rumah itu dari jarak sekitar lima meter. Saya dapat melihatnya jelas dari balik pohon sawit. Mereka terus mendekat.
Lalu sebuah teriakan memecah keheningan, "Ujang, Awewe, Barudak. Kaluar! Kaluar!" Teriakan seorang prajurit Kopassus dari Sunda.
Tapi itu sudah cukup. Seorang perempuan menampakkan diri. Nurhayati yang tak memahami ucapan itu dan tak pernah membayangkan gubuknya akan disatroni serdadu tergopoh-gopoh keluar. Di badannya hanya melekat baju kusam yang kancingnya tak tertutup semua dan selembar sarung coklat yang warnanya memudar.
"Mana Bapak?"
Dibentak begitu, Nurhayati takut. Tangisnya pecah. Pelan-pelan, dari balik pintu, suaminya keluar dengan hanya mengenakan handuk yang juga kusam.
Para serdadu bergerak cepat. Gubuk digeladah bersamaan pemeriksaan rumah kopel di dekatnya. Hasilnya sama. Tak ada senjata.
Beberapa prajurit penasaran. Bagaimana mungkin informasi A-1 salah?
Mereka mendatangi Muhammad yang berdiri kaku di halaman rumahnya. Dua meter di sampingnya, Nurhayati masih berusaha meredakan tangis anak mereka Nurinsana.
Ada dialog. Beberapa serdadu berkali-kali bertanya dalam bahasa Indonesia, sementara Muhammad, dengan sepenuh perhatian, menjawab dalam bahasa Aceh.
Seorang sersan dua yang berdiri di samping saya mulai gerah. Dia pikir satu-dua kali jotosan ke muka Muhammad akan membuat komunikasi nyambung. Bohong kalau dia tidak bisa bahasa Indonesia! Masak tidak bisa sih!?
"Kalau Bapak itu saya pukul, Mas tulis atau tidak?" sersan itu bertanya kepada saya.
Saya jawab dengan menjauh dari tempat itu. Bukannya saya tak mau menulis tapi repot sekali menjawabnya. Dari jarak 20 meter, saya lihat berkali-kali dia menepuk-nepuk senjatanya. Sepertinya dia bertanya apakah pasangan itu pernah melihat orang membawa barang seperti senjata yang disandangnya.
Dia menyerah. Saat sarapan pagi di depan rumah kopel itu, dia berkomentar singkat, "Memang belum rezeki."
Yang kebagian rezeki pagi itu justru Nurhayati dan tetangganya. Lepas sarapan, beberapa serdadu membagikan jatah biskuit atau nasi kaleng yang tak menarik selera mereka. Seorang ibu yang lewat di depan rumah Nurhayati ikut ditawari. Awalnya, dia menolak karena mengira nasi kaleng itu bom. |
|
|
|
|
|
|
|
Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan (Bagian 8)
KAMI pulang pagi itu juga. Berjalan kaki melintasi rute yang sama tapi dengan waktu yang lebih cepat, sekitar 1,5 jam. Semalam kami ternyata melintas di jalan padat karya yang membelah hutan sawit milik PT Fajar Bayzuri & Brother di Paya Malim.
Serdadu kalau pulang penyergapan kosong, jalannya biasanya ngawur. Banyak yang bergerombol kendati sudah diperingatkan agar tetap waspada. Mereka sudah capek. Kami hanya sanggup berjalan hingga saluran irigasi di sebuah persimpangan. Lewat radio PRC (portable radio communication), truk diminta menjemput lebih ke dalam.
Sejam menunggu, truk belum juga datang. Beberapa serdadu mengajak berkenalan. Kami ngobrol banyak hal. Di situ saya sempat melihat peta topografi wilayah Jeuram yang dibawa seorang serdadu.
Besarnya seukuran kertas A1. Fotokopian, dibungkus plastik. Ini peta standar Tentara Nasional Indonesia di Aceh. Setiap pos punya satu peta. Peta itu yang jadi batas sekaligus acuan gerak mereka.
Peta ini isinya mendetail. Setiap karvah punya koordinat posisi. Kontur tanah jelas terlihat. Demikian pula jalanan, perumahan penduduk, rawa, kebun sawit, kebun karet, sungai, persawahan .... pokoknya orang dijamin tak akan tersesat jika menggunakannya.
Di pojok peta itu saya membaca catatan kalau peta itu dibuat Dinas Topografi TNI Angkatan Darat bekerja sama dengan sebuah lembaga Australia. Peta ini, peta yang menjadi acuan semua serdadu Indonesia di Aceh, dibuat berdasarkan pencitraan satelit pada .... 1974! Hampir seperempat abad lalu atau dua tahun sebelum pecah pemberontakan bersenjata di Aceh. Bisa dimengerti kalau mereka sering tersesat.
Selang sebentar, datang tim penutup. Semalam, mereka bertugas menutup jalan pelolosan GAM. Jarak yang mereka tempuh lebih jauh tapi raut wajah mereka menyiratkan kemenangan.
"Laron!" kata seorang serdadu yang menunjuk GAM yang tertangkap.
"Laron" itu sudah berdarah. Bibir atasnya lebam. Sepertinya habis dinyonyor laras. Ada luka sayatan sekitar tiga centimenter di pipi kirinya. Cipratan darah membasahi bajunya. Namanya Ismail. Umur 34 tahun. Tingginya sekitar 160 centimeter. Pekerjaannya makelar karet. Pagi itu dia ditangkap karena gugup saat berpapasan dengan pasukan. Ada yang mengenali wajahnya.
Sebentar saja, puluhan serdadu mengelilinginya. "Tadi malam dia melihat kita lewat di irigasi," kata seorang serdadu menjawab pertanyaan rekan-rekannya apakah Ismail yang membocorkan kehadiran pasukan semalam.
Truk ternyata tak bisa menjemput ke dekat irigasi. Kami harus jalan lagi sambil mengawal Ismail. Tangannya tak diikat sehingga dia bebas mendorong sepedanya. Dalam hati saya berharap semoga dia tak melarikan diri selama perjalanan.
Kami jalan terus. Sambil jalan, beberapa serdadu yang gemas mendekatinya. Ada yang sekadar ingin bertukar sapa, ada juga yang mengancam akan menembak jika Ismail mencoba melarikan diri. "Itu ada wartawan. Kamu akan dikirim ke Jakarta." Raut muka Ismail sontak berubah. Dia termakan gertakan itu.
Kami sampai di titik penjemputan. Ismail dan sepedanya dinaikkan ke truk, dijaga sekitar 25 orang serdadu. Dari belakang, ada yang menghardik, "GAM! Anjing kamu. Babi!" Seorang perwira segera menimpali, "Ojo dikerasi lho. Ojo! (Jangan dikerasi lho. Jangan!)"
Dua-tiga hari setelah penyergapan di Paya Malim itu, saya kembali bertemu Ismail. Sudah banyak perubahan. Lebam di bibirnya sudah hilang. Sayatan kemarin seperti tak pernah ada saja. Saya dengar pulihnya Ismail berkat keterampilan bintara kesehatan merawat Ismail saat diterungku (dikerangkeng).
Hari itu wajah Ismail nampak cerah. Bajunya tak ada bercak darah lagi. Berkali-kali dia mencoba tersenyum ke arah saya. Saya membalasnya, tapi tak berani mendekat. Selalu saja ada serdadu di sampingnya.
Apa kesalahan Ismail sampai ditahan? Sehari setelah penahanan, satu regu serdadu mendatangi rumah-kebunnya di Paya Malim. Di situ, tentara menemukan barang bukti berupa antena handy talky, belerang (bahan dasar pembuatan bom), dan TP (tabung pelontar) yang kadaluwarsa. Tapi tak ada amunisi atau senjata. Habis mengambil barang bukti, rumah itu dibakar.
Saat diinterogasi, Ismail mengatakan barang-barang itu bukan miliknya. Itu, katanya, milik orang GAM yang kebetulan singgah makan ke rumahnya. "Sampai mati pun jawaban saya tetap begitu, Pak," kata seorang bintara menirukan Ismail.
Seorang perwira intel senior tak membeli alibinya itu. Ismail sudah jelas-jelas GAM. "Kalau saya yang dapat pertama kali saya tembak langsung."
Sekitar sepekan setelahnya, Ismail dibebaskan. Tapi dia masih kena wajib lapor ke pos pasukan teritorial satu kali seminggu.
Pasangan suami-istri Cut Ali bin Nasir tak seberuntung Ismail. Mereka ditangkap karena ada laporan bahwa ada pelarian GAM dari Aceh Selatan yang tinggal di Suak Nyamuk, kecamatan Darul Makmur.
Laporannya cukup detail. Dia tinggal bersama istrinya di sebuah rumah kebun. Tak punya anak. Di telunjuk kirinya ada luka bekas tertusuk duri.
Subuh itu menjelang peringatan ulang tahun Tentara Nasional Indonesia 5 Oktober silam, Nasir memang apes. Saat berjaga di kebun, dia tak dapat mengenali kalau 20 meter dari tempatnya duduk, di sela-sela bedeng kacang tanah, ada belasan serdadu yang mengincarnya.
Begitu tanah terang, dia dan istrinya ditangkap. Di rumah itu, tentara tak menemukan satu pun barang bukti yang mendukung Nasir adalah GAM. Tapi keduanya tetap digelandang ke pos tentara teritorial di Meulaboh. Nasir tak sempat memakai sandal saat digiring bersama istrinya.
Dan di sanalah penderitaan mereka bermula.
Nasir lebih dulu diinterogasi. Dia diminta bertelanjang dada. Di hadapan seorang mayor dan beberapa staf intel, Nasir membantah kalau dia terlibat GAM. Bantahan itu mengundang kemarahan.
Saya hanya tahan sebentar mengintip Nasir diinterogasi. Saya mencari Sersan Satu Handoko yang ikut menangkap pria bertato itu. Handoko orangnya simpatik. Banyak warga desa Aceh yang menyenanginya. Seingat saya, Handoko satu-satunya serdadu di Aceh Barat yang fasih berbahasa Aceh. Dia menikah dengan seorang gadis Pidie 1999 silam |
|
|
|
|
|
|
|
Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan (Bagian 9)
Di akhir ceritanya, Handoko mengungkapkan kekesalannya melihat Nasir dipukuli begitu. Menurutnya, mereka yang bertindak kasar itu tak tahu persoalan dan hanya cari-cari muka.
Seorang kapten yang ada di ruang interogasi juga memilih keluar. Dia jengah melihat beberapa bawahannya memukuli Nasir. Dia tak kuasa mencegah kendati itu terjadi di hadapannya. Saya kira dia sungkan karena bagaimana bisa melarang jika mayor di hadapannya justru menyetujui pemukulan itu?
Saat ngobrol dengan Handoko, seorang bintara mendekat dan mengaku tak tega melihat Nasir dijotosi sampai elek. Saya senang mendengarnya. Tapi sehari setelahnya, dalam bahasa Jawa, dia bercerita kepada beberapa rekannya, di hadapan saya, kalau tangannya sampai sakit memukuli Nasir. Saya kecewa sekali merasa dibohongi. Saya mengerti bahasa Jawa walau sedikit.
Interogasi berjalan sekitar dua jam. Untuk pemeriksaan selanjutnya, Nasir dan istrinya ditahan di Pos Komando Taktis Pula Ie, sekitar setengah jam perjalanan dari Meulaboh.
Di atas truk itu, Nasir yang saya lihat dua jam lalu jauh berbeda dengan Nasir sekarang: ada gumpalan darah beku di tulang belakang telinganya. Bibirnya lebam, hidungnya berdarah, dahinya penuh benjolan. Rahang kanannya membengkak sementara yang sebelah kiri seperti kempes.
Pasangan suami istri itu duduk di ban serep truk. Sekitar 20 orang serdadu bersenjata lengkap mengawalnya. Begitu duduk, istri Nasir mencoba menggamit lengan kiri suaminya. Tapi Nasir seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tatapannya tetap lurus ke depan.
Siang itu dia mengenakan jins yang birunya sudah memudar dan baju kaos lengan panjang warna kuning yang kerahnya seperti habis ditarik paksa. Lengan kanan dan bagian punggung baju itu penuh bercak-bercak darah.
Saya pernah mendengar seorang serdadu dari Makassar berandai-andai ada promotor yang mau memfasilitasi pertarungan gaya bebas ala Ultimate Fighting Championship (UFC) antara TNI dan GAM. Dan saya kira, kalau disuruh berkelahi satu lawan satu, akan banyak serdadu Indonesia yang berpikir 1.000 kali sebelum memberanikan diri menantang Nasir.
Tingginya dapat 175 centimeter. Dadanya membusung. Bahunya lebar. Pergelangan tangannya besar. Kumisnya yang bapang kian menambah kesan angker.
Tapi siang itu, Nasir dalam kondisi payah. Sungguh.
Saya duduk di sampingnya saat mendengar beberapa serdadu berkata: "Wis pateni ae (sudah bunuh saja)." Ada juga yang menginginkan Nasir diberi kesempatan menunjukkan tempat penyembunyian senjatanya. Nanti kalau ternyata tidak ada, ya "wis pateni ae." Istrinya? Ada yang mengusulkan tak usah dibunuh tapi dijadikan tukang masak di pos saja.
Truk bergerak. Istri Nasir mempererat dekapannya. Sekali dia mencoba membelai paha suaminya, tapi tak dilanjutkannya. Mungkin segan. Dia hanya memegang lipatan-lipatan kain yang membungkus lutut suaminya. Lain kali dia seperti hendak membisikkan sesuatu ke telinga Nasir. Nasir berpaling, tak berkata suatu apa, lalu kembali menatap lurus.
Saya kagum. Mungkin seperti beginilah harusnya laki-laki. Saya tak dapat membayangkan seperti apa keadaan istrinya jika Nasir tak setegar siang itu.
Sebentar kemudian, Nasir mengelus-ngelus telunjuk kirinya. Dia mencoba menyapu darah yang masih menetes. Luka bekas tertusuk duri itu kembali merekah setelah seorang serdadu memukuli telunjuk Nasir dengan besi. Nasir mengakui keterlibatannya dengan GAM setelah itu.
Nasir dan istrinya diterungku di sebuah sel besi seukuran 3 x 5 meter. Ada selembar tikar di situ dan dua sak semen yang mungkin bisa dijadikan bantal. Tahi kambing berceceran di lantai itu. Penjaranya di samping dapur umum. Beberapa serdadu berkali memukul-mukul seng samping penjara seakan-akan untuk menyambut kehadiran penghuni baru di sebelah.
Sekitar 50 meter dari tempat Nasir mendekam, di sebuah bangunan yang ditinggali para serdadu itu, saya melihat ada kursi listrik yang berubah fungsi menjadi kandang burung. Model dan ukurannya seperti bangku kuliah mahasiswa. Hanya saja beberapa bagiannya, seperti sandaran punggung, dilapisi lempengan besi. Di tungkai kursi itu ada lengkungan besi berengsel yang pas di tungkai kaki.
Beberapa serdadu bercerita kalau kursi itu peninggalan Yonif Linud 700 Makassar. Saya banyak mendengar cerita miring tentang pasukan ini. Mereka menggunakan kursi listrik itu untuk melakukan interogasi. Banyak warga yang trauma dengan watak keras pasukan ini. "Matanya ditatap saja kita sudah digertak .... ada salah sedikit main tempeleng," kata seorang warga.
Dua-tiga hari setelahnya, saya kembali bertemu Nasir dan istrinya. Kondisinya sudah lebih baik. Lebam-lebam di mukanya hilang. Seorang serdadu malah memberinya baju ganti. Wajahnya kelihatan lebih segar, demikian pula istrinya.
Entah kenapa, hari itu dia menghampiri saya di sudut pos. "Saya Cut Ali. Cut Ali bin Nasir." Katanya menjabat tangan saya erat-erat, seolah tak akan pernah bertemu lagi. Tapi dari keadaannya yang sudah membaik itu saya menduga sebentar lagi mereka akan dilepas, seperti Ismail dulu.
Memang, selama dua minggu setelahnya saya tak pernah mendengar kabar Nasir lagi. Pada pekan keempat Oktober, seorang bintara mengabarkan kalau Nasir dan istrinya melarikan diri.
"Melarikan diri?" tanya saya tak percaya.
"Iya," katanya, "Waktu rumahnya digerebek ulang ada amunisi yang ditimbun ternyata."
Tak selalu tentara kita mengorek informasi dari orang yang dinilai terlibat GAM dengan cara kekerasan, seperti yang telah dialami Nasir dan istrinya itu. Saya pernah melihat cara yang simpatik. Waktu itu ada informasi yang masuk ke pos kalau pemimpin pondok pesantren Babussalam Abubakar Sabir menampung sejumlah orang GAM.
Dua truk pasukan langsung meluncur ke dayah (pesantren) di jantung kota Meulaboh. Seorang mayor turun dan bertemu dengan kiai di situ. Entah apa yang mereka bicarakan. Keesokan harinya, kiai itu datang membawa belasan santrinya yang pernah ikut GAM. Mereka hanya diinterogasi dan diizinkan pulang dengan status wajib lapor sekali seminggu. (Ada juga "laron" yang baru dilepas setelah kakak, adik, om, tante, dan sepupunya datang menjaminkan kepalanya)
Selama bergabung dengan pasukan, saya banyak melihat GAM yang turun gunung menyerahkan diri ke pos aparat. Jumlahnya mencapai 50 orang lebih. Mulai dari yang levelnya panglima sago (setingkat kemukiman) hingga yang dianggap GAM hanya karena pernah dipaksa ikut latihan perang-perangan selama tiga jam. Sebagian besar diperlakukan baik-baik. Hanya diinterogasi dan diberi pengarahan singkat.
Tapi biasanya, kalau tentara Jakarta punya informasi yang bisa diandalkan, "laron" tertentu akan dibujuk dan kalau tak mempan dipaksa menunjukkan tempat penyembunyian senjatanya. Seorang prajurit dua pernah bercerita kalau di posnya ada pecut ekor ikan pari. Cambuk itu berhasil memaksa seorang "laron" yang telah menyerahkan diri menunjukkan tempat penyimpanan senjatanya. |
|
|
|
|
|
|
| |
|