|
MENGENANG USMAN & HARUN (Bagian Ketiga)
TOHIR alias Harun
Masa Kecil
Sekitar 15 kilometer sebelah utara kota Pahlawan, Surabaya, tampaklah dari
kejauhan sebuah pulau kecil yang luasnya kira kira 4 kilometer persegi. Di
pulau ini terdapat tempat yang dianggap keramat, karena di pulau inilah
pernah dimakamkan seorang kyai yang sangat sakti dan terkenal di masa itu,
yaitu Kyai Bawean. Sehingga tempat yang keramat ini terkenal dengan nama
Keramat Bawean.
Pada saat tentara Jepang menginjakkan kakinya di Pulau Bawean tanggal 4
April 1943, lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama Tohir bin Said.
Tohir adalah anak ketiga dari Pak Mandar dengan ibu Aswiyani, yang kemudian
terkenal menjadi Pahlawan Nasional dengan nama Harun.
Sejak dibangku Sekolah Dasar ia tertarik dengan kulit-kulit kerang yang
terdampar di pasir-pasir tepian pantai daripada memperhatikan pelajaran di
sekolah, hal ini akibat seringnya Tohir pergi ke pantai laut. Perahu-perahu
yang setiap hari mencari nafkah di tengah-tengah lautan, merupakan daya
tarik tersendiri bagi Tohir. Dengan jalan mencuri-curi ia sering menyelinap
ikut berlayar bersama perahu-perahu nelayan ke tengah lautan. Bahkan ia
sering tidak masuk sekolah ataupun pulang ke rumah, karena mengikuti
perahu-perahu layar mencari ikan di tengah laut beberapa hari lamanya.
Setelah menamatkan Sekolah Dasar, tanpa sepengetahuan keluarganya, ia
berhasil melanjutkan Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas di
Jakarta sampai mendapatkan ijazah. Sejak ia menginjak bangku Sekolah
Menengah Pertama untuk biaya hidup dan sekolah ia menjadi pelayan kapal
dagang, di samping itu tetap rajin belajar mengikuti pelajaran-pelajaran di
sekolahnya dengan jalan mengutip kawan-kawannya.
Ia telah menjelajahi beberapa Negara, tetapi yang paling dikenal dan hafal
daerahnya adalah daratan Singapura. Kadang kadang ia berhari-hari lamanya
tinggal di Pelabuhan Singapura. Dan sering pula ia ikut kapal mondar-mandir
antara Singapura - Tanjung Pinang.
Seorang pemuda Tohir tidak terlepas dari persoalan dunia percintaan. Pada
masa remaja kira-kira umur 21 tahun ia pernah jatuh cinta dengan seorang
gadis idaman hatinya yang bernama Nurlaila.
Tanpa diketahui oleh Samsuri kakak sulungnya sebagai pengganti ayahnya yang
sudah meninggal, Tohir dan gadis tersebut telah sepakat untuk kemudian hari
membina suatu rumah tangga yang bahagia. Sebagai tanda janjinya gadis
tersebut dilingkarkan cicin emas di jari manisnya.
Setelah mendengar kabar, bahwa gadis idaman yang pernah ditandai cincin akan
melangsungkan perkawinan dengan seorang pemuda pilihan orang tua sang gadis,
Tohir merasa tersinggung. Pada saat di rumah sang gadis sedang
ramai-ramainya tamu dan kedua mempelai sudah hampir dihadapkan penghulu,
tiba-tiba Tohir dan kawan-kawannya datang menghentikan Upacara perkawinan.
Dengan nada marah-marah, ia bersikeras menghendaki agar Upacara perkawinan
itu dibatalkan.
Karma penghulu mendapat ancaman dari Tohir, akhirnya lari ke rumah kakaknya
yang dekat tempat Upacara perkawinan bekas pacar Tohir di Jalan Jember
Lorong 61 Tanjung Priok, minta tolong untuk mencegah tindakan Tohir.
Akhirnya Samsuri terpaksa ikut campur dalam masalah perkawinan ini. Ternyata
setelah diusut, barulah diketahui bahwa gadis tersebut secara diam-diam
dengan Tohir melakukan tunangan.
Sebagai seorang anak yang menghormati orang tua maupun saudaranya yang lebih
tua, akhirnya ia menuruti apa yang dikatakan kakaknya untuk mengurungkan
niatnya, tapi dengan syarat barang-barang perhiasan dan uang yang sudah
diberikan kepada gadis tersebut dikembalikan. Sampai saat ini gadis tersebut
masih hidup rukun dengan suami dan anaknya, di bilangan Tanjung Priok. |
|
|
|
|
|
|
|
MENGENANG USMAN & HARUN (Bagian Keempat)
Memasuki Dunia Militer
Dalam Tim Brahma I dibawah Letnan KKO Paulus Subekti Tohir memulai kariernya
sebagai anggota KKO AL. Ia mulai masuk Angkatan Laut bulan Juni 1964, dan
ditugaskan dalam Tim Brahma I di Basis II Ops A KOTI. Di sini ia bertemu
dengan Usman alias Janatin bin H. Mohammad ALI dan Gani bin Aroep. Ketiga
pemuda ini bergaul cukup erat, lebih-lebih setelah mereka sering ditugaskan
bersama sama.
Setelah Tohir memasuki Sukarelawan ALRI, yang tergabung dalam Dwikora dengan
pangkat Prajurit KKO II (Prako II) dan mendapat gemblengan selama lima
bulan, di daerah Riau daratan, pada tanggal 1 Nopember 1964. Kemudian pada
tanggal 1 April 1965 dinaikkan pangkatnya menjadi Kopral KKO I (Kopko I).
Selesai mendapatkan gemblengan di Riau daratan sebagai Sukarelawan Tempur
bersama-sama rekan-rekan lainnya, ia dikirim ke Pulau Sambu. Hingga beberapa
lamanya rombongan Tohir dan kawan-kawannya yang tergabung dalam kesatuan A
KOTI Basis X melaksanakan tugas di Pulau Sambu. Tohir sendiri telah ke
Singapura beberapa kali, dan sering mendarat ke Singapura menyamar sebagai
pelayan dapur, ia ke sana menggunakan kapal dagang yang sering mampir ke
Pulau Sambu untuk mengisi bahan bakar.
Tohir yang mirip-mirip Cina itu ternyata sangat menguntungkan dalam
penyamarannya. Bahasa Inggeris, Cina dan Belanda yang dikuasai dengan lancar
telah membantu pula dalam kebebasannya untuk bergerak dan bergaul di
tengah-tengah masyarakat Singapura yang mayoritas orang Cina.
PERTEMUAN USMAN HARUN DALAM OPERASI DWIKORA
Baru saja TNI AL selesai melaksanakan tugas-tugas operasi dalam
mengembalikan Irian Barat ke wilayah kekuasaan RI, timbul lagi masalah baru
yang harus dihadapi oleh seluruh bangsa Indonesia, dengan dikomandokannya
Dwikora oleh Presiden Sukarno pada tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta. Komando
tersebut mendapat sambutan dari lapisan masyarakat . termasuk ABRI. Hal ini
terbukti bahwa rakyat Indonesia berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai
sukarelawan Dwikora sehingga mencapai jumlah 21 juta sukarelawan.
Penggunaan tenaga sukarelawan ini membawa dampak yang besar. Dilihat dari
segi positifnya memang sangat menguntungkan, karena perang yang akan
dihadapi tidak secara frontal, sehingga akan membingungkan pihak lawan.
Tetapi dari segi negatif kurang menguntungkan, karena apabila sukarelawan
itu tertangkap ia akan diperlakukan sebagai penjahat biasa, jadi bukan
sebagai tawanan perang di lindungi oleh UU Perang. Jika Sukarelawan itu
tertangkap oleh lawan, resikonya disiksa secara kejam.
Untuk melindungi Operasi tersebut di atas, KOTI kemudian memutuskan untuk
mempergunakan tenaga-tenaga militer lebih banyak guna mendampingi
sukarelawan-sukarelawan tersebut, memperkuat kekuatan Sukarelawan Indonesia
di daerah musuh.
Untuk mendukung Operasi A. KKO AL mengirimkan 300 orang anggota yang terdiri
dari Kopral sampai Perwira. Sebelum melaksanakan Operasi A. mereka
diwajibkan mengikuti pendidikan khusus di Cisarua Bogor. Selesai latihan
mereka dibagi dalam tim-tim dengan kode Kesatuan Brahma dan ditugaskan di
daerah Semenanjung Malaya (Basis II) dan di Kalimantan Utara (Basis IV).
Yang dikerahkan di Semenanjung Malaya terdiri dari tim Brahma I
beranggotakan 45 orang, tim Brahma II 50 orang, tim Brahma III 45 orang dan
tim Brahma V 22 orang.
Semenanjung Malaya (Basis II) dibagi beberapa Sub. Basis:
1. Sub Basis X yang berpangkalan di P. Sambu dan Rengat dengan sasaran
Singapura.
2. Sub. Basis Y dengan sasaran Johor bagian barat dan Pangkalan Tanjung
Balai.
3. Sub. Basis T yang berpangkalan di P. Sambu dengan sasaran Negeri
Sembilan, Selangor dan Kuala Lumpur.
4. Sub. Basis Z dengan sasaran Johor bagian timur.
Sedangkan Tugas Basis II:
1. Mempersiapkan kantong gerilya di daerah lawan.
2. Melatih gerilyawan dari dalam dan mengembalikan lagi ke daerah
masing-masing.
3. Melaksanakan demolision, sabotase pada obyek militer maupun ekonomis.
4. Mengadakan propaganda, perang urat syarat
5. Mengumpulkan informasi.
6. Melakukan kontra inteljen.
Dalam operasi ini Janatin/Usman melakukan tugas ke wilayah Basis II. A Koti,
ia berangkat menuju Pulau Sambu sebagai Sub Basis dengan menggunakan kapal
jenis MTB. Kemudian menggabungkan diri dengan Tim Brahma I di bawah pimpinan
Kapten Paulus Subekti yang pada waktu itu menyamar dengan pangkat Letkol
KKO - AL dan merangkap menjadi Komandan Basis X yang berpangkalan di Pulau
Sambu Riau. Ketika Usman menggabungkan dengan kawan-kawannya,, ia berkenalan
dengan Harun dan Gani bin Arup, mereka ini merupakan sahabat yang akrab
dalam pergaulan. Dalam tim ini Usman dan Harun mendapat tugas yang sama
untuk mengadakan sabotase di Singapura.
Meskipun Usman bertindak sebagai Komandan Tim dan usianya sedikit lebih tua
dari Harun, demikian pula ia lebih banyak berpengalaman dalam bidang
militer, tetapi ia mengakui masih kurang pengalaman dalam wilayah Singapura.
Oleh karena itu dalam melaksanakan tugasnya di Singapura, ia lebih banyak
memberikan informasi kepada Usman. Harun telah hafal betul tentang keadaan
dan tempat-tempat di Singapura, karena Harun pernah tinggal di sana. Tetapi
sebagai seorang militer, mereka masing-masing telah mengetahui apa
tugas-tugas mereka sebagai Komandan dan bawahan.
Karena ketatnya penjagaan daerah lawan dan sukar ditembus maka satu-satunya
jalan yang ditempuh ialah menyamar sebagai pedagang yang akan memasukkan
barang dagangannya ke wilayah Malaysia dan Singapura. Usaha tersebut
kelihatan membawa hasil yang memuaskan, karena dengan jalan ini anggota
sukarelawan berhasil masuk ke daerah lawan yang kemudian dapat memperoleh
petunjuk yang diperlukan untuk melakukan tindakan selanjutnya. Dari
penyamaran sebagai pedagang ini banyak diperoleh data yang penting bagi para
Sukarelawan untuk melakukan kegiatan. Dengan taktik demikian para
Sukarelawan telah berhasil menyusup beberapa kali ke luar masuk daerah
musuh.
Untuk memasuki daerah musuh agar tidak menimbulkan kecurigaan lawan, para
sukarelawan menggunakan nama samaran, nama di sini disesuaikan dengan
nama-nama dimana daerah lawan yang dimasuki. Demikian Janatin mengganti
namanya dengan Usman dan disambungkan dengan nama orang tuanya Haji Muhammad
Ali. Sehingga nama samaran ini lengkapnya Usman bin Haji Muhammad Ali.
Sedangkan Tohir menggunakan nama samaran Harun, dan lengkapnya Harun bin
Said. Dengan nama samaran ini Usman, Harun dan Gani melakukan penyusupan ke
daerah Singapura untuk melakukan penyelidikan dan pengintaian tempat-tempat
yang dianggap penting.
Sedangkan di front belakang telah siap siaga kekuatan tempur yang setiap
saat dapat digerakkan untuk memberikan pukulan terhadap lawan. Kekuatan ini
terus bergerak di daerah sepanjang perbatasan untuk mendukung para
Sukarelawan yang menyusup ke daerah lawan dan apabila perlu akan memberikan
bantuan berupa perlindungan terhadap Sukarelawan yang dikejar oleh musuh di
daerah perbatasan. |
|
|
|
|
|
|
|
MENGENANG USMAN & HARUN (Bagian Kelima)
Memasuki wilayah Singapura.
Tanggal 8 Maret 1965 pada waktu tengah malam buta, saat air laut tenang
ketiga Sukarelawan iini mendayung perahu,Sukarelawan itu dapat melakukan
tugasnya berkat latihan-latihan dan ketabahan mereka.
Dengan cara hati-hati dan orientasi yang terarah mereka mengamati
tempat-tempat penting yang akan dijadikan obyek sasaran, dan tugas mengamati
sasaran-sasaran ini dilakukan sampa larut malam. Setelah memberikan laporan
singkat, mereka meng adakan pertemuan di tempat rahasia untuk melaporkan
hasil pengamatan masing-masing. Atas kelihaiannya mereka dapa berhasil
kembali ke induk pasukannya, yaitu Pulau Sambu sebaga Basis II dimana Usman
dan Harus bertugas.
Pada malam harinya Usman memesan anak buahnya aga berkumpul kembali untuk
merencanakan tugas-tugas yang haru dilaksanakan, disesuaikan dengan hasil
penyelidikan mereka masing-masing. Setelah memberikan laporan singkat,
mereka mengadakan perundingan tentang langkah yang akan ditempuh karena
belum adanya rasa kepuasan tentang penelitian singkat yang mereka lakukan,
ketiga Sukarelawan di bawah Pimpinan Usman, bersepakat untuk kembali lagi ke
daerah sasaran untuk melakukan penelitian yang mendalam. Sehingga apa yang
dibebankan oleh atasannya akan membawa hasil yang gemilang.
Di tengah malam buta, di saat kota Singapura mulai sepi dengan kebulatan dan
kesepakatan, mereka memutuskan untuk melakukan peledakan Hotel Mac Donald,
Diharapkan dapat menimbulkan kepanikan dalam masyarakat sekitarnya. Hotel
tersebut terletak di Orchad Road sebuah pusat keramaian d kota Singapura.
Pada malam harinya Usman dan kedua anggotanya kembali menyusuri Orchad Road.
Di tengah-tengah kesibukan dan keramaian kota Singapura ketiga putra
Indonesia bergerak menuju ke sasaran yang ditentukan, tetapi karena pada
saat itu suasana belum mengijinkan akhirnya mereka menunggu waktu yang
paling tepat untuk menjalankan tugas. Setelah berangsur angsur sepi,
mulailah mereka dengan gesit mengadakan gerakan gerakan menyusup untuk
memasang bahan peledak seberat 12,5 kg.
Dalam keheningan malam kira-kira pukul 03.07 malam tersentaklah penduduk
kota Singapura oleh ledakan yang dahsyat seperti gunung meletus. Ternyata
ledakan tersebut berasal dari bagian bawah Hotel Mac Donald yang terbuat
dari beton cor tulang hancur berantakan dan pecahannya menyebar ke penjuru
sekitarnya. Penghuni hotel yang mewah itu kalang kabut, saling berdesakan
ingin keluar untuk menyelamatkan diri masing-masing. Demikian pula penghuni
toko sekitarnya berusaha lari dari dalam tokonya.
Beberapa penghuni hotel dan toko ada yang tertimbun oleh reruntuhan sehingga
mengalami luka berat dan ringan. Dalam peristiwa ini, 20 buah toko di
sekitar hotel itu mengalami kerusakan berat, 24 buah kendaraan sedan hancur,
30 orang meninggal, 35 orang mengalami luka-luka berat dan ringan. Di antara
orangorang yang berdesakan dari dalam gedung ingin keluar dari hotel
tersebut tampak seorang pemuda ganteng yang tak lain adalah Usman.
Suasana yang penuh kepanikan bagi penghuni Hotel Mac Donald dan sekitarnya,
namun Usman dan anggotanya dengan tenang berjalan semakin menjauh ditelan
kegelapan malam untuk menghindar dari kecurigaan. Mereka kembali memencar
menuju tempat perlindungan masing-masing.
Pada hari itu juga tanggal 10 Maret 1965 mereka berkumpul kembali.
Bersepakat bagaimana caranya untuk kembali ke pangkalan. Situasi menjadi
sulit, seluruh aparat keamanan Singapura dikerahkan untuk mencari pelaku
yang meledakkan Hotel Mac Donald. Melihat situasi demikian sulitnya, lagi
pula penjagaan sangat ketat, tak ada celah selubang jarumpun untuk bisa
ditembus. Sulit bagi Usman, Harun dan Gani keluar dari wilayah Singapura.
Untuk mencari jalan keluar, Usman dan anggotanya sepakat untuk menerobos
penjagaan dengan menempuh jalan masing masing, Usman bersama Harun,
sedangkan Gani bergerak sendiri.
Setelah berhasil melaksanakan tugas, pada tanggal 11 Maret 1965 Usman dan
anggotanya bertemu kembali dengan diawali salam kemenangan, karena apa yang
mereka lakukan berhasil. Dengan kata sepakat telah disetujui secara bulat
untuk kembali ke pangkalan dan sekaligus melaporkan hasil yang telah dicapai
kepada atasannya. Sebelum berpisah Usman menyampaikan pesan kepada
anggotanya, barang siapa yang lebih dahulu sampai ke induk pasukan, supaya
melaporkan hasil tugas telah dilakukan kepada atasan. Mulai saat inilah
Usman dan Harus berpisah dengan Gani sampai akhir hidupnya.
Gagal kembali ke pangkalan.
Usaha ketiga Sukarelawan kembali ke pangkalan dengan jalan masing-masing.
Tetapi Usman yang bertindak sebagai pimpinan tidak mau melepas Harun
berjalan sendiri, hal ini karena Usman sendiri belum faham betul dengan
daerah Singapura, walaupun ia sering memasuki daerah inf. Karena itu Usman
meminta kepada Harun supaya mereka bersama-sama mencari jalan keluar ke
pangkalan. Untuk menghindari kecurigaan terhadap mereka berdua, mereka
berjalan saling berjauhan, seolah-olah kelihatan yang satu dengan yang lain
tidak ada hubungan sama sekali. Namun walaupun demikian tetap tidak lepas
dari pengawasan masing-masing dan ikatan mereka dijalin dengan isyarat
tertentu. Semua jalan telah mereka tempuh, namun semua itu gagal.
Dengan berbagai usaha akhirnya mereka berdua dapat memasuki pelabuhan
Singapura, mereka dapat menaiki kapal dagang Begama yang pada waktu itu akan
berlayar menuju Bangkok. Kedua anak muda itu menyamar sebagai pelayan dapur.
Sampai tanggal 12 Maret 1965 mereka berdua bersembunyi di kapal tersebut.
Tetapi pada malam itu, waktu Kapten kapal Begama mengetahui ada dua orang
yang bukan anak buahnya berada dalam kapal, lalu mengusir mereka dari kapal.
Kalau tidak mau pergi dari kapalnya, akan dilaporkan kepada Polisi. Alasan
mengusir kedua pemuda itu karena takut diketahui oleh Pemerintah Singapura,
kapalnya akan ditahan. Akhirnya pada tanggal 13 Maret 1965 kedua Sukarelawan
Indonesia keluar dari persembunyiannya.
Usman dan Harun terus berusaha mencari sebuah kapal tempat bersembunyi
supaya dapat keluar dari daerah Singapura. Ketika mereka sedang mencari-cari
kapal, tiba-tiba tampaklah sebuah motorboat yang dikemudikan oleh seorang
Cina. Daripada tidak berbuat akan tertangkap, lebih baik berbuat dengan dua
kemungkinan tertangkap atau dapat lolos daribahaya. Akhirnya dengan tidak
pikir panjang mereka merebut motorboat dari pengemudinya dan dengan cekatan
mereka mengambil alih kemudi, kemudian haluan diarahkan menuju ke Pulau
Sambu. Tetapi apadaya manusia boleh berencana, Tuhan yang menentukan.
Sebelum mereka sampai ke perbatasan peraian Singapura, motorboatnya macet di
tengah laut. Mereka tidak dapat lagi menghindari diri dari patroli musuh,
sehingga pada pukul 09.00 tanggal 13 Maret 1965 Usman dan Harun tertangkap
di bawa ke Singapura sebagai tawanan.
Mereka menyerahkan diri kepada Tuhan, semua dihadapi walau apa yang terjadi,
karena usaha telah maksimal untuk mencari jalan. Nasib manusia di tangan
Tuhan, semua itu adalah kehendak-Nya. Karena itulah Usman dan Harus tenang
saja, tidak ada rasa takut dan penyesalan yang terdapat pada diri mereka.
Sebelum diadili mereka berdua mendekam dalam penjara. Mereka dengan sabar
menunggu saat mereka akan dibawa ke meja hijau. Alam Indonesia telah
ditinggalkan, apakah untuk tinggal selama-lamanya, semua itu hanya Tuhan
yang Maha Mengetahui. |
|
|
|
|
|
|
|
MENGENANG USMAN & HARUN (Bagian Keenam)
TABAH SAMPAI AKHIR
Proses Pengadilan.
Usman dan Harun selama kurang lebih 8 bulan telah meringkuk di dalam penjara
Singapura sebagai tawanan dan mereka dengan tabah menunggu prosesnya. Pada
tanggal 4 Oktober 1965 Usman dan Harun di hadapkan ke depan sidang
Pengadilan Mahkamah Tinggi (High Court) Singapura dengan J. Chua sebagai
Hakim. Usman dai Harun dihadapkan ke Sidang Pengadilan Tinggi (High Court)
Singapura dengan tuduhan :
1. Menurut ketentuan International Security Act Usman dan Harun telah
melanggar Control Area.
2. Telah melakukan pembunuhan terhadap tiga orang.
3. Telah menempatkan alat peledak dan menyalakannya.
Dalam proses pengadilan ini, Usman dan Harun tidak dilakukan pemeriksaan
pendahuluan, sesuai dengan Emergency Crimina Trials Regulation tahun 1964.
Dalam Sidang Pengadilan Tinggi (Hight Court) kedua tertuduh Usman dan Harun
telah menolak semua tuduhan itu. Hal ini mereka lakukan bukan kehendak
sendiri, karena dalam keadaan perang. Oleh karena itu mereka meminta kepada
sidang supaya mereka dilakukan sebagai tawanan perang (Prisoner of War).
Namun tangkisan tertuduh Usman dan Harun tidak mendapat tanggapan yang layak
dari sidang majelis. Hakim telah menola permintaan tertuduh, karena sewaktu
kedua tertuduh tertangkap tidak memakai pakaian militer. Persidangan
berjalan kurang lebih dua minggu, pada tanggi 20 Oktober 1965 Sidang
Pengadilan Tinggi (Hight Court) yan dipimpin oleh Hakim J. Chua memutuskan
bahwa Usman da Harun telah melakukan sabotase dan mengakibatkan meninggalnya
tiga orang sipil. Dengan dalih ini, kedua tertuduh dijatuhi hukuman mati.
Pada tanggal 6 Juni 1966 Usman dan Harun mengajukan naik banding ke Federal
Court of Malaysia dengan Hakim yang mengadilinya: Chong Yiu, Tan Ah Tah dan
J.J. Amrose. Pada tanggal 5 Oktober 1966 Federal Court of Malaysia menolak
perkara naik banding Usman dan Harun. Kemudian pada tanggal 17 Februari 1967
perkara tersebut diajukan lagi ke Privy Council di London. Dalam kasus ini
Pemerintah Indonesia menyediakan empat Sarjana Hukum sebagai pembela yaitu
Mr. Barga dari Singapura, Noel Benyamin dari Malayasia, Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja SH dari Indonesia, dan Letkol (L) Gani Djemat SH Atase ALRI di
Singapura. Usaha penyelamatan jiwa kedua pemuda Indonesia itu gagal. Surat
penolakan datang pada tanggal 21 Mei 1968.
Setelah usaha naik banding mengenai perkara Usman dan Harun ke Badan
Tertinggi yang berlaku di Singapura itu gagal, maka usaha terakhir adalah
untuk mendapat grasi dari Presiden Singapura Yusuf bin Ishak. Permohonan ini
diajukan pada tanggal 1 Juni 1968. Bersamaan dengan itu usaha penyelamatan
kedua prajurit oleh Pemerintah Indonesia makin ditingkatkan. Kedutaan RI di
Singapura diperintahkan untuk mempergunakan segala upaya yang mungkin dapat
dijalankan guna memperoleh pengampunan. Setidak-tidaknya memperingan kedua
sukarelawan Indonesia tersebut. Pada tanggal 4 Mei 1968 Menteri Luar Negeri
Adam Malik berusaha melalui Menteri Luar Negeri Singapura membantu usaha
yang dilakukan KBRI. Ternyata usaha inipun mengalami kegagalan. Pada tanggal
9 Oktober 1968 Menlu Singapura menyatakan bahwa permohonan grasi atas
hukuman mati Usman dan Harun ditolak oleh Presiden Singapura.
Pemerintah Indonesia dalam saat-saat terakhir hidup Usman dan Harun terus
berusaha mencari jalan. Pada tanggal 15 Oktober 1968 Presiden Suharto
mengirim utusan pribadi, Brigjen TNI Tjokropanolo ke Singapura untuk
menyelamatkan kedua patriot Indonesia. Pada saat itu PM Malaysia Tengku
Abdulrahman juga meminta kepada Pemerintah Singapura agar mengabulkan
permintaan Pemerintah Indonesia. Namun Pemerintah Singapura tetap pada
pendiriannya tidak mengabulkannya. Bahkan demi untuk menjaga prinsip-prinsip
tertib hukum, Singapura tetap akan melaksanakan hukuman mati terhadap dua
orang KKO Usman dan Harun, yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 Ok tober
1968 pukul 06.00 pagi waktu Singapura.
Permintan terakhir Presiden Suharto agar pelaksanaan hukuman terhadap kedua
mereka ini dapat ditunda satu minggu untuk mempertemukan kedua terhukum
dengan orang tuanya dan sanak farmilinya. Permintaan ini juga ditolak oleh
Pemerintah Singapura tetap pada keputusannya, melaksanakan hukuman gantung
terhadap Usman dan Harun. |
|
|
|
|
|
|
|
MENGENANG USMAN & HARUN (Bagian Ketujuh)
Pesan terakhir.
Waktu berjalan terus dan sampailah pada pelaksanaan hukuman, dimana
Pemerintah Singapura telah memutuskan dan menentukan bahwa pelaksanaan
hukuman gantung terhadap Usman dan Harun tanggal 17 Oktober 1968, tepat
pukul 06.00 pagi Dunia merasa terharu memikirkan nasib kedua patriot
Indonesia yang gagah perkasa, tabah dan menyerahkan semua itu kepada
pencipta - Nnya.
Seluruh rakyat Indonesia ikut merasakan nasib kedua patriot ini. Demikian
juga dengan Pemerintah Indonesia, para pemimpin terus berusaha untuk
menyelesaikan masalah ini. Sebab merupakan masalah nasional yang menyangkut
perlindungan dan pem belaan warga negaranya. Satu malam sebelum pelaksanaan
hukuman, hari Rabu sore tanggal 16 Oktober 1968, Brigjen TIN Tjokropranolo
sebagai utusan pribadi Presiden Suharto datang ke penjara Changi. Dengan
diantar Kuasa Usaha Republik Indonesia di Singapura Kolonel A. Ramli dan
didampingi Atase Angkatan Laut Letkol (G) Gani Djemat SH, dapat berhadapan
dengan Usman dan Harun di balik terali besi yang menyeramkan pada pukul
16.00. Tempat inilah yang telah dirasakan oleh Usman dan Harun selama dalam
penjara dan di tempat ini pula hidupnya berakhir.
Para utusan merasa kagum karena telah sekian tahun meringkuk dalam penjara
dan meninggalkan tanah air, namun dari wajahnya tergambar kecerahan dan
kegembiraan, dengan kondisi fisik yang kokoh dan tegap seperti gaya khas
seorang prajurit KKO AL yang tertempa. Tidak terlihat rasa takut dan gelisah
yang membebani mereka, walaupun sebentar lagi tiang gantungan sudah
menunggu.
Keduanya segera mengambil sikap sempurna dan memberikan hormat serta
memberikan laporan lengkap, ketika Letkol Gani Djemat SH memperkenalkan
Brigjen Tjokropranolo sebagai utusan Presiden Suharto. Sikap yang demikian
membuat Brigjen Tjokropranolo hampir tak dapat menguasai diri dan terasa
berat untuk menyampaikan pesan. Pertemuan ini membawa suasana haru, sebagai
pertemuan Bapak dan Anak yang mengantarkan perpisahan yang tak akan bertemu
lagi untuk selamanya. Hanya satu-satunya pesan yang disampaikan adalah bahwa
Presiden Suharto telah menyatakan mereka sebagai Pahlawan dan akan dihormati
oleh seluruh rakyat Indonesia, kemudian menyampaikan salut atas jasa mereka
berdua terhadap Negara. Sebagai manusia beragama, Brigjen Tjokropranolo
mengingatkan kembali supaya tetap teguh, tawakal dan berdoa, percayalah
bahwa Tuhan selalu bersama kita. Kolonel A. Rambli dalam kesempatan itu pula
menyampaikan, bahwa Presiden Suharto mengabulkan permintaan mereka untuk
dimakamkan berdampingan di Indonesia.
Sebelum berpisah Usman dan Harun dengan sikap sempurna menyampaikan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Presiden RI Jenderal Suharto atas
usahanya, kepada Jenderal Panggabean, kepada mahasiswa dan pelajar, Sarjana
Hukum, dan Rakyat Indonesia yang telah melakukan upaya kepadanya. Pertemuan
selesai, Sersan KKO Usman memberikan aba-aba, dan keduanya memberi hormat. |
|
|
|
|
|
|
|
MENGENANG USMAN & HARUN (Bagian Kelapan)
Menjalani Hukuman Mati.
Pada saat ketiga pejabat Indonesia meninggalkan penjara Changi, Usman dan
Harun kembali masuk penjara, tempat yang tertutup dari keramaian dunia.
Usman dan Harun termasuk orang-orang yang teguh terhadap agama. Mereka
berdua adalah pemeluk agama Islam yang saleh. Di alam yang sepi itu menambah
hati mereka semakin dekat dengan pencipta - Nya. Karena itu empat tahun
dapat mereka lalui dengan tenang. Mereka selalu dapat tidur dengan
nyenyaknya walaupun pelaksanaan hukuman mati semakin dekat.
Pemerintah dan rakyat Indonesia mengenang kembali perjuangan kedua pemuda
ini dan dengan keharuan ikut merasakan akan nasib yang menimpa mereka.
Sedangkan Usman dan Harun dengan tenang menghuni penjara Changi yang sepi
dan suram itu. Mereka menghuni ruangan yang dibatasi oleh empat dinding
tembok, sedangkan di luar para petugas terus mengawasi dengan ketat. Usman
dan Harun yang penuh dengan iman dan taqwa dan semangat juang yang telah
ditempa oleh Korpsnya KKO AL menambah modal besar untuk memberikan
ketenangan dalam diri mereka yang akan menghadapi maut.
Di penjara Changi, pada hari itu udara masih sangat dingin Suasana mencekam,
tetapi dalam penjara Changi kelihatan sibuk sekali. Petugas penjara sejak
sore sudah berjaga-jaga, dan pada hari itu tampak lebih sibuk lagi.
Di sebuah ruangan kecil dengan terali-terali besi rangkap dua Usman dan
Harun benar-benar tidur dengan pulasnya. Meskipun pada hari itu mereka akan
menghadapi maut, namun kedua prajurit itu merasa tidak gentar bahkan
khawatirpun tidak. Dengan penuh tawakal dan keberanian luar biasa mereka
akan menghadapi tali gantungan.
Sikap kukuh dan tabah ini tercermin dalam surat-surat yang mereka tulis pada
tanggal 16 Oktober 1968, yang tetap melambangkan ketegaran jiwa dan menerima
hukuman dengan gagah berani. Betapa tabahnya mereka menghadapi kematian, hal
in dapat dilihat dari surat-surat mereka yang dikirimkan kepada keluarganya:
Sebagian Surat Usman yang berbunyi sebagai berikut:
Berhubung tuduhan dinda yang bersangkutan maka perlu anak anda menghaturkan
berita duka kepangkuan Bunda sekeluarga semua di sini bahwa pelaksanaan
hukuman mati ke atas anakanda telah diputus kan pada 17 Oktober 1968, hari
Kamis 24 Rajab 1388.
Sebagian isi surat dari Harun sebagai berikut:
Bersama ini adindamu menyampaikan berita yang sangat mengharukan seisi kaum
keluarga di sana itu ialah pada 14-10-1968 jam 10.00 pagi waktu Singapura
rayuan adinda tetap akan menerima hukuman gantungan sampai mati.
MENGHADAPI TIANG GANTUNGAN
Pukul 05.00 subuh kedua tawanan itu dibangunkan oleh petugas penjara,
kemudian disuruh sembahyang menurut agamanya masing-masing. Sebenarnya tanpa
diperintah ataupun dibangunkan Usman dan Harun setiap waktu tidak pernah
melupakan kewajibannya untuk bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena
sejak kecil kedua pemuda itu sudah diajar masalah keagamaan dengan matang.
Setelah melakukan sembahyang Usman dan Harun dengan tangan diborgol dibawa
oleh petugas ke kamar kesehatan untuk dibius. Dalam keadaan terbius dan
tidak sadar masing-masing urat nadinya dipotong oleh dokter tersebut,
sehingga mereka berdua lumpuh sama sekali. Dalam keadaan ,lumpuh dan tangan
tetap diborgol, Usman dan Harun dibawah petugas menuju ke tiang gantungan.
Tepat pukul 06.00 pagi hari Kamis tanggal 17 Oktober 1968 tali gantungan
kalungkan ke leher Usman dan harun.
Pada waktu itu pula seluruh rakyat Indonesia yang mengetahui bahwa kedua
prajurit Indonesia digantung batang lehernya tanpa mengingat segi-segi
kemanusiaan menundukkan kepala sebagai tanda berkabung. Kemudian mereka
menengadah berdoa kepada Illahi semoga arwah kedua prajurit Indonesia itu
mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya. Mereka telah terjerat di ujung
tali gantungan di negeri orang, Jauh dari sanak keluarga, negara dan
bangsanya.Mereka pergi untuk selama-lamanya demi kejayaan Negara, Bangsa dan
Tanah Air tercinta.
Eksekusi telah selesai, Usman dan Harun telah terbujur, terpisah nyawa dari
jasadnya. Kemudian pejabat penjara Changi keluar menyampaikan berita kepada
para wartawan yang telah menanti dan tekun mengikuti peristiwa ini, bahwa
hukuman telah dilaksanakan. Dengan sekejap itu pula tersiar berita ke
seluruh penjuru dunia menghiasi lembaran mass media sebagai pengumuman
terhadap dunia atas terlaksananya hukuman gantungan terhadap Usman dan
Harun.
Bendera merah putih telah dikibarkan setengah tiang sebagai tanda berkabung.
Sedangkan masyarakat Indonesia yang berada di Singapura berbondong-bondong
datang membanjiri Kantor Perwakilan Indonesia dengan membawa karangan bunga
sebagai tanda kehormatan terakhir terhadap kedua prajuritnya.
Begitu mendapat berita pelaksanaan eksekusi PemerintaH Indonesia mengirim
Dr. Ghafur dengan empat pegawai KedutaaN Besar RI ke penjara Changi untuk
menerima kedua jenazah iti dan untuk dibawa ke Gedung Kedutaan Besar RI
untuk dise mayamkan. Akan tetapi kedua jenazah belum boleh dikeluarkan dari
penjara sebelum dimasukkan ke dalam peti dan menunggu perintah selanjutnya
dari Pemerintah Singapura. Pemerintah Indonesia mendatangkan lima Ulama
untuk mengurus kedua jenazah di dalam penjara Changi. Setelah jenazah di
masukkan ke dalam peti, Pemerintah Singapura tidak mengizinkan Bendera Merah
Putih yang dikirimkan Pemerintah Indonesia untuk di selubungkan pada peti
jenazah kedua Pahlawan tersebut pada saat masih di dalam penjara. Pukul
10.30 kedua jenzah baru diizinkan dibawa ke Kedutaan Besar RI |
|
|
|
|
|
|
|
MENGENANG USMAN & HARUN (Bagian Kesembilan)
Mendapat penghormatan terakhir dan Anugerah dari Pemerintah
Setelah mendapatkan penghormatan terakhir dari masya rakat Indonesia di
KBRI, pukul 14.00 jenazah diberangkatkan ke lapangan terbang dimana telah
menunggu pesawat TNI-AU. yang akan membawa ke Tanah Air.
Pada hari itu Presiden Suharto sedang berada di Pontianak meninjau daerah
Kalimantan Barat yang masih mendapat gangguan dari gerombolan PGRS dan
Paraku. Waktu Presiden diberitahukan bahwa Pemerintah Singapura telah
melaksanakan hukuman gan tung terhadap Usman dan Harun, maka Presiden
Suharto menyata kan kedua prajurit KKO-AL itu sebagai Pahlawan Nasional.
Pada pukul 14.35 pesawat TNI-AU yang khusus dikirim dari Jakarta
meninggalkan lapangan terbang Changi membawa kedua jenazah yang telah
diselimuti oleh dua buah bendera Merah Putih yang dibawa dari Jakarta. Pada
hari itu juga, tanggal 17 Oktober 1968 kedua Pahlawan Usman dan Harun telah
tiba di Tanah Air. Puluhan ribu, bahkan ratusan ribu rakyat Indonesia
menjemput kedatangannya dengan penuh haru dan cucuran air mata. Sepanjang
jalan antara Kemayoran, Merdeka Barat penuh berjejal manusia yang ingin
melihat kedatangan kedua Pahlawannya, Pahlawan yang membela kejayaan Negara,
Bangsa dan Tanah Air.
Setibanya di lapangan terbang Kemayoran kedua jenazah Pahlawan itu diterima
oleh Panglima Angkatan Laut Laksamana TNI R. Muljadi dan seterusnya
disemayamkan di Aula Hankam Jalan Merdeka Barat sebelum dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Kalibata.
Pada upacara penyerahan kedua jenazah Pahlawan ini menimbulkan suasana yang
mengharukan. Di samping kesedihan yang meliputi wajah masyarakat yang
menghadiri upacara tersebut, di dalam hati mereka tersimpan kemarahan yang
tak terhingga atas perlakuan negara tetangga yang sebelumnya telah mereka
anggap sebagai sahabat baik. Pada barisan paling depan terdiri dari barisan
Korps Musik KKO-AL yang memperdengarkan musik sedih lagu gugur bunga,
kemudian disusul dengan barisan karangan bunga. Kedua peti jenazah tertutup
dengan bendera Merah Putih yang ditaburi bunga di atasnya. Kedua peti ini
didasarkan kepada Inspektur Upacara Laksamana TNI R. Mulyadi yang kemudian
diserahkan kepada Kas Hankam Letjen TNI Kartakusumah di Aula Hankam. Di
belakang peti turut mengiringi Brigjen TNI Tjokropranolo dan Kuasa Usaha RI
untuk Singapura Letkol M. Ramli yang langsung mengantar jenazah Usman dan
Harun dari Singapura. Suasana tambah mengharukan dalam upacara ini karena
baik Brigjen Tjokropranolo maupun Laksamana R. Muljadi kelihatan meneteskan
air mata.
Malam harinya, setelah disemayamkan di Aula Hankam mendapat penghormatan
terakhir dari pejabat-pejabat Pemerintah, baik militer maupun sipil,
Jenderal TNI Nasution kelihatan bersama pengunjung melakukan sembahyang dan
beliau menunggui jenazah Usman dan Harun sampai larut malam.
Tepat pukul 13.00 siang, sesudah sembahyang Jum'at, kedua jenazah
diberangkatkan dari Aula Hankam menuju ke tempat peristirahatan yang
terakhir. Jalan yang dilalui iringan ini dimulai Jalan Merdeka Barat, Jalan
M.H. Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Gatot Subroto, Jalan Pasar
Minggu dan akhirnya sampai Kalibata. Sepanjang jalan yang dilalui antara
Merdeka Barat dan Kalibata, puluhan ribu rakyat berjejal menundukkan kepala
sebagai penghormatan terakhir diberikan kepada kedua Pahlawannya. Turut
mengiringi dan mengantar kedua jenazah ini, pihak kedua keluarga, para
Menteri Kabinet Pembangunan.
Laksamana R. Muljadi, Letjen Kartakusumah, Perwira-perwin Tinggi ABRI, Korps
Diplomatik, Ormas dan Orpol, dan tidak ketinggalan para pemuda dan pelajar
serta masyarakat. Upacara pemakaman ini berjalan dengan penuh khidmat dan
mengharukan. Bertindak sebagai Inspektur Upacara adalah Letjen Sarbini. Atas
nama Pemerintah Letjen Sarbini menyerahkan kedua jasad Pahlawan ini kepada
Ibu Pertiwi dan dengan diiringi doa semoga arwahnya dapat diberikan tempat
yang layak sesuai dengan amal bhaktinya.
Dengan didahului tembakan salvo oleh pasukan khusus dari keempat angkatan,
peti jenazah diturunkan dengan perlahan-lahan ke liang lahat. Suasana
bertambah haru setelah diperdengarkan lagu Gugur Bunga.
Pengorbanan dan jasa yang disumbangkan oleh Usman dar Harun terhadap Negara
dan Bangsa maka Pemerintah telah me naikkan pangkat mereka satu tingkat
lebih tinggi yaitu Usmar alias Janatin bin Haji Muhammad Ali menjadi Sersan
Anumerta KKO dan Harun alias Tohir bin Mandar menjadi Kopral Anumerta KKO.
Sebagai penghargaan Pemerintah menganugerahkan tanda kehormatan Bintang
Sakti dan diangkat sebagai Pahlawan Nasional. |
|
|
|
|
|
|
|
GUGUR BUNGA
Betapa hatiku takkan pilu
Telah gugur pahlawanku
Betapa hatiku takkan sedih
Hamba ditinggal sendiri
Siapakah kini pelipur lara
Nan setia dan perwira
Siapakah kini pahlawan hati
Pembela bangsa sejati
Reff :
Telah gugur pahlawanku
Tunai sudah janji bakti
Gugur satu tumbuh seribu
Tanah air jaya sakti |
|
|
|
|
|
|
|
Operasi Linud Terbesar di Dili (Bag.1)
Hanya sekitar tujuh jam, Minggu 7 Desember 1975, Kota Dili dikuasai lewat operasi lintas udara (Linud) terbesar dalam sejarah ABRI. Grup-1 Kopassandha dan Brigade-18/Linud Kostrad yang sebagian besar dari Batalion-502/Raiders Jawa Timur itu, diterjunkan dari sembilan pesawat angkut C-130B Hercules TNI AU.
Menjelang jam 05.00 WITA, BTP-5 (Batalion Tim Pendarat)/Infanteri Marinir, mengendap-endap di pantai Kampung Alor. Dengan dukungan tembakan kanon kapal perang TNI AL, BTP-5 mengawali rencana besar operasi perebutan Kota Dili, 7 Desember 1975. Operasi ini merupakan kelanjutan "Operasi Komodo" yang digelar Bakin awal 1975, untuk mengantisipasi makin keruhnya peta politik di Timor Loro Sae (Timor Negeri Matahari Terbit).
Euphoria politik yang berkepanjangan ini, memaksa Indonesia meningkatkan operasi menjadi operasi Sandhi Yudha (combat inteligence) terbatas dengan sandi "Operasi Flamboyan". Operasi yang dipimpin Kolonel Dading Kalbuadi dengan inti pasukan pemukul operasi Grup-1 Para Komando/Kopassandha yang menempatkan Detasemen Tempur-2 (Denpur) di perbatasan sejak Oktober 1975 inilah, yang kemudian berubah ujud menjadi "Operasi Seroja".
Perebutan Dili yang didahului operasi ampibi ini, diputuskan Menhankam/Pangab Jenderal TNI M Panggabean, 4 Desember di Kupang. Operasinya sendiri dilakukan melalui pertimbangan dan analisa lapangan setelah melihat pergerakan pasukan Fretilin. Bukan sepihak, ketegasan sikap Indonesia juga didasari keinginan rakyat Timor Portugal berintegrasi dengan Indonesia. Sikap yang diwakili empat partai Apodeti (Associacao Popular Democratica de Timor), UDT (Uniao Democratica de Timorense), KOTA (Klibur Oan Timor Aswain), dan Trabalista itu dikenal dengan Deklarasi Balibo, 30 Nopember 1975. Sikap yang sekaligus menandingi deklarasi berdirinya Republik Demokrasi Timor Timur secara sepihak oleh partai Fretilin (Fronte Revolucionaria de Timor Leste Independente), dua hari sebelumnya.
Sebelum perebutan Dili, Fretilin sudah terlibat baku tembak dengan pasukan ABRI dalam perebutan Benteng Batugade (7 Oktober). Alasan berikutnya, meningkatnya pelanggaran perbatasan diselingi perampokkan ternak oleh Fretilin di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Pelanggaran yang meningkat sejak Juni 1975 itu, sering tertangkap basah oleh ABRI hingga menimbulkan tembak-menembak. Korban mulai berjatuhan.
Lebih seru lagi, sejak 1 Oktober, Komando Tugas Gabungan (Kogasgab) Operasi Seroja mendeteksi keberadaan dua kapal perang kelas frigat AL Portugal di sekitar Timor. Celakanya, 7 Desember pagi, kedua kapal tersebut justru merapat di lepas pantai Dili. "Mereka buang jangkar lebih dekat ke pulau Atauro, karena di sana bercokol pemerintahan pelarian Portugal dari Timor," kata Hendro Subroto, wartawan TVRI yang meliput saat itu. Entah kebetulan, di selat yang memisahkan pulau Atauro dan pulau Alor ini, tiga formasi arrow Hercules satu formasi tiga pesawat akan membuat manuver abeam (posisi pesawat 90 derajat terhadap suatu check point di sisi kiri atau kanan pesawat).
[ Last edited by Badak-Jawa at 6-10-2006 10:34 PM ] |
|
|
|
|
|
|
|
Operasi Linud Terbesar di Dili (Bag. 2)
Gunship
Menjelang berakhirnya tanggal 6 Desember 1975, di Lanud Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur, di luar kebiasaan, ratusan pasukan berperalatan lengkap berseliweran. Sebagian menyandang parasut T-10 buatan Amerika, separuh lagi senapan serbu AK-47 buatan Soviet. Di apron, sembilan pesawat angkut berat C-130B Hercules Skadron 31, siap terbang. Beberapa air crew menyempatkan melakukan pemeriksaan akhir sebelum mengudara.
Kesembilan pesawat ini tiba di Iswahyudi siang itu. Letkol Pnb. Suakadirul menuturkan, perintah berangkat ke Iswahyudi diterimanya Jumat, 5 Desember, dari Kol. Pnb. Susetyo, Komandan Satuan Tugas Udara Operasi Seroja. Isi perintah: usai shalat Jumat, seluruh anggota Skadron 31 kembali ke tempat masing-masing. Tidak seorangpun dibenarkan pulang. "Saya belum tahu kemana arah perintah itu. Tapi saya bisa menduga dengan melihat perkembangan situasi di lapangan," ingat Marsda (Pur) Suakadirul.
Dalam perintah rahasianya, Komandan Skadron 31 diminta menyiapkan 12 pesawat untuk mengangkut satu batalion paratroops. "Jadi saya harus menyiapkan 12 set crew. Pilot, co-pilot, navigator, engineer, radio telegrafis, load master dan pembantunya. Jumlahnya sekitar 120 orang," katanya. Kebetulan dua pesawatnya dalam perawatan, hanya 10 pesawat bisa disiapkan. Dalam jajaran penerbangnya, Suakadirul sengaja menempatkan dua penerbang senior Letkol Pnb. Siboen dan Kol.Pnb. Suhardjo. "Sebagai panutan, lah."
Maka, esok harinya, sembilan Hercules bertolak dari Halim Perdanakusuma menuju Iswahyudi. Tiga diantaranya mengangkut Kopassandha. Baru di Madiun lah, sorenya, Suakadirul mendapat kejelasan bahwa akan dilakukan operasi pen-drop-an pasukan di Dili. Untuk itu, armadanya akan mengangkut satu batalion pasukan payung. "Satu pesawat memuat 100 orang," jelas Hendro, wartawan yang meliput. Pada hari yang sama di Timor, Batalion-403/Raiders Kostrad tiba di lepas pantai Tailaco dengan LST KRI Teluk Bone. Sorenya, disusul BTP-5/Infantri Brigade-1/Pasrat Marinir masuk LST untuk persiapan pendaratan ampibi di Dili jam 05.00 esok harinya.
Tanggal 6 Desember, jam 23.50, flight leader Letkol Pnb. Suakadirul, memulai operasi dengan menerbangkan Hercules T-1308. Berturut-turut, dipekatnya malam, kedelapan pesawat meninggalkan landasan pacu Lanud Iswahyudi. Pesawat bergerak ke arah Ponorogo, terus heading ke timur sambil menyusun formasi. Dalam penerbangan antara Ponorogo dan Denpasar, sembilan pesawat mulai membentuk formasi arrow dengan panduan exhaust dan lampu take off pesawat.
Sifat operasi pendadakan. Formasi sembilan Hercules ini diberi sandi Rajawali Flight. Untuk menjaga kerahasiaan, selama penerbangan diterapkan radio silence. Komunikasi antar penerbang dilakukan menggunakan morse. Pesawat terus naik hingga mencapai ketinggian 22.000 kaki dengan kecepatan 280 knot. Di utara Denpasar, leader mengirim morse ke Air Traffic Control (ATC) Bandara Ngurah Rai: Rajawali abeam Denpasar. Lewat Denpasar, Suakadirul kontak Lanud Penfui, Kupang, untuk menginformasikan posisi Rajawali flight pada beberapa check point ke Markas Komando Operasi Seroja di kapal tender kapal selam KRI Ratulangi.
T-1308 yang paling lambat terbangnya, dipilih sebagai flight leader agar pesawat lain sebagai wingman mudah menyesuaikan dalam terbang formasi. Bertindak sebagai wingman, Letkol Pnb. Sudjiharsono (kiri) dan Kol.Pnb.Suhardjo (kanan). Formasi arrow kedua, dua mil dibelakangnya, diterbangkan Letkol Pnb.Siboen (leader), Letkol Pnb.O H Wello (kiri), dan Letkol Pnb.Sukandar (kanan). Arrow ketiga dipimpin Letkol Pnb.Masulili dan Mayor Pnb.Achlid Muchlas/Mayor Pnb.Sudiyarso (kiri) serta Mayor Pnb.Murdowo (kanan).
Suakadirul menggambarkan, suasana begitu senyap di pesawat. Desah nafas mereka mengeras, maklum, operasi Linud pertama di Dili dan terbesar bagi Hercules sepanjang sejarah ABRI. Menunggu tentu membosankan. Apalagi tujuan medan perang. Perhitungannya, penerbangan ke Dili memakan waktu 4 jam 50 menit. Sementara tiap pesawat membawa 42.000 pound avtur JP-4, yang cukup untuk penerbangan 10 jam 30 menit.
Garis besarnya, operasi penerjunan untuk merebut Kota Dili dari Fretilin dilakukan dalam tiga sortie. Sortie pertama dengan sasaran Dili, akan diterjunkan Grup-1 Kopassandha dipimpin Letkol (Inf) Soegito dan Batalion Infantri Linud 501 di bawah komando Letkol (Inf) Matrodji. Sortie kedua, dari Lanud Penfui, Kupang, menyusul Batalion 502 di bawah Mayor (Inf) Warsito dengan target Komoro. Khusus Baret Merah, dalam operasi ini dipelopori Denpur-1, disebut juga Nanggala-5, di bawah komandan Mayor (Inf) Atang Sutisna. Sortie ketiga, direncanakan juga dari Kupang.
Letkol Soegito membagi Nanggala-5 ke dalam tiga tim. Tim-A dipimpin Mayor Atang Sutisna, melaksanakan perebutan kantor gubernur. Tim-B dipimpin Lettu Atang Sanjaya, merebut pelabuhan Dili. Sedang Tim-C dipimpin Lettu Luhut Panjaitan, merebut lapangan terbang Dili. Ketiga tim disebar ke dalam empat Hercules terdepan, dengan perhitungan jika salah satu pesawat mengalami gangguan atau tertembak, tim bisa berharap pada pesawat berikutnya. Artinya, operasi harus tetap jalan.
Pasukan sortie kedua dan ketiga yang akan diberangkatkan dari Kupang, berasal dari Jakarta dan Jawa Timur. Karena terbatasnya kemampuan TNI AU dalam mendukung angkutan udara, pengiriman pasukan ke Kupang diputuskan menggunakan pesawat Garuda Indonesian Airways. Garuda menjembatani pengiriman pasukan dari Halim Perdanakusuma dan Iswahyudi menggunakan 17 F-28 dan empat F-27 Friendship. Operasi jembatan udara ini dipimpin langsung direktur utamanya Wiweko Supono.
Untuk mempertahankan pendadakan, tentu tidak sekadar mengandalkan pemahaman topografi. Serangan udara juga berperan. Perebutan Irian Barat memperoleh keunggulan di udara, karena didukung pesawat tempur. Pesawat pembom dan angkutnya, juga mendapat close air support. Sebaliknya, untuk Dili, bantuan tembakan udara (BTU) justru masalah. Ini disebabkan seluruh pesawat P-51 Mustang Skadron 3/Tempur Taktis dinyatakan grounded, setelah kecelakaan beruntun menewaskan, diantaranya, Mayor Pnb Sriyono. Sedangkan pesawat latih lanjut T-33 T-Bird (versi militernya Shooting Star) dan F-86 Sabre bantuan Australia, belum dipersenjatai. Dari tujuh bomber B-26 Invader Skadron 2/Pembom Taktis, hanya dua yang serviceable. Penerbang pesawat peninggalan PD II inipun, hanya dua orang yang masih berkualifikasi. Yaitu Letkol Pnb Danendra (Danlanud Penfui) dan Mayor Pnb Soemarsono, yang ditarik kembali dari Pelita Air Service.
Pentingnya BTU sangat disadari Amerika ketika di palagan Vietnam. Tidak heran kemudian, Jenderal USAF John P McConnel mengusulkan modifikasi C-47 menjadi gunship untuk mendukung bantuan tembakan udara. Dakota itu kemudian populer dengan sebutan Gooney Bird. Sebutannya pun diganti menjadi AC-47 mulanya FC-47. Pesawat yang dilengkapi tiga senapan mesin kaliber 7,62 mm di sisi, selama perang Vietnam digunakan USAF sebanyak 20 pesawat di samping AC-130 Spectre Gunship.
Terinspirasi oleh kepopuleran gunship ini, dua pesawat C-47 Dakota Skadron 2/Angkut Ringan TNI AU, dibedah menjadi AC-47 gunship. Mekanik dan teknisi Depopesbang 10 Bandung, menjejali dengan tiga senapan mesin kaliber 0,50 mm. Untuk mengenal medan, ujicoba penembakan dilakukan di sepanjang perbatasan Timor Portugal bulan September 1975. Jadilah dua B-26 dan dua AC-47, direncanakan memberikan BTU dalam mendukung operasi Linud 7 Desember. |
|
|
|
|
|
|
|
Operasi Linud Terbesar di Dili (Bag. 3)
Go!
Pesawat terus bergerak dalam kesunyian. Sesekali, bunyi morse memecah keheningan. Di timur Flores, Rajawali flight perlahan-lahan turun ke 5.000 kaki sambil menyusun formasi penerjunan. Persis di atas pulau Alor pada ketinggian 7.000 kaki, lampu merah dekat pintu menyala dan bel berdering pendek tiga kali sebagai tanda pasukan mulai berdiri untuk persiapan.
Waktu penerjunan menjelang lampu hijau tinggal 10 menit lagi. Anggota Kopassandha dan Brigade-18/Linud Kostrad, mencantolkan pengait pada ujung strop di kabel baja yang merentang di kabin. Dengan sigap, posisi ransel, senjata, dan perlengkapan perorangan lainnya dibenahi. Hampir tidak ada suara. Semua membisu dalam kesibukkan masing-masing.
Abeam Atauro, pesawat sudah di 5.000 kaki. Karena radar pesawat digunakan untuk cuaca, Suakadirul dibuat kaget ketika melongokkan kepalanya melihat dua kapal frigat Portugis Joao Roby dan Alfonso de Albuquerque lego jangkar di lepas pantai Atauro. "Tidak ada informasi dua kapal frigat dilengkapi radar dan sonar, buang sauh di Atauro," protes Suakadirul. Aneh. Padahal, KRI Ratulangi sudah berpapasan dengan Joao Roby di perairan Timor, 23 Oktober. Hebat lagi, sejak 1 Oktober keberadaan kapal yang memiliki 3 kanon 100 mm ini sebenarnya sudah diketahui. "Saya tidak mengerti soal itu," jawab Suakadirul.
Pintu kiri-kanan pesawat mulai dibuka. Kecepatan dikurangi hingga 110 knot. "Saya bilang kita 5.000 kaki. Lampu kuning menyala, terus depressurized," cerita Suakadirul. Waktu tersisa menuju dropping zone (DZ) tinggal empat menit. Perlahan, jarak horizontal antar pesawat di perpendek hingga 300 kaki (sekitar 100 meter). Demikian pula jarak vertikal antar pesawat, hanya selisih 50 kaki. "Saya berada pada ketinggian 900 kaki," ucap Suakadirul. Jadi kalau dihitung hingga pesawat terakhir, ketinggiannya 1.250 kaki.
Mendekati pantai Dili, dengan referensi Tanjung Fatukama, Rajawali flight belok kanan langsung menuju jantung kota Dili. Agar pesawat mampu terbang pada kecepatan 110 knot, menurut Suakadirul, flap diturunkan sebesar 50 persen. Bagi Suakadirul, Dili bukan hal baru. Tahun 1970, lulusan Chekoslowakia ini telah mondar-mandir dengan Dakota milik Zamrud rute Denpasar, Rembiga, Sumbawa, Kupang dan Dili untuk RON (remain over night). Sementara, navigator buka suara, "2 menit ahead."
Sembilan pesawat muncul dari balik perbukitan tanpa lindungan (escort) B-26 dan AC-47. Bel berdering panjang sekitar lima detik setelah Hercules T-1308 terbang melintas di atas sisi barat perkampungan nelayan. Jam di tangan Suakadirul menunjukkan pukul 05.45, bertepatan perubahan lampu kuning menjadi lampu hijau. "Kerongkongan saya mendadak kering," ujar Suakadirul.
Hanya dalam hitungan detik menjelang jam 05.45, jumping master berteriak. "Penerjun siap?" Dilanjutkannya dengan perintah, "Sedia di pintu!" Sekian detik kemudian, jumping master berteriak lebih keras. "Go!"
Mengambil arah 260 derajat atau hampir ke barat pada garis sejajar dengan jalan Dr. Antonio de Carvalho di tengah Kota Dili, anggota pertama melompat dari Hercules T-1308. Ratusan kemudian, berbaur dari Kopassandha dan Kostrad, melompat dari tiap pesawat. Dalam empat hitungan, parasut T-10 berwarna hijau zaitun terkembang dikeremangan pagi di atas Dili. Karena komunikasi segitiga Fretilin, Dili-Atauro-kapal frigat sudah terjalin rapi, penerjunan sortie pertama kehilangan faktor pendadakan. Pasukan diberondong secara sporadis dari bawah. Peluru api (tracer) yang dilepas Fretilin, bagai kunang-kunang memenuhi langit.
Pasukan Linud yang masih mengambang, balik menembak. Maka, pagi itu, terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Linud dan gerombolan Fretilin. Entah digunakan pada saat D-day, beberapa bulan sebelumnya menurut Hendro, 15.000 pucuk senjata peninggalan Portugal dibagi-bagikan Fretilin untuk mempersenjatai rakyat. Sesungguhnya juga, Fretilin telah siaga begitu listrik dipadamkan jam 03.00 bertepatan pendaratan marinir disertai tembakan kanon dari kapal TNI AL. Dan radar Plessey dua kapal frigat Portugal pun, tentu tidak tidur.
Dapat dibayangkan perjuangan hidup-mati pasukan Linud. Tidak semua mendarat dengan selamat. Ada yang kandas di atap rumah, tersangkut di pohon atau di pagar. Yang mendarat di lapangan terbuka di tengah kota, "terpaksa" menjadi sasaran empuk. Belum sempat berbenah, mereka langsung terlibat baku tembak dengan Baret Coklat mantan Tropaz, serdadu Portugal. Sama sekali tidak ada waktu untuk konsolidasi. Tiga tim yang ditunjuk, berusaha keras menyebar memulai operasi pembebasan kantor gubernur, pelabuhan, dan lapangan terbang. Tembak-menembak bergemuruh di mana-mana. Walaupun sudah mengetahui kedatangan pasukan Indonesia, Fretilin tetap kocar-kacir. Jika mau bersabar, tentu Indonesia bisa mengambil keuntungan dengan perencanaan matang karena Fretilin tidak pernah memprediksi Indonesia akan menyerbu dari udara. Perkiraannya serbuan dari perbatasan.
Karena saat penerjunan pesawat dihujani tembakkan ditambah obstacle bukit setinggi 1.500 kaki di ujung runway Dili, Rajawali flight harus belok ke kanan arah pantai untuk terbang ke Kupang. Karena juga DZ cukup pendek dan interval penerjunan terlalu lama waktunya cuma satu menit 79 orang dari 720 pasukan para batal terjun, termasuk komandan Tim-C Lettu Luhut Panjaitan.
Tidak hanya mengenai pasukan, tembakkan dari bawah juga menghantam empat Hercules. Bahkan, load master T-1312 yang diterbangkan Letkol Wello, Pelda Wardjijo, tewas diterjang peluru yang menembus badan pesawat. Pesawat Suakadirul juga tak luput. Peluru merusak navigation compass dan auxiliary hydraulic pump. Peluru juga menembus kaca kokpit di sisi kiri Suakadirul. Secangkir kopi yang ditaruhnya, terlontar ke depan kokpit dan membasahi dahi sang captain. Crew sempat menduga captain-nya tertembak. Apalagi setelah melihat cairan kental meleleh di kepalanya. "Ternyata cuma kopi."
Dua pesawat Hercules lainnya yang diterbangi Letkol Pnb. Sudji Harsono dan Kol.Pnb. Sukandar, turut tertembak. Kesembilan pesawat plus 79 anggota yang batal terjun, meneruskan penerbangan ke Kupang selama 48 menit. Dari Kupang, setelah memeriksa kondisi pesawat yang tertembak, sortie kedua dilanjutkan menggunakan lima Hercules. Komoro ditentukan sebagai DZ. Karena empat pesawat tidak laik terbang, setengah kekuatan Batalion 502, tidak terangkut. Jam 07.45, sortie kedua diterjunkan di Komoro dengan aman karena Fretilin telah dipukul mundur ke perbukitan di selatan Dili. Suakadirul mengganti pesawatnya dengan T-1305. |
|
|
|
|
|
|
|
Operasi Linud Terbesar di Dili (Bag. 4)
Salah tembak
Sortie kedua berhamburan ke luar pesawat. Entah siapa yang memerintahkan, saat melayang di udara, 400 lebih Baret Hijau menghujani dengan tembakan dan granat iring-iringan pasukan yang sedang bergerak menuju lapangan terbang Dili. Seperti sortie pertama, tembak-menembak kembali terulang. Saling membidik terus berlangsung tanpa kedua pihak menyadari, mereka adalah teman. Di bawah Marinir yang habis memukul mundur Fretilin di sepanjang garis pantai, yang melayang, Kostrad. Untunglah Marinir cepat berinisiatif mengakhiri tembak-menembak (friendly fire), dengan mengibarkan "Merah Putih". Untung lagi, tidak ada korban.
Suakadirul mengetahui kesalahpahaman itu beberapa saat kemudian. Setibanya di Penfui, Rajawali flight mempersiapkan sortie ketiga penerjunan pasukan Kostrad yang masih tersisa ke pinggiran barat Kota Dili. Takut kejadian tragis sortie kedua terulang kembali, Mako Operasi Seroja memutuskan membatalkan sortie ketiga.
Setelah berjuang dari jam 06.00 hingga tengah hari, Dili akhirnya dibebaskan. Fretilin mundur ke perbukitan selatan kota Dili. Pemimpinnya melarikan diri ke Aileu. Lobato dan Ramos Horta hengkang ke Australia. Hanya mantan Tropaz yang berani bertahan. Petangnya, 7 Desember, pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa hari itu, pukul 12.30, Dili telah dibebaskan oleh perlawanan rakyat yang dipelopori Apodeti, UDT, KOTA dan Trabalista dibantu para sukarelawan Indonesia.
Besoknya dalam evaluasi, korban dihitung. 35 orang Baret Hijau yang hampir seluruhnya dari Batalion-502/Raiders, termasuk dua mayor dan dua kapten, tewas. Dari Baret Merah, 16 orang tewas tertembak. Tiga lagi tenggelam di laut. Tiga orang yang semula hilang, mayatnya ditemukan beberapa bulan kemudian. Komandan Tim-B, Lettu Atang Sanjaya, terkena pecahan amunisi AK-47-nya yang tertembak. Malang bagi rekannya, Mayor Atang Sutisna, tewas tertembak. "Ditembak sniper," ungkap Hendro. Di pihak Fretilin, korban lebih banyak lagi. Hendro Subroto mencatat dalam tulisannya yang dimuat majalah Airforces, edisi Januari 1999 di bawah judul "Drop Zone Dili", 122 tewas dan 365 orang tertawan. Operasi terus bergulir. Tiga hari kemudian, giliran Baucau dibebaskan. |
|
|
|
|
|
|
|
Veteran Operasi Seroja (satu)
Para cacat veteran Operasi Seroja di Timor Timur (Timtim) dan warakawuri merupakan saksi sejarah bagaimana pasukan ABRI (kini TNI) berjuang mempertaruhkan nyawa di Bumi Loro Sae. Ketika sebagian besar warga Timtim memilih merdeka lewat jajak pendapat, hati mereka pun pedih. Mereka berharap keberadaan mereka diperhatikan dan jangan lagi persoalan besar kebangsaan diputuskan pemerintah dengan gegabah.
Seroja adalah sejenis tumbuhan air berbunga putih dan merah jambu nan indah. Tapi bagi ribuan tentara, terutama mereka yang cacat semasa operasi dengan nama sandi Seroja di Timtim (1976 - 1984), nama seroja seolah menjadi sebuah mimpi buruk. Apalagi setelah hasil jajak pendapat menunjukkan, sebagian besar rakyat Timtim menghendaki kemerdekaan daripada otonomi luas, maka lengkaplah sudah luka hati "pejuang seroja".
"Kalau Anda datang ke sini tanggal 4 September 1999, usai pengumuman hasil jajak pendapat, situasinya sangat muram. Tiba-tiba seperti ada komando mengibarkan bendera merah putih setengah tiang. Semua lampu padam. Orang-orang keluar rumah dan berteriak tak karuan," papar Henu Sunarko, putra seorang cacat veteran Seroja dan Ketua Forum Komunikasi Putra-Putri Pejuang Operasi Seroja Timor Timur (Fokppost), yang belakangan rajin berdemo menentang hasil jajak pendapat.
Merah putih setengah tiang itu kini masih menghias rumah-rumah di Kompleks Wisma Seroja, di kawasan Pondok Ungu, Bekasi Utara, tempat mereka menghabiskan sisa hidupnya. Di kompleks yang bersih ini, selain bermukim penyandang cacat Seroja yang berjumlah 177 orang, juga tinggal 125 orang warakawuri (janda prajurit yang meninggal dalam tugas). Di luar Bekasi, para cacat veteran Seroja juga ada di Surabaya, Malang, Solo, dan Bandung, meskipun jumlahnya tak sebanyak di Kompleks Wisma Seroja Bekasi.
Loper koran dan tukang parkir
Henu bersama Fokppost-nya agaknya kecewa atas sikap pemerintah yang dinilai terlalu gegabah dan tergesa-gesa memutuskan persoalan kebangsaan seperti Timtim. Di lain sisi alternatif pilihan bagi masa depan Timtim tak pernah disosialisasikan secara luas, termasuk kepada keluarga besar pasukan yang terlibat dalam Operasi Seroja. Sehingga hasil jajak pendapat itu akhirnya disikapi dengan reaksional.
Kendati tidak ikut berjuang secara langsung di Timtim, Henu rupanya merasakan benar pahit getirnya jadi putra tentara. Ayahnya, Pelda (Mar) Purn. Priyanto, cacat saat bertugas di Bumi Loro Sae. Sepulang dari sana, ayahnya, dengan dibantu ibunya, mati-matian menutup biaya hidup sehari-hari bagi putra-putranya. Ayahnya mencari tambahan penghasilan sebagai satpam. Sementara ibunya berjualan di pasar. "Saya sendiri pernah jadi tukang parkir di Mayestik dan loper koran," papar Henu lirih.
Untung, setapak demi setapak kerja keras pasangan cacat veteran ini membuahkan hasil. Ayah Henu sudah dipercaya jadi Wakil Kepala Pasar Harapan Jaya Baru. Sementara ia dan kakaknya bisa meraih gelar kesarjanaan.
Kegigihan tampaknya menonjol dalam diri cacat veteran Operasi Seroja dan keluarganya. Mereka berprinsip harus tetap eksis meski harus kerja serabutan, yang penting halal. Adalah Kopka I Made Narsin yang juga punya pandangan seperti itu. Made dikirim ke Timtim tahun 1977 - 1979 dengan pangkat prajurit satu. Sial, dalam sebuah patroli di luar Kota Liquisa tentara pembawa bren ini terkena ranjau yang ditanam di sebuah jalan setapak. Ia terluka, tapi lima orang teman yang ada di depannya selamat melewati ranjau maut itu. "Betis kiri saya langsung putus," kenangnya.
Baku tembak pun segera terjadi antara rekan-rekannya dengan Fretilin. Karena itu Made baru bisa ditolong 15 menit setelah pertempuran reda. Perawatan seadanya lantas diberikan, kaki diikat untuk menahan aliran darah yang banyak keluar. Ia segera dievakuasi ke Liquisa. Sesudah menginap semalam, esok harinya ia diterbangkan ke Dili menggunakan helikopter.
Setiba di ibukota propinsi ini betis kiri Made dipotong lagi tepat di bawah lutut. Untuk menahan rasa sakit ia disuntik tiga jam sekali. Tiga hari kemudian Made yang berasal dari Batalion 742 Lombok ini diterbangkan ke Jakarta untuk menjalani pemeriksaan ulang di RSPAD Gatot Subroto. Di sini kondisi Made diobservasi dan dioperasi kembali.
Sepulang dari RSPAD Gatot Subroto ia harus memakai kaki palsu. Ternyata ini butu* penyesuaian yang tak mudah. Selama setahun ia menghabiskan waktu hanya untuk belajar jalan. Soalnya, kalau tidak pas, kaki bisa bisulan atau lecet. Karier kemiliterannya pun berbalik 180 derajat. Made yang berasal dari kompi artileri berat harus rela pindah ke bagian administrasi. "Sebagaimana hidup manusia, Tuhan sudah ngatur kok. Yang penting kita nggak boleh berpikir yang bukan-bukan," katanya dengan logat Bali yang masih kental.
Upaya untuk bertahan
Dari keterampilan yang ia dapatkan di Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat di Bintaro dan Balai Latihan Kerja di Cijantung, ia kini menerima servis mesin cuci, lemari es, dan AC di rumahnya yang dia tempati sejak 1985. Awalnya, ia harus mencari sendiri pelanggan melalui kenalan-kenalannya. Tapi lama-kelamaan pengguna jasanya mulai datang sendiri lantaran tahu betul kualitas kemampuannya. Bahkan dalam soal garansi, pria bertubuh tinggi besar itu berani memberi garansi sampai dua tahun. "Orang kadang bingung, kok jaminannya lama. Lha saya 'kan yang tahu kondisi mesinnya?" katanya.
Puncak kejayaan usahanya ia alami tahun 1987-1988. Waktu itu dalam sebulan ia bisa mengantungi keuntungan sampai Rp 2,5 juta. Made pun sedikit demi sedikit mulai membeli alat, sehingga ia tak perlu lagi pinjam pada orang lain. "Waktu itu, total anggarannya kira-kira Rp 15 juta," paparnya.
Kini di rumahnya di kompleks Wisma Seroja, tampak berjajar beberapa lemari es yang harus ia perbaiki. Cuma sebelumnya Made perlu berkomunikasi dengan pelanggannya soal harga suku cadang yang semakin mahal. "Kalau biaya perbaikan sudah disepakati saya baru mulai mengerjakan," katanya.
Seperti halnya Made, Kopka Purnomo juga menjalani usaha sampingan untuk menambah keuangan rumah tangganya. Yang dipilih cacat veteran tuna netra ini adalah memijat dan beternak burung perkutut. Sementara istrinya merakit kepala korek api gas.
Orang yang memanfaatkan jasanya tak tentu banyaknya. Mereka umumnya warga Kompleks Wisma Seroja. Kalaupun ada orang luar, tentu sebatas yang mengenalnya. Ia pun bisa dipanggil, tapi sejauh yang bisa dijangkau becak. "Memijat ini cuma hiburan," katanya. Dari menjual jasa ini penghasilan tambahannya tak tentu besarnya. Imbalan jasa yang dia terima untuk sekali memijat juga tak tentu. Sedangkan dari perkututnya ia menjual sepasang anakan berkisar Rp 150.000 - Rp 200.000,-.
Ny. Krantung Malonda Ellen (40), warakawuri Serma Yulius Krantung yang dianggap hilang dan dinyatakan gugur pada 1977, juga berwiraswasta untuk memenuhi kebutu*an sehari-hari. Sejak pindah ke Wisma Seroja, Ny. Krantung berjualan sepatu dan celana jins dari Bandung atas ajakan saudaranya. Barang dagangan itu dia titipkan di Toko Kelompok Usaha Mandiri yang berada di dekat pintu masuk kompleks. Sebelumnya ia pernah berusaha di bidang rangkaian bunga. Berkat keuletannya ia bisa menyekolahkan satu-satunya putri tercinta di Program Diploma 3.
Bagi para cacat veteran dan warakawuri yang tidak memiliki usaha, ada kegiatan yang bisa memberi tambahan penghasilan, meskipun tidak banyak. Atas itikad baik dari salah satu produsen korek api gas, mereka diikutkan dalam kegiatan perakitan kepala korek api gas. Pada hari-hari tertentu ribuan komponen kepala korek api gas dikirim ke rumah-rumah mereka melalui koordinatornya. Jatah diberikan atas dasar kemampuan pengerjaan per anggota keluarga.
Ny. Anita, janda dari Serka (Marinir) Memet Mihardja yang gugur di Timtim tahun 1977, hanyalah satu contoh. Usaha sambilan ini mulai ditekuninya sejak 1984. Dalam sehari ia bisa merakit sekitar 2.500 korek dengan imbalan Rp 2,9/kepala korek gas. Ny. Anita bisa mengantungi Rp 40.000 - Rp 50.000,- per bulan. |
|
|
|
|
|
|
|
Veteran Operasi Seroja (dua)
Antara pedih dan bangga
Meski para cacat veteran Operasi Seroja dan warakawurinya mampu bertahan dalam menjalani hidup, mereka rupanya tak mampu menyembunyikan kepedihan. Tak terkecuali Purnomo. Ia mungkin tidak harus melakukan pekerjaannya yang sekarang bila tidak bertugas ke Timtim. Ketika berangkat ke sana tahun 1983, Purnomo masih bujangan. "Ketika itu saya tak punya kekhawatiran apa-apa, sudah aman 'kan," katanya. Tapi nasib berkata lain, kedua matanya buta terkena pecahan granat dalam sebuah patroli rutin di sekitar Los Palos. Pada peristiwa itu dua orang meninggal termasuk komandan peletonnya. Ia sendiri terluka parah, giginya pecah, pipi sobek, tangan dan kakinya lumpuh, serta matanya tak bisa melihat sampai sekarang.
Luka dan kebutaan sebenarnya tidak membuat Purnomo yang asli Purworejo itu menyesal. Yang ia rasakan justru putus asa, bahkan pernah berniat bunuh diri sampai dua kali semasa dalam perawatan, namun gagal karena ketatnya penjagaan. "Saya hampir menenggak delapan butir pil tidur dan menyilet nadi, tapi ketahuan. Padahal pintu sudah saya kunci. Seluruh ruangan bagian dalam sudah saya raba semua, saya sudah siap ambil silet di bawah kasur. Ternyata siletnya langsung diamankan," katanya kalem. Thx to Bro Wise. (Kaskuser)
Baginya yang berat adalah masa-masa awal kecacatannya. "Tersinggung sedikit saja marahnya bukan main," katanya. Bahkan sering lupa ingatan akibat luka kepala yang dialaminya. Ia sering jalan sendiri tak tentu arah dan menabrak pintu pagar rumah sendiri. Selagi dirawat, niatnya cuma satu yaitu melarikan diri untuk bunuh diri. Suatu kali ketika penjaga lengah ia nekad keluar melompat jendela. Lantaran tak melihat, ia cuma mengandalkan ingatan. Ia merasa jalan yang ia lewati benar, tapi rupanya jalan itu sedang digali dan ia terperosok ke dalamnya.
Kepercayaan diri dan semangat hidupnya mulai tumbuh tatkala Purnomo mulai berkumpul dengan sesama cacat veteran Seroja yang cacat terutama yang tidak melihat. Rasa putus asanya berangsur-angsur hilang.
Kopka Elan Sutarna yang mengalami cacat pada mata kanannya juga sempat kehilangan kepercayaan diri. Boro-boro mencari calon pasangan hidup, bertemu orang saja sudah minder. "Waktu pulang dari rumah sakit, saya sudah kayak orang terbuang saja. Seperti ayam tidak punya induk. Jangankan main keluar, nongol di pintu saja rasanya sudah kayak diperhatikan banyak orang. Ya, akhirnya di kamar saja," aku Sekretaris II Korps Cacat Veteran RI cabang khusus Seroja ini. "Kalau bukan orang tua yang mencarikan calon istri, saya nggak bisa kawin," tambahnya.
Sementara janda prajurit yang gugur dalam Operasi Seroja pun menderita tekanan batin yang tak kalah pedihnya. Ny. Krantung, misalnya, ketika menceriterakan kisah hidup suaminya sebagai prajurit TNI, matanya sering berkaca-kaca. Kata-katanya lirih dan terputus-putus. Bisa dimengerti karena sampai kini jenazah suaminya tak pernah ditemukan. "Menurut mantan komandan suami saya di Baucau, ada monumen yang memuat daftar 39 orang yang gugur termasuk nama suami saya," katanya memelas.
Karena ketidakjelasan nama korban, berita meninggalnya suaminya baru dia ketahui setelah 3 bulan. "Terus terang saya sangat sedih. Apalagi saya harus membesarkan putri semata wayang saya yang baru berumur dua tahun waktu itu," ungkapnya. Kini putrinya telah tumbuh dewasa. Bahkan sewaktu Fokppost mengadakan aksi demo menentang hasil jajak pendapat, putrinya selalu berada di barisan depan.
Dari sekian panjang rangkaian kepedihan yang dialami para cacat veteran Operasi Seroja dan warakawurinya, ternyata masih menyisakan sepenggal kebanggaan. Ny. Anita mungkin masih bisa dibilang menyimpan kebanggaan itu. Atas jasa-jasa suami ibu tiga orang anak dan nenek seorang cucu ini, nama Memet Mihardja diabadikan sebagai nama jalan di Ksatrian Marinir Cilandak. Kalau saja nama-nama pejuang Seroja yang telah gugur diabadikan seperti itu, barangkali kepedihan yang dirasakan keluarga yang ditinggalkan akan (sedikit) terobati. (G. Sujayanto/I Gede Agung Yudana)
[ Last edited by Badak-Jawa at 6-10-2006 11:07 PM ] |
|
|
|
|
|
|
|
Indonesia Enters $1Bln Military Equipment Contract with Russia
Created: 17.11.2006 09:12 MSK (GMT +3), Updated: 12:03 MSK
MosNews
The Indonesian government has agreed to purchase military equipment worth $1 billion from Russia in an effort to diversify its arms sources, Defense Minister Juwono Sudarsono said on Thursday, Nov. 16.
He was quoted by The Jakarta Post as saying that purchasing arms from Russia keeps the country from being totally dependent on American military products, which is important if there is another arms embargo by the U.S. in the future.
The U.S. government completely lifted its arms embargo on Indonesia only this year. The embargo was put in place after the Nov. 12, 1991, Santa Cruz cemetery massacre in Dili, East Timor (now Timor Leste), by the Indonesian Military, in which over 200 people were reportedly killed.
Almost all of Indonesia抯 military equipment, some of which became inoperable due to the embargo, was made in the U.S.
The military says it didn抰 purchase arms during the embargo, but reports say it bought some in the gray market, including from Israel through third parties.
Juwono said the U.S. had no objection to Indonesia抯 deal with Russia, although it did investigate what Indonesia planned to buy from the country.
The $1 billion export credit, to be integrated into the state budget, will last for five years, from 2006 until 2010, although the first arms shipment is not expected until next year.
Juwono said Indonesia had ordered five new cargo helicopters, four combat helicopters, two submarines and six fighter jets from Russia. |
|
|
|
|
|
|
|
BEIRUT - BEIRUT - LEBANON
epa00859528 Indonesian U.N. peacekeepers upon arrival to Rafik Hariri International Airport, Beirut, Lebanon, Friday, 10 November 2006. A first batch of Indonesian troops, including the son of the countrys president, arrived Friday in Lebanon to join a U.N. peacekeeping force monitoring the ceasefire between Israel and Hezbollah. EPA/WAEL HAMZEH
EPA / STF / WAEL HAMZEH
JAKARTA, INDONESIA: An Indonesian soldier take some private moment with his girlfriend at the airport before leaving Jakarta, 08 November 2006, to join the United Nation force in Lebanon. Around 125 Indonesian soldiers of the 851-strong force had left Jakarta as the first batch of Indonesian peacekeepers to join UN in Lebanon. Israel, which does not have diplomatic relations with mainly Muslim Indonesia, had initially objected to the involvement of Indonesia in the UN force. AFP PHOTO/Jewel SAMAD (Photo credit should read JEWEL SAMAD/AFP/Getty Images)
JAKARTA, INDONESIA: An Indonesian soldier embraces his wife and child at the airport before boarding an aircraft in Jakarta, 08 November 2006, to join the United Nation force in Lebanon. Around 125 Indonesian soldiers of the 851-strong force had left Jakarta as the first batch of Indonesian peacekeepers to join UN in Lebanon. Israel, which does not have diplomatic relations with mainly Muslim Indonesia, had initially objected to the involvement of Indonesia in the UN force. AFP PHOTO/Jewel SAMAD (Photo credit should read JEWEL SAMAD/AFP/Getty Images)
JAKARTA, INDONESIA: An Indonesian soldier holds his child at the airport before leaving Jakarta, 08 November 2006, to join the United Nation force in Lebanon. Around 125 Indonesian soldiers of the 851-strong force had left Jakarta as the first batch of Indonesian peacekeepers to join UN in Lebanon. Israel, which does not have diplomatic relations with mainly Muslim Indonesia, had initially objected to the involvement of Indonesia in the UN force. AFP PHOTO/Jewel SAMAD (Photo credit should read JEWEL SAMAD/AFP/Getty Images)
JAKARTA, INDONESIA: An Indonesian soldier bids goodbye to his wife at the airport before leaving Jakarta, 08 November 2006, to join the United Nation force in Lebanon. Around 125 Indonesian soldiers of the 851-strong force had left Jakarta as the first batch of Indonesian peacekeepers to join UN in Lebanon. Israel, which does not have diplomatic relations with mainly Muslim Indonesia, had initially objected to the involvement of Indonesia in the UN force. AFP PHOTO/Jewel SAMAD (Photo credit should read JEWEL SAMAD/AFP/Getty Images)
JAKARTA, INDONESIA: Indonesian Nindi (R) wipes tears as her father Didik Utomo prepares to leave Jakarta, 08 November 2006, to join the United Nation force in Lebanon. Around 125 Indonesian soldiers of the 851-strong force had left Jakarta as the first batch of Indonesian peacekeepers to join UN in Lebanon. Israel, which does not have diplomatic relations with mainly Muslim Indonesia, had initially objected to the involvement of Indonesia in the UN force. AFP PHOTO/Jewel SAMAD (Photo credit should read JEWEL SAMAD/AFP/Getty Images)
JAKARTA, INDONESIA: An Indonesian soldier spends some private moments with his wife and child at the airport before boarding an aircraft in Jakarta, 08 November 2006, to join the United Nation force in Lebanon. Around 125 Indonesian soldiers of the 851-strong force had left Jakarta as the first batch of Indonesian peacekeepers to join UN in Lebanon. Israel, which does not have diplomatic relations with mainly Muslim Indonesia, had initially objected to the involvement of Indonesia in the UN force. AFP PHOTO/Jewel SAMAD (Photo credit should read JEWEL SAMAD/AFP/Getty Images) |
Rate
-
1
View Rating Log
-
|
|
|
|
|
|
|
Beirut, LEBANON: An Indonesian UNIFIL soldiers board the USS Wilson cargo ship after in docked at Beirut port loaded with their military vehicles, 18 November 2006.
Beirut, LEBANON: An Indonesian UNIFIL truck and a container are unloaded from the USS Wilson cargo ship at Beirut port, 18 November 2006. Indonesia is sending 851 troops to join the UN Interim Force in Lebanon (UNIFIL). Israel, which does not have diplomatic relations with mainly Muslim Indonesia, had initially objected to the involvement of Indonesia in the UN force.
Beirut, LEBANON: A UN Indonesian soldier secures containers after they were unloaded from the USS Wilson cargo ship at Beirut port, 18 November 2006.
Beirut, LEBANON: Indonesian UNIFIL soldiers push a military vehicle after it was unloaded from the USS Wilson cargo ship at Beirut port, 18 November 2006. Indonesia is sending 851 troops to join the UN Interim Force in Lebanon (UNIFIL).
Beirut, LEBANON: An Indonesian UNIFIL soldier gives instructions as a UN truck is downloaded from the USS Wilson cargo ship at Beirut port, 18 November 2006.
Beirut, LEBANON: Lebanese soldiers secure the site where an Indonesian UNIFIL forces ambulance is being unloaded from the USS Wilson cargo ship at Beirut port, 18 November 2006.
Beirut, LEBANON: Indonesian army first lieutenant Agus.H.Y (C), son of Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyono, gestures as he speaks with his colleagues as a military vehicle (background) is downloaded from the USS Wilson cargo ship at Beirut port, 18 November 2006.
Beirut, LEBANON: Indonesian UN soldiers look at a Lebanese fisherman fishing at the port of Beirut, 18 November 2006. |
Rate
-
1
View Rating Log
-
|
|
|
|
|
|
|
Nice sunglasses.....fully sponsored...?
Oakley...? |
|
|
|
|
|
|
|
Reply #293 edmundo's post
i think so.. also nice brown boots..
seems that they are well-prepared - physically and mentally.. |
|
|
|
|
|
|
| |
|