CARI Infonet

 Forgot password?
 Register

ADVERTISEMENT

View: 4108|Reply: 2

Tradisi Homoseks Di Sekolah Pondok Nusantara.

[Copy link]
Post time 29-8-2016 03:54 PM | Show all posts |Read mode
Edited by abgsedapmalam at 29-8-2016 03:55 PM

Praktik Homoseksual di Pondok Pesantren
Perilaku Homoseksual di Pondok Pesantren
Benarkah ada Praktek Homoseksual Gay Lesbian di Pondok Pesantren ?
Bila mendengar praktik homoseksual dikecam oleh para pemimpin agama, hal ini mungkin sudah lumrah lagi bagi kebanyakan orang. Karena homoseks, seolah tidak punya hak seksual sama sekali. Namun penelitian Iskandar Dzulkarnain, justru menunjukkan bahwa dalam ruang-ruang tertentu, para santri agama Islam melakukan praktik homoseksual ini. Thesis yang dirampungkan Iskandar di program sosiologiUniversitas Gadjah Mada, berjudul Perilaku Homoseksual di Pondok Pesantren, juga menjadi bahan diskusi pada seminar bulanan GAYa NUSANTARA baru-baru ini.
Iskandar sempat mondok di dua pesantren di Sumenep, yang terkenal cukup kental ke-Islamannya. Salah satu pondok yang dikunjunginya adalah pesantren tradisional bernama An-Naqiyah. Yang ditemukan di sana adalah, praktik homoseksual dengan mudah dapat dijumpai dan bahkan dilakukan dengan cukup terbuka di dalamnya. Sedangkan pesantren lain yang dikunjungi Iskandar adalah pondok modern, Al-Amanah. Di sini perilaku homoseksual amat tertutup, tapi praktiknya masih dilakukan.
Pondok Pesantren An-Naqiyah dan perilaku homoseksual
Kebanyakan pondok pesantren amat ketat membatasi pergaulan antara lawan jenis. Kedekatan antara lelaki dan perempuan yang bukan muhrimnya dianggap tabu. PondokPesantern An-Naqiyah di Sumenep tidak terkecuali. Menurut Iskandar, mereka memisahkan setiap santri laki-laki dengan santri perempuan di dalam pondokannya, bahkan para santri laki-laki tidak diperbolehkan sembarangan untuk memasuki wilayah nyai-nyai atau putri para kiai.
Kamar-kamar di bagi para santri di pondokan ini lebih ditetapkan sesuai dengan keinginan santri. Tapi, pada umumnya santri paling seniorlah yang menjadi ketua kamar tersebut. Setiap kamar yang berukuran sekitar 5 x 5 meter, dijejali 20 hingga 30 orang. Jadi, kamar itu fungsinya amat terbatas: hanya untuk beristirahat, menyimpan barang, atau berganti pakaian. Kegiatan lainnya seperti belajar dan tidur biasa dilakukan di depan kamar masing-masing atau di beranda masjid. Kamar mandi yang juga amat terbatas, membuat para santri mempunyai kebiasaan untuk mandi bertelanjang bersama-sama. Di sinilah keakraban sesama pria semakin menemukan lahannya. Obrolan, gurauan dan diskusi terbuka tentang hasrat seksual para santri bukanlah hal yang aneh.
Lewat observasi, wawancara, atau percakapan sehari-hari dengan para penghuni pondok ini, Iskandar menyimpulkan bahwa ada tiga pola relasi homoseksual di antara para santri di pondok pesantren An-Naqiyah. Pertama: relasi dengan ikatan, kedua: relasi tanpa ikatan, dan terakhir: relasi seksual untuk kenikmatan.
Pola relasi homoseksual dengan ikatan biasanya melibatkan santri senior dengan santri yang baru saja mendaftar. Ketika baru masuk, beberapa pendaftar yang muda (berumur 12-13 tahun), telah diincar oleh santri yunior yang menerimanya. Seringkali di saat pendaftaran itu, terjadilah kesepakatan di antara kedua santri tersebut. Biasanya kedua santri tersebut akan menempati kamar yang sama, karena kesepakatan di antara mereka untuk saling membantu, saling menjaga, dan saling memberi, dan saling mengasihi. Santri senior dalam hal ini adalah ketua kamar yang disegani oleh penghuni kamar yang lain, sehingga tidak ada santri-santri penghuni kamar lain yang berani melawannya.
Dalam kesehariannya kedua santri tersebut akan bersama, saling bergandengan ke manapun mereka pergi. Dalam hubungan ini juga terdapat sistem kekuasaan yang tidak setara, yaitu santri senior bertindak sebagai suami yang konvensional: ialah yang menjaga, membimbing, memberi petuah, dan terkadang juga harus memberi nafkah. Sedangkan santri yunior tersebut berlaku sebagai sosok istri yang menurut terhadap suami, bersedia menemani dan melayani suami kapanpun dan di manapun, serta memasak untuknya.
Biasanya hubungan ini dilakukan di kamar yang mereka tempati. Karena di kamar tersebut santri senior menjadi ketua kamar, jadi ia mempunyai lebih banyak hak dari yang lain. Dalam pola ini biasanya pasangan tersebut hanya saling memeluk, mencium, meskipun tidak menutup kemungkinan lebih jauh. Dari wawancara Iskandar dengan seorang santri senior, bahkan juga terjadi gesek-gesek alat kelamin ke paha atau bahkan ke ketiak pasangannya. Pola ini juga tidak menutup kemungkinan terjadinya hubungan dengan penetrasi anus. Begitu umumnya hubungan homoseksual ini dipesantren An-Naqiyah, sehingga para santri di pondok itu terkadang mengejek mereka yang tidak mempunyai pasangan atau yang tidak melakukan hubungan homoseksual dengan santri lainnya.
Di antara santri muda yang mendaftar, beberapa ada yang tahu kalau hubungan homoseksual akan terjadi bila mereka masuk pesantren. Hal ini seperti sudah menjadi pengetahuan umum di antara banyak santri, yang diturunkan pada lainnya. Tapi, karena masyarakat semakin tertutup, terkadang hal ini tidak dibicarakan lagi dan menimbulkan kekagetan pada santri baru.
Para santri senior ini akan mencari “sasarannya” pada malam hari. Yang dijadikan “sasaran” kebanyakan adalah santri yunior yang sedang tidur. Santri senior biasanya mengikuti santri yunior yang diincarnya dan kemudian tidur di dekat santri itu.
Kebiasaan para santri untuk tidur dengan sarung dan tidak menggunakan celana juga menjadi faktor yang memudahkan hubungan ini. Biasanya santri yunior yang menjadi sasaran, karena kesenioran sang pelaku bisa menekan kemarahan sang santri yunior ketika mereka mengetahui telah menjadi “korban”.
Pola relasi homoseksual yang ketiga adalah seks untuk kenikmatan. Pada pola ini, tidak dikenal istilah santri senior dengan santri yunior. Karena relasi ini kebanyakan terjadi antara para santri yang seangkatan, juga tidak menutup kemungkinan mereka yang sekamar. Kesempatan yang terbatas bagi sesama santri yunior terkadang justru menambah kegairahan seksual ketika melakukannya. Terkadang, mereka juga melakukan berkelompok. Misalnya, santri yang lebih kalem, penakut dan penurut, untuk dijadikan korban dalam pola relasi seksual untuk kenikmatan ini. Korban tersebut akan dipegang beramai-ramai, dan kemudian salah satu dari kelompok santri tersebut yang melakukan pemaksaan onani terhadap korban tersebut sampai ia mencapai klimaks.
Walau praktik homoseksual di dalam pondok ini cukup terbuka, biasanya mereka enggan menceritakannya di luar lingkungan pesantren, karena kuatir akan stigma yang ada. Beberapa dari santri itu memang masih mengakuinya tanpa ragu-ragu bila ditanya, namun ada juga yang tidak mau mengakuinya.
Perilaku Homoseksual di Pondok Modern Al-Amanah
Institusi modern seringkali melakukan represi terhadap tubuh dan seksualitas. Pada masa Orde Baru, tubuh manusia adalah salah satu sasaran utama kekuasaan yang ada: Ia harus tunduk pada otoritas pemerintah sehingga mudah disetir untuk melakukan apa saja demi keuntungan si penguasa. Institusi modern terkadang penuh dengan kemauan seperti ini, seperti penjara dan rumah sakit jiwa. Ukuran kejahatan dan ketidak-warasan seringkali tergantung pada kehendak sang penguasa saat itu. Pramoedya Ananta Toer-pun sempat dijebloskan penjara dan bahkan dianggap gila pada masa Orde Baru. Perempuan yang dianggap terlalu terbuka seksualitasnya juga akan dikecam habis-habisan, dan ini dapat dilihat dari lahirnya Undang-undang anti pornografi.
Hal serupa dapat ditemui Iskandar Dzulkarnain di pondok pesantren yang dianggap modern, Al-Amanah. Kedisiplinan merupakan hal yang sangat dikedepankan ketimbang yang lain. Kontrol terhadap setiap perilaku santrinya amat kuat, dan pada akhirnya memberi kuasa yang besar pada pemimpin institusi pondok pesantren tersebut. Contohnya, pemimpin pondok pesantren Al-Amanah mempunyai kuasa untuk mengusir para santri yang berperilaku tidak disiplin atau melanggar peraturan.
Secara seksualitas, para santri di Al-Amanah hampir sama dengan santri di An-Naqiyah, yakni mereka hidup terpisah dari lawan jenisnya pada usia masa-masa pubertas, ketika dorongan seksual atau libido mereka sedang kuat-kuatnya. Namun dengan kolotnya peraturan yang ada di Al-Amanah menjadikannya sulit bagi para santri untuk mengekspresikan gairah seksualitas mereka.
Pondok pesantren Al-Amanah adalah cerminan dari institusi modern yang telah melahirkan homophobia dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku sesama jenis ada dan tak bisa dipungkiri di sana, namun harus dirahasiakan sebisa mungkin.
Diskusi dan pernyataan hadirin:
Pengakuan dari beberapa hadirin pun bermunculan sesudah presentasi Iskandar selesai. Beberapa di sana yang sempat mondok di pesantren mengakui adanya hubungan seperti ini. Bahkan salah satu dari menyatakan pernah berhubungan dengan seorang santri senior, tapi kemudian santri ini tidak ragu-ragu mengecam perilaku homoseksual di depan umum.
Mungkin ini juga salah satu ciri ke-modern-an kita. Yang karena merasa telah beradab sehingga terkadang menyangkal adanya gairah seksualitas, dan menghubungkannya dengan dunia kebinatangan (walaupun manusia sebenarnya bisa dikategorikan sebagai hewan). Tapi, pada sisi yang lain, mereka masih mempunyai hasrat itu dan tidak bisa menahannya. Lalu, diam-diam melakukannya di balik pintu.
Yang saya kritisi pada perilaku homoseksual di pesantren ini bukanlah homoseksualitas itu sendiri, namun adanya relasi kekuasaan yang amat kuat di sana. Para santri senior seakan mendapat dominasi kenikmatan, sedangkan yang yunior masih harus menjadi sasaran atau bahkan korban mereka.
Begitu juga ketika para santri di pondok An-Naqiyah dengan sengaja memilih salah seorang santri yang lebih kalem dan penurut untuk dipaksa beronani. Masih ada unsur kekuasaan yang meraja lela di antara kenikmatan ini. Di pondok An-Naqiyah yang lebih menekankan kesetaraan ketimbang disiplin yang memberi kekuasaan pada pemimpinnya, masih ada hierarki dalam praktik seksualitas itu sendiri. Ketidak-mampuan para santri yunior untuk marah ketika sadar bahwa mereka telah menjadi korban, merupakan wujud penindasan tersendiri.
Mungkin, justru inilah yang perlu diperdebatkan kembali. Bahwa relasi kuasa bisa berlapis-lapis adanya. Bahwa ia dapat terjadi tidak saja di dalam wacana ketertutupan, namun juga keterbukaan seks. Bukan orientasi seksual dari praktik itu yang seharusnya dipermasalahkan, selama yang bersangkutan melakukannya atas dasar saling suka dan tidak ada tekanan sama sekali. Pendaftar baru dari pesantren itu tentunya merasa rikuh, sungkan dan bahkan terintimidasi oleh santri senior, sehingga hubungan antar keduanya patut dipertanyakan lebih jauh.
Bila keterbukaan itu ada, paling tidak masih ada celah, bagaimanapun kecilnya, untuk mengungkap hal ini, karena ia masih disebutkan daripada ditiadakan sama sekali. Sedangkan bila praktik itu dirahasiakan, maka para penguasalah yang menjadi semakin mendapat angin karena ia bisa melakukan hampir apa saja, tanpa perlu membahasnya. Keterbungkaman adalah hal yang amat menguntungan bagi sang penguasa. Bukankah dalam masa Orde Baru, Soeharto begitu menggebu dengan menyensor apa saja, untuk membungkan mulut rakyatnya? Bukankah dia yang begitu bernafsu menekankan moralitas Pancasila dan mengharuskan anak-anak menghafalkannya, sedangkan ia sendiri bisa melaksanakan kekejiannya dengan leluasa?
Pembahasan Praktek Homoseksual di Pondok Pesantren ini juga dibahas dibeberapa blog lainnya:

Sobat, ketika kita berbicara Homoseksualitas Pesantren seakan akan kita tidak akan habis-habisnya mengupas fenomena ini dari berbagai sisi.Bahkan akan membuat kita bingung karena adanya sisi PARADOKS yang sangat kental,hal ini suatu hal yang logis karena disatu sisi pesantren merupakan tempat menimba ilmu agama untuk mempersiapkan generasi islami yang berakhlak mulia namun,disisi lain kita menemukan praktik homoseksualitas yang ada di dalamnya.

Kawan, perlu diperhatikan dalam fenomena homoseksualitas pesantren tidak mengeneralisasi seluruh pesantren seperti ini,jadi saya hanya menginformasikan bahwa fenomena ini bener-bener ada

http:// kanal3.wordpress.com/2011/06/04/ mairilhomoseksualitas-pesantren-antara-kenyataan-dan-khayalan/

Seksualitas dan cinta lawan jenis selama ini menjadi suatu hal yang ditabukan di lingkungan pesantren. Namun, faktanya pembatasan pergaulan lawan jenis yang berlebihan merupakan faktor utama dari disorientasi seksual yang terjadi di pesantren. Muncullah praktik seks (atau cinta?) sejenis atawa homoseksual, yang di pesantren popular dengan sebutan mairil. Praktik ini berjalan secara diam-diam, bahkan mungkin diketahui oleh sang kiai.

Mairil sudah menjadi khasanah klandestin di pesantren, bahkan kadang menjadi bahan guyonan renyah. Humor ini biasanya terjadi ketika ada santri baru datang ke pondok. Anak atau remaja yang belum tahu apa-apa tentang pondok pesantren ini akan disuruh untuk menghadap santri-santri senior, istilahnya perkenalan atau sowan. Nah, para penggojlog ini menyuruh si anak bilang begini pada sang senior: “Pak, saya mau mairil”, atau “pak, saya siap di-mairil”, dan sejenisnya. Para senior ndlowor itu biasanya bilang kalo mairil artinya adalah belajar atau ngaji atau apalah.

http:// sorbanyangterluka.blogspot.com/2009/02/wacana-mairilsebuah-praktik-homoseksual. html
Oleh Soe Tjen Marching (Majalah Bhinneka, edisi 5 “Seks, Mengapa Tabu”)

Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 29-8-2016 03:57 PM | Show all posts
Budaya Mairil
Dalam perjalanan panjang Gambir-Kediri, di atas kereta api Gajayana, aku menanggapi sepenggal kisah dari putriku yang hari itu kuantar kembali ke Pesantrennya. “Ayah, aku boleh sharing gak…” Youma meminta izinku. Aku menganggukkan kepala tanda setuju. “Ada kejadian yang aku sebenarnya gak setuju banget, tapi kayanya sudah dianggap biasa, beberapa temanku yang junior, takut mengadukan hal ini kepada pengurus.” “Soal apa sih kak?” Tanyaku menyelidik. “Hmmm, waktu zaman ayah nyantri dulu apakah suka ada yang namanya Mairil?.”
Deg…… 😳
Aku memutar tubuh, memandangi wajah lugunya yang penuh harap akan jawabanku. “Ya kak, Mairil itu sejenis rasa suka sama sejenis, apa yang sudah kamu ketahui tentang hal itu?” Aku kembali bertanya, aku ingin dia mengemukakan semua yang dia tahu. “Iya yah, temanku jadi korban, tapi dia gak berani marah apalagi sampe ngadu ke pengurus. Tapi aku pernah tanya langsung ke salah seorang pengurus, hanya dijawab begini, “itu soal biasa di pesantren, nanti juga hilang sendiri.” Begitu jawaban pengurus di pesantrenku, tapi aku kan jijik, soalnya tuh kadang-kadang mereka yang sampe kaya pacaran gitu, saling perhatian, sampe dibelikan makanan, dicucikan baju, terus kaya dilindungin gitu deh.”
Enough 🙌
Aku bersyukur, sejak kecil putriku sangat terbuka untuk menceritakan apapun peristiwa yang terjadi, sejak dari sekolah dasar sampai sekarang di usia memasuki sekolah menengah atas. Keterbukaan semacam ini penting, agar kita sebagai orang tua, bisa bersama-sama anak merenda kehidupan yang keras dengan berbagai ujiannya.
Fenomena Mairil, sepertinya dianggap biasa, padahal ia bisa meningkat pada aktivitas seks yang mengerikan. Di Pesantren dikenal dengan istilah “nyempet”. Nyempet merupakan jenis atau aktivitas pelampiasan seksual dengan kelamin sejenis yang dilakukan seseorang ketika hasrat seksualnya sedang memuncak, sedangkan mairil merupakan perilaku kasih sayang kepada seseorang yang sejenis.
Perilaku nyempet terjadi secara insidental dan sesaat, sedangkan mairil relatif stabil dan intensitasnya panjang. Namun dalam banyak hal antara nyempet dan mairil mengandung konotasi negatif, yaitu sama-sama terlibat dalam hubungan seksual satu jenis kelamin.
Salah seorang pelaku Mairil yang saya kenal dengan baik, bahkan berlanjut setelah lulus dari Pesantrennya di Jawa Barat. Ketika akhirnya menikah ternyata hanya bertahan dua tahun, karena terbukti sang istri dianggurin alias tidak disentuh. Mereka bercerai, istrinya sudah menikah lagi dan setahun kemudian melahirkan. Sementara temanku itu sampai sekarang tidak menikah lagi. Meskipun pengetahuan agamanya sangat bagus, di kampungnya dia seorang ustadz yang cukup disegani.
Lain lagi cerita Munir, bukan nama sebenarnya, ia benar-benar aktivis LGBT, cowok berkulit putih dan berambut panjang ini memegang jaringan utama homoseksual untuk alumni Pesantren. Gila, tapi ini fakta yang sebenarnya. Lelaki berwajah imut ini pernah menyampaikan kepada saya, “alumni-alumni Pesantren yang tidak punya salurannya, kan perlu difasilitasi ustadz, beberapa dari mereka sudah pernah berkencan dengan saya, suka sama suka, tanpa paksaan.”
Stop…✊
Apa yang saya ceritakan bukan yang pertama, Syarifuddin, alumni Pesantren Wonorejo, bahkan pernah menuliskan sebuah buku kontraversial yang diberi judul, “Mairil, Sepenggal kisah biru di Pesantren.”
Budaya Mairil, saya duga, tidak akan segera berakhir, iklim sosiologis Pesantren serta kekurangpedulian pengurus pada fenomena ini, menjadi salah satu indikator dugaan saya. Aktivitas harian yang mempertemukan kelamin sejenis berpeluang melahirkan apa yg disebut dalam istilah Jawa, “witing tresno jalaran songko kulino_cinta tumbuh karena terbiasa.” Tapi kan itu sejenis? Bukankah mereka juga belajar bahwa yang demikian itu diharamkan? Tidakkah materi fikih dan hadits apalagi kitab akhlaq banyak menyinggung persoalan ini? Ya, benar sekali, tapi boleh jadi, ketiadaan lawan jenis di sekitar Pesantren telah membentuk konstruksi seksual yang demikian itu.
Maka, pada saat diberi amanat mendirikan pesantren, hal pertama yang saya lakukan adalah membuat kamar besar yang menampung semua santri, dan menyediakan kamar kakak pendamping di dalam ruangan besar asrama santri itu. Berikutnya adalah mendirikan Asrama putri di area Pesantren besar juga dengan konsep yang sama. Mereka masih bisa berjumpa saat sekolah, apel, makan dan sholat jamaah. Meskipun bukan tanpa hambatan, karena ujian awal adalah banyak santri yang ketahuan berpacaran, meskipun hanya lewat surat-suratan lewat modus “tukar buku pelajaran”, tapi Alhamdulillah seiring waktu semua dapat dikontrol lewat pendampingan. Setiap pekan ada small gathering antara kakak pendamping dengan adik-adik dampingannya. Sejauh ini sih efektif, mereka mulai terbangun spirit mengasihi sebagai keluarga, keluarga besar Pesantren Motivasi Indonesia.
Bukan Penyakit
Budaya Mairil di Pesantren yang tumbuh lewat sebuah sistem yang tak direncanakan namun dibiarkan (karena sejauh ini tidak pernah ada ta’zir khusus atas pelanggaran seperti ini), hal demikian juga terjadi pada kasus tumbuh kembang anak di lingkungan keluarga yang tak sempat mengenali perubahan orientasi seksual anak-anak.
Pada banyak kasus dampingan, saya menemukan “pembiaran” di masa awal sebagai biang keladi paling efektif liarnya orientasi seksual anak. Beberapa data kasus yang pernah saya tangani, Ada anak laki-laki yang tumbuh bersama semua saudaranya yang perempuan, lalu ia berubah orientasi ke arah feminin. Ada juga anak perempuan yang sejak masa kehamilannya dulu diharapkan oleh orang tuanya terlahir laki-laki, faktanya ia lahir sebagai perempuan. Jiwanya labil, di usia remaja ia memilih menjadi perempuan macho, waktu anak ini berumur 14 tahun pernah bertanya kepada saya di mana dokter yang bisa membantunya operasi kelamin, “aku sudah muak terlahir sebagai perempuan ust, jiwaku, lahir batin adalah lelaki.” Begitu kata dia, saya masih mengingatnya dengan jelas.
Ada juga kasus seorang anak yang tumbuh di keluarga religius, ia tumbuh dengan dua saudara lelaki dan lima saudara perempuan, namun sejak kecil memilik fantasi seks yang luar biasa, wajahnya yang standar membuatnya frustasi karena tidak pernah mendapatkan pacar, sehingga suatu waktu mendapatkan pelecehan seksual (baca: sodomi) dari pamannya. Ia berkembang menjadi pecinta laki-laki, namun, usai pendampingan, Alhamdulillah orientasi seksualnya dapat diarahkan untuk kembali normal. Kini ia sudah menikah dengan perempuan yang dicintainya dan telah memberinya keturunan, dua anak kembar perempuan.
Ada lagi kasus keluarga dari minoritas tionghoa, ya Allah temanku ini, meski beda agama mereka orang-orang baik, tapi perlakuan para tetangga kepada mereka sangat keji, tudingan sebagai antek PKI amat menyakitkan. Mereka hijrah dari Jakarta lalu bertekad menjadikan anak-anaknya sukses lewat pendidikan tinggi. Salah satu putranya berhasil menamatkan magister bisnis di Sorbonne University, Paris, lalu tinggal di sana, setelah menikah ternyata ditinggal istrinya yang selingkuh. Tekanan demi tekanan dalam hidupnya membuatnya memilih menjadi Homoseksual. Ia mendapatkan kepuasan batin bersama teman prianya.
Belum lagi cerita seorang teman yang lahir dan besar di tengah dominasi keluarga baik orang tua maupun kakak-kakaknya. Rafi, sebut saja begitu, merasa dikerdilkan, tak punya hak suara, keputusan selalu didominasi oleh keluarganya. Ia bagaikan boneka yang tak boleh protes, meskipun harta berlimpah, tekanan batinnya tak jua dimengerti sehingga ia berjumpa dengan teman lelakinya yang memberinya perhatian, mereka jatuh cinta dan kini tinggal serumah di Amsterdam.
Rumah adalah pesantren kecil. Pesantren adalah rumah besar. Bila di rumah ada ayah, ibu, kakak dan adik, maka di Pesantren ada Kyai, ustadz pendamping dan juga teman-teman sepengajian dan sepergaulan. Di antara keberadaan para subjek di atas ada sebuah sistem nilai dan juga rules yang terkadang tidak berpihak kepada mereka yang berorientasi seksual berbeda.
Bagi saya, homoseksual bukan penyakit, apalagi disejajarkan dengan Schizophrenia. Penderita Schizophrenia dikarenakan kesadarannya yang berubah, seringkali tingkah polah mereka jadi aneh (Bisa tampak lucu, ngoceh sendiri atau paranoid ). Tetapi, bukannya kasihan, orang yang sakit seperti ini justru seringkali jadi bahan tontonan, bahan olok-olok yang seolah asyik.
Kegagalan Parenting
Homoseksual dan Lesbian atau Mairil pada budaya Pesantren maupun di rumah adalah fakta kegagalan parenting. Orang tua dan pengasuh anak boleh jadi terlalu asyik dengan dunianya sehingga tak mengenali disorientasi seksual anak-anaknya. Seiring waktu mereka tumbuh bersama fantasi yang tak bisa dikekang. Pada gilirannya mereka tinggal menunggu bom waktunya; kekecewaan mendalam, selalu disalahkan, dipermalukan di depan umum, kerap menjadi objek bullying dan dikucilkan dalam dominasi lingkungan sekitar.
Semua fakta ini saya beberkan dari sisi kemanusiaan untuk bisa mengenali mereka. Bahwa pilihan menjadi Homoseksual atau Lesbian bukan sesuatu yang baru datang, ada sejuta persoalan yang melatarbelakanginya. Lalu tiba-tiba saja sebagian kita mem-bypass-nya dan tampil sebagai polisi agama menghujat, mencaci, memaki, menyebut mereka gila, menuduh pewaris kaum sodom, pengundang adzab Tuhan dan karenanya harus segera dibumi-hanguskan, sebagaimana dulu kaum Sodom dihancurkan Tuhan.
Saya yakin ada skenario Tuhan yang lebih positif untuk memanggil para pemerhati kemanusiaan, menemukan upaya pendampingan terhebat, bukan dengan legalitas perkawinan antar mereka, tetapi penerimaan atas eksistensi mereka sebagai makhluk Tuhan, manusia seperti kita.
Terkadang, ada sesuatu yang kukhawatirkan, bila ternyata kemudian ada di antara orang terdekat kita yang mengalami itu.. kebanyakan memang perasaan iba bercampur dengan rasa malu tanpa bisa mungkin tidak tahu bagaimana melakukan sesuatu yang bisa mengembalikan mereka, yang ada hanya menyalahkan, mencurigai begitu seterusnya.
Pendampingan terhadap masalah yang sensitif ini tidak pernah terbuka disosialisasikan secara umum dan terbuka, bahkan oleh tokoh agama sekalipun. Sebagian besar akan dicibir karena dianggap mendukung, padahal tujuannya untuk membantu mengatasi masalah ini sampai ke akarnya yang mendalam.
Bahwa ada yang menyebut ini sebagai rekayasa global atau konspirasi internasional menghancurkan Islam, saya rasa terlalu berlebihan, bagaimana tidak, budaya nyempet dan mairil di Pesantren saja masih belum ada penyelesaian. Tokoh agama banyak yang sembunyi di balik busana kesalehan, menyerang dengan hujatan tanpa solusi untuk mengembalikan fitrah mereka. Kasus yang dialami Rahman dan Bowo (dua klien saya yang saya tuturkan pada postingan sebelum ini merupakan fakta tak terbantahkan bahwa rencana taubat mereka saja dimentahkan oleh sebagian kalangan agamawan).
Dompet Cinta
Bila kita mau belajar dari sang utusan, Nabi Muhammad itu sempurnanya seorang teladan. Beliau memiliki spirit kasih yang tak tertandingi oleh manusia manapun di jagat raya ini. Bahkan saat dihancurkan oleh berbagai tipudaya musuh, Sang Nabi tetap saja serius melayani mereka dengan kasih sayang. Sang Nabi benar-benar mengajarkan kepada para penyeru kebajikan untuk memiliki sub-modalitas seperti yang telah beliau contohkan:
1. Equality (kesetaraan). Sang Nabi telah dipilih oleh Allah dari jenis yang sama dengan kita yakni manusia, beliau bukan Jin, bukan pula Malaikat. Karenanya, Nabi tidak diutus kepada umatnya melainkan dengan bahasa kita, kaumnya. Prinsip kesetaraan ini membuat Nabibtak boleh jumawa, meskipun derajat kenabian telah menempatkan beliau sebagai ma’shum (tak tersentuh dosa), tapi meskipun demikian kebiasaan istighfar beliau melebihi kebiasaan semua pengikut ya. Adakah di antara kita yang istighfarnya melebihi Sang Nabi?
2. Empathy (tidak semata-mata perasaan kejiwaan saja, melainkan diikuti perasaan organisme tubuh yang sangat dalam, lebih dari sekedar peduli). Ya, begitulah sang nabi dalam menjalani pendampingan kepada umatnya, sungguh sangat berat terasa olehnya penderitaan yang kita rasakan.
3. Solutif (menyuguhkan jalan keluar). Beliau itu sangat menginginkan keselamatan umatnya, maka sejumlah program dakwah yang mencerahkan dan berorientasi pemberdayaan telah dicanangkan oleh beliau. Beliau kerap menyuguhkan jalan keluar dalam kebingungan yang sedang dialami umatnya. Bukan menghujat apalagi mengutuknya. Kepada mereka yang memusuhinya, sang nabi berdoa, “Ya Allah, tunjukilah mereka, karena sesungghunya merek tidak mengetahui.”
4. Unconditional love (cinta tanpa syarat). Sang Nabi mencintai umatnya lahir batin bahkan menjelang wafatnya beliau berulangkali memanggil-manggil umatnya, ummatiii…ummatiii…ummatiii…. Beliau itu amat besar belas kasihannya serta amat menyayangi kita umatnya.
Duhai para penyeru kebajikan, sudahkan Dompet Cinta-mu terisi penuh dengan empat sub-modalitas kenabian?
Bacalah surat cinta Sang Pencipta yang menegaskan kembali sosok terpilih, Sayyidina Muhammad sebagai teladan kita dalam kehidupan ini:
QS 9/128. Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.
Wallahu A’lam bi ash-shawab
Enha
Talbot Crescent, London
July 1, 2015 03.00 GMT
akun facebook: enha saja


Reply

Use magic Report

 Author| Post time 29-8-2016 04:01 PM | Show all posts
Di Ponorogo ada gemblak, di pesantren ada mairil
Reporter : Anwar Khumaini |




Merdeka.com - Tradisi berperilaku homoseksual ternyata sudah lama terjadi di Indonesia. Di Ponorogo, Jawa Timur, tradisi memelihara gemblak oleh warok adalah hal turun temurun.

Gemblak merupakan bocah laki-laki berusia antara 12-15 tahun. Mereka berparas tampan dan terawat. Bagi seorang warok, memelihara gemblak adalah hal yang wajar dan diterima masyarakat. Konon sesama warok pun pernah beradu kesaktian untuk memperebutkan seorang gemblak idaman dan juga terjadi praktik pinjam meminjam gemblak.

Diyakini, warok akan hilang kesaktiannya jika berhubungan intim dengan perempuan, meskipun itu istrinya. Makanya, mereka memelihara warok dan diperlakukan layaknya sebagai istri.

Di beberapa pesantren, ada juga istilah warok. Namun jika di Ponorogo ada istilah gemblak, maka di pesantren ada sebutan mairil. Definisinya pun tak jauh beda. Mairil diistilahkan sebagai santri putra yang tampan berkulit putih. Mereka yang memiliki wajah ganteng, tampan, imut, dan baby face.

Menurut pengakuan salah satu santri yang pernah nyantri di Kediri, Jawa Timur, santri yang memiliki wajah baby face selalu menjadi incaran dan rebutan santri-santri senior atau biasa disebut warok. Sama halnya dengan warok, tidak jarang antara santri yang satu dan santri yang lain terlibat saling jotos, adu mulut untuk memperebutkan santri tampan.

"Bahkan ada panggilan-panggilan sayang buat santri yang tampan itu. Kalau tampan sekali bisa dipanggil Evie Tamala, atau bisa saja Erie Susan," kata mantan santri yang enggan disebutkan namanya tersebut.

Tapi menurutnya, sebenarnya kebiasaan menyimpang santri ini bukan karena mereka memiliki kelainan seksual. Namun lantaran mereka jarang bersinggungan dengan lawan jenis dalam waktu yang lama, sehingga kebiasaan-kebiasaan itu sebagai pelampiasan saja.

"Pada dasarnya mereka normal, cuma lama gak bersosialisasi dengan perempuan saja, lantaran di pesantren kan dipisah antara pria dan wanita," imbuhnya.

Dalam buku berjudul 'Mairil, Sepenggal Kisah Biru di Pesantren', dijelaskan dengan gamblang kisah kasih terlarang antara para santri tersebut. Namun, fenomena warok dan mairil bukanlah didasarkan atas suka sama suka. Melainkan dilakukan warok secara sembunyi-sembunyi saat si mairil sedang tertidur lelap. Perilaku menyimpang seperti inilah dalam pesantren dikenal dengan istilah 'nyempet'.

Menurut penulis buku, Syarifuddin, nyempet merupakan jenis atau aktivitas pelampiasan seksual dengan kelamin sejenis yang dilakukan seseorang ketika hasrat seksualnya sedang memuncak, sedangkan mairil merupakan perilaku kasih sayang kepada seseorang yang sejenis (halaman 25).

Dalam buku yang diterbitkan oleh P_Idea, Jogjakarta pada tahun 2005 itu, disebutkan perilaku nyempet terjadi secara insidental dan sesaat, sedangkan mairil relatif stabil dan intensitasnya panjang. Namun dalam banyak hal antara nyempet dan mairil mengandung konotasi negatif, yaitu sama-sama terlibat dalam hubungan seksual satu jenis kelamin.


Reply

Use magic Report

You have to log in before you can reply Login | Register

Points Rules

 

ADVERTISEMENT



 

ADVERTISEMENT


 


ADVERTISEMENT
Follow Us

ADVERTISEMENT


Mobile|Archiver|Mobile*default|About Us|CARI Infonet

28-4-2024 02:57 AM GMT+8 , Processed in 0.054830 second(s), 28 queries .

Powered by Discuz! X3.4

Copyright © 2001-2021, Tencent Cloud.

Quick Reply To Top Return to the list