CARI Infonet

 Forgot password?
 Register

ADVERTISEMENT

Author: bintang

Satu Kontrak Pernikahan

[Copy link]
 Author| Post time 9-8-2009 08:59 PM | Show all posts
Post Last Edit by bintang at 1-12-2010 20:39

Menjelang subuh, saat melihat Kamil tertidur meringkuk di kerusi, aku teringat lagi pertengkaran yang menerbitkan kebencian itu. Aku mengimbau kembali setiap kalimat yang kuucapkan, dan aku tiba-tiba terasa malu sendiri. Kenapa semuanya harus terjadi hanya kerana sesuatu seremeh itu. Selama dua puluh tahun persahabatan aku dengan Kamil, hobi dan kegemarannya tidak pernah membuat aku terasa terganggu. Masih banyak hal lain yang menyenangkan darinya. Kenapa aku sampai boleh melupakan semua itu dan membiarkan kemarahan sesaat membutakan aku?


Aku tahu permintaanku wajar. Aku tahu aku berhak meminta Kamil menemaniku ke mana pun. Dan dia juga turut bersalah kepadaku kerana melanjutkan pertengkaran sengal itu. Hanya kerana dia lebih berbesar hati untuk menyingkirkan pertengkaran itu sementara aku kelihatan memupuk dendam dan benci kepadanya. Jadi siapa sebenarnya pemenang dalam permainan ini?


Ketika aku terbangun keesokan paginya, Kamil menyambutku dengan sarapan pagi dan senyum lebar.  Dia membantu aku ke bilik air dan aku tidak membantah ketika dia meminta aku untuk tidak mengunci pintu. Kamil telah menyediakan kerusi dekat sinki agar aku tidak perlu berdiri ketika menggosok gigi. Di rak dia telah menyediakan pakaian bersih untukku dan juga meletakkan bedak dan sikat, hingga saat aku keluar dari bilik air, aku merasa jauh lebih segar dan hidup. Ketika aku kembali ke kamar,  aku melihat cadar tilamku telah diganti, mejaku telah rapi kembali dan bunga di dalam vas dekat tempat tidurku telah diganti dengan yang baru. Ketika Kamil duduk di pinggir ranjangku, menambahkan koko pada air susuku dan mengupaskan telur sarapan pagiku, aku hampir menangis kerana terharu.

“Kau tidak ke pejabat? ”    tanyaku mencuba membuka percakapan;  kata-kata ramah pertama yang kuucapkan kepadanya setelah pertengkaran kami.

“Ini hari minggu, Julia.”

“Aku sudah sakit selama seminggu ?”   bisikku tidak percaya.

“Ya,” Kamil tersenyum.     “Tapi aku gembira kau sudah sembuh sekarang. Aku tidak dapat tenang di pejabat memikirkanmu.”

“Ibu kan ada di sini.”

“Ya. Aku terpaksa memintanya datang. Aku benar-benar tidak dapat meninggalkan pekerjaanku minggu lalu. Maaf.”

Aku menunduk, bersembunyi dari ketulusan di matanya. Ku lihat jam di atas mejaku. Pukul sembilan pagi.

“Tidak main bola?”

Kamil menggeleng sambil menyapu sepotong roti lagi dengan jem blueberry kesukaanku.     “Aku mau memberi kesempatan pada Firdaus. Sudah dua bulan dia cuma duduk di kerusi simpanan.”

Aku tersenyum.

“Dia kurang berani menyerang. Tidak selasak aku. Maklum sudah makin gemuk. Tapi, siapa tahu....”    dia mengangkat bahu dan tersenyum.

“Kau mau pergi memancing petang nanti?”

Dia menggeleng lagi.

“Kenapa?”

“Aku harus memberi kesempatan ikan-ikan itu berkembang biak, Julia. Kalau aku pancing selalu, mereka boleh pupus.”

“Kalau kau memancing lagi, tolong sampaikan terima kasihku kepada mereka, ya.”

“Terima kasih untuk apa?”

Untuk menunjukkan sisi lain dari kamil yang tidak kuketahui sebelumnya, bisik hatiku. Tapi yang keluar dari mulutku adalah;   ”Kerana meminjamkanmu untukku hari ini.”


Senyum Kamil serta merta melebar. Dihulurkannya tangannya dan disentuhnya lenganku.   “Lain kali kalau kau ingin kuhantar ke manapun, bolehkah kau memberitahuku paling kurang sehari sebelumnya? Bukannya aku tidak mahu, tapi kalau aku sudah berjanji dengan kawan-kawanku, aku tidak boleh begitu saja membatalkannya, kan?”

Aku mengangguk dengan leher tersumbat dengan roti bersapu blueberry.

“Aku juga berjanji tidak akan sering menonton filem action lagi,”  katanya kemudian.    “Kita memang perlu lebih sering berbual. Jangan menangis julia, nanti rotimu asin.”
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


Post time 9-8-2009 10:06 PM | Show all posts
bintang... memang x puas baca... kalau dh terbitkan buku, tolong kongsi yer.. milan nk gi beli
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 9-8-2009 10:21 PM | Show all posts
Post Last Edit by bintang at 2-2-2011 10:50
bintang... memang x puas baca... kalau dh terbitkan buku, tolong kongsi yer.. milan nk gi beli
milanhawkin Post at 9-8-2009 22:06


patek menulis sepenuh jiwa....

rasanya kalau nak terbitkan buku kena buat yang lebih baik dari ini...
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 9-8-2009 11:33 PM | Show all posts
Post Last Edit by bintang at 1-12-2010 20:49

Di suatu pagi, sebelum subuh.


“Selamat hari lahir Julia.”

Aku terlonjak duduk dan menyalakan lampu.   “Kamil! Untuk apa kau sepagi ini di bilik aku!”

“Menjadi orang pertama kepadamu mengucapkan selamat hari lahir,”   jawabnya lurus.  Dan dia bangkit dari kerusinya di sisi tempat tidur dan menarikku hingga berdiri. “Mari! Aku mahu menunjukkan hadiah hari lahirmu dari aku!”


Kamil membawaku ke bilik bacaan dan menyuruh aku duduk di depan komputerku. Ada dua komputer di ruangan itu, satu milik Kamil, yang sarat dengan berbagai programming software yang digunakannya untuk bekerja. Dan satu lagi milik aku, lebih sederhana dan tidak secanggih milik kamil.

kamil menyalakan komputerku dan duduk di sebelahku dengan mata berbinar. Sambil tersenyum lucu, aku cuba meneka apa yang telah disiapkan Kamil untukku. Personal website, dengan foto dan lagu? Aku menggeleng dalam hati, Kamil tidak cukup romantis untuk itu.

“Kau nak lihat?” Kamil memotong renunganku.

“Apa?”

“Hadiahku.”


Keningku berkerut. Tidak ada yang berbeza dengan tampilan komputer itu. Dengan ragu kuraih mouse dan mengklik tombol Start. Tidak ada yang berubah. Tapi Kamil ketara sekali menjadi confuse.  Setelah membuka file-fileku dan sekali lagi tidak menemukan apa-pun, aku berpaling kepada Kamil dengan ekspresi tak berdaya.


“Tak jumpa juga?”  tanya Kamil, dengan titik kecewa dalam suaranya.

Aku mengeleng.

“Aku menambah memori komputermu,”   akuinya kemudian. Dan melihat raut wajahku yang tidak berubah, dia menambah;  “Komputermu sekarang boleh bekerja lebih laju.”

Aku ingin sekali berkongsi kegembiraannya. Dia kelihatan begitu bangga dengan hadiahnya, setidaknya beberapa detik yang lalu, sebelum dia sedar bahawa aku kecewa.

“Oh ,”   hanya itu yang dapat aku katakan.   “Terima kasih.”

“Kau  boleh memelukku  kalau mau,”   katanya tersenyum  dan membentangkan kedua tangannya. Ku pukul lengannya dan tertawa. Dan pagi itu berlalu seperti hari-hari kemarin.


Di  pejabat teman-temanku  menyambutku dengan  ucapan selamat  dan senyum pernuh erti.  Ketika aku memasuki bilik kerjaku, aku mengerti kenapa mereka kelihatan seperti menyembunyikan sesuatu. Di meja kerjaku ada sebuah kotak panjang dengan ditutupi reben merah yang cantik. Setangkai mawar putih.  Sesaat jantungku rasanya berhenti berdenyut.  Hati-hati kuambil kad yang diselit pada kotak itu,  lupa seketika kepada teman-temanku yang pasti mengawasi melalui cermin ruang kerjaku.


Selamat ulang tahun. Masih ingatkah kau kepadaku? Jika ya, aku menunggu di tempat biasa.



Mungkinkah?

Aku keluar untuk makan tengahari lebih awal, mengabaikan usikan teman-temanku.  Dalam perjalanan aku kembali memikirkan mawar putih itu. Sejak aku melihatnya, aku tahu semua itu bukan dari Kamil. kamil mustahil seromantis itu. Hanya seorang yang kutahu pernah dan selalu memberiku mawar putih. Dan dia adalah milik masa lalu yang tak pernah kubayangkan dapat dan akan kembali. Tapi pesan itu?


Restoran itu masih seperti yang kukenang. Sederhana dan kelihatan indah di bahagian luarnya;  tetapi bila saja aku masuk, aku menemukan kedamaian dan ketenangan dalam bahagian dalamnya yang lapang dan asli, dengan kolam-kolam kecil berisi teratai merah jambu dan putih serta suara gemericik air terjun buatan di sepanjang batu dindingnya. Tidak ada yang berubah. Dan meja nombor lima itu masih sedikit di sudut,  dihalangi serumpun eulia grass. Ketika aku menghampiri meja itu, aku tidak lagi merasa sebagai Julia yang berusia tiga puluh tahun, yang dewasa dan bekeyakinan, tapi seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun, yang terjebak di antara cinta dan keinginan. Di meja itu seharusnya seseorang menantiku, seperti sepuluh tahun yang silam. Sebahagian hatiku mengingatkan untuk tidak terlalu berharap. Masa lampau mustahil kembali lagi.  Tapi segalanya masih begitu serupa dulu, sehingga aku tidak dapat memisahkan kini dan saat itu. Apalagi saat lelaki di meja itu bangkit menyambutku, dan mengungkapkan namaku;   

“Ju,”  kelembutan suaranya masih kuingat. Dan wajahnya, walau mulai sedikit berkerut, masih seperti yang kukenang.  “Kau datang....”
Reply

Use magic Report

Post time 10-8-2009 07:55 AM | Show all posts
maaf bintang, aku terpanggil untuk membetulkan .  patek  - dalam bahasa bawein indonesia bererti anjing.
seeloknya ejaan nya ialah patik.  teruskan kan menulis aku kagum dengan cara pemikiran kau.
Reply

Use magic Report

Post time 10-8-2009 09:02 AM | Show all posts
citer nie best...stail indon pun ada...
mesti bahagia diorg nie nanti...
kalu free letak n3 lagi k...
Reply

Use magic Report

Follow Us
Post time 10-8-2009 11:16 AM | Show all posts
sekali baca macam cerita indon plak.... bintang ni orang indon ke? sori.. bukan mengutuk ye sebab most of the greatest novel yg milan baca semuanya dari indonesia. so this is a compliment coming from  ...
milanhawkin Post at 8-8-2009 21:17



best....best....best......




tapi aku rasa cam nonton sinetron la plak


Reply

Use magic Report

Post time 10-8-2009 12:18 PM | Show all posts
best....best....best......




tapi aku rasa cam nonton sinetron la plak



yaya130501 Post at 10-8-2009 11:16


Jangan dia letak watak nenek pari-pari dalam cerita ni udah le. Nanti penat plak nak tambah watak pengacara (peguam) plak..
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 10-8-2009 12:20 PM | Show all posts
oooooooooo....... perli ek...

malas patek nk sambung citer...
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 10-8-2009 12:22 PM | Show all posts
maaf bintang, aku terpanggil untuk membetulkan .  patek  - dalam bahasa bawein indonesia bererti anjing.
seeloknya ejaan nya ialah patik.  teruskan kan menulis aku kagum dengan cara pemikiran kau.
sangkuriang Post at 10-8-2009 07:55


oh, begitu ker....  tak tau lak patek, eh... patik...

sebenarnya xde pe pun... sekadar ejaan mengada jek....

btw.. thanks dgn teguran dan dapat menambah ilmu lak...
Reply

Use magic Report

Post time 10-8-2009 12:33 PM | Show all posts
bintang..sambung lagik yer...
Reply

Use magic Report

Post time 10-8-2009 01:08 PM | Show all posts
bintang jgnlah merajuk...
cepatlah letak n3 lagi...
Reply

Use magic Report

Post time 10-8-2009 01:51 PM | Show all posts
bintang betul2 merajuk ker...
citer nie best sangat...
harap bintang cepat2 sambung ye...
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 10-8-2009 03:07 PM | Show all posts
Post Last Edit by bintang at 1-12-2010 21:03

“Hai, Idan,”   sapaku sambil duduk di hadapannya, tanpa melepaskan mataku dari senyumnya.  Aku tiba-tiba sedar dengan rasa rindu yang lama tak pernah  kuendahkan, dahaga yang bertahun-tahun tak aku izinkan untuk ada. Perasaanku berkecamuk.

“Terima kasih mawarnya,” ujarku, sedatar yang mampu kulakukan. Sayangnya getaran di suaraku memaparkan semuanya.

“Kau masih ingat...”

“Aku tak dapat lupa, meski mau sekali pun,”  katanya tersenyum.

“Bila kau pulang?”

“Pagi tadi.”

“Dengan anak isterimu?”

Hamdan tertawa kecil.  “Ini agak memalukan.  Aku... masih sendiri, Ju.”   Jawapannya begitu mengejutkan aku sehingga sesaat aku tidak tahu harus mengatakan apa.

“Aku tidak dapat membayangkan bernikah dengan siapa pun selain dengan kau,”   senyumnya padam dan di matanya bergelora penuh pesona yang pernah dan mungkin masih boleh meluluhkan hatiku.   “Sepuluh tahun aku mencari, dan aku tetap tidak dapat menemukan penggantimu.”

Aku tertunduk, bibirku terkatup rapat. Sepuluh tahun lalu, di tempat ini juga, dia melamar aku, dan aku menolak. Aku tak dapat membiarkan peluang karier yang telah susah payah kurebut tersia-sia begitu saja, biarpun untuk satu-satunya lelaki yang ingin ku nikahi.  Aku tak bersedia hanya menjadi bayangannya, terperangkap dan layu di negeri asing, walau dia adalah orang yang menguasai separuh jiwaku. Dan dia pergi. Di awal perpisahan surat-suratnya datang dengan teratur, tak satu pun aku balas. Bertahun-tahun dia tetap mengirim kad ulang tahun dan kad lebaran, yang semua kubakar, sampai aku tidak lagi peduli, sampai suatu hari tidak ada lagi poskad yang datang.  Dan dengan sedih aku harus mengakui bahawa lelaki sesempurna Hamdan pun suatu ketika akan melupakan aku.

“Kau sendiri bagaimana, Ju?”

“Aku sekarang fashion designer,”  ujarku pelan.

“Patutlah... kau sungguh berketerampilan dan anggun sekali!”  Dia kedengaran tulus, tapi di hatiku kata itu menyakiti.   “Aku selalu yakin kau yang terbaik untuk pekerjaan itu.”

“Kau pernah ingin merenggutku dari ini semua,”  ujarku perlahan.  Apa jadinya kalau dulu aku katakan “ya ”?   Sepuluh tahun bersama Hamdan, seperti apa?

Dia menggeleng.  “Aku hanya memintamu memilih.”

Matanya tertambat pada cincin di jari manisku. Suaranya pelan saat dia bertanya,   ”Kau sudah bernikah?”

Aku mengangguk. Hamdan tertawa kecil, agak gugup.   “Siapa?”   tanyanya pelan.

“Kamil,”  jawabku kaku.

“Kamil..? Kamil kawanmu?”

“Sahabatku.”

“Sahabatmu..”    desahnya.    “Sudah berapa anak?”

Aku menggeleng.    “Belum ada,”   bisikku.

Hamdan menatapku dalam. Sesekali dia nampak seolah akan berkata sesuatu, tapi dia berhenti.  Akhirnya, dengan senyum kecil dia mengeluarkan sebuah kotak mungil dari sakunya.

“Aku…,”   dibukanya kotak itu.   “…Aku sendiri menganggap diriku gila, kerana membawakanmu ini. Tapi... Ju..., maaf kalau aku terus-terang seperti ini, dibenakku kau masih Ju aku yang dulu. Aku tahu dalam sepuluh tahun segalanya boleh terjadi dan kau pastinya sudah bernikah. Tapi….”   Dikeluarkannya sebuah gelang kecil berhias batu mulia. Aku terkesima.

“Aku tahu kau suka perhiasan antik. Ada kenalan yang membuka kedai barang antik di Munich. Aku membeli ini darinya,”   tanpa meminta izinku, dia telah memasangkan gelang itu di tanganku.

“Terima kasih,”    gumamku terpesona.   “Cantik sekali.”

“Kau suka?”

Aku mengangguk. Dan teringat lagi hadiah ulang tahun dari Kamil.

“Kau…. Tak perlu susah-susah begini…,”    suaraku keluar dengan susah payah.

“Sebenarlnya aku mahu membeli untukmu karpet antik yang aku yakin akan buat kau tergila-gila. Aku sudah pun membelinya kerana itu mengingatkan aku padamu. Setiapkali  aku berbelanja barang antik aku tidak dapat tidak mengingatkan kau,”   dia tertawa kecil.    “Tapi aku tidak dapat membawanya ke sini. Barang aku sudah terlalu banyak. Mamaku memesan ole-ole untuk semua sanak saudara terdekat.”

Aku tersenyum kecil. Tapi dalam benakku bertaut pertanyaan demi pertanyaan. Apakah Kamil tahu hadiah seperti apa yang akan membuatku bahagia? Apakah dia mengenal selera dan kegemaranku? Aku menggeleng dalam hati. Tidak. Tidak .
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 10-8-2009 03:08 PM | Show all posts
bintang betul2 merajuk ker...
citer nie best sangat...
harap bintang cepat2 sambung ye...
zue_isma Post at 10-8-2009 13:51


dah ada org pujuk, leh sambung balik...
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 10-8-2009 03:17 PM | Show all posts
Post Last Edit by bintang at 1-12-2010 21:07

Hamdan bercerita panjang lebar tentang bisnes yang dilakukannya di Jerman. Aku kembali diingatkan tentang kecerdasan dan keluasan wawasannya. Apa lagi sepuluh tahun berada di negara lain telah menjadikan Hamdan yang dulu kukenal lembut dan peka, semakin lapang hati dan terbuka. Kalau ada yang berubah dalam dirinya, semua itu hanya menjadikannya sempurna. Dan fikiran itu menorehkan ngeri di hatiku. Sudah terlambat, keluhku kepada diri sendiri. Hamdan bercerita tentang barang-barang antik yang juga menjadi salah satu hobinya.

  
“Kalau kau bersama aku, Ju,”   katanya dengan mata bersinar.   “Kita dapat menghabiskan waktu menjelajah Europe  mencari barang antik….”
Ia melihat ekspresi wajahku dan berhenti berkata.  “Maaf,” katanya sejenak kemudian.

“Aku kena balik ke pejabat,” gumamku kaku.

“Baiklah. Mahu aku hantar?”

“Aku ada kereta.”

Hamdan menahan tanganku saat aku hendak berdiri;

“Ju, aku tahu semuanya berbeza sekarang. Tapi, kalau kau tidak keberatan, dapatkah kita bertemu lagi sekali-sekala selama aku di sini?   Aku perlu teman yang dapat membawaku berjalan-jalan mengunjungi pasar seni.”

Undangan yang sangat menggoda, yang memenuhi benakku serta merta dengan masa lalu. kalaulah aku dapat mengucapkan ya....
Hamdan membaca keraguanku dan sesaat sorot matanya meredup.

“Kita boleh jalan-jalan bertiga, kau, Kamil dan aku,”  katanya.   “Aku tidak punya ramai teman di sini.”

“ Aku fikir dulu,”  jawabku cepat-cepat, sebelum hatiku dikuasai kehausan untuk semakin lama dengan Hamdan.

Hamdan menyeluk sakunya dan mengeluarkan sekeping kad nama. Di belakangnya tertera sederet nombor.   “Hubungi aku kalau kau bersedia.   Aku tunggu.”


Malamnya aku berbaring di kamar, menatap kad itu dalam-dalam seperti gadis remaja yang sedang mabuk kepayang.  Aku bukan remaja lagi dan seharusnya aku lebih dapat menguasai diriku sendiri. Tapi aku tidak dapat membohongi hatiku sendiri. Kehadiran Hamdan membangkitkan lagi semua harapan dan khayalan yang kukira telah lama lenyap. Tapi masih adakah kemungkinan antara aku dan Hamdan? Hamdan mengira dan aku telah meyakinkannya, kalau aku telah bernikah dan  segalanya telah berakhir. Yang dia tidak ketahui, pernikahanku dengan Kamil hanya sebuah permainan yang boleh kusudahi bila pun aku mahu. Tapi, kalau pun dia tahu, apakah segalanya akan berbeza? Apa kata Hamdan nanti kalau aku menceritakan semua padanya?


Aku tidak ingin memikirkan Hamdan lagi. Apa yang kuharapkan bersamanya mustahil terjadi. Tapi, hidup dengan Kamil seperti ini selamanya juga tidak mungkin. Semua ini hanya sandiwara yang akan berakhir, cepat atau lambat. Apakah kembalinya Hamdan suatu kesempatan kedua yang semestinya kucapai kerana mungkin tidak akan pernah ada lagi? Tapi bagaimana?


Kiriman bunga kedua datang dua hari kemudian.


’Aku memikirkanmu.’



Tahukah dia bahawa aku pun tak dapat menghapuskan senyum, mata, wajah dan suaranya dari benakku?

Kotak mawar yang ketiga datang di akhir petang.


’Maaf kalau kau menganggap aku melampau kerana terus mencintaimu. Tapi dapatkah kau menghentikan badai?’



Aku tak dapat. Aku bahkan tak kuasa membendung gemuruh di hatiku sendiri. Aku ingin bersamanya, selamanya. Dan itu mustahil.

Petang itu, sebelum aku pulang, ku tekan nombor yang telah kuhafal.
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 10-8-2009 04:04 PM | Show all posts
Post Last Edit by bintang at 1-12-2010 21:23

“Kalau kau ada masa, kita boleh melihat pameran lukisan di galeri baru dekat pejabat aku.”

“Aku sering punyai masa selalu denganmu, Ju.”

Dan esok harinya kuhabiskan bersama Hamdan, memperkatakan tentang lukisan dan perkara lain yang berkaitan dengan seni, sesuatu yang lama ingin kuulangi lagi.  Aku tidak dapat menafikan betapa menyenangkannya dapat berbual dengan Hamdan, membicarakan seribu satu hal yang tak pernah kusentuh saat bersama Kamil. Setelah lama membicarakan perihal seni, Hamdan tiba-tiba bertanya.


“Kenapa kau menikah dengan Kamil?”

“Kenapa kau tanya?”

“Seingat aku, dia bukan lelaki pilihan kau.”   

Aku tertunduk.

“Kenapa, Ju?”

“Kamil mencintaiku,” bisikku pelan.

“Dan kau.... mencintai dia?”

Kebisuanku memberinya jawapan.

“Kau bahagia?” lanjutnya lembut.

Kutatap matanya yang teduh dan hangat. “Ya.”

“Jangan berbohong.”

“Kamil suami yang baik.”

“Dan kau bahagia?”

Bagaimanakah untuk mengatakan bahawa aku tidak pernah merasa sebahagia saat itu, menghabiskan waktu bersamanya...

“Berapa lama kau bernikah dengan Kamil?”

“Setahun.”

“Maaf kalau ini menyinggung perasaan. Adakan kau menikahinya kerana terpaksa? Kerana usia dan….”

“Stop.”

Aku bangun dan meninggalkannya.





=====================================================================




Handphone ku berbunyi, - 1 message Idan;


’Maafkan aku kalau perasaanmu terluka kerana pertanyaanku. Tapi dapatkah
kau renungkan perasaanku sendiri? Bagaimana hatiku terseksa ketika tahu
pernikahan tidak membuatmu bahagia?’



Handphone itu bergetar di tanganku dan hurufnya kabur dalam genangan air mataku.


“Julia,”  tanya sekretariku yang entah bila, telah memasuki ruangan.

“Ada apa?”

“Tidak apa-apa,”   bisikku, cuba mendalihkan diri.  “Tolong keluar sebentar. Aku nak telepon Kamil.”

Setelah dia keluar, dengan kepayahan aku dial nombor pejabat Kamil. Aku tiba-tiba sedar bahawa sejak bernikah dengannya aku tidak pernah mengadu dan bertanya kepadanya tentang segala hal yang bersangkut hati dan perasaan. Dan kini, aku tahu aku sangat memerlukankannya, seperti dulu, sebelum dia menjadi suami kontrakku.

“Mil.”

“Julia? Ada apa pagi-pagi begini?”

“Aku …. Kau tahu …, ” aku terkedu. Bagaimana hendak menceritakan kepada suamiku  - walaupun hanya kontrak -  bahawa aku sedang dirundung mabuk asmara kepada lelaki lain? Kamil tidak akan marah, aku tahu. Dia tidak berhak untuk itu. Tapi semua itu tidak membuat segalanya mudah. Ia bukan lagi sekadar seorang sahabat tempat curahan keluh kesah dan semua masalahku.  Kamil adalah suamiku, kontrak atau bukan sekalipun. Dan menceritakan hal seperti kad dari Hamdan dan bunga mawar putihnya terasa sangat tidak elok dan kejam untuk dilakukan.


“Ya? Ada apa Julia?” desak Kamil.

“Aku....  Kamil, kau kenal Ain, kan?”

“Sekretari kau tu? Tentu.”

“Bekas kekasihnya yang pilot itu balik.”

“Lalu?”

“Sekarang mereka sering bertemu. Suami Ain tidak tahu, tentu. Tapi sekarang Ain bingung. Dia mengaku jatuh cinta lagi dengan bekas kekasihnya itu. Dan si bekas kekasihnya ini pun ingin menikahi Ain.”

“Tapi Ain sudah punya anak dua kan?”

“Ya. Tapi menurut si pilot ini, anak bukan masalah. Mereka boleh memilih untuk tinggal dengan siapa.”

“Tak faham aku. Apa pula hubungannya semua itu dengan kau?”

Aku menghela nafas.     “Ain bertanya apa yang mesti dia lakukan. Aku tak boleh menjawab.”

“Dan kau bertanya pada tok gurumu. Baik. Eh! Tunggu sekejap...” meskipun Kamil  menutup corong telefon, aku dapat mendengar dia berteriak kepada seseorang di hujung sana,   “Tunggu sebentar, ini isteri aku! Ya, mulailah dulu. Aku menyusul nanti...”  

Isteriku. Aku isterinya. Isterinya. Dan jantungku rasanya terposok ke dalam bumi.

“Maaf.  Mereka benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa tanpa aku..”  suara Kamil kembali di telefon.

“Kerana kau yang membuatkan kopi?”  saja aku mengusiknya.

“Kau...!”  kamil ketawa, kemudian kembali serius.   “…Aku fikir Ain dan kekasihnya terlalu pentingkan diri. Mereka tidak boleh lagi hanya memikirkan keinginan mereka sendiri. Suami Ain dan anak-anaknya juga harus difikirkan...”
Reply

Use magic Report

Post time 10-8-2009 04:51 PM | Show all posts
ya, diletai lagi n3nya...
Reply

Use magic Report

Post time 10-8-2009 08:30 PM | Show all posts
www.sea5173.com the real trading platfrom for all the products and services related to web games, you can post your selling and buying information here
www.sea5173.com the lowest price for all the web games' products. top-up now, and get more free
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 10-8-2009 10:37 PM | Show all posts
Post Last Edit by bintang at 1-12-2010 21:27

“…Tapi kalau Ain tidak bahagia lagi untuk bersama dengan suaminya, apakah perkahwinan itu harus dan boleh dipertahankan?”

“Sebaiknya kau tanya Ain, adakah dia benar-benar mencintai bekas kekasihnya itu, atau mereka hanya terpesona dengan nostalgia masa lalu? Adakah mereka benar-benar saling memerlukan atau mereka hanya ingin mengulang keindahan masa bercinta mereka dulu? Kalau hanya itu yang mereka inginkan, mereka akan kecewa kalau terus bersama, kerana Ain dan kekasihnya sudah menjadi orang yang lain kini, lebih dewasa, bukan lagi remaja yang masih hijau.''

“Ain cakap dia hanya mencintai lelaki itu, bukan suaminya. Dia tidak pernah mencintai suaminya.”

“Kalau begitu kenapa dulu dia bernikah?”

“Keadaan.”

“Maksudnya?”

“Adik-adiknya sudah nak bernikah semua, tapi mak bapaknya tidak mengizinkan kerana mereka tidak mau Ain dilangkahi.”

“Isk. Kasihan sekali.”

“Jadi bagaimana?”

Kamil diam sejenak.   “Aku tidak tahu, Julia. Yang aku tahu, aku tidak mahu jadi penyebab ketidakbahagiaan seseorang. Kalau aku sarankan Ain untuk meninggalkan kekasihnya, siapa tahu dia tidak pernah rasa bahagia kerana merasa terpaksa terus bersama suaminya. Kalau dia meninggalkan suaminya, aku juga tidak menjamin dia akan bahagia dengan orang yang hanya mengenalnya di permukaan, tidak segalanya, seperti suaminya.”

“Lantas aku mesti cakap apa?”

“Sampaikan saja petuaku ini kepada Ain. Cakap saja ini saranan dari pakar pernikahan kelas A yang reputasinya tidak diragukan lagi.”

“Kau sama sekali tidak membantu,”  desahku.

“Ini bukan atap bocor atau tv rosak yang boleh diperbaiki begitu saja, Julia. Sedangkan membaiki tv rosak aku tak boleh, jangan lagi menanggani rumahtangga orang.”

“Bodohnya.... aku bertanya kepada kau...”

“Itulah, Julia. Aku sendiri hairan kenapa aku mau membuang waktuku dan terpaksa terlambat hadiri mesyuarat semata-mata untuk memberikan saranan yang tak berguna.”

Aku ketawa pahit.   “Ya, sudahlah.... Pergilah buat kopi sekarang..... Terima kasih untuk saranan dan waktumu.”

“Sama-sama..... eh! Bosku ke sini. Aku harus cepat. I love you, darling!”  Dia berteriak. Lalu aku dengar suaranya, sedikit jauh dari telefon.

“Iya, bos, sekejap.... Isteri saya......”

Aku letak telefon, tiba-tiba merasa begitu dingin dan sepi
.

’’Kita tidak boleh bertemu lagi Idan,”   ujarku kepada Hamdan di telefon. Separuh jiwaku terasa terbang dan hilang saat kata-kata itu kuucapkan.

“Kenapa? Kamil melarangmu?”

“Dia tidak tahu apa-apa.”

“Kenapa kau terus memikirkan dia, Ju. Fikirkan dirimu sendiri. Apakah kau mahu menghabiskan hidupmu dengan orang yang tidak kau cintai... sedangkan dengan aku kau boleh mendapatkan semuanya..?”

Kugigit bibir saat setitis air bergulir di pipiku.

“Ju, akuilah. Aku menemukan separuh hatiku kepadamu, dan hidupmu tentunya akan lengkap dengan aku. Selama ini, aku sendirian dan kau dengan Kamil, hidup kita hanya mimpi, cacat, tempang. Dan kita baru akan memulai hidup, setelah kita bersama. Saat ini kau tidak punya apa-apa, Ju, tidak ada masa depan, tapi berdua, kita akan miliki segalanya ….”

''Cukuplah....,” potongku dengan suara bergetar.

“Kalau kau minta aku untuk berhenti berusaha mendapatkan kau lagi, kau hanya buang waktu dan tenaga. Kau tahu aku tidak semudah itu disuruh undur. Ini bersangkut paut sisa hidupku dan hidupmu. Tidak ada yang lebih penting dari itu dan aku tidak akan berhenti sampai kau kembali padaku.”

“Aku tidak boleh ….”

“Kenapa tidak?”


Ya, kenapa tidak? Pernikahan ini hanya sebuah permainan. Menyenangkan? memang. Tapi tetap hanya sekadar sandiwara. Tapi kenapa rasanya berat sekali memutuskannya?


“Kau tidak mencintai Kamil, Ju. Kau berbeza dengan dia, jadi bukan kesalahan kau kalau kau tidak boleh mencintai dia. Satu-satunya perasaan yang layak kau simpan untuknya cuma kasihan, kerana dia tidak akan pernah boleh mendapatkan hatimu dan dia akan selamanya bernikah dengan perempuan yang mencintai lelaki lain.”
Reply

Use magic Report

You have to log in before you can reply Login | Register

Points Rules

 

ADVERTISEMENT



 

ADVERTISEMENT


 


ADVERTISEMENT
Follow Us

ADVERTISEMENT


Mobile|Archiver|Mobile*default|About Us|CARI Infonet

26-4-2024 01:01 PM GMT+8 , Processed in 0.090191 second(s), 42 queries .

Powered by Discuz! X3.4

Copyright © 2001-2021, Tencent Cloud.

Quick Reply To Top Return to the list