Mengapa Perempuan Barat Bergabung dengan ISIS?Rabu, 8 Oktober 2014 | 16:46 WIB
 BBC Khadijah Dare dari London Selatan bersama suami Abu Bakr.
Oleh: Dr Katherine Brown*
KOMPAS.com — Sebanyak 50 sampai 60 perempuan Inggris diduga bertolak ke Suriah melalui Turki untuk bergabung dengan kelompok militan ekstremis yang menamakan dirinya Negara Islam atau ISIS. Pada saat tiba di sana, mereka bergabung dengan perempuan lain yang datang dari berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, Austria, Perancis, Belanda, Kanada, Norwegia, dan Swedia.
Mengapa para perempuan dari negara-negara Barat ini mau bergabung dengan ISIS?
Banyak dari kisah para perempuan ini tersedia di media sosial, di Twitter, Tumblr, LinkedIn, dan Ask.fm.
Dari cerita-cerita ini, jelas terlihat bahwa pengaruh jejaring sosial sangatlah besar. Jaringan media sosial bukan hanya memberikan nasihat, dukungan, dan bantuan untuk melakukan perjalanan, melainkan juga merupakan sumber propaganda bagi ISIS, dengan menampilkan gagasan mengenai betapa idealnya kehidupan Islamis dan jihad.
Gabung dengan suami
Pada awalnya, sejumlah perempuan bertolak ke Suriah untuk bergabung dengan suami mereka yang memang sudah bertempur untuk ISIS.
Khadijah Dare misalnya. Perempuan usia 22 tahun dari daerah selatan London, yang dikenal karena kicauannya di Twitter bahwa dia ingin menjadi perempuan pertama yang membunuh sandera Barat, pergi ke Suriah setelah mengatur rencana untuk menikahi petempur ISIS asal Swedia, Abu Bakr.
Dalam kasus seperti ini, keluarga menjadi fasilitator penting bagi keberangkatan mereka.
Dalam kasus lainnya, jejaring online "memfasilitasi" perjalanan mereka dan "membantu" mengoordinasikan mereka dengan komunitas pendatang asing, begitu mereka tiba di tempat tujuan.
Perjalanan internasional mudah diakses dan punya biaya yang terjangkau sehingga memudahkan perencanaan secara online ini.
Pengantin jihad
Gagasan tentang "pengantin jihad" yang berangkat ke Suriah untuk menikahi petempur ISIS memang kini sedang ramai disorot di media Barat.
Beberapa keluarga di Perancis, yang memiliki anak perempuan yang pergi ke Suriah, menerima telepon dari para pria Suriah yang meminta izin menikahi putri mereka. Sebaliknya, akunonline dari para pria anggota ISIS kelihatannya juga dibombardir permintaan para wanita yang ingin menjadi istri mereka.
Mia Bloom dari Pusat Studi Terorisme dan Keamanan di Universitas Massachusetts Lowell berargumentasi bahwa perempuan dipandang hanya sebagai "pabrik bayi" dengan tujuan mengisi jumlah penduduk negara Islam yang "murni" dan baru.
Namun, hal ini tidak berarti bahwa para wanita muda hanya ingin mendapatkan suami. Konsep "pengantin jihad" hanya merupakan sebagian dari cerita yang lengkap.
Ada sisi lain yang juga mendorong mereka memutuskan untuk berangkat ke Suriah. Perempuan ingin bergabung dengan ISIS karena adanya utopia politik baru, yakni berpartisipasi dalam jihad dan menjadi bagian dari pembentukan negara Islam yang baru.
Romantisme naif
Romantisme merupakan hal yang banyak tecermin dalam pernyataan para wanita mengenai keterlibatan mereka dalam proyek politik ini, dengan versi baru "kehidupan yang baik" berdasarkan ide Islam dan hukum syariah.
Anggapan bahwa dunia Barat tidak mampu memberikan kepada kaum Muslim muda, perasaan ikut memiliki, serta tujuan dan nilai sebagai Muslim dan warga negara, banyak ditulis dalam pernyataan online para perempuan jihad.
"Saya selalu ingin hidup di bawah hukum syariah. Di Eropa, hal ini tidak akan terjadi," ujar seorang perempuan asal Belanda bernama Khadija.
Para perempuan ini berbicara tentang kegagalan masyarakat Barat, menceritakan dengan negatif tentang pembatasan yang mereka alami untuk menjalankan agama mereka (misalnya, pelarangan mengenakan burka di Perancis), dan mengkritik sistem politik.
Namun, paradoksnya, walau mengutip Al Quran dalam pernyataan mereka, hanya ada sedikit tanda bahwa mereka memang benar-benar memahami tentang konflik yang terjadi, atau bahkan mengenai hukum syariah atau Islam.
Cerita-cerita yang diungkapkan para wanita yang meninggalkan negara Barat untuk bergabung dengan ISIS di Suriah menggarisbawahi kombinasi alasan politik dan pribadi yang mendasari keputusan mereka, dan sekaligus mengindikasikan motivasi mereka yang diwarnai romantisme naif.
*Dr Katherine Brown, pengajar Studi Pertahanan di King's College London.

by NICK HALLETT 7 Oct 2014 POST A COMMENT
The BBC has published a report detailing the reasons why Western women are drawn to Iraq and Syria to join jihad.The report by Dr Katherine Brown of Kings College London cites examples of numerous women, saying that social media has played a big role in radicalising them and allowing them to spread their message. Using networks such as Twitter, Tumblr, LinkedIn and Ask.fm, they speak of mundane domestic life in the war zone. One female medic tweeted in January: "Stethoscope around my neck and kalash on my shoulder. Martyrdom is my highest dream," while others have spoken about cooking, doing housework, meeting friends for coffee and being mothers. Online networks are also helping them make contacts in order to facilitate travel and place them within expat communities once they arrive. French families even report receiving phone calls from men in Syria asking for their daughters' hand in marriage, while social media accounts of male fighters have reportedly been bombarded with women asking to be their bride. Online interactions also create a sense of romanticism about travelling to help found a new state and live a utopian dream. Within the Islamic State, women can take a variety of jobs, including joining Raqqa's Al-Khansaa brigade, an all-women 'police force' that enforces a strict interpretation of Sharia law in public. It was allegedly set up by British women. This is combined with sense of disillusionment with life in their countries of origin, and a feeling that they will fit in better elsewhere. For example, one Dutch woman told the US-based Al-Monitor: "I always wanted to live under Sharia. In Europe, this will never happen.
However, the report also found that the women appear to know little about Islamic law and the wider the conflict in the Middle East. Br Brown concludes that they are motived more by "naïve romanticism" than a full knowledge of what they are getting themselves into.
|