|
INDONESIA - defence and military issues (PART IV-R.P.9]
[Copy link]
|
|
Post Last Edit by wongedandotcom2 at 28-5-2011 17:08
Kapal Perang Rusia Berlabuh di Makassar
MAKASSAR, KOMPAS.com - Dalam rangka membangun hubungan bilateral Rusia dan Indonesia di bidang keamanan, kedua negara sepakat menggelar latihan perang antipembajakan di perairan di Indonesia.
Kapal perang Admiral Panteleyel dan Foliy Krylov telah merapat di Makasar untuk kunjungan selama lima hari, Sejak Rabu (25/5/2011). Kapal perang Rusia Admiral Panteleyel dikenal dengan kapal perusak Rusia dari Armada Pasifik dipandu kapal Foliy Krylov, berlabuh di dermaga peti kemas Pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar, pukul 9.00 wita, pagi tadi.
"Kunjungan kapal perang Rusia, untuk mengadakan latihan dengan TNI AL Indonesia untuk latihan antipembajakan. Dua negara ini punya peristiwa yang sama dalam kasus perampokan kapal di Perairan Somalia," kata Kolonel Maxim Lukiyano, Atase Pertahanan Federasi Rusia untuk Indonesia.
Pasukan Angkatan Laut Rusia mendapat sambutan meriah dari perwakilan Angkatan Laut Lantamal VI Makassar dengan tarian khas Sulawesi Selatan, layaknya kunjungan resmi para tamu asing.
Berdasarkan catatan Kompas.com, kapal MV Sinar Kudus yang berbendera Indonesia dibajak di Semenanjung Somali. Sedangkan di tahun 2009, kapal tangker Rusia dibajak perampok Somalia di lepas pantai Somalia, dalam perjalanan ke Singapura.
"Admiral Panteleyev ini punya pengalaman dan kemampuan membebaskan sandera kapal dan ABK. Kami ingin berbagi pengalaman, " kata kapten Victor V. Sokolov, Kapten Kapal Admiral Panteleyev.
Berbagai agenda kegiatan, di antaranya seminar anti perampokan dan simulasi bersama perang antara kapal perang Admiral Panteleyer dan KRI Oswald di Selat Makassar, menghadapi bajak laut.
[B]Di akhir kunjungan, pihak Rusia juga mengizinkan warga Makassar untuk berkunjung ke atas kapal perang.[/B] Kapal perang ini bermuatan 300 ABK dengan panjang 163.5 meter dengan lebar 19.3 meter, kedalaman 7,8 meter. Beban kapal seberat 6700 ton dengan kecepatan 35 knots (40 mph/ 65 km per jam). Jarak tempuh jelajah sekitar 10.500 nautical, jenis kapal perang destroyer ASW.
Sedangkan kapal sipil jenis tunda sebagai pemandu bermuatan 60 ABK dan panjang kapal 98,2 meter lebar 19,4 meter kedalaman 7,2 meter. Kecapatan kapal sekitar 8,7 knot.
sumber: http://regional.kompas.com/read/ ... erlabuh.di.Makassar |
|
|
|
|
|
|
|
Post Last Edit by wongedandotcom2 at 28-5-2011 17:15
China's Premier Wen Jiabao (L) walks with officials after laying a wreath at Kalibata Heroes military cemetery in Jakarta April 29, 2011. China is likely to offer around $10 billion in loans for investment in Indonesian infrastructure and manufacturing during a visit to Jakarta by Premier Wen this week, as it seeks to boost trade and gain access to resources. Wen is on a two-day official visit to Indonesia. |
|
|
|
|
|
|
|
Reply 464# wongedandotcom2
|
|
|
|
|
|
|
|
Kontingen Garuda Kongo Kebanjiran Order Pekerjaan Jalan
Pada tanggal 6 Mei 2011, saya bersama seorang perwira staf Lettu Pnb Triwanto mewakili komandan menghadiri undangan rapat dari kantor UN agencies yang ada di wilayah Dungu. Beberapa perwakilan UN agency yang hadir antara lain WHO, IOM, MSF, UNICEF, WFP, dan UNHCR. Hadir juga beberapa perwakilan administrator teritorial lokal, diantaranya Dungu, Ganggala, Faradje, Aba, Durba dan Watsa. Dalam pertemuan tersebut, UN Agencies dan perwakilan otoritas lokal mendesak Indonesia agar melanjutkan proyek pembukaan jalannya dari arah Faradje ke Durba dan Watsa, dua wilayah yang mendekatkan teritorial Dungu ke Uganda. Sebelumnya, Indonesia telah hampir menyelesaikan proyek pembukaan jalan dari Dungu ke Faradje dan saat ini telah bersiap untuk memulai dengan tugas pembukaan jalan yang baru yang akan diberikan oleh MONUSCO.
Ada dua opsi tugas pembukaan jalan yang saat ini sedang menanti. Yang pertama jalan Dungu-Duru yang menuju ke arah Sudan Selatan dan opsi kedua adalah jalan Faradje-Durba-Watsa yang menuju ke arah Uganda.
Saat ini sebenarnya jalan Faradje-Durba sedang dikerjakan oleh Kontingen Nepal, akan tetapi otoritas lokal dan Un agencies yang ada di wilayah tersebut meminta agar pekerjaan itu diambil alih oleh Kontingen Indonesia karena mereka menganggap hasil pekerjaan Kontingen Indonesia lebih baik setelah melihat hasil kerja Kontingen Indonesia di ruas jalan Dungu-Faradje yang menurut mereka sangat luar biasa.
Mereka meminta agar Indonesia memperbaiki dan membuat ruas jalan menuju Uganda karena saat ini Uganda menjadi satu-satunya sumber ekonomi dan logistik untuk wilayah Kongo bagian timur. “Dengan membuat dan memperbaiki rute jalan tersebut, jalur perekonomian dan logistik dari Uganda akan lebih lancar dan akan mengembangkan ekonomi rakyat”, kata William, perwakilan IOM. Wadan Satgas menanggapi permintaan mereka dengan menyampaikan bahwa semua keputusan berada di tangan Brigade Ituri, satuan di bawah MONUSCO di mana Kontingen Garuda XX-H saat ini bertugas. Saya sendiri menyampaikan ucapan terima kasih atas kepercayaan masyarakat lokal terhadap kinerja dan performa Kontingen Garuda XX-H dan berjanji akan menyampaikan aspirasi masyarakat lokal kepada otoritas MONUSCO. |
|
|
|
|
|
|
|
Post Last Edit by btm09me at 30-5-2011 01:25
Kasum TNI Kunjungi Prajurit TNI Di Kongo
(Kongo-Afrika, 27 Mei 2011). Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Letnan Jenderal TNI Suryo Prabowo secara langsung melihat kondisi Prajurit Kompi Zeni TNI Kontingen Garuda XX-H/MONUSCO yang tergabung dalam (Mission de l’Organisation des Nations Unies Pour La Stabilization en République Démocratique du Congo MONUSCO, misi PBB di Kongo) . Kasum TNI didampingi Dansatgas Kizi TNI Konga XX-H/MONUSCO Letkol Czi Widiyanto, Wadansatgas Mayor Czi Bambang Iswandaru dan beberapa Perwira Staf.
Pada kunjungan tersebut, Kasum TNI dan rombongan melakukan peninjauan ke lokasi pekerjaan jalan Dungu-Faradje yang merupakan agenda utama dalam kunjungannya untuk melihat dari dekat pembangunan jalan yang sudah menembus batas antara Kontingen Indonesia dengan Kontingen Nepal di KM 133 dari Dungu.
Letjen TNI Suryo Prabowo juga melakukan peninjauan pembangunan jembatan Acrow 700 (Kanada), yang sedang dikerjakan oleh Satgas Kizi TNI di Kampung Road Quatre KM 111, yang pembangunannya direncanakan selesai dalam minggu ini
Pada kesempatan yang sama Kasum TNI menyempatkan untuk memeriksa kondisi pangkalan Camp Bumi Cenderawasih dan masuk ke tenda-tenda prajurit TNI serta berdialog langsung dengan personel Satgas yang berada di Camp lokasi pekerjaan (Gangu) maupun di Bumi Cenderawasih Camp Dungu. Selanjutnya mengecek langsung personel yang bertugas sebagai juru masak Satgas, baik yang ada di lokasi kerja maupun di Camp Dungu.
Dalam arahannya Kasum TNI menyampaikan rasa bangga terhadap kinerja prajurit TNI Konga XX-H/MONUSCO, karena dalam pembangunan jalan maupun tampilan performa telah dinilai baik selama ini. Bahkan MONUSCO juga menilai bahwa hasil pembangunan jalan Kontingen Indonesia berkualitas terbaik dibanding lima Kontingen Zeni lain yang berada di Kongo.
Jenderal Bintang Tiga itu juga mengingatkan seluruh personel pasukan Zeni TNI untuk selalu menjaga nama baik Kontingen Indonesia dengan berbuat yang terbaik. Kasum TNI juga menegaskan jangan merasa cepat puas dengan hasil yang telah dicapai, pertahankan hasil kerja yang dinilai baik selama ini dan bekerja secara profesional serta menjaga hubungan baik dengan masyarakat lokal dan juga keakraban dengan kontingen dari negara lain.
Seluruh personel Satgas untuk tetap menjaga kesehatan agar jangan sampai terkena penyakit menular. Hal tersebut didasari oleh fakta bahwa sebagian penyakit berbahaya di Afrika belum ada obatnya. Apabila sampai ada prajurit yang mengidap penyakit tersebut akan berpengaruh negatif kepada keluarga dan lingkungan di Indonesia, tegas Kasum TNI.
Turut hadir mendampingi Kasum TNI, Waasops Panglima TNI Laksma TNI ST. Budiyono, Direktur Zeni TNI-AD Brigjen TNI Dicky Waenal Usman, Paban I/Renc Slog TNI Kolonel Tek Sumarno, Wakil Kepala Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (PMPP) TNI Kolonel PNB A. Sumadi, Atase Pertahanan Afrika Selatan Kolonel Cpm Victor H. Simatupang, Sespri Kasum TNI Kolonel Inf Andika Perkasa dan Asst MA Perutusan Tetap Republik Indonesia di PBB New York Letkol Irooth Sonny Edhie. Nomor : SP-30/V/2011/Konga XX-H. |
|
|
|
|
|
|
|
Rifle INSAS dengan SS-1 |
|
|
|
|
|
|
|
Reply rifa
bila daa nak beli ni?
raxief Post at 27-5-2011 19:50
pemerintah indon sedang pusing mo milih KS yang mana....
ato masih ditahap rencana?? |
|
|
|
|
|
|
|
Anti Armour Rocket LRAC-89 Strim |
|
|
|
|
|
|
|
napelah aku kalo tengok tentera indon ni cam tengok pondan tua , kalo ikut sejarah indon ni merdeka hadiah dari jepon abis jepun kena bom atom , TNI lawan fretilin kat timor leste pun kalah tulah pasal depa merdeka , lawan GAM kat aceh pun kalah nasib baik ada tsunami GAM nak wat rundingan juga , lebih malu lagi lawan worang primitif papua OPM juga kalah TNI pondan |
|
|
|
|
|
|
|
Post Last Edit by gede-bab at 31-5-2011 11:44
Menyikapi Tantangan Teluk Sepanggar
Entah karena ingin pamer atau karena merasa sudah kuat dalam pertahanan angkatan lautnya terutama dalam pengoperasian kapal selam, Menhan Malaysia Ahmad Zahid Hamidi “sengaja” mengumumkan kepada pers di Hotel Shangri-La Jakarta tanggal 20 Mei 2011 bahwa 2 kapal selam Scorpene Malaysia sudah siap operasi beserta pangkalannya di Teluk Sepanggar Kinabalu Sabah. Kehadiran Zahid Hamidi di Jakarta adalah dalam rangka pertemuan para Menhan ASEAN.
Malaysia telah membangun tiga pangkalan besar yang berbasis di Sabah yaitu Teluk Sepanggar, Sandakan dan Tawao. Khusus Teluk Sepanggar dijadikan pangkalan induk untuk mengawasi perairan di sekitarnya termasuk Ambalat dan didalamnya juga menjadi basis untuk pangkalan 2 kapal selamnya. Sepanjang sejarah negaranya baru tahun 2010 negara ini memiliki 2 kapal selam. Boleh jadi ingin pamer pada rumah jirannya bahwa dia sudah punya mainan baru sekalian berpesan bahwa dia tidak bisa dianggap remeh lagi.
Penempatan pangkalan kapal selam di Sabah termasuk mengumumkannya di ibukota negara yang sedang bersengketa Ambalat dengan negaranya, menyiratkan makna bahwa Malaysia sedang mempersiapkan konflik terbuka dengan jirannya Indonesia. Namun disinilah letak ketidakpintaran seorang Menhan yang katanya masih asli Yogya itu. Statemen dia justru memberikan stamina baru bagi hankam dan militer Indonesia untuk menjalankan perintah konstitusi: Anda jual kami beli. Dia lupa semakin banyak dia memberikan pernyataan terbuka semakin memberikan adrenalin tempur bagi Kemhan dan TNI untuk melayani tantangan itu.
Ketidakpintarah Menhan Malaysia yang memberikan pernyataan obral itu semakin menjelaskan kepada kita bahwa ada sebuah tetangga yang memang hobbynya selalu pamer. Semua jenis alutsista dan jumlahnya dipublikasikan terang benderang melalui release resmi, padahal seharusnya terutama jumlah dan lokasi arsenal tidak untuk konsumsi publik alias tak perlu diumbar telanjang. Bandingkan dengan Singapura, tak perlu umbar pernyataan, biarkan publik luar tahu dengan sendirinya tanpa harus membantah atau mengiyakan. Diam tapi mengesankan tidak untuk menantang namun jangan pandang remeh.
TNI tidak berpangku tangan menghadapi manuver Malaysia. Pangkalan AL dan AU di Tarakan yang paling dekat dengan Ambalat sudah ditingkatkan kapabliltasnya. Lanud Tarakan sudah disiapkan untuk rumah inap bagi 6 F16 dan 4 Super Tucano. Berau atau Tanjung Redeb disiapkan untuk pangkalan 1 skuadron helikopter tempur. Sangatta bahkan disiapkan sebagai pangkalan induk dan aju TNI, mampu menampung 100.000 pasukan TNI untuk berjibaku menghadapi pasukan Malaysia. Manado, Palu, Gorontalo, Makassar dan Balikpapan disiapkan sebagai pangkalan pendukung. Bahkan di Gorontalo sudah tersedia 1 brigade pasukan Kostrad yang ready for war. Arsenal-arsenal baru sudah, sedang dan akan berdatangan lebih deras lagi.
Matra laut dengan KCR, PKR, Kapal Selam beserta rudal dan torpedonya, Heli tempur AKS (anti kapal selam) dan AKP (anti kapal permukaan). Persenjataan Marinir berupa BTR-90, BMP3F, RM Grad, Rudal QW3, Howitzer, Roket sudah mengisi arsenal kesatrian. Matra udara dengan Sukhoi, F16, F5E, Hawk, T-50, Super Tucano, rudal jarak sedang surface to air. Matra darat dengan pembentukan Kodam baru di Kalbar, pembentukan batalyon-batalyon baru, rematerialisasi alutsista armed dan kavaleri, produksi masal roket Rhan, penempatan rudal strategis Lapan-Pindad, memperbesar skuadron Penerbad, pembentukan divisi lintas udara Kostrad dan lain-lain.
Khusus untuk kapal selam, TNI AL mempersiapkan 5 kapal selam baru untuk menambah 2 kapal selam kelas Cakra yang ada saat ini. KRI Nanggala yang dioverhaul di Korsel diperkirakan selesai akhir Juli 2011. Dalam renstra TNI target kapal selam yang harus dipunyai angkatan laut kita berkisar 14-16 unit dari berbagai tipe. Untuk saat ini memang baru tersedia 2 kapal selam namun pengalaman mengoperasikan kapal selam sampai 12 biji di masa lalu merupakan prestasi tersendiri yang memberikan semangat tempur bernyali tinggi, tabah sampai akhir.
Dalam kondisi terburuk jika Malaysia mau buka front atau mengganggu status quo Ambalat, armada TNI AL tidak akan tinggal diam dan akan membuka 3 front sekaligus yaitu Ambalat, Natuna dan Penang, sementara TNI AD membuka front Sarawak sebagai pre emptive strike. Di Sumatera Utara dan Aceh sudah disiapkan 1 brigade Marinir yang siap didaratkan di Penang dalam serangan amphibi. Penang harus “diganggu” untuk memecah konsentrasi pasukan Malaysia. Natuna dipersiapkan untuk memblokade logistik militer ke Malaysia Timur dan ini tugasnya Armada Barat TNI yang berkekuatan 56 KRI. Sementara satuan kapal cepat rudal berkekuatan 18 KRI akan bermanuver di selat Malaka bersama pendaratan Marinir di Penang. Ambalat sendiri akan dipertahankan oleh Armada Timur yang berkekuatan 72 KRI. Marinir akan didaratkan di Sebatik danTawao bersama penerjunan PPRC yang lain.
Konflik terbuka bisa saja terjadi setiap saat namun dalam dua sampai tiga tahun kedepan diperkirakan tidak akan terjadi, kalaupun terjadi hanya berskala kecil. Jika konflik terjadi setelah tahun 2014 dipastikan TNI akan memiliki keunggulan di segala matra. TNI AU sudah punya 2 skuadron Sukhoi, 3 Skuadron F16, 1 Skuadron T-50, 2 Skuadron Hawk 200, 1 Skuadron Super Tucano, 1 Skuadron F5E dan arsenal pendukung lainnya termasuk rudal jarak sedang, pesawat intai strategis dan pesawat angkut. TNI AL sudah punya minimal 5 kapal selam, 15 Fregat, 25 Korvet, 100 KCR, 6 LPD, 2 LHD dan 30an kapal pendukung. TNI AD sudah menggelar rudal strategis Lapan-Pindad, Heli tempur Mi35, Mi17, Bell 412EP, Tank IFV, Tank Scorpion / Stormer, AMX 13, Panser Canon, Howitzer, Rudal anti tank, Roket, Batalyon Infantri Mekanis, Batalyon Rudal dan lain-lain.
Tantangan Teluk Sepanggar dijawab dengan persiapan melayani tantangan tempur. TNI sudah dan sedang mempersiapkan itu. Pemerintah pun sejak tahun 2010 mengucurkan anggaran beli alutsista dalam jumlah besar termasuk menghidupkan kembali industri hankam strategis dalam negeri. Seluruh galangan kapal dalam negeri dioptimalkan untuk membangun puluhan kapal perang. PT PAL sudah bekerjasama membuat PKR dan mempersiapkan kerjasama buat kapal selam baru. Pindad memproduksi masal Panser Anoa dan Canon sementara PT DI kerjasama pembuatan peswat tempur KFX dengan Korsel.
Pesan untuk rumah sebelah adalah, jangan coba menantang kekuatan militer Indonesia karena TNI bersama seluruh komponen anak bangsa akan bersinergi lahir bathin untuk melakukan counter attack yang dahsyat dan tak diperhitungkan sebelumnya. Jangan coba memancing adrenalin tempur TNI dan spirit nasionalis bangsa Indonesia karena jika itu terjadi Semenanjung akan luluh lantak dilumat, mau.
*****
Jagvane / 30 Mei 2011
sumber: http://analisisalutsista.blogspot.com/2011/05/normal-0-false-false-false_30.html
anaisis indon bego ...memang tahap bodrex...
yang pasti bila menhan Malaysia buka mulut pasti indon serem banget... |
|
|
|
|
|
|
|
Post Last Edit by btm09me at 31-5-2011 12:14
sumber:
anaisis indon bego ...memang tahap bodrex...
yang pasti bila menhan Malaysia buka m ...
gede-bab Post at 31-5-2011 11:42
Gue rasa ngga ada yang aneh dnegan analisanya. Masuk akal.
Jika konflik terjadi setelah tahun 2014 dipastikan TNI akan memiliki keunggulan di segala matra. TNI AU sudah punya 2 skuadron Sukhoi, 3 Skuadron F16, 1 Skuadron T-50, 2 Skuadron Hawk 200, 1 Skuadron Super Tucano, 1 Skuadron F5E dan arsenal pendukung lainnya termasuk rudal jarak sedang, pesawat intai strategis dan pesawat angkut. TNI AL sudah punya minimal 5 kapal selam, 15 Fregat, 25 Korvet, 100 KCR, 6 LPD, 2 LHD dan 30an kapal pendukung. TNI AD sudah menggelar rudal strategis Lapan-Pindad, Heli tempur Mi35, Mi17, Bell 412EP, Tank IFV, Tank Scorpion / Stormer, AMX 13, Panser Canon, Howitzer, Rudal anti tank, Roket, Batalyon Infantri Mekanis, Batalyon Rudal dan lain-lain.
Yang gue bold hitam harap di perhatikan! Mulai tahun 2012 T-50, Super Tukano, beberapa F-16 dan 6 Sukhoi pesanan TNI akan datang. Jadi gue rasa kekuatan udara kedua negara lebih berpihak ke Indonesia. |
|
|
|
|
|
|
|
Indonesia-Turki Jajaki Kerja Sama Produksi Tank
TEMPO Interaktif, Jakarta - Indonesia dan Turki tengah menjajaki kerja sama pembuatan tank kelas ringan (light tank). Kerja sama itu masih dijajaki di tingkat perusahaan atau produsen (business to business), sebelum meningkat pada kerja sama dua pemerintahan (G to G). Saat ini penjajakan dilakukan oleh PT Pindad dengan FNSS Defence Systems Co., produsen alat pertahanan dari Turki.
Tank ringan yang akan diproduksi bersama ini memiliki bobot sekitar 13-14 ton dan akan dilengkapi meriam kaliber 90-105 milimeter. "Tank jenis ini untuk memenuhi kebutu*an pasukan kavaleri TNI Angkatan Darat," kata Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan, Laksamana Muda Susilo, kepada Tempo di kantornya, akhir pekan lalu.
Kerja sama ini merupakan tindak lanjut kesepakatan kerja sama Pemerintah RI dan Turki saat kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke negara itu, Juni tahun lalu. Kesepakatan tersebut lebih dimatangkan lagi saat Presiden Turki Abdullah Gul melakukan kunjungan balasan ke Jakarta, April 2011 lalu. "Kerja sama industri pertahanan dengan Turki saat ini sudah makin mengerucut," ujar Susilo.
Produsen dari Turki, FNSS, bahkan sudah mengirimkan prototipe tank ringan itu untuk dijajal oleh TNI AD dan PT Pindad. "Tapi, tank yang akan dibuat nanti spesifikasinya akan diajukan oleh TNI AD," kata dia. "Mereka (Pindad dan FNSS) sudah menandatangani MoU (kesepakatan kerja sama)," kata dia.
Kerja sama industri pertahanan dengan Turki ini dilakukan karena negara tersebut bisa memahami kepentingan Indonesia. Seperti diketahui, saat ini pemerintah tengah menggalakkan pengembangan industri pertahanan dalam negeri. Karena itu, kerja sama industri pertahanan dengan luar negeri diprioritaskan pada negara-negara yang bisa memberikan transfer teknologi dan bersedia melakukan kerja sama produksi (joint production).
"Kalau transfer teknologinya besar dan mereka mau joint production, ini yang kami utamakan," kata Susilo. "Jadi, kami mendapatkan banyak benefit (keuntungan), tidak hanya membeli."
Tank ringan yang akan diproduksi bersama antara Indonesia dan Turki ini bakal memiliki tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) yang cukup besar. "Paling tidak bodinya kami (Indonesia) yang buat," kata dia. Instalasi, perakitan, dan desain juga menjadi porsi Indonesia.
Sementara engine (mesin) serta rantai tank akan dibuat oleh produsen Turki. "Untuk rantai tank, Indonesia masih belum bisa buat sendiri," ujarnya. Demikian juga mesin. Menurut Susilo, masih belum efisien jika Indonesia membuat mesin tank sendiri. "Kalau engine, masih lebih murah membeli daripada harus membangun pabrik mesin di sini."
|
|
|
|
|
|
|
|
Post Last Edit by wongedandotcom2 at 31-5-2011 14:05
Indonesia’s Anti-ship Missiles: New Development In Naval Capabilities – Analysis
Written by: RSIS May 31, 2011
The recent Indonesian Navy test-launch of the supersonic Yakhont anti-ship missile marked yet another naval capability breakthrough in Southeast Asia. The Yakhont missile could potentially intensify the ongoing regional naval arms competition.
By Koh Swee Lean Collin
ON 20 APRIL 2011, the Indonesian Navy (Tentera Nasional Indonesia – Angkatan Laut or TNI-AL) frigate KRI Oswald Siahaan test-fired a Russian-made Yakhont supersonic anti-ship missile during a naval exercise in the Indian Ocean. According to TNI-AL, the missile took about six minutes to travel 250 kilometres to score a direct hit on the target. This test-launch marks yet another significant capability breakthrough amongst Southeast Asian navies. It comes against the backdrop of unresolved maritime disputes and ongoing regional naval arms competition.
A destabilising naval weapon?
Indonesia
According to David Mussington and John Sislin in a Jane’s Intelligence Review report in 1995, weapons which could be considered destabilising in nature possess all or some of the following six characteristics: result in decreased warning time; give one country ‘breakthrough capabilities’; lead to a broadening of target sets; permit no effective countermeasures; give one side better information concerning another’s military preparations; and create hostility. Based on some of these criteria, the Yakhont could be deemed destabilising for the following reasons.
Firstly, the Yakhont could travel at sea-skimming altitude (5-15 metres above surface) at 2.5 times the speed of sound thus reducing warning time for the target vessel, especially those ill-equipped for long-range early warning. It is true that Southeast Asian navies are increasingly better equipped with modern sensors to provide early warning of an impending missile launch and for tracking subsonic sea-skimming missiles. Yet the Yakhont’s unique flight profile could imply that even more sophisticated detection capabilities have to be acquired by regional navies.
Secondly, even though Vietnam had reportedly inducted the Yakhont into service, it exists in the land-based ‘Bastion’ coastal-defence variant and is thus strictly defensive. However, when mounted onto a warship which is essentially a highly-mobile platform, the Yakhont’s range could be extended beyond the defensive perimeters of one’s coastal confines. Prior to the introduction of the ship-launched Yakhont, anti-ship missiles – such as the Western-made Exocet and Harpoon as well as Russian-built Styx and Switchblade – carried aboard Southeast Asian warships are characterised by subsonic speeds and possess ranges not more than 200 kilometres at most.
By contrast, the Yakhont has a maximum range of 300 kilometres when flying at high altitude, and maximum speed of Mach 2.5. The only non-Southeast Asian countries in the wider Western-Pacific with equivalent capabilities are China whose Russian-built Sovremennny destroyers are armed with the Sunburn missile, and Taiwan which has recently deployed the Hsiung Feng III aboard its warships.
Thirdly, the Yakhont’s flight profile also permits no effective countermeasures for most Southeast Asian navies. Only the navies of Malaysia, Singapore and Thailand possess modern shipboard anti-missile missile (AMM) capabilities. Malaysia possesses two frigates armed with the Seawolf AMM and four corvettes with the Aspide, while Singapore has six frigates armed with the Aster AMM and six corvettes with the Barak-1. Thailand has two frigates equipped with the Sea Sparrow system and two corvettes with the Aspide.
The other Southeast Asian navies are deemed poorly-equipped for air defences. Most surface warships in the region are armed with only guns and surface-to-air missiles effective only against slower-moving targets at short range but not high-performance aircraft and missiles.
What next for Southeast Asia?
The entry of TNI-AL’s Yakhont missile came after the recent regional submarine scramble, and introduction of breakthrough capabilities. The Malaysians introduced the first underwater-launched anti-ship missile aboard its new Scorpene submarines while Singapore inducted a pair of ex-Swedish Vastergotland boats with air-independent propulsion for prolonged submerged endurance. In any case, these acquisitions arguably sparked off reciprocal responses from other Southeast Asian navies.
The Yakhont, with its superior capabilities over existing anti-ship missiles arming Southeast Asian surface warships, represented yet another regional naval breakthrough which could not be ignored. This is especially so when no regional navies are adequately equipped against such weaponry if a naval skirmish ever breaks out in the volatile region plagued with longstanding interstate maritime disputes. The Indonesian-Malaysian naval standoff in the disputed Ambalat region in 2009 highlighted the danger of such eventualities.
Possible reactions from neighbouring Southeast Asian navies towards the Yakhont could take certain forms, especially now that regional countries are recovering from the global economic recession and reinstating their naval modernisation programmes. One, it could spark off the acquisition of equivalent capabilities, which might not be that difficult in today’s global arms market. While the current anti-ship missile market is still dominated by subsonic systems, a few supersonic examples do exist for sale, such as the Russian Klub-series or Sunburn, and the Indian-Russian BrahMos. India reportedly earlier on shelved the export of BrahMos (based on the Yakhont) to Indonesia out of security concerns but Jakarta managed to circumvent this by directly procuring the Russian ‘originals’.
A second reaction is the acquisition of capabilities, such as the Barak, Seawolf and Aster AMM systems, to neutralise such supersonic threats. Acquiring such countermeasures might be considered less provocative since these are essentially defensive. A third reaction is that better-endowed navies might acquire both equivalent anti-ship armaments and AMM systems as a safety measure.
Mitigating the ‘Yakhont Effect’
Whichever form it takes, the action-reaction process that could stem from the Yakhont missile would add onto the current intensity of regional naval arms competition. The Yakhont could potentially upset the Southeast Asian naval balance of power even though the Indonesians had reportedly acquired only a small consignment of this missile for limited deployment aboard TNI-AL’s frigates.
The region may need to institute naval confidence-building measures such as mechanisms to prevent or mitigate naval incidents. But perhaps it is time for Southeast Asian countries to think about naval arms control to enhance transparency and help ensure that naval arms acquisitions in the region do not spiral out of control.
http://www.eurasiareview.com/indonesia%E2%80%99s-anti-ship-missiles-new-development-in-naval-capabilities-analysis-31052011/
Koh Swee Lean Collin is an associate research fellow at the Military Studies Programme in the Institute of Defence and Strategic Studies, a constituent unit of the S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University. He is also undertaking doctoral research on Southeast Asian naval developments.
RSIS
|
|
|
|
|
|
|
|
Tak boleh la nak buat pengkalan kat negeri sendiri, baru base 2 biji dh kata nk tunjuk lagak, nk cari pasal...apa punya meroyan daa...dia ingat dia sorang duduk situ ka... lcs tu sikit punya busat ka mau monitor...x habis2 mentaliti nk perang... yg dia pi buat base mcm2 dan tambah banyak2 aset tu bukan signal nk tunjuk terer ka? Mental...mental...
Adnan tuh kita pasang n bubuh rantai sendiri, dah ada around 259 biji, campuq mifv kembaq x seghopa dia 111 ada dlm 370 biji dh....versi 105mm aja kita x mau pasang...pasai apa aku pon tak tau, the boys in green know better kot... |
|
|
|
|
|
|
|
Post Last Edit by windof at 31-5-2011 14:02
No wonder la kita selalu beli aset sikit2, pastuh buat konsep ffbnw, then tukaq nama aset bagi bunyi tak mengancam sangat, cthnya korvet/frigat buh nama patrol vessel, ghupanya ada yg tersentap... |
|
|
|
|
|
|
|
Analis: Kehadiran Yakhont TNI AL Mempengaruhi Keseimbangan Kekuatan Di Asia Tenggara
ON 20 APRIL 2011, the Indonesian Navy (Tentera Nasional Indonesia – Angkatan Laut or TNI-AL) frigate KRI Oswald Siahaan test-fired a Russian-made Yakhont supersonic anti-ship missile during a naval exercise in the Indian Ocean. According to TNI-AL, the missile took about six minutes to travel 250 kilometres to score a direct hit on the target. This test-launch marks yet another significant capability breakthrough amongst Southeast Asian navies. It comes against the backdrop of unresolved maritime disputes and ongoing regional naval arms competition.
A destabilising naval weapon?
According to David Mussington and John Sislin in a Jane’s Intelligence Review report in 1995, weapons which could be considered destabilising in nature possess all or some of the following six characteristics: result in decreased warning time; give one country ‘breakthrough capabilities’; lead to a broadening of target sets; permit no effective countermeasures; give one side better information concerning another’s military preparations; and create hostility. Based on some of these criteria, the Yakhont could be deemed destabilising for the following reasons.
Firstly, the Yakhont could travel at sea-skimming altitude (5-15 metres above surface) at 2.5 times the speed of sound thus reducing warning time for the target vessel, especially those ill-equipped for long-range early warning. It is true that Southeast Asian navies are increasingly better equipped with modern sensors to provide early warning of an impending missile launch and for tracking subsonic sea-skimming missiles. Yet the Yakhont’s unique flight profile could imply that even more sophisticated detection capabilities have to be acquired by regional navies.
Secondly, even though Vietnam had reportedly inducted the Yakhont into service, it exists in the land-based ‘Bastion’ coastal-defence variant and is thus strictly defensive. However, when mounted onto a warship which is essentially a highly-mobile platform, the Yakhont’s range could be extended beyond the defensive perimeters of one’s coastal confines. Prior to the introduction of the ship-launched Yakhont, anti-ship missiles – such as the Western-made Exocet and Harpoon as well as Russian-built Styx and Switchblade – carried aboard Southeast Asian warships are characterised by subsonic speeds and possess ranges not more than 200 kilometres at most.
By contrast, the Yakhont has a maximum range of 300 kilometres when flying at high altitude, and maximum speed of Mach 2.5. The only non-Southeast Asian countries in the wider Western-Pacific with equivalent capabilities are China whose Russian-built Sovremennny destroyers are armed with the Sunburn missile, and Taiwan which has recently deployed the Hsiung Feng III aboard its warships.
Thirdly, the Yakhont’s flight profile also permits no effective countermeasures for most Southeast Asian navies. Only the navies of Malaysia, Singapore and Thailand possess modern shipboard anti-missile missile (AMM) capabilities. Malaysia possesses two frigates armed with the Seawolf AMM and four corvettes with the Aspide, while Singapore has six frigates armed with the Aster AMM and six corvettes with the Barak-1. Thailand has two frigates equipped with the Sea Sparrow system and two corvettes with the Aspide.
The other Southeast Asian navies are deemed poorly-equipped for air defences. Most surface warships in the region are armed with only guns and surface-to-air missiles effective only against slower-moving targets at short range but not high-performance aircraft and missiles.
What next for Southeast Asia?
The entry of TNI-AL’s Yakhont missile came after the recent regional submarine scramble, and introduction of breakthrough capabilities. The Malaysians introduced the first underwater-launched anti-ship missile aboard its new Scorpene submarines while Singapore inducted a pair of ex-Swedish Vastergotland boats with air-independent propulsion for prolonged submerged endurance. In any case, these acquisitions arguably sparked off reciprocal responses from other Southeast Asian navies.
The Yakhont, with its superior capabilities over existing anti-ship missiles arming Southeast Asian surface warships, represented yet another regional naval breakthrough which could not be ignored. This is especially so when no regional navies are adequately equipped against such weaponry if a naval skirmish ever breaks out in the volatile region plagued with longstanding interstate maritime disputes. The Indonesian-Malaysian naval standoff in the disputed Ambalat region in 2009 highlighted the danger of such eventualities.
Possible reactions from neighbouring Southeast Asian navies towards the Yakhont could take certain forms, especially now that regional countries are recovering from the global economic recession and reinstating their naval modernisation programmes. One, it could spark off the acquisition of equivalent capabilities, which might not be that difficult in today’s global arms market. While the current anti-ship missile market is still dominated by subsonic systems, a few supersonic examples do exist for sale, such as the Russian Klub-series or Sunburn, and the Indian-Russian BrahMos. India reportedly earlier on shelved the export of BrahMos (based on the Yakhont) to Indonesia out of security concerns but Jakarta managed to circumvent this by directly procuring the Russian ‘originals’.
A second reaction is the acquisition of capabilities, such as the Barak, Seawolf and Aster AMM systems, to neutralise such supersonic threats. Acquiring such countermeasures might be considered less provocative since these are essentially defensive. A third reaction is that better-endowed navies might acquire both equivalent anti-ship armaments and AMM systems as a safety measure.
Mitigating the ‘Yakhont Effect’
Whichever form it takes, the action-reaction process that could stem from the Yakhont missile would add onto the current intensity of regional naval arms competition. The Yakhont could potentially upset the Southeast Asian naval balance of power even though the Indonesians had reportedly acquired only a small consignment of this missile for limited deployment aboard TNI-AL’s frigates.
The region may need to institute naval confidence-building measures such as mechanisms to prevent or mitigate naval incidents. But perhaps it is time for Southeast Asian countries to think about naval arms control to enhance transparency and help ensure that naval arms acquisitions in the region do not spiral out of control.
Koh Swee Lean Collin is an associate research fellow at the Military Studies Programme in the Institute of Defence and Strategic Studies, a constituent unit of the S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University. He is also undertaking doctoral research on Southeast Asian naval developments.
http://www.eurasiareview.com/ind ... -analysis-31052011/ |
|
|
|
|
|
|
| |
|