|
Gallery Kumpulan Cerita Pendek Semua Tema [merged wif uncle_k&jf_pratama]
[Copy link]
|
|
Nisan (Part 2)
Masihdi kota Kalagundah. Orang-orang kembali dilanda resah. Sukarti binti Sutarno,gadis muda tinggi semampai tiba-tiba kehilangan akal sehat. Gila mendadak.Padahal, untuk membiayai keberangkatan Sukarti ke Timur Tengah, ayahnya relamenjual sepeda motor tua, ditambah pula dengan sejumlah uang yang dihutangnyadari rentenir. Apesnya, Sukarti batal berangkat ke luar negeri. Lowongan kerjayang dijanjikan ternyata tidak ada. Sukarti tertipu. Tepatnya ditipu. Uang yangsudah telanjur disetornya raib begitu saja. Kantor perusahaan jasa tenaga kerjatempat perempuan itu mendaftar sudah tutup dan tidak jelas pindahnya ke mana.Akibatnya fatal, Sukarti kalut. Ia menjadi penyebab orang tuanya terlilitutang. Sukarti pun berubah jadi orang sinting, karena depresi berat.
"Masihbelum percaya kalau pengiriman TKW itu tidak bikin masalah? Masih mau nyuruhaku tetap bertahan jadi karyawan di perusahaan itu? Kamu mau suamimu disembelihorang?" begitu Martabat meyakinkan Ningrum.
"Lho,itu bukan salahmu, Mas! Salahnya perusahaan toh? Mas cuma karyawan. Jangan soksuci!" bantah Ningrum.
"Tidaksalah bagaimana? Coba kalau aku tidak memberi iming-iming tentang gaji pembantudi luar negeri. Tentu tidak akan ada yang mendaftarkan diri sebagai calon TKW.Tidak akan ada yang sinting karena terililit hutang. Belum ngerti juga?"
Lagi-lagidi kota Kalagundah. Warga kembali dirundung duka oleh kepulangan Salma dariMalaysia. Lebih parah dari sekadar pulang dalam keadaan perut bunting sepertiRifah. Setelah empat tahun menjadi pembantu rumah tangga di Negeri Jiran, Salmapulang tinggal nama. Mati konyol. Jasadnya terbujur kaku dalam usungan petimati. Pihak berwajib menemukan bekas-bekas luka bakar akibat siraman air kerasdi leher, kuduk, punggung hingga panggulnya. Bekas tusukan benda-benda keras dibagian selangkangannya. Tragis. Tidak ada yang bertanggung jawab atas kematiankeji itu. Orang-orang di kota Kalagundah tak bisa berbuat apa-apa, selain hanyamenangisi dan meratapi mayat Salma.
*
Warganyaris tak pernah tenteram. Petaka dan musibah tiada henti-henti menimpa kotaKalagundah. Hampir setiap bulan selalu saja ada berita kematian akibat obsesiingin mengubah nasib dan mengadu untung dengan cara menjadi TKW di luar negeri.Mati menenggak racun tikus karena tidak tahan menanggung aib setelah dibuntingimajikan. Mati disiksa. Mati kelaparan akibat gaji yang tak dibayar. Matiditikam majikan setelah diperkosa. Mati ketakutan karena diancam bakal dibunuhmajikan bila melaporkan kekejiannya pada pihak berwajib, bahkan mati di tianggantungan karena tertuduh sebagai pembunuh majikan -meski pembunuhan itu hanyakarena membela diri. Tapi, Martabat tak peduli lagi. Menurut pikiran bodohnya,malapetaka itu bukan salahnya lagi. Sebab, ia sudah lama pensiun sebagaikaryawan di perusahaan jasa tenaga kerja.
SemulaMartabat memang ingin alih profesi menjadi petugas security, tukangparkir atau cleaning service. Namun, setelah mengajukan surat lamarankerja ke beberapa perusahaan di kota itu, tak satu berkas lamaran pun yangmendatangkan hasil. Martabat gagal dan masih menganggur, sementara istrinyamakin cerewet. Tabungan yang disisihkan selama Martabat bekerja sudah mulaimenipis. Jadi, secepatnya Martabat harus mendapatkan pekerjaan.
Saatitulah terlintas dalam pikiran Martabat, daripada melanjutkan perburuan mencaripekerjaan baru mungkin akan lebih baik bila ia merintis usaha sendiri. Berbekalpinjaman modal dari teman-teman sejawatnya, Martabat pun membuka usahakecil-kecilan. Kini, pelataran halaman sempit di depan rumah kontrakannya penuhsesak dipadati pajangan batu-batu ukir berbentuk lonjong dari berbagai modeldan ukuran. Sepanjang hari, Martabat berkreasi merancang bermacam-macam variasiukiran batu nisan dengan bentuk yang mengagumkan. Ide memproduksi batu nisanitu termotivasi oleh tuntutan pasar yang akhir-akhir ini makin meningkat.Martabat mulai kewalahan memenuhi permintaan para pelanggan yang makinbertambah banyak. Lagi pula, hanya laki-laki kerempeng itulah satu-satunyapengrajin batu nisan di kota Kalagundah. Batu-batu nisan hasil karya Martabatlaku keras. Laris manis. Usahanya maju pesat sebab nyaris setiap mingguorang-orang di kota Kalagundah menerima kiriman mayat TKW dari luar negeri.
Kelapa Dua, 2006 |
|
|
|
|
|
|
|
WAJAH BULAN
Cerpen Hudan Hidayat
Aku menatap malam berbintang. Di lintasan langit kulihat wajahnya. Kukejapkan mataku. Wajah itu tidak juga berubah. Seluas langit di atas sana. Membentuk tubuh perempuan yang lembut, dengan suara menyejuk jiwa.
Aku memandang bulan purnama. Bulan yang indah. Andai tanganku sampai ke sana, bulan itu akan kupetik. Kuletakkan hati-hati di meja kamarku. Agar aku puas memandangnya. Tapi bulan itu pelan-pelan berganti wajah. Bulan yang bulat itu menjelma wajahnya. Memuai membentuk tubuhnya. Terlihat tangan dan kaki perempuan itu. Tubuhnya merentang di atas langit. Bajunya masih baju yang kulihat tadi pagi, saat kami bertemu di sebuah mimpi. Sebuah paduan warna dari jenis casual. Membalut tubuhnya yang indah. Putih kulitnya kontras dengan busana hitam. Rambutnya dicat kekuningan. Tebal bergelombang menutup bahunya. Parfum yang meruap dari tubuhnya membuatku terlena. Seperti aku terlena saat memandang langit.
Mulutku tak dapat kutahan.
"Adindaku sayang, duh, jauhnya kau di atas sana! Serasa tak mungkin kugapai!"
Pelan-pelan hujan turun. Wajahnya dan wajah bulan tertutup awan. Sebelum menghilang perempuan itu tersenyum. Tak kan pernah kulupa senyumnya. Itulah satu-satunya kepastian dari hidupku.
Curah hujan sempurna. Hari telah menjadi dingin. Aku tegakkan mantelku. Bukit ini menjadi bukit hujan. Lampu dari hotel-hotel di lereng bukit menyerah. Redupnya mengecil, kalah dengan kabut hujan. Rokokku patah karena hujan. Kubuang rokokku. Puntung itu lenyap secepat air membawa arus pertamanya. Menghilang ke dalam hutan. Tembakau itu bersatu dengan tanahnya kembali. Seperti aku kini: bersatu dengan sepiku lagi.
Hampir tak kudengar suara, kecuali desau angin dan curah hujan. Orang-orang di lereng bukit menyuruk ke balik selimut. Aku pun ingin menyuruk ke balik selimut. Tapi entah mengapa kakiku membawa tubuhku turun, masuk ke dalam tembok hujan. Patahan hujan merenggut diriku. Aku segera kuyup. Kakiku berat karena tanah yang terbenam dalam sepatu. Kupaksa kakiku berjalan ke hutan itu.
Aku sampai di tengah padang. Di belakangku bungalow tempatku menginap. Di depanku hutan cemara. Pohon-pohon teh membentang dalam gundukan besar daun teh, merunduk-runduk diterjang hujan. Sebuah petir dan kilat membelah langit. Seolah begitu dekat dengan hutan. Kalau petir itu menyambar lebih rendah, pastilah tubuhku hangus terbakar. Entah mengapa aku tidak khawatir. Seolah aku senang bila tersambar petir. Sesaat rasa ingin mati merebut diriku. Mungkin aku telah putus asa. Begitu tak kulihat jalan keluar.
Adinda, adakah jalan keluar itu?
Sedang hatiku diliputi dirimu. Ruang hatiku tak ada lagi yang sisa, seperti hujan tak menyisa ruang. Kalau keinginan ini kandas, mungkin aku lebih baik mati. Untuk apa hidup kalau hanya meruang sepinya hati. Tapi di mana dirimu kini?
Sudah tiga bulan ia menghilang. Dan aku takut. Suatu malam ia berkata, "Kini aku menerimamu. Tapi awas, sekali saja kau berkhianat, hanya ada dua jalan bagi kita!"
Dan ia menempuh jalan kedua: menghilang.
Aku tidak berkhianat. Semua ini cuma fitnah dan salah sangka. Seorang kawan dekat membelot dan merancang siasat jitu. Sehingga ia termakan dengan siasat itu. Tapi aku beruntung juga: ia tak menempuh jalan pertama: kawin dengan "lelakinya". Berarti aku masih ada harapan, bukan?
Tetapi ke mana dirimu. Ke mana aku harus mencarimu, sayangku?
Lintasan langit tempat wajahmu, penuh kabut hujan. Kapan saja aku bisa terseret arusnya. Terbenam dalamnya. Seperti di dunia sana aku terbenam dalam air api. Tak bisa bangkit lagi. Tidurku mendengkur seperti babi. Akankah aku terjun ke dalam air api itu kembali?
Tidak.
Aku tidak mau ke sana. Aku tidak ingin berkubang dengan nasib burukku lagi.
Kupaksa kakiku mencapai hutan cemara. Aku sampai di depan hutan. Ada apa di balik hutan? Meski tubuhku membeku, aku masih bisa merasakan hatiku, yang memintaku masuk ke dalam hutan itu. Ada apa di balik hutan itu? Mengapa aku berkeras menembus hujan masuk ke dalam hutan itu?
Seolah hutan itu adalah jawaban. Seolah tubuh hutan yang dilingkupi air itu membentuk nasibku. Nasib hutan. Kayu-kayu dan rantingnya penuh air. Terbenam dalam air. Seperti saat pertama di lintasan langit, aku kembali melihat dirinya dalam hutan itu. Kayu-kayu hutan itu mengumpul, membentuk tubuhnya. Ranting-ranting hutan itu mengumpul, membentuk kaki dan tangannya. Jadi untuk itulah aku harus menempuh badai hujan ini?
Ia telah sempurna menjadi hutan itu. Kini kekasihku membentangkan tangannya. Meminta aku datang.
Aku datang sayang, tunggulah di sana. Aku datang dengan kesucian jiwaku, saat pertama kali kau mengenalku. Aku masih melihat daun-daun yang berubah, saat busananya yang casual lepas dari tubuhnya. Kini ia berbusana hijau. Hijau dari daun-daun yang mengumpul. Indahnya tubuhmu dengan pakaian itu. Mari kugapai tubuhmu. Aku ingin memasukkan tubuh dan jiwamu, ke dalam tubuh dan jiwaku.
Sebuah petir menyambar melalui kepalaku. Dekat sekali. Hampir saja, bisikku. Petir itu nyaris merenggutku. Aku kemudian berlari ke dalam hutan. Sepatuku tertinggal di tengah padang. Seolah sepatu serdadu terpacak di medan perang. Sedang tubuh serdadu sudah menjadi mayat di parit sana. Aha! di lehernya tertulis puisi: datanglah mati. jemput aku di ujung sana. Siapa yang menuliskannya? Mungkinkah serdadu ini menulisnya sendiri. Kapan? Saat sebelum dia meninggal? Aku membungkuk mengamati tulisan berwarna merah itu. Ternyata bercak darah. Jadi serdadu ini sebelum mati, menulis nasibnya sendiri. Dan kematian itu datang padanya. Aku membungkuk lagi. Tubuh serdadu menghilang, berganti dengan tubuh sepatu. Sepatuku, kamu bukan serdadu itu. Kamu adalah sepatuku. Sini masuklah ke kakiku. Itulah tubuhmu sebenarnya: sepasang kakiku. Bukan lumpur campur air ini. Tetapi sepatuku tetap di sana. Seolah enggan dengan tubuhnya lagi. Rupanya ia ingin sendirian di atas padang itu. Seperti serdadu itu. Sendirian dengan nasibnya.
Hujan turun dalam hutan cemara. Airnya dihempaskan angin. Membentur daun-duan dan ranting. Jatuh juga menimpa tubuhku. Aku berjalan ke pohon cemara, yang menyuruk ke balik hutan. Pohon cemara itu menungguku. Diam di tempatnya. Aku menatapnya. Pandanganku kabur karena hujan. Tetapi kusaksikan cemara itu mengubah dirinya, dari sebatang pohon menjadi tubuh perempuanku. Jadi di sanalah kamu. Menjadi pohon cemara itu. Tubuhmu menjadi batang itu. Rambutmu menjadi daun-daun itu. Kedua kakimu yang indah terpacak ke dalam tanah. Aku mendekati perempuanku. Kupeluk dia dengan sayang. Lihat, hatiku untuk dirimu, Adindaku. Begini pun tak apa, kataku meraih pinggangnya. Perempuan itu tersenyum. Di bawah hujan tubuhnya hangat. Aku pun memeluknya lebih erat lagi. ***
Jakarta, 2007
Untuk ms |
|
|
|
|
|
|
|
pemandu kereta tanpa kepala..
semalam pino on da way g ke KB, utk ngedet ngan mekjena...so lalu la highway yg menjadi isu di atas, highway KK-GM...
tgh rilek2 bwk bm mate jerong pino, tibe2 pino terkejut bile tenampak 1 kete proton saga lame kaler putih di mana pemandunye tak berkepala!..
lipe plak nk ckp, kete proton saga tu accident, so mebi pale pemandu tu dah tcabut tah ke mana la tuh...
tp sbb da ramai org tolong "tgk" kejadian itu, pino pon meneruskan perjalanan ke KB tanpa ragu2...lebih kurang beberapa meter dr tempat kejadian, pino pon tgk la cermin pandang belakang tu, anehnya pino tgk tmpt kejadian td kosong lengang mcm x penah berlaku apa2 accident yg pino tgk td..! :jeling: :jeling:
apa lagi, trus pino memecut la sbb ketakutan yg amat sangat!!! skangni mase pino menulis kesah tidak benar inni, pino masih rase takut taww... ..naseb baek jenap ade sbelah menenangkan perasaan ini..
kesimpulan: jom ngedet!
|
|
|
|
|
|
|
1127lili This user has been deleted
|
|
|
|
|
|
|
| |
Category: Belia & Informasi
|