Makanan Binatang Harus Halal?Q&A IslamIslamLib – Semula saya tak percaya ketika pertama kali melihat sebuah foto yang memperlihatkan produk makanan hewan dengan label halal. Saya mengabaikan saja. Mungkin itu gambar palsu. Hoax. Mungkin gambar bikin-bikinan. Tetapi betapa kagetnya saya ketika suatu hari membeli makanan untuk kucing saya. Eh, ada label halal di bungkusnya. Ternyata isu label halal untuk makanan hewan itu benar. Tepok jidat. What a silly thing to happen!
Beberapa hari lalu, saya bertemu dengan seorang teman yang pernah ngobrol dengan seorang produsen makanan hewan. Dia mengeluh. Setiap mengadakan pameran produknya, sebagian konsumen (pasti Muslim dong!) bertanya: Apakah produknya halal atau tidak? Dia heran, apa betul menurut Islam hewan harus diberikan makanan halal.
Banyak hal “bodoh” berkaitan dengan agama terjadi di tengah-tengah masyarakat. Termasuk soal halal-haram ini. Tak ada yang lebih lucu daripada beranggapan bahwa hewan harus diberikan makanan halal. Tetapi, saya mengerti, dari mana asal-usul gejala ini. Ini semua berasal dari kehendak untuk menaati ajaran agama dalam dosis yang berlebihan. Dengan kata lain, ini berasal dari gejala overdosis beragama. Ya, overdosis beragama!
Dan dari mana asal-muasal gejala overdosis ini? Pembicaraan ini bisa panjang. To cut the story short, sejak dua puluh tahun terakhir, memang di tanah air kita ada gejala kebangkitan Islam/beragama di tengah-tengah masyarakat. Ini gejala global. Bukan khas Islam sahaja. (Saya sengaja pakai kata “sahaja”, buka saja, untuk mengenang kata Melayu kuno yang populer di era Balai Pustaka dulu itu!).
Ada sejumlah ekses dari meruaknya kesadaran beragama ini. Misalnya, munculnya sikap-sikap intoleran dan tertutup, bahkan negatif, terhadap kepercayaan orang lain. Pandangan bahwa hewan harus diberikan makanan halal adalah salah satu dari ekses kebangkitan kesadaran beragama yang salah tempat.
Dalam Islam dikenal konsep mengenai “purity”. Ini adalah konsep mengenai ruang yang bersih dan suci. Ini bukan sekedar kersihan dalam pengertian hygiene yang biasa. Melainkan kebersihan dalam pengertian relijius. Bersih di sini artinya bersih di mata Tuhan. Ada hal-hal tertentu yang dianggap umat Islam sebagai kotor, ada yang dianggap bersih. Istilah kotor dalam Islam adalah najis. Istilah ini mengandung konotasi yang agak “mengerikan”.
Jika Anda mengatakan “kotor” saja kepada umat Islam, tak akan timbul konotasi macam-macam. Tetapi jika Anda mengatakan “najis”, maka konotasinya menjadi lain: serius, menakutkan, penuh dengan kecemasan. Najis, jika dilanggar, akan mendatangkan murka Tuhan, divine wrath.
Kalau Anda pernah studi mengenai antropologi agama-agama awal (dikenal dengan istilah “primitive religions”), konsep ini tidak baru. Di dalam agama-agama itu, seperti ditunjukkan oleh studi Mary Douglas dalam bukunya yang sudah klasik, Purity and Danger: An anaylisis of concepts of pollution and taboo (2001), ada pandangan tentang kaitan antara kekotoran dan bahaya.
Kekotoran alias kenajisan oleh agama-agama masyarakat primitif dikaitkan dengan bahaya yang akan menimpa. Pandangan ini tampaknya masih tersisa dalam apa yang disebut sebagai “world religions”, agama-agama besar seperti Islam dan Yahudi. Istilah najis dalam pandangan umat Islam sekarang sangat mirip dengan pandangan serupa dalam agama-agama kuno itu.
Konsep halal dan haram dalam umat Islam masih berkaitan dengan konsep “purity” ini. Seturut dengan membuncahnya kesadaran agama sekarang, kesadaran untuk mengonsumsi makanan yang “pure”, halal, bersih juga naik tajam. Sekali lagi, makanan yang bersih di sini bukan sekedar bersih dalam pengertian ilmu kesehatan yang biasa. Bersih adalah bersih “kosmis”; bersih di mata Tuhan.
Jika aturan tentang kebersihan makanan ini dilanggar, murka alam (kosmos) dan Tuhan akan turun. Sebuah hadis riwayat Jabir ibn Abdillah menuturkan seperti ini: Tak ada daging yang tumbuh dari makanan yang haram kecuali api nerakalah yang berhak atasnya. Redaksi Arabnya: La yarbu lahmun nabata min suhtin illa kanat al-naru aula bihi.
Di sini, kita melihat suatu kaitan antara kekotoran/kenajisan dengan bahaya. Antara “purity” dan “danger”. Persis seperti dalam penelitian antropologis Mary Douglas itu.
Bagaimana hal ini ditinjau dari pandangan Islam sendiri? Jika Anda akrab dengan konsep fikih mengenai “beban moral” (taklif), maka Anda akan tahu bahwa yang menanggung beban dan tugas moral adalah mukallaf. Mukallaf artinya orang (bukan binatang) yang sudah cukup dewasa dan berakal. Binatang bukanlah obyek perintah agama. Binatang tidak dikenai aturan-aturan keagamaan.
Dengan kata lain, binatang tentu tidak harus mengonsumsi makanan yang halal. Keharusan itu hanya tertuju kepada seorang mukallaf, orang yang terbebani keharusan agama. Apakah binatang yang mengonsumsi makanan haram boleh kita konsumsi? Misalnya, ayam yang mengonsumsi kotoran yang najis: Bolehkan kita konsumsi? Ya, jelas boleh. Sebab ayam adalah binatang yang suci, halal, tak peduli apa yang ia konsumsi.
Sebaliknya, walau babi diberikan makanan yang halal seumur hidupnya, tentu tak akan membuatnya menjadi halal. Tentu ini dalam pandangan Islam yang menganggap babi haram. Sebab kehalalan dan keharaman suatu binatang tidak ditentukan oleh apa yang dikonsumsinya.
Pengusaha produk makanan tadi bercerita: Ada konsumen dia yang berpandangan, kucing yang ia pelihara akan menjadi kotor/najis bulunya jika diberikan makanan yang tidak halal. Sekali lagi, ini pandangan yang keliru sama sekali. Kucing adalah bintang yang bersih. Juga anjing, menurut mazhab Maliki dan Hanafi. Kulit bintang tak akan menjadi kotor karena makanan yang ia konsumsi adalah kotor.
Jadi, wahai pemiara kucing dan anjing: Tak benar kalian harus memberi binatang pet kalian makanan yang mendapatkan label halal dari MUI. Jika (ini pengandaian saja!) MUI mengharuskan produsen makanan hewan untuk mencantumkan label halal di produknya, maka lembaga ini telah ikut menyebarkan kebodohan di tengah-tengah masyarakat.[]