jf_pratama Publish time 7-10-2007 02:35 PM

Film Get Married, Kisah Seru dari Kampung

http://www.rileks.com/images/content/11915698300.jpg
Dalam mengerjakan film ‘Get Married’ sepertinya sutradara Hanung Bramantyo dan ‘kroni-kroninya’ sedang berada dalam mood terbaiknya. Cerita yang sederhana menjadi begitu cerdas dalam sentuhan skenario karya Musfar Yasin. Dan para aktornya sangat baik memerankan dirinya sendiri. Seperti apa ceritanya?

Adalah empat orang sahabat dari gang senggol di sebuah kampung. Mereka lahir pada hari yang sama, dan kelak menjadi sahabat sampai dewasa. Keempatnya pun tumbuh dengan kegilaan dan impian masing-masing. Ada Mae (Nirina) dengan cita-cita sebagai Polwan namun malah dijebloskan ke sekolah sekertaris. Ada Beni (Ringgo Agus) pemegang ijazah diploma computer yang bermimpi menjadi petinju. Ada pula Eman (Aming), cowok yang diharapkan bias menjadi Uztad, jauh dari impiannya sebagai politikus. Terakhir, ada pula Guntoro (Desta), lelaki jawa yang punya cita-cita seperti nenek moyang kita dulu, sebagai pelaut.

Persahabatan mereka rencananya akan berlanjut sampai pelaminan. Kenapa? Ya, karena orang tua Mae ingin ‘lepas tanggung jawab’ dengan mengawinkan anaknya. Secara ‘kasar’ Pak Mardi (Jaja Miharja) dan Bu Mardi (Meriam Bellina) berkelana keluar kampung untuk mengumpulkan cowok-cowok baik yang masih tersisa untuk Mae.

Dua lelaki setipe pun ditemukan. Mereka mengadakan kopi darat bersama Mae. Hasilnya? Selampek merah berkibar, alias para pria itu tidak kualified. Cowok yang dijodohkan itu pun digebuki massa, Eman-Guntoro dan Beni. Tapi tidak dengan calon terakhir, seorang bodyguard berbadan kekar. Dengan sok gagah berani, malah ketiga ‘pecundang’ itu yang diamuk si bodyguard.

Namun ternyata kejadian itu membawa berkad. Boss di bodyguard, Randy (Richard Kevin) merasa tertarik dengan Mae. Penjelasan tentang perempuan tercantik ala bodyguard sudah cukup menumbuhkan niat untuk dia menghampiri Mae. Mendapat durian runtuh begitu bagaimana Mae tidak senang. Sayang, karena salah paham kesempatan emas itu lewat begitu saja, malah menyisakan dendam. Ouw.

Lalu, dengan siapakan Mae akan berjodoh. Apakah persahabatan mereka akan berujung ke pelaminan? Oh, kali ini disarankan untuk menonton film ini. Moodnya begitu bagus. Dari segi teknis, warna, sound, pengambilan sudut gambar begitu memuaskan. Setting lokasi ‘kawin’ dengan karakter dan cerita yang hendak dibangun. Lagu-lagu soundtrack yang digarap oleh Slank pun begitu membumi.

Jangan salahkan para aktornya ‘bermain sebagai diri mereka sendiri’. Justru itu kekuatannya. Salut untuk skenarionya yang masih secerdas dan sekritis Naga Bonar Jadi 2. (Musfar Yasin adalah penulis skenario untuk Naga Bonar Jadi 2-red). Salut juga untuk ‘personalisasi’ Hanung dalam menggarap film ini. Mengaku anak gang, anak kampung, dia bisa memberi sesuatu yang menghibur penonton. Kerja bagus.

Get Married tayang di bioskop mulai 11 Oktober 2007. Be There.

[ Last edited byjf_pratama at 13-10-2007 11:27 AM ]

jf_pratama Publish time 7-10-2007 02:54 PM

Idelisme Hanung Bramantyo

Sutradara Hanung Bramtyo sudah menghasilkan lebih dari lima film layar lebar sepanjang karirnya. Piala Citra pun sudah pernah dia raih. Namun Hanung tidak berpuas diri. Ada satu impiannya, membuat film idealis, yang kini sudah terlaksana.

“Ini idealisme saya, ini hidup saya. Saya berasal dari gang, orang kampung,” kata Hanung ditemui selepas preview film ‘Get Married’, Kamis siang (4/10). Maka dari itu Hanung menemukan ‘masa lalunya’ dalam mendirect film ‘Get Married’. Tak asing baginya untuk keluar-masuk kampung dan mencari gambar-gambar indah untuk ditampilkan.

“Justru buat saya sulit untuk mengambil gambar dalam setting caf

jf_pratama Publish time 7-10-2007 03:02 PM

‘Mereka Bilang, Saya Monyet’ Dilayar Lebarkan
Jumat, 28 September 2007

Astaga!Layar – Tingginya tingkat kekerasan wanita dan anak-anak, karena minimnya pendidikan akan kesadaran masyarakat akan sebuah hak asasi manusia, yang akhirnya membuat manusia menjadi lemah, membuat hati seorang sastra wanita Djenar Maesa Ayu bersama Intimasi Production tergugah, dengan coba mengubah pandangan itu menjadi sebuah pendidikan.

Dengan buku best seller Djenar ‘Mereka Bilang, Saya Monyet’ dan latar belakang tentang hak asasi manusi, Djenar akan mengangkatnya ke layar lebar, dengan judul film yang sama dengan bukunya.

Sekilas tentang synopsis cerita film ini, bercerita tentang pertentangan bayang-bayang masa lalu seorang penulis muda bernama Adjeng yang diperankan oleh Titi Syuman, dan penjara itulah yang akhirnya membentuk karakter Adjeng mendua, disatu sisi ia bersikap sangat agresif ketika bersama teman-temannya dan kekasihnya.

Namun pada sisi lain, sosok Adjeng berbeda 180 derajat, dimana ia menjadi seorang penurut di depan ibunya yang diperankan Henindar Amroe. Keinginannya untuk bisa lepas dari bayang-bayang itu, membuat Adjeng ingin mengekspresikan hdiupnya ke dalam karya tulis. Tapi lagi-lagi Adjeng dilanda dilema, dimana ibunya merasa keberatan dengan keinginannya.

Dalam garapan Djenar yang selaku produser pelaksana, sutradara sekaligus penulis skenario, Djenar juga menggaet aktor kawakkan Ray Sahetapy yang berperan sebagai ayah Adjeng. Kemudian ada Mario Lawalata, Joko Anwar, Arswendo Atmowilato, serta anak kandung Djenar Banyu Bening dll.

Untuk biaya film ini Djenar yang mengaku sangat low badjed, dimana tidak ada sponsor dan lain-lain. Bahkan untuk promosi, tidak ada, karena itu membutu*kan biaya yang sangat banyak. Dan bagi yang mau menonton film ini, hanya bisa di tonton di bioskop blitz, karena film tersebut tidak akan diproduksi dalam format film, namun hanya format digital. Dengan demikian, pemutarannya juga terbatas, hanya di yang mempunyai proyektor untuk film format digital.

“Rata-rata pemain-pemain ini tidak dibayar,” ungkapnya.

Film ini sendiri, diakui wanita kelahirn Jakarta 14 Januarti 1973 ini, mungkin tidak akan sama. Karena di dalam bukunya, lebih bersifat tekstual, sedangkan di film lebih bicara gambar.

“Biar gambar saja yang bicara. Jadi setidaknya saya tidak punya beban ketika saya merubah sedikit dari buku aslinya,” pukasnya.

Film ini sendiri rencanya akan tayang, akhir tahun 2007, jadi tunggu saja apa filmnya bakal sesukses bukunya.

jf_pratama Publish time 7-10-2007 08:34 PM

Sosok "Pocong Gaul" di Tengah Keramaian
       http://www.suarapembaruan.com/News/2007/10/07/Hiburan/07adega1.gif

Film :   Pocong 3
Sutradara:Monty Tiwa
Pemain:Francine Roosenda, Darius Sinathrya, Elmayana Sabrenia, Rina Hasyim.
Skenario:Monty Tiwa
Genre : Horor
Produksi:SinemArt

Musim film-film sekuel tidak hanya melanda Hollywood. Indonesia jugamengalami hal yang sama. Beberapa film horor yang pernah mencatatpenjualan tiket tinggi, akan hadir lanjutannya dalam waktu dekat ini.Sekuel horor Kuntilanak, Jelangkung, dan Pocong akan hadir menjelangLebaran nanti.

Pocong 3yang akan tayang pada 11 Oktober 2007 adalah produksi ke 13 rumahproduksi SinemArt. Berbeda dengan dua sekuel sebelumnya, sekuel Pocong kali ini disutradarai Monty Tiwa. Sebelumnya Rudi Soedjarwo menggarap Pocong 2, dan Pocong yang tidak lulus sensor.

Pocong 2 memperoleh pemasukan yang besar, sehingga ide untukmelanjutkan cerita ini terus bergulir. Sekuel ketiga ini diharapkanmelampaui target pemasukan Pocong 2, sehingga beberapa terobosan coba dilakukan.
Dalam film Pocong 3penulis cerita sekaligus penulis skenario, Monty Tiwa mencobamenawarkan cerita yang berbeda dari dua sekuel sebelumnya. MenurutMonty, film ini tetap menjaga benang merah dengan film sebelumnya.

"Kami coba tawarkan horor dengan pendekatan yang natural. Oleh karenaitu, kali ini hantu pocong hadir di tempat yang jauh dari kesan sepi.Pocong dapat hadir di keramaian seperti klub malam," ujarnya.

Di sekuel yang ketiga ini, cerita hantu pocong dikaitkan dengankarakter utama, Putri (Francine Roosenda), yang memiliki profesisebagai disc jockey(DJ) di sebuah klub terkenal. Sebagai pribadi, Putri mengalamiperjalanan hidup yang tidak menyenangkan. Ia ditinggal pergi begitusaja oleh ayahnya, sehingga ketika ibunya meninggal otomatis dia hidupsebatang kara. Meskipun kadang kala masih ada saudara dekat yangmengunjunginya, hal itu tidak bisa mengobati rasa kecewa Putri terhadapayahnya.

Kebencian Putri terhadap ayahnya juga tidak hilang ketika ayahnyameninggal. Putri menanggapi dingin peristiwa itu. Setelah ayahnyameninggal, Putri mulai mengalami kejadian-kejadian aneh. Putri diikutioleh hantu ke mana pun dia pergi.

Putri akhirnya mengetahui peristiwa aneh itu dari tantenya yangdiperankan oleh Rina Hasyim. Sang tante menceritakan bahwa keluargamereka sebenarnya masih keturunan pendekar di masa silam. Ilmu pendekaritu ternyata diwariskan secara turun-temurun.


http://www.suarapembaruan.com/News/2007/10/07/Hiburan/07filmpo.gif
http://www.suarapembaruan.com/News/2007/10/07/Hiburan/07adegan.gif

Ilmu Hitam

Namun sayangnya, ilmu yang diwariskan secara otomatis itu adalah ilmuhitam. Sifat ilmu hitam adalah mengajak pemilik ilmu untuk terusmelakukan perbuatan sesat. "Maka dari itu ayahmu langsungmeninggalkanmu ketika ia merasa sudah tidak mampu membendung ilmu itu.Ayahmu sebenarnya sangat sayang kepadamu," bunyi dialog sang tantekepada Putri.

Putri pun terus mengalami kejadian aneh, mulai dari tiba-tiba memilikiilmu kebal, melihat setan, hingga mampu mempengaruhi orang lain. Padaawalnya Putri tidak percaya dengan semua itu, tetapi berkali-kali jugaia membuktikan kelebihan pada dirinya. Bersama dengan Bayu (Gary Iskak)Putri membuktikan dirinya memiliki ilmu kebal, sementara itu denganMichelle (Elmayana Sabrenia), manajer klub, Putri membuktikan bisamempengaruhi orang lain.

Kemudian, Putri tidak dapat menguasai ilmu yang dimilikinya. Ia mulaimemiliki keinginan untuk membunuh orang. Orang yang pertama dibunuhadalah Michelle, atasan sekaligus perampas sang kekasih. Putrimengalami kebimbangan atas perubahan yang terjadi pada dirinya.

Untuk seorang pendatang baru, kemampuan akting Francine Roosenda tidakterlalu mengecewakan. Francine mampu mengimbangi Darius Sinathrya yangsebelumnya pernah bermain dalam Nagabonar Jadi 2 dan D'Bijis, sementara Elmayana Sabrenia pernah bermain dalam Brownies, Mengejar Mas-Mas, dan Ujang Pantry.

Secara umum karakter dalam film itu memiliki sinergi yang bertautan.Hal itu disebabkan Monty Tiwa yang juga dikenal sebagai penulisskenario. Jadi wajar saja jika jalinan cerita dalam film ini diusungdengan baik. Monty sepertinya berhasil mengusung ketegangan horor dalamceritanya. Hantu pocong yang ditampilkan beberapa kali mengejutkan.Namun kurang memaksimalkan tata suara. Suara memang membantumenampilkan pocong yang mengejutkan, tetapi kadang kala tata suara itumalah terkesan bising.

Pocong 3 cukup menghibur. Bahkan Monty menghadirkan jenis hantuyang berbeda, "setan asyik". "Jangan takut dong Put, kayak lo nggakpernah lihat setan gentayangan saja. Bagi rokoknya dong Put. Nyalaindulu dong apinya. Jadi konsep gentayangan adalah..." kata hantuMichelle kepada Putri yang ketakutan setengah mati.

Namun sebagai film sekuel, sepertinya Pocong 3 memilikitantangan yang lebih besar dari sebelumnya. Apalagi umumnya pembuatansekuel di Indonesia hanya ingin menarik keuntungan dari kesuksesansebelumnya. Padahal tantangan film sekuel lebih besar, seperti harusmemberi sesuatu yang lebih ke penonton sambil menjaga kesuksesan yangsebelumnya sudah diraih.

[ Last edited byjf_pratama at 7-10-2007 07:54 PM ]

jf_pratama Publish time 13-10-2007 12:13 PM

Sophan Sophian-Widyawati Bintang Film "Love"

http://www.rileks.com/images/content/11913796910.jpg
Sophan Sophian & Widyawati

Dalam konperensi pers di Jakarta, Selasa, 2/10-2007, Widyawati mengungkapkan perannya dalam film produksi 13 Entertainment ini adalah sebagai Lestari.

Lestari, menurut Widyawati, adalah perempuan penuh kasih, menemukan cinta dalam usia yang tak lagi muda. Ia bertemu dan menerima keadaan Nugroho, penderita penyakit alzhaimer yang ia cintai.

Sayangnya, Widyawati yang hadir tanpa sang suami itu tak bisa mengungkap lebih jauh tentang perannya dalam film yang juga dibintangi Luna Maya, Darius Sinathrya, dan Laudya Chintya Bella ini.

"Tunggu saja rilisnya nanti pada saat Valentine Day 2008," ujarnya.

Penulis naskah film "Love", Titien Wattimena mengungkapkan "Love" adalah film yang memberi porsi pada lima cerita cinta. Ia meramu kisah cinta pak guru dengan ibu penjaga warung, kisah cinta segitiga antara wanita bersuami, kisah pertemuan pada pandangan pertama, kisah "beda kelas" seorang novelis dnegan penjaga toko buku, hingga kisah pahit seorang adik yang merelakan kekasihnya dinikahi kakaknya sendiri.

"Film ini memiliki kisah-kisah unik dan akan menjadi film cinta yang lengkap. Sebab ini bukan hanya cinta antara cewek dengan cowok, tapi lebih dari itu cinta adalah penuh warna, cinta itu sederhana, dan cinta adalah kehidupan itu sendiri," kata Titien yang juga menulis naskah untuk film "Cinta Pertama" dan "D`Bijis".

Akting Sophan Sophiaan dan Widyawati juga akan diimbangi dengan penampilan pasangan kekasih yang selama ini selalu tampil bersama dalam film, Acha Septriasa dan Irwansyah.

Acha mengungkapkan dalam film ini ia berperan sebagai Iin, seorang gadis asal Sukabumi yang datang ke kota besar Jakarta. Ia merasa tertantang dengan peran yang dimainkannya dalam film ini.

"Iin orangnya lugu, lucu, dan berasal dari daerah. Karakternya beda banget engan karakter yang biasa aku mainkan. Sebelumnya kan aku selalu dapat peran yang serius banget," ujarnya yang hadir bersama sang kekasih.

Produser film ini, Manoj Samtani, mengaku dirinya ingin membuat sesuatu yang berbeda dalam perfilman Indonesia dengan menghadirkan tema cerita cinta yang tidak biasa. Ia juga mengusung sutradara muda dari Malaysia, Kabir Bhatia, untuk menggarap film ini.

http://www.rileks.com/images/content/11913796920.jpg
Luna Maya (foto:Dipa Mulia)

"Kabir bukan nama baru di perfilman internasional, ia telah menjejakkan banyak karya di India, Malaysiam hingga Singapura," ujar Manoj.

Syuting "Love" direncanakan selama satu bulan dimulai pada 15 Oktober mendatang di Jakarta, Bogor, dan Cibodas. Film ini akan dirilis bertepatan dengan Hari Kasih Sayang (Valentine Day) pada Februari 2008.(ant/ly)

jf_pratama Publish time 13-10-2007 12:16 PM

FILM Sundel Bolong, Hantu Cantik Yang Sadis

http://www.rileks.com/images/content/11921813280.jpg
Film Sundel Bolong

LEBARAN dan yang masih liburan namun bagi yang suka nonton, mungkin film berjudul "Sundel Bolong", salah satu alternatif tontonan yang menarik untuk ditonton. Apa pasal?

Karena dalam film yang diproduksi oleh Rumah Produksi Rapi Film dan disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini, menampilkan film yang agak berbeda dari biasanya. Film dibuat bernuansa jaman dulu.

Film berawal dari seorang penari ronggeng yang cantik, Imah (Jian Batari Anwar) dan suaminya Sarpah (Baim) memutuskan untuk pindah kedesa lain dan bekerja pada Danapati (Tio Pakusadewo) sebagai buruh pemetik teh.

Meski Imah sudah memutuskan untuk berhenti jadi penari, tetapi penduduk desa sudah terlanjur tidak menyukainya, karena memandang rendah profesi penari ronggeng.

Diam-diam Juragan Danapati ternyata menyukai Imah, ia melakukan apa saja untuk mendapatkan Imah, termasuk mengutus Sarpa untuk mengambil bibit teh di daerah Sumatera. Dan akhirnya Sarpa meninggalkan Imah sendirian.

Danapati pada suatu kesempatan berhasil memperkosa Imah dengan mudahnya. Saat Sarpa kembali dari perjalanannya, Imah berusaha menutupi kejadiaan yang menimpanya. Tiba-tiba muncul banyak kejadian aneh didesa Banjar dan Sindangsari, banyak terjadi pembunuhan dengan luka di punggung mayat yang sudah bolong.

Warga menjadi resah hingga menimbulkan saling curiga diantara mereka. Sementara warga mencari si pelaku, teror hantu Sundel Bolong terus muncul dan membuat situasi semakin menegangkan.

Diakhir cerita, Imah ternyata sudah mati dibunuh dan diperkosa oleh beberapa orang suruhan juragan Danapati. Arwah Imah merasuki tubuh wanita lain. Dan Imah jadi sundel bolong yang bisa membunuh tanpa ampun.

Cerita Sundel Bolong merupakan legenda Hantu yang sudah difilmkan sejak lama. Artis senior Suzanna adalah aktris yang paling banyak dan identik dengan karakter ini. Rapi Film sendiri menjadi Rumah Produksi yang pertama memfilmkan legenda ini.

Mengulang kesuksesan terdahulu, maka Sundel Bolong kembali dibuat dan disandingkan dengan hantu-hantu lain yang sedang maupun akan tayang dibioskop kita. Mampukan Sundel Bolong mempertahankan image suksesnya, apalagi Suzanna kini tidak lagi menjadi sang Sundel Bolong, melainkan aktris anyar Jian Batari Anwar.

GENRE : Horor
PEMAIN : Baim, Tio Pakusadewo, Jian Batari, Uli Auliani
SUTRADARA : Hanung Bramantyo
PENULIS NASKAH : Erik Tiwa/Hanung Bramantyo
PRODUSER : Subagio S, Gope T. Samtani
DISTRIBUTOR : Rapi Film
DURASI : 91 Menit
KLASIFIKASI PENONTON : Dewasa (18+)
TANGGAL RILIS : 18 OKTOBER 2007

jf_pratama Publish time 21-10-2007 03:39 PM

Legenda Sundel Bolong

(Horror, 91 minutes)
Starring Tio Pakusadewo, Baim, Jian Batari, Uli Auliani.
Directed by Hanung Bramantyo.
Produced by Rapi Films.

This re-interpretation of the 1981 film Sundel Bolong (the title referring to a popular figure of a lady ghost with a hole on her back) takes the legend further back into more traditional roots, and takes a slightly different route from today's heavily jammed traffic in the urban horror lane.

Imah (Jian), an ex-ronggeng (a village dancer commonly associated with moral decadence), marries Sarpa (Baim) and gets ready to settle down. However, malicious tea plantation owner Danapati (Tio) has his sights set on her.

He arranges to have Sarpa removed from the village, and kidnaps Imah to add to his collection of women serving his unorthodox sexual urges.

When Imah manages to escape, she finds herself pregnant with Danapati's child, and tries to flee the village, while Danapati's men chase after her. Then, a ghostly lady figure begins to terrorize the village and murders some seemingly innocent men.

Compared to the other local horror films released shortly before it, this film offers a more wholesome and better-structured story, although the idea of a ronggeng's awkward position in society could leave some room for more interesting exploration.

The opening is very promising and Fauzan Rizal's dark cinematography helps set the mood. Hanung handles the scenes with ghost appearances in a more traditional way, refusing to succumb to over-stylized editing or CGI, and therefore achieves the creepiness quite well, at first. But after a while the scares wear out, and the rough special effects later on don't help matters.

Still, you've got to give Hanung a little credit for trying to keep everything intact and not get carried away with cheap scares. The cast gives fine performances, especially the charismatic Tio in the role of Danapati.

But you can't help thinking -- especially after looking at the promotional stills -- man, it just could have been creepier! **1/2 (out of *****)

[ Last edited byjf_pratama at 21-10-2007 05:49 PM ]

jf_pratama Publish time 21-10-2007 04:05 PM

Cinta Kocak Gadis Betawi
Susi Ivvaty

Film komedi romantis banyak dibuat. Namun, dalam "Get Married", adegan romantis pun dibikin kocak. "Get Married" adalah drama hidup gadis Betawi di sebuah kampung bergang sempit yang diceritakan dengan serba cair dan jenaka. Sebuah olok-olok kehidupan masa kini yang sebenarnya getir.

Lulus kuliah lantas menganggur mungkin jamak di negeri ini. Namun, jika cewek yang menganggur itu sulit mendapat jodoh padahal usianya sudah lepas 20 tahun, orangtuanya pun kalang kabut.

Di zaman yang makin arif menyikapi pilihan hidup seseorang, termasuk pilihan untuk tidak memusingkan kapan harus menikah atau tidak menikah sekalipun, tema perjodohan rupanya masih menarik diangkat ke layar lebar. Dalam Get Married, penulis skenario Musfar Yasin menyuguhkan tema klasik tentang stereotip bahwa seorang gadis harus cepat-cepat menikah agar bisa menghasilkan keturunan dan tidak membebani keluarga.

Usai lulus dari sekolah sekretaris, Maemun (Nirina) justru menganggur. Profesi itu bertentangan dengan keinginannya untuk menjadi wanita polisi. Ayah dan ibu Mae (Jaja Miharja dan Meriam Bellina) pusing ketika Mae pun tidak kunjung dilamar orang.

Setiap hari Mae hanya bermain gaple bersama tiga sahabat sebayanya, Beni (Ringgo Agus Rahman), Guntoro (Desta Club Eighties), dan Eman (Aming). Empat anak muda itu menjuluki diri mereka sebagai anak muda paling frustrasi se-Indonesia.

Jika Mae gagal menjadi polisi, Beni tidak kesampaian menjadi petinju dan malah sekolah pertanian. Sementara itu, Guntoro tidak berhasil menjadi pelaut dan hanya sempat kursus komputer. Eman yang bercita-cita menjadi politisi justru dimasukkan pesantren oleh orangtuanya.

Cair dan mengalir

Drama yang semestinya getir itu di tangan Musfar Yasin dan sutradara Hanung Bramantyo menjadi sebuah olok-olok dan dituangkan dengan cair dan mengalir. Mirip dengan film garapannya yang lain, Jomblo, Hanung membuat prolog dengan format narasi yang disisipi animasi. Suasana kocak sudah terbangun sejak awal.

Kekocakan berkembang saat orangtua Mae sibuk mencarikan jodoh buat Mae ke kampung sebelah. Ternyata, mencari lelaki yang pas untuk Mae sangat sulit, hingga keduanya pun frustrasi. "Pemuda yang baik sudah habis," kata ayah Mae. Sang ibu menyahut, "Saya dapat satu, tapi sisa-sisa."

Proses lamaran yang semestinya sakral juga digambarkan dengan jenaka. Dapat diduga, Musfar menggambarkan karakter dan perilaku para pemuda yang melamar secara variatif, mulai seorang guru yang terus menebar senyum hingga bodyguard berbadan kekar. Meski demikian, dialog yang dipilih menunjukkan skenario film ini dibuat dengan matang.

Musfar mengakui, ia telah mengedit sendiri naskahnya berulang-ulang agar lebih menarik. Judul asli yang dibuatnya, Kepayang, kemudian diubah menjadi Get Married setelah berkompromi dengan produser dan pihak lain.

Adegan demi adegan dibangun dengan mengalir dan cair sehingga nyaris terlalu enteng, sekadar untuk lucu-lucuan saja. Adegan empat sekawan mencari rumah dukun, misalnya, harus melintasi sungai dan hutan, terkesan berhari-hari sampai-sampai harus membawa ransel besar dan buang air besar di sungai. Sesampai di rumah dukun, mereka melihat ada angkutan umum yang melintas di daerah itu.

Sampai di sini, cerita soal perdukunan pun selesai begitu saja. Empat sekawan kembali ke kehidupan nyatanya, main gaple di saung dekat waduk.

Dari segi penggarapan, Get Married tidak secerdas Jomblo, yang sangat kaya mengeksplorasi suasana kampus dan peristiwa di berbagai tempat. Karakter tokoh-tokohnya juga berkembang. Dalam Get Married, Hanung kurang mencari varian-varian yang lebih cerdas untuk mengembangkan adegan dan karakter tokoh, kecuali adegan tawuran.

Adegan main gaple dan konflik di sekitar waduk seharusnya masih bisa dibuat lebih kreatif. Kemunculan Mae selalu sama. Akting Ringgo dan Desta terkesan tidak penuh. Hanya Aming yang bisa mengeksplorasi karakternya, seorang santri gagal yang frustrasi. Ia sedikit banyak mampu melepaskan diri dari kesan bencong yang selama ini melekatinya.

Namun demikian, potret kekumuhan kampung tergambarkan dengan detail dan pas. Tampah berisi ikan asin yang dijemur di atap rumah, jemuran baju yang tergantung di mana-mana, juga seorang warga menjemur kasur kapas di depan rumah dan menepuk-nepuknya pakai rotan. Pemandangan yang khas sebuah kampung miskin dan padat.

Sebuah film yang digarap serius dengan cita rasa komedi yang kental. Menghiburlah....

[ Last edited byjf_pratama at 21-10-2007 05:50 PM ]

jf_pratama Publish time 21-10-2007 04:16 PM

Get Married (Comedy, 105 minutes) Starring Nirina Zubir, Ringgo Agus Rahman, Desta, Aming, Richard Kevin, Jaja Miharja, Meriam Belllina. Directed by Hanung Bramantyo. Produced by Starvision.

A crowd-pleasing comedy about a girl (Nirina) who is pressured by her parents to take the vow which prompts a series of unfortunate matchmaking, until she finds the man of her dreams (Richard). But her three slacker kampung friends (Ringgo, Desta and Aming) complicate things.

Once you view it from the right perspective, you will overlook the oversimplifying of things and the film becomes an amusing satire of society's simplistic view of marriage.

Richard might have a problem with his line delivery, but Nirina finally finds a decent material for her tomboy persona, Ringgo and Aming entertain despite being typecast, and the riot scene is realistic, funny, and nicely orchestrated. *** (out of *****)

Kuntilanak 2 (Horror, 97 minutes) Starring Julie Estelle, Evan Sanders, Ibnu Jamil. Lita Soewardi, Piet Pagau, Bella Esperance. Directed by Rizal Mantovani. Produced by MVP Pictures.

The follow-up to the commercially successful 2006 film finds Sam (Julie) coping with her dark side -- being the sole summoner of kept lady-demon Kuntilanak -- while a cult group is after her to take advantage of her supernatural ability.

The film looks better and the ghosts are slightly creepier than the artificial ones in its predecessor, but the story is not really engaging, the opening sequence is completely pointless, and the supporting actors' over-the-top, sinetron-esque acting is a real put-off.

But, in a better film, the shot with Bella butchering her victim could have been an iconic, classic moment. The cliffhanger of an ending is an annoying prep for another sequel, but it comes with a twist that will re-grasp your attention after losing it for the last half hour. **

Pocong 3 (Horror, 85 minutes) Starring Francine, Darius Sinathrya, Elmayana Sabrenia, Gary Iskak, Rina Hassim. Directed by Monty Tiwa. Produced by Sinemart Pictures.

This follow-up to the well-made and genuinely scary Pocong 2 has some big steps to follow, and it staggers panting way behind. A night club DJ (Francine) faces the terror of the titular shrouded ghost following the death of her father, as the old man's past begins to unveil.

The film has some big problems with its visual department, with an art direction that makes the supposedly happening night club look like a badly planned private party finding a last-minute location in an abandoned warehouse in Kota.

Monty, who wrote a very good script for Pocong 2, fails to save the film with his typically witty lines. In fact, the script feels like a tired variation of Pocong 2, with the same familial issues (this time with the father instead of the sister) and the same scare tactics.

The shockers aren't much of a jumper and the movie's comedic timing is off. The confusion is answered at the end, where the film features some bloopers during the credits. If even the film is not taking itself seriously, how can anyone expect us to? *1/2

[ Last edited byjf_pratama at 21-10-2007 05:48 PM ]

jf_pratama Publish time 28-10-2007 04:27 PM

Belahan Jiwa (Soulmates)

Sutradara/Skenario: Sekar Ayu Asmara
Pemain: Rachel Maryam, Dian Sastrowardoyo, Marcella Zalianti, Dina Olivia, Nirina Zubir
Produksi: MVP Pictures

Lagi, sebuah film Indonesia mendapat pengakuan internasional. Kali ini film psiko-drama karya Sekar Ayu Asmara berjudul Belahan Jiwa (Soulmates). Penyerahan penghargaan memang baru akan diberikan di Manhattan, New York, Amerika Serikat, pada 2 November mendatang. Namun, dipastikan bahwa Belahan Jiwa mendapat penghargaan sebagai Best International Feature Film dalam ajang New York International Independent Film & Video Festival. Sebuah ajang festival film independen yang dirintis oleh Stuart Alson sejak tahun 1993.

Film, yang pernah disertakan dalam ajang lain di Shanghai Film Festival 2006 serta Cairo Film Festival 2006 ini, mengisahkan tentang empat teman yang menghadapi masalah mereka sendiri. Namun akhirnya berujung pada satu konflik. Empat sahabat ini akhirnya menyadari bahwa mereka sebenarnya mewakili empat kepribadian yang ada dalam tubuh satu orang. Sebuah teka-teki psiko-drama yang mengundang rasa ingin tahu akhir ceritanya.

Meskipun ketika film ini beredar, banyak dikomentari bahwa film psiko-drama bukanlah "film pasar", namun dengan penghargaan di New York ini bisa jadi akan memancing publik untuk menontonnya. (*/ivv)

[ Last edited byjf_pratama at 28-10-2007 03:29 PM ]

jf_pratama Publish time 28-10-2007 04:30 PM

The Jak (Documentary, 75 minutes). Directed by Andibachtiar Yusuf & Amir Pohan.

After about five years Indonesian cinema screens welcome another Indonesian documentary film. Telling the story about soccer fans club Jakmania, the film is a closer encounter with the club and an insight to its attitude.

The film put too much weight on group members' need for self-recognition and doesn't speak enough about obsession with the sport itself. It makes you think that soccer games are merely a gathering spot for the club's showdown.

The Jak provides very little chance for audience to identify with the story. Non-soccer fans might not find it enjoyable, while other clubs' fan might find it irritating. As much as it is worth celebrating documentary film's return to cinema, the film itself does not have a lot to offer. *1/2

jf_pratama Publish time 29-10-2007 10:35 AM

Denias Masuk Nominasi Oscar
Jum'at, 19/10/2007

Produser film Denias Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen,yang juga suami-istri, patut berbangga hati. Sebab, filmnya tersebut masuk nominasi Oscar kategori film berbahasa asing terbaik.

JAKARTA (SINDO) –’’Ini sebuah prestasi yang menakjubkan dan mengejutkan. Sebab, saya dan Mas Ale (Ari Sihasale) tidak menyangka Denias bisa masuk nominasi. Seleksi Oscar kan sangat ketat. Mudah-mudahan aja ada keajaiban,’’ ujar Nia, saat dihubungi tadi malam yang baru pulang dari Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Bersama 62 film lainnya, jelas Nia,film yang disutradarai John de Rantau itu akan diseleksi lagi untuk mencari lima nominasi dalam kategori film asing terbaik Oscar 2008. ’’Kabarnya sih, film asal Rumania yang berjudul 4 Months, 3 Weeks, and 2 Days menjadi calon kuat peraih Oscar untuk kategori ini. Namun, kami tetap optimislah. Setidaknya, sudah masuk nominasi aja sudah prestasi,’’ paparnya.

Bercerita tentang film Denias ini,ungkap Nia,dia serta suaminya akan kembali membuat film yang bercerita tentang Indonesia. Artinya, Nia tidak ingin ikut-ikutan untuk membuat film horor versi Indonesia yang sedang booming.

’’Wah, kami enggak jago bikin film horor.Jadi, kami tetap akan fokus membuat film tentang anak-anak atau masyarakat Indonesia dengan latar belakang budayanya. Film merupakan media yang sangat efektif untuk menyampaikan sebuah pesan,’’ paparnya.

Meski demikian, Nia mengakui sudah balik modal dalam pembuatan film Denias. ’’Syukurlah, kami sudah terima untung dan balik lagi modalnya. Hal itu membuktikan bahwa masyarakat Indonesia sangat merindukan filmfilm Indonesia tentang budayanya. Saya pun sangat puas lahir dan batin saat membuatnya,’’ jelasnya, yang sedang mempromosikan Denias ke seluruh Indonesia.

Sebelum masuk nominasi Oscar, Denias yang bercerita tentang usaha seorang anak Papua untuk sekolah itu telah diseleksi dari Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI). Mereka memilih Denias daripada Opera Jawa dan The Photograph untuk menjadi wakil Indonesia di ajang Oscar 2008. (sali pawiatan)

Trunkk_ZZ Publish time 30-10-2007 10:40 AM

walaupon certain filem indon aku memang nyampah tahap gile esp ada cinta :Itapikan aku suka arrr citer eifel i'm in love....jf ko ada sambungan citer tu tak? :lol:

jf_pratama Publish time 11-11-2007 05:21 PM

Film Dokumenter
Geliat Kaum Muda

Ilham Khoiri

Kaum muda semakin bergairah saja untuk mengekspresikan diri melalui film. Secara teknis, karya-karya mereka mungkin tidak mengejar pencapaian para sineas mapan, tetapi gagasan dan cara ungkapnya mencerminkan semangat yang cukup segar. Siapa tahu, potensi ini bakal menjanjikan harapan beberapa tahun mendatang.

Fenomena tersebut terasa dalam ajang kompetisi film dokumenter bertajuk "Think Act Change: The Body Shop Documentary Film Competition 2007" yang digelar atas kerja sama perusahaan itu dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Lomba yang diikuti kaum muda dan siswa SMU itu mengangkat tiga tema utama, yaitu soal HIV/AIDS, isu pemanasan global (global warming), dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Pengumuman dan penganugerahan hadiah dilaksanakan di Blitzmegaplex, Jakarta, Kamis (8/11) malam. Ajang ini menghasilkan sejumlah pemenang dalam berbagai kategori. Film dokumenter berjudul Sarung Petarung karya sutradara Jason Iskandar dan M Adiartha Kusuma dari SMU Kolese Ignatius meraih penghargaan tertinggi sebagai Film Terbaik, Film Favorit Penonton, sekaligus pemenang tema HIV/AIDS untuk kategori SMU.

Film ini menarik karena menampilkan respons para pelajar yang jujur dan spontan ketika membahas manfaat kondom. Dari reaksi mereka, terlihat jelas, pendidikan seks di kalangan remaja sangat dibutu*kan demi mencegah penularan HIV/AIDS. Di sini ekspresi remaja itu cukup menggigit.

Pemenang lain diraih film Janji Jabrik, Lampu Merah Tikungan Jalan untuk kategori amatir dengan tema HIV/AIDS. Kereta Angin Sahabat Bumi karya sutradara M Iskandar Tri Gunawan meraih penghargaan untuk tema pemanasan global, kategori amatir. Dengan tema yang sama, untuk kategori SMU, diraih Utopia dengan sutradara Joan Kartini Rossi, Amalia Sekartaji, dan M Rezky Afriza dari SMU 8 Jakarta.

Tema KDRT hanya memunculkan satu pemenang dari kategori SMU, yaitu Selimut dalam Kolong dengan sutradara Nyssa Nathania, Sasri Mulyani, dan Alexander Zulfikar dari SMU 4 Jakarta. Film ini mengisahkan derita Ibu Wartiyah yang pernah mengalami KDRT dan berusaha bangkit membantu ibu-ibu lain yang mengalami nasib serupa.

Menurut para juri, bahasa ungkap dan gagasan para kaum muda sebagaimana terlihat dalam lomba itu cukup mengejutkan. Kejutan itu diungkapkan sutradara Riri Reza, Ketua Bidang Program DKJ Abduh Aziz, aktivis Myra Diarsih, dan aktor Nicholas Saputra. Sebagai juri, mereka mengaku merasakan atmosfer kreatif dari kalangan anak muda untuk serius menekuni dunia film.

"Dengan mengesampingkan soal teknis seperti sinematografi, karya-karya anak muda itu mengejutkan. Mereka mengolah gagasan yang ditemui di sekitarnya dan mengungkapkannya dengan bahasa gaul, tetapi tetap kritis. Mereka mempertanyakan norma sosial, termasuk agama," kata Riri Reza.

Bagi Abduh Aziz, film semakin digemari sebagai media berekspresi sekaligus sarana yang efektif untuk menyampaikan pesan. Film dokumenter bisa jadi alat kampanye untuk mengantisipasi penyebaran HIV/AIDS, pemanasan global, dan mengurangi kasus KDRT.

jf_pratama Publish time 11-11-2007 05:22 PM

Film Dokumenter: Geliat Kaum Muda

Ilham Khoiri

Kaum muda semakin bergairah saja untuk mengekspresikan diri melalui film. Secara teknis, karya-karya mereka mungkin tidak mengejar pencapaian para sineas mapan, tetapi gagasan dan cara ungkapnya mencerminkan semangat yang cukup segar. Siapa tahu, potensi ini bakal menjanjikan harapan beberapa tahun mendatang.

Fenomena tersebut terasa dalam ajang kompetisi film dokumenter bertajuk "Think Act Change: The Body Shop Documentary Film Competition 2007" yang digelar atas kerja sama perusahaan itu dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Lomba yang diikuti kaum muda dan siswa SMU itu mengangkat tiga tema utama, yaitu soal HIV/AIDS, isu pemanasan global (global warming), dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Pengumuman dan penganugerahan hadiah dilaksanakan di Blitzmegaplex, Jakarta, Kamis (8/11) malam. Ajang ini menghasilkan sejumlah pemenang dalam berbagai kategori. Film dokumenter berjudul Sarung Petarung karya sutradara Jason Iskandar dan M Adiartha Kusuma dari SMU Kolese Ignatius meraih penghargaan tertinggi sebagai Film Terbaik, Film Favorit Penonton, sekaligus pemenang tema HIV/AIDS untuk kategori SMU.

Film ini menarik karena menampilkan respons para pelajar yang jujur dan spontan ketika membahas manfaat kondom. Dari reaksi mereka, terlihat jelas, pendidikan seks di kalangan remaja sangat dibutu*kan demi mencegah penularan HIV/AIDS. Di sini ekspresi remaja itu cukup menggigit.

Pemenang lain diraih film Janji Jabrik, Lampu Merah Tikungan Jalan untuk kategori amatir dengan tema HIV/AIDS. Kereta Angin Sahabat Bumi karya sutradara M Iskandar Tri Gunawan meraih penghargaan untuk tema pemanasan global, kategori amatir. Dengan tema yang sama, untuk kategori SMU, diraih Utopia dengan sutradara Joan Kartini Rossi, Amalia Sekartaji, dan M Rezky Afriza dari SMU 8 Jakarta.

Tema KDRT hanya memunculkan satu pemenang dari kategori SMU, yaitu Selimut dalam Kolong dengan sutradara Nyssa Nathania, Sasri Mulyani, dan Alexander Zulfikar dari SMU 4 Jakarta. Film ini mengisahkan derita Ibu Wartiyah yang pernah mengalami KDRT dan berusaha bangkit membantu ibu-ibu lain yang mengalami nasib serupa.

Menurut para juri, bahasa ungkap dan gagasan para kaum muda sebagaimana terlihat dalam lomba itu cukup mengejutkan. Kejutan itu diungkapkan sutradara Riri Reza, Ketua Bidang Program DKJ Abduh Aziz, aktivis Myra Diarsih, dan aktor Nicholas Saputra. Sebagai juri, mereka mengaku merasakan atmosfer kreatif dari kalangan anak muda untuk serius menekuni dunia film.

"Dengan mengesampingkan soal teknis seperti sinematografi, karya-karya anak muda itu mengejutkan. Mereka mengolah gagasan yang ditemui di sekitarnya dan mengungkapkannya dengan bahasa gaul, tetapi tetap kritis. Mereka mempertanyakan norma sosial, termasuk agama," kata Riri Reza.

Bagi Abduh Aziz, film semakin digemari sebagai media berekspresi sekaligus sarana yang efektif untuk menyampaikan pesan. Film dokumenter bisa jadi alat kampanye untuk mengantisipasi penyebaran HIV/AIDS, pemanasan global, dan mengurangi kasus KDRT.

[ Last edited byjf_pratama at 11-11-2007 05:11 PM ]

olaoli Publish time 14-11-2007 01:44 PM

takde sesapa nak buat ulasan pasla BERBAGI SUAMI?

feldboy Publish time 15-11-2007 03:48 AM

jf_pratama nie rajin benor posting kat sini.. :lol: :lol:
ada ke orang yang baca? :lol: :lol:
ntah-ntah dia pun tak baca... :lol: :lol:

PrincessFiona Publish time 15-11-2007 10:19 AM

Originally posted by feldboy at 15-11-2007 03:48 AM http://forum3.cari.com.my/images/common/back.gif
jf_pratama nie rajin benor posting kat sini.. :lol: :lol:
ada ke orang yang baca? :lol: :lol:
ntah-ntah dia pun tak baca... :lol: :lol:


ada aku tukang baca ;P ..baru habis tgk Mendadak Dangdut kat umah kwn masa pi beraya umah dia ;P layan lak lagu Japlai ;P

jf_pratama Publish time 15-11-2007 08:17 PM

MFI Minta UU Perfilman Ditinjau Lagi

- DPR Siap Beri Dukungan

Untuk menggugat kebebasan berekspresi, Masyarakat Film Indonesia (MFI) diwakili Riri Riza, Nia diNata, Lalu Rois Amriradhiani, dan Tino Saroengallo, mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (14/11). Sementara itu, DPR siap memberikan dukungan sepanjang demi kemajuan industri perfilman.

Kedatangan insan perfilman tersebut untuk mendaftarkan surat permohonan pengujian Undang-undang nomor 8 tahun 1992 tentang Perfilman. Hal ini diungkapkan, Sutradara Nia diNata kepada SP ketika ditemui di Kantor Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (14/11). Menurut dia, pemberlakuan UU Perfilman justru merupakan bentuk pelanggaran atas hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945.

Ketika dihubungi SP, Kamis (15/11) Anggota komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Angelina Sondakh mendukung upaya hukum yudisial review yang dilakukan Masyarakat Film Indonesia (MFI). Ia mengakui Undang-undang Perfilman perlu direvisi demi kemajuan industri perfilman Indonesia. Dikatakan langkah hukum yang diambil MFI merupakan kesehatan demokrasi yang tengah berjalan.

"Wajar saja jika mereka merasa harus menempuh jalur hukum. Mungkin mereka merasa bahwa kebebasannya dalam berkreasi dan menciptakan film menjadi sempit. Sebagai warga negara, mereka telah menggunakan haknya berdemokrasi, dan ini baik," tutur Angelina.

Angelina mengatakan, UU Perfilman telah menjadi pembahasan menarik di DPR hampir dua tahun belakangan ini. Dia jelaskan lebih lanjut, UU Perfilman memang perlu direvisi karena isinya sudah kadaluarsa. Kebebasan dalam berekspresi, lanjut Angelina, memang perlu diterapkan dan dipahami lebih dalam.

"Freedom of expression, sah-sah saja. Tapi kebebasan ini pun harus dibatasi, harus ada aturannya. Sehingga kebebasan nanti tidak salah dimengerti, dan berakhir pada demoralisasi," ujar Angelina

Namun, DPR, dikatakan Angelina, dalam hal ini ingin membuat UU Perfilman sejelas-jelasnya dan visioner. Menurutnya, perevisian ini perlu dipikirkan secara matang. Selain karena memakan banyak waktu dan anggaran, DPR inginkan nantinya UU tersebut dapat digunakan dalam jangka waktu yang panjang.

Pada pasal 28 F UUD 145 menyebut setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Nia diNata dan rekan-rekannya memohon pengujian materi antara lain, pasal 1 angka 4, Bab V, pasal 33 dan 34 UU Perfilman terhadap pasal 28 F UUD 1945; pasal 1 angka 4, Bab V, pasal 33 dan 34 UU Perfilman terhadap pasal 28 C ayat 1 UUD 1945; dan pasal 40 dan 41 ayat 1 huruf b UU Perfilman terhadap pasal 28 F UUD 1945.

Bersamaan dengan itu, surat permohonan ber- nomor registrasi 298. O/PAN.MK/XI/2007 yang ditanda tangan Riri Riza menyertakan bukti dokumen dan argumentasi dari film-film yang penayangannya dilarang. Surat tersebut telah diterima panitera MK, Widi Atmoko. Widi menjelaskan, surat permohonan tersebut akan segera diproses dan menunggu hasil rapat untuk peninjauan.

"Surat permohonannya sudah diterima, ada 11 bukti hard copy dokumen dan argumentasi dari film-film yang larang siar. Tinggal menunggu satu bukti lagi yakni dokumen ke-10 yang aslinya sudah dipegang, tapi kopi-nya menyusul," ujar Widi.

Film-film yang dilarang disiarkan antara lain, 3 Hari Selamanya karya Riri Riza, Student Movement atau Tragedi Jakarta yang didistribusikan di luar bioskop karya Tino Saroengallo, Berbagi Suami karya Shanty, Long Road of Heaven karya Nia Dinatha, dan empat karya Lalu Rois Amriradhiani yakni, Timor Lorosai, Pasabe, Black Rude, dan Tells of Crocodile.

Tiga Surat

Sebelumnya, sutradara-sutradara tersebut telah melayangkan tiga surat kepada Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, hingga surat terbuka yang diajukan pun, Komisi X DPR tidak memberi tanggapan atau respon sama sekali.

Menurut Nia, UU Perfilman yang ada tidak mengakomodasi kebutu*an rekan-rekan seprofesinya dalam berkreasi di bidang perfilman. UU Perfilman, sambung Nia, selama ini tidak melindungi dan tidak memberi jaminan hukum atas setiap aktivitas dalam komunikasi, seni dan budaya bahkan di dunia industri film.

"UU Perfilman lewat Lembaga Sensor Film telah membatasi ruang gerak film-maker bahkan aktornya dalam berkreativitas. Kami dibatasi dengan aturan-aturan yang membuat kami tidak bebas dalam menyampaikan ide. Tidak hanya bagi film-maker, tapi juga membatasi aktor dalam berakting, dan masyarakat sebagai penikmat film. Hal ini justru menghambat masa depan perfilman Indonesia," tutur Nia.

Hal serupa disampaikan Tino Saroengallo. Menurutnya, MK perlu meninjau, merevisi bahkan menghapus pasal-pasal yang tidak mendukung dan mengontrol kemajuan perfilman Indonesia.

Upaya hukum yang ditempuh Nia dan rekan-rekan dilakukan karena tidak ada respons pemerintah. Padahal, MFI telah berkali-kali mendengungkan, dan menuntut pemerintah untuk segera melakukan reformasi atas aturan dan kebijakan perfilman.

Aktris Dian Sastrowardoyo yang turut hadir di MK menyatakan keberatan terhadap UU Perfilman yang membatasi ide kreatif film-maker dan aktingnya sebagai seorang pekerja film.

"Sebagai seorang pemain film, saya merasa keaktingan saya dibatasi. Saya jelas kecewa jika ada beberapa bagian dari peran saya yang dipotong begitu saja oleh LSF. Saya bermain sesuai arahan sutradara, total memerankan tiap adegan dalam peran saya, dan itu adalah keseluruhan dari akting saya. Kalau dipotong, ya sama saja karya saya dirusak, disobek," tutur pemain Ada Apa Dengan Cinta, dan Daun Diatas Bantal.

LSF, tambahnya, merupakan lembaga yang tidak sistematis dan tidak jelas pengaturannya. Bukan hanya penyensorannya yang merugikan, tetapi juga lembaga itu sendiri tidak jelas. Selama ini masyarakat tidak mengetahui proses perekrutan orang-orang yang duduk di LSF.

shanew3stgalz Publish time 15-11-2007 08:19 PM

Originally posted by Trunkk_ZZ at 30/10/07 10:40 AM http://forum4.cari.com.my/images/common/back.gif
walaupon certain filem indon aku memang nyampah tahap gile esp ada cinta :Itapikan aku suka arrr citer eifel i'm in love....jf ko ada sambungan citer tu tak? :lol:

Ada cinta ke Love is cinta??
Pages: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 [10] 11 12 13
View full version: INDONESIAN MOVIES (Gallery and Discussion)


ADVERTISEMENT