jf_pratama Publish time 23-12-2007 12:00 PM

Reply #220 HangPC2's post

Hahahaha ... Perbedaan pendapat adalah sesuatu yang umum terjadidan yang lebih penting sama sekali tidak ada protes dari Kedutaan Besar Iran di Jakarta ...

jf_pratama Publish time 23-12-2007 12:02 PM

Kreativitas Jalan Terus
Putu Wirata Dwikora

Angin puting beliung memorakporandakan Desa Guang, Sukawati, beberapa hari sebelum ratusan petinggi berbagai negeri berkumpul di Nusa Dua, dalam Panel Antarnegara untuk Perubahan Iklim.

Cuaca berubah ekstrem, suhu Bumi naik, es di Kutub Utara mencair, permukaan air laut naik puluhan sentimeter. Sepanjang pekan, global warming jadi headline yang menghias halaman depan media massa. Sementara delegasi berbagai negara bersidang di ruang sejuk ber-AC, di luaran para demonstran berkali-kali meneriakkan protes, bahwa biang pemanasan global ini adalah negara-negara maju yang overkonsumsi terhadap fosil bumi dan hutan tropis. Demonstran bahkan secara ekstrem menuding Amerika sebagai biang pangkal muasal dari pemanasan global ini, dan karenanya diminta wajib bertanggung jawab. Entahlah, apakah keputusan-keputusan resmi di ruang sidang di Nusa Dua itu bisa memaksa para penyelenggara berbagai negara untuk menahan diri, guna mengerem laju pemanasan global ini, agar Bumi dan penduduknya tak merana dalam bencana lingkungan, di mana manusia tak punya tempat untuk menyelamatkan diri itu. Entahlah!!! Kiamat boleh jadi memang datang juga pada akhirnya, setidaknya kiamat global, sebelum datangnya kiamat semesta.

Entah deklarasi Nusa Dua atau apa pun namanya mampu menghambat proses menuju kiamat global. Entah berapa banyak pejabat dan penyelenggara negara menyadari kemungkinan kehancuran global ini. Namun, toh para seniman yang diberi stimulasi tematik untuk membuat karya di wilayah "pemanasan global" ini berhasil melakukan eksplorasi kreatif dan menghasilkan karya yang dipamerkan di Tony Raka Gallery dalam tajuk "AR(t)CHIPELAGO ALERT" dari 7 Desember 2007 sampai 8 Januari 2008. Untuk mengeksplorasi problem lingkungan hidup ini, kurator Arif B Prasetyo dan Kun Adnyana mengundang perupa yang sebagian besar merupakan nama beken dalam pameran ini: Agus Suwage, Tisna Sanjaya, Pande Ketut Taman, Mangu Putra, Yani Sastranegara, Tita Rubi, Awan Simatupang, Altje Ully, Susena, Anusapati, FX Harsono, Dicky Tjandra, Ronald Wigman, Fillippo Sciascia, As Kurnia, Rudi Sri Handoko.

Dari kacamata geopolitik, para aktivis boleh saja menuding negara adikuasa dan sekutunyalah biang dari overkonsumsi terhadap energi ini, dari refleksi filosofis, telunjuk kayaknya memang harus diarahkan ke diri "si manusia sendiri", bagai bunyi pepatah "telunjuk menuding, ******king berkait". Manusia-manusia yang serakahlah penyebab dari dikurasnya sumber daya alam dan energi, sampai alam pun hancur, kehancuran yang kelak bisa mengancam peradaban manusia. Mungkin benar negara- negara maju adalah biang kerok konsumsi energi serta kayu yang berlebih-lebihan, tapi negara berkembang yang punya hutan tropis seperti Indonesia toh menjadi negeri yang aman untuk pembalak liar maupun penyelundup, hingga gundullah hutan dan datanglah bencana.

Agus Suwage, Pande Ketut Taman, Altje Ully, Anusapati, Awan Simatupang, dan Dicky Tjandra termasuk perupa yang memvisualisasikan betapa dramatik keserakahan manusia dalam mengonsumsi sumber daya energi dan hutan tropis kita, dengan visualisasi yang penuh nuansa sarkastik dan ironis. Refleksi, sarkasme dan ironi itu terasa dalam karya "Tanpa Judul" Agus Suwage (aluminium cast, used oil, wood, fog machine, 80 cm x 125 cm, 2007) yang secara visual menampilkan cerobong asap menancap pada tengkorak, dengan asap terus mengepul, perlambang dari produksi dan konsumsi yang tiada henti. Dalam "Akar Pucuk Dimakan" karya Pande Ketut Taman (kayu, metal, 100 cm x 150 cm, 2007), kita menyaksikan hutan dan pohon yang menjerit karena telah dipasung oleh hasrat konsumtif material manusia dalam "peradaban modern" ini. Lalu dalam karya "Reconstructed, Deconstructed (kayu, besi, dimensi 250 cm x 45 cm, 2007), kita merasakan jeritan pohon dan hutan yang dicabik-cabik karena sirkulasi peradaban manusia modern membutu*kan material kayu ini dalam jumlah yang sangat besar.

Perupa yang secara tidak langsung "membicarakan" air梥eperti karya Mangu Putra, AS Kurnia, Ketut Susena梞engingatkan kita bahwa lelehan es Kutub Utara, atau badai taifun yang dahsyat, bisa menampilkan air sebagai kekuatan penghancur dan bencana yang mahadahsyat. Memang dalam volume yang proporsional tersirat dalam karya As Kurnia yang diberi judul "Kembali ke Air" (akrilik di kanvas, 145 cm x 180 cm, 2007), air adalah amerta, bagian penting kehidupan, dan karenanya bagian penting peradaban.

Tak hanya para perupa "AR(t)CHIPELAGO ALERT", kurator dari pameran ini pun sejumlah delegasi yang hadir di Panel Perubahan Iklim yang digalang PBB itu saja yang mengangkat kembali referensi terkait Bumi, lingkungan hidup, semesta dan kelangsungan peradaban. Sejumlah budayawan dan aktivis Bali pun merespons Konferensi Perubahan Iklim ini dengan menyodorkan nilai dan kearifan lokal, hingga tiba-tiba perayaan Nyepi di Bali sempat ditawarkan untuk menjadi milik dunia. Andaikan betul seluruh bangsa di dunia sempat Nyepi sehari setiap tahun梔i mana kendaraan diparkir di rumah, pesawat terbang tak beraktivitas, mesin-mesin industri diistirahatkan; tidak dalam konteks perayaan hari umat Hindu梔an kalau dunia mengadopsinya, paru-paru Bumi dapat bernapas lega sehari karena jutaan ton CO2 tak diproduksi dengan rehatnya peralatan konsumen energi itu. Menyedihkan, usulan rohaniwan dan tokoh-tokoh Bali itu pagi-pagi dimentahkan Jero Wacik, putra Bali yang Menteri Pariwisata, dengan mengatakan bahwa dunia sulit menerima konsep tersebut. Prof Emil Salim, mantan Menteri Lingkungan Hidup semasa Orde Baru, menguatkan keragu-raguan ini dengan menyebutkan "konsep Nyepi itu tidak jelas".

Andai Konferensi Perubahan Iklim di Nusa Dua itu adalah sebuah panggung bagi ksatria yang peduli lingkungan, namun sayang ketika nilai-nilai lokal disodorkan, mereka menampiknya. Mungkin benar sajalah hipotesis para demonstran yang menuding negara maju yang sudah menikmati nyamannya konsumsi energi dalam level di mana sekarang ini mereka berada tidak rela untuk menguranginya. Karenanya, kesepakatan di atas kertas yang dicapai di ruang konferensi tak boleh terlalu diharap bakal mencegah berlanjutnya pemanasan global. Namun, sekalipun kita mungkin memang benar berada di ambang mahabencana karena pemanasan global itu, life must go on, creativy should go on! Perupa terus berkarya, masyarakat menjalani kehidupannya, berpacu dengan meningkatnya suhu akibat pemanasan global.

Putu Wirata Dwikora Pengamat Seni, Tinggal di Denpasar

[ Last edited byjf_pratama at 23-12-2007 11:04 AM ]

jf_pratama Publish time 30-12-2007 11:20 AM

Tahun Horor di Republik Hantu
Susi Ivvaty

Menarik melihat perjalanan film layar lebar Indonesia sepanjang tahun 2007. Dari 55 judul film yang beredar di bioskop, 23 di antaranya adalah horor, dan sebagian besar terjual lebih dari 500.000 karcis. Apa benar orang menonton karena suka?

Film produksi Multivision Plus Pictures, Kuntilanak, disebut sukses setelah meraup 1,5 juta penonton. Ingin mendulang kesuksesan yang sama, perusahaan milik Raam Punjabi ini lalu membuat sekuel Kuntilanak 2, tetapi kurang laku dan "hanya" memperoleh 560.000 penonton.

Meski demikian, jumlah itu masih mengungguli film drama, seperti Selamanya (550.000 penonton), Pesan dari Surga (405.000) dan Kangen (380.000). Multivision lantas kembali memproduksi film horor, Pulau Hantu, yang dibuat dengan kamera digital tetapi justru sanggup mengumpulkan jumlah penonton lebih besar, yakni 700.000 orang. "Hasil dari Pulau Hantu di luar ekspektasi kami," kata Aris Muda, staf Humas MVP Pictures.

Mari kita sebut contoh lain, yakni Pocong 2, produksi Sinemart. Film ini ditonton oleh 1,25 juta orang. Angka ini memicu Sinemart untuk memproduksi sekuel Pocong 3 dan terbukti laku meski tidak sebanyak Pocong 2, yakni 750.000 penonton.

Rumah produksi lain yang banyak membuat film horor, Indika Entertainment, juga meraup banyak penonton. Setelah bangga mendapatkan 750.000 penonton untuk film Rumah Pondok Indah pada tahun 2006, Indika menjadi demen dengan jenis film ini. Sebut saja Terowongan Casablanca, Malam Jumat Kliwon, Hantu Jeruk Purut, dan Film Horor.

Apakah masyarakat memang begitu menyukai film horor? Dari jajak pendapat Kompas diketahui, film yang paling disukai masyarakat justru Naga Bonar Jadi Dua (lihat tabel), menyusul Ada Apa Dengan Cinta, yang justru film lama, produksi tahun 2002.

Pencarian ekstasi

Seniman yang juga Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia 2007, Putu Wijaya, mengamati, orang menonton film belum tentu karena bagus. Tentang film horor, Putu mengatakan, penonton ingin berteriak ramai-ramai. "Bersama-sama merasakan ketakutan dan ketegangan. Menonton film horor adalah sebuah pencarian ekstasi," ujarnya.

Film horor bisa menjadi rilis atau pelepasan dari suatu keadaan yang tidak ada pegangan. Pelepasan dari kebimbangan. "Ketika masyarakat tidak punya pegangan, hukum lemah, yang dipegang kemudian adalah imajinasi. Film horor bisa menjadi terapi masyarakat yang sakit, dan ini ditangkap oleh peda- gang menjadi komoditas," papar Putu.

Ketika menonton film horor, memang jarang terlihat orang datang sendirian. Pun lebih banyak yang datang berombongan dibandingkan hanya berdua. Dari pengamatan Kompas di sejumlah gedung bioskop, penonton rata-rata berusia remaja. Dan, berdasarkan jajak pendapat Kompas, usia responden yang paling kerap menonton film di bioskop memang 17-25 tahun, menyusul usia 26-35 tahun.

Orientasi pasar

Putu menilai tahun ini orientasi pembuatan film masih pada meraup pasar sebanyak-banyaknya. Maka, film yang diproduksi kemudian adalah cerita yang tidak masuk akal, yang tidak berpijak ke bumi. Ketika dari film horor produser mampu menangguk untung berlipat, berikutnya dibuat kembali film serupa. Bahkan kemudian diikuti banyak produser lain.

"Perfilman sampai sekarang masih dikuasai kehendak produser, yang menjadikan film sebagai barang komoditas," ujar Putu. Padahal, menurut dia, film tidak hanya mempunyai fungsi menghibur, tetapi juga makanan batin dan fungsi sosiol.

Sineas Garin Nugroho mengatakan, film horor tidak selamanya jelek asalkan dibuat dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dan kreativitas cerita. Baik Putu maupun Garin menyatakan harapannya akan makin baiknya film Indonesia pada tahun 2008.

Sedikit dugaan, tren film hantu akan bergeser pada tahun 2008, berganti dengan drama dan komedi. Sebut saja beberapa judul yang akan diputar: Kawin Kontrak, Susahnya Jadi Perawan, Otomatis Romantis, Ayat-ayat Cinta, Radit dan Jani, dan In the Name of Love. Film Quickie Express di pengujung tahun 2007 seolah menjadi pembuka jalan pada tren itu. Saatnya tertawa?

[ Last edited byjf_pratama at 30-12-2007 10:27 AM ]

jf_pratama Publish time 30-12-2007 12:18 PM

Rating Tak Cerminkan Mutu Sinetron
BE SATRIO

Dalam industri televisi, rating acara adalah alat ukur terpenting. Makin tinggi rating, makin tinggi pendapatan iklan bisa diraup. Padahal, yang terbanyak ditonton itu tidak selalu berarti yang terbaik.

Sinetron-sinetron di hampir semua stasiun televisi nasional saat ini begitu marak. Dari pagi, sore, bahkan hingga larut malam, siaran televisi dijejali sinetron, seolah tidak menyediakan alternatif pilihan tontonan lain bagi publik.

Survei gaya hidup yang dilakukan Litbang Kompas menunjukkan, jenis sinetron drama atau kisah kehidupan keluarga paling sering ditonton. Judul-judul sinetron seperti Cahaya, Azizah, Si Entong, Intan, dan Soleha adalah beberapa dari lima puluhan judul sinetron yang disebutkan oleh responden.

Jalan cerita adalah faktor utama yang menjadi alasan responden menyukai jenis sinetron-sinetron tersebut. Beberapa alasan lain yang juga diungkapkan adalah faktor pemainnya, adanya unsur pendidikan, dapat diterima akal sehat, dan berbagai alasan lain.

Sementara jenis sinetron yang paling tidak disukai adalah sinetron horor dan yang berbau mistik. Cerita yang tidak masuk akal, berlebihan, tidak mendidik, hingga mengandung kekerasan adalah berbagai alasan yang disebutkan responden.

Dari segi pemain, ada responden yang menilai pemeranan yang tidak realistis. Pemeran orangtua dan anak sering kali umurnya tidak berbeda jauh. Belum kemampuan akting pas-pasan yang ditutupi kecantikan, ketampanan, dan make up yang tebal, apa pun perannya, apa pun adegannya.

Namun, berbagai penilaian responden ini tampaknya tidak terlalu penting bagi pembuat sinetron. Yang penting acaranya ditonton banyak orang. Maka, makin semaraklah sinetron-sinetron yang menjual mimpi tanpa mengedepankan isi dan pesan yang disampaikan, mendidik atau tidak.

Ketika ditanya, sinetron yang baik itu yang seperti apa, lebih dari separuh (53,0 persen) responden menyatakan, yang baik itu yang mendidik dan punya pesan moral.

Sebab, survei ini mengungkap, kegiatan menonton televisi itu adalah kegiatan yang lebih bersifat keluarga daripada individual. Hanya satu dari dua puluh (4,9 persen) responden yang mengaku tidak pernah menonton televisi bersama anggota keluarga yang lain.

Maka tak pelak, tontonan yang mendidik itulah yang sebetulnya diinginkan hadir ke tengah ruang keluarga. Apalagi, hampir separuh responden (47,1 persen) menyebutkan, di antara anggota keluarga sang anaklah yang paling menguasai remote control. Sementara 21,1, persen yang lain menyebutkan penguasa remote control televisi di rumahnya adalah ibu, dan 16,3 persen lainnya ayah. Secara keseluruhan, sebagian besar (85,3 persen) responden mengaku menonton sinetron. Dari yang sekadar menonton sekali-sekali hingga yang mengikuti alur ceritanya setiap hari.

Lebih dari separuh responden menilai sinetron-sinetron Indonesia masih cenderung mengumbar aurat, menonjolkan kekerasan, selain jalan cerita yang tidak masuk akal dan berunsur mistik. Meski demikian, secara umum separuh (49,5 persen) responden masih memberikan penilaian baik terhadap kualitas sinetron Indonesia. Bagaimanapun karya sinetron adalah karya bangsa sendiri yang harus dihargai, mungkin demikian yang ada di benak responden.

Jika ditelusuri berdasarkan latar belakang responden, penilaian ini sedikit banyak ikut dipengaruhi oleh tingkat pendidikan atau ekonomi. Responden dengan tingkat pengeluaran di atas Rp 2 juta cenderung lebih kritis. Kemapanan ekonomi kelompok ini membuat mereka lebih punya alternatif pilihan menonton televisi, misalnya dengan berlangganan TV kabel atau parabola. Atau juga lebih leluasa memperoleh hiburan selain menonton televisi.

Rating tinggi

Apa pun penilaian publik, rating acara-acara sinetron tampaknya akan tetap bergeming di puncak. Kini logika popularitas adalah segala-galanya. Ajang- ajang pemilihan bakat dan penganugerahan awards seolah makin membenarkan bahwa mayoritas penggemar lebih penting daripada kualitas sang juara.

Cara pikir inilah yang rupanya ada di benak kalangan produser sinetron dan industriawan televisi yang melulu mengedepankan rating agar iklan mudah masuk. Rating dengan bahasa lain: pemasukan iklan jadi nadi dalam industri sinetron, bahkan juga di balik sinetron-sinetron yang bernapaskan agama.

Padahal, dalam situs resmi AGB Nielsen Media Research, lembaga yang rutin mengeluarkan rating acara televisi Indonesia, dipaparkan bahwa rating tinggi tidak hanya didominasi oleh sinetron, seperti dugaan kebanyakan orang. Survei gaya hidup yang dilakukan Kompas pun merekam hal yang tidak jauh berbeda, setidaknya dengan alat ukur preferensi acara yang disukai pemirsa. Tidak kurang 35,9 persen responden menyebutkan, jenis program berita adalah acara televisi yang paling disukai. Sementara program sinetron paling disukai oleh 18,5 persen responden. Sementara acara-acara, seperti infotainmen, olahraga, dan talkshow, masing-masing disukai tidak lebih dari 10 persen responden.

Mengapa hasil pengukuran ini bisa berbeda, karena metode pengukuran rating lebih berfungsi untuk memaparkan waktu tonton dan jumlah orang yang menyaksikan suatu acara. Pengukuran ini sulit dikaitkan secara langsung dengan alasan menyukai atau tidak suatu acara, apalagi baik buruknya acara tersebut.

(be satrio/Litbang Kompas)

[ Last edited byjf_pratama at 30-12-2007 11:26 AM ]

jf_pratama Publish time 1-1-2008 10:53 PM

Filmkan Laskar Pelangi, Mira Lesmana Gaet Riri
Kamis, 27 Desember 2007

Belakangan, perfilman Indonesia sedang dilanda trend film cerita yang diadaptasi dari novel.

SetelahHanung Bramantyo menggarap film Ayat-Ayat Cinta yang diambilberadasarkan novel bets seller karangan Habiburahman El Shirazy, kinigiliran Mira Lesmana. Produser film 3 Hari Untuk Selamanya, GIE, danAda Apa Dengan Cinta itu berencana membuat film Laskar Pelangi, yangdiadaptasi dari novel berjudul sama, karya Andrea Hirata. Pada filmterbarunya tersebut, Mira kembali bakal berduet dengan sutradara RiriRiza.

"Dasarpembuatan film tersebut dari novel yang cukup laris saat ini, dikarangoleh Andrea Hirata, berjudul Laskar Pelangi, yang menceritakan seoranganak di Belitung yang tidak mampu bersekolah, tetapi memiliki keinginankuat untuk sekolah," bebernya.

Lebih lanjut, perempuan kelahiran Jakarta,8 Agustus 1964 ini menerangkan, proses syuting film Laskar Pelangi akandilakukan di Belitung dan juga akan dibintangi penduduk asli Belitung. "Seluruhproses pembuatan film dan pengambilan gambar untuk film ini dilakukandi Belitung, satu hal yang cukup istimewa dalam film nantinya seluruhpemain asli orang Belitung.Jadi kita pakai orang-orang Belitung. Anak-anak Belitung kita utamakan,tetapi bukan tidak mungkin akan hadir aktor profesional karena adabeberapa nantinya yang sulit. Dan saat ini pun sebagian anak-anakBelitung sedang dilatih di Jakarta," ungkapnya. "Akuberusaha, nantinya film ini tidak akan seperti film Denias (DeniasSenandung Di atas Awan-red). Di sini akan terjadi sebuah perbedaan," imbuhnya. (har/indoseleb)

jf_pratama Publish time 1-1-2008 11:00 PM

Judul Film : "SUSAHNYA JADI PERAWAN"

http://office.indonesiaselebriti.com/images/film/film-susahjadiperawan-225.jpg

Jenis Film- Drama/Musikal
Pemain
- Nova Eliza, Andra Dewa 19, Restu Sinaga, Al Fathir, Tiio Pakusadewo, Julia Perez
Sutradara
- Mirwan Suwarso
Penulis
- Mirwan Suwarso/Nova Eliza
Produser
- Anang Hermansyah, Ibong Subagio, Nova Eliza, Mirwa
Produksi
- Destiny Films
Homepage
- http://www.susahnyajadiperawan.com/home.html

Sinopsis

Halle (Nova Eliza) adalah seorangmusisi berbakat yang terpaksa bekerja sebagai pramusaji di sebuah baruntuk menghidupi dirinya. Frustasi dalam berkarir, kehidupanpribadinyapun tidak lebih baik . Kerap patah cinta, ditipu, ditinggaldan disakiti, ia menjadi sangsi atas ketulusan lelaki yang mendekatinyaUntuk menghibur diri, ia mengisi acara di tempatnya bekerja, menyanyidan membawakan lagu lagu ciptaannya.

Suatu hari aksinya menarikperhatian Andra (Dewa 19) dan Kevin Purba (Restu Sinaga) seorangproduser musik dan langsung mengajaknya untuk bergabung di labelnya.Apa memang semudah itu menembus industri musik? Ataukah hanyakekecewaan yang menunggu Halle untuk kesekian kalinya?

Review

Film慡usahnya Jadi Perawan

jf_pratama Publish time 1-1-2008 11:03 PM

Judul Film : "KAWIN KONTRAK"

http://office.indonesiaselebriti.com/images/film/film-kawin-kontrak-200-ok.jpghttp://office.indonesiaselebriti.com/images/film/addimg/kawin-kontrak-.1ok.jpghttp://office.indonesiaselebriti.com/images/film/addimg/kawin-kontrak-225-ok.jpg
Jenis Film
- Drama
Pemain
- Dimas Aditya, Ricky Harun, Herichan, Dinda Kanyadewi, Lukman Sardi, Masayu Anasthasia, Mieke Amalia
Sutradara
- Ody C. Harahap
Penulis
- Ody C. Harahap, Joko Nugroho
Produser
- Raam Punjabi
Produksi
- Multivision Pictures
Homepage
- http://www.kawinkontrak.com/

Sinopsis

Tiga cowok ABG nekat mencari perawan desa untuk kawin kontrak. Alat-alat tempur sudah disiapkan mulai dari cialis, viagra, sampai... karet gelang! Jody yang seleranya ibu-ibu kawin kontrak dengan Teh Euis, janda kembang beranak satu. Dika yang senang main kasar kawin kontrak dengan Rani yang lihai menggebuk kasur, dan Rama yang super pemilih termehek-mehek dengan kecantikan Isa yang lembut dan natural.

Urusan belum selesai! Perjuangan masih panjang sebelum misi tiga sekawan ini tercapai. Teh Euis yang seksi selalu disibukkan oleh berbagai alasan ajaib justru disaat-saat 慻enting

jf_pratama Publish time 1-1-2008 11:18 PM

Judul Film : "RADIT DAN JANI"

http://office.indonesiaselebriti.com/images/film/film-radit-&-Jani200-ok.jpghttp://office.indonesiaselebriti.com/images/film/addimg/Radit-dan-Jani-ok.jpghttp://office.indonesiaselebriti.com/images/film/addimg/Radit-dan-Jani-1ok.jpg

Jenis Film
- Drama
Pemain
- Vino G. Bastian, Fahrani, Marrio Merdhitia, Nungki Kusumastuti, Joshua Pandelaki
Sutradara
- Upi
Penulis
- Upi
Produser
- Adiyanto Sumarjono
Produksi
- Investasi Film Indonesia
Homepage
- http://www.raditdanjani.com
Trailer
- http://www.raditdanjani.com
Durasi
- 110 Min       

Sinopsis

Radit dan Jani (panggilan Anjani)adalah pasangan muda yang nekat menikah walau mendapat tentangan dariorang tua Jani. Tanpa bekal uang dan pekerjaan tetap, kehidupan yangkeras harus mereka jalani. Apalagi ketergantungan Radit terhadapobat-obatan terlarang membuat langkah mereka semakin berat. Namun,mereka tetap bersatu menjadi pasangan yang bahagia dan penuh cinta.

Padasuatu hari, Jani mendapati dirinya hamil. Tiba-tiba mereka dibangunkanoleh kenyataan, bahwa hidup mereka harus berubah. Radit berusaha kerasuntuk mendapatkan penghasilan tetap dan berhenti menggunakan narkoba,agar ia bisa membahagiakan Jani dan memberi masa depan kepada anakmereka. Akan berhasilkah usaha Radit? Sebesar apakah cinta yangdibutu*kan untuk dapat menghalau semua rintangan kenyataan?

Sebuah drama romantis yang tidak biasa, di bioskop 24 Januari 2008.

jf_pratama Publish time 1-1-2008 11:28 PM

Judul Film : "TENTANG CINTA"

http://office.indonesiaselebriti.com/images/film/film-tentang-cinta.jpghttp://office.indonesiaselebriti.com/images/film/addimg/Tentang-Cinta.jpghttp://office.indonesiaselebriti.com/images/film/addimg/Tentang-Cinta.1.jpg
Jenis
Film
- Drama - Remaja
Pemain
- Sheila Marcia, Fedi Nuril, Vino G Bastian, Hayria Faturrahman
Sutradara
- Soni Gaokasak
Penulis
-
Produser
- Ir Chand Parwez
Produksi
- Starvision Plus
Homepage
- Starvisionplus.com
Rilis
- 08 November 2007                          

Sinopsis:

Bagi Sheren (Sheila Marcia Joseph),Ray (Fedi Nuril) adalah segala-segalanya. Dia adalah nafas bagi Sheren,belahan jiwa Sheren. Ketika Ray divonis menderita kanker otak, Sherentetap setia berada di sampingnya. Bahkan ketika kondisi Ray semakinkritis, Sheren berkeras melangsungkan pertunangannya dengan Ray. Danketika Ray menghembuskan nafas terakhirnya, Sheren merasa separuhjiwanya terbang bersama Ray.

Semenjak kepergian Ray, Sherenberubah. Dia pergi meninggalkan semuanya, rumahnya, teman-temannya, danmenyepi ke sebuah daerah sepi supaya dia bisa menangisi Ray tiap hari.Tak diduga, dia bertemu Evan (Vino G. Bastian), seorang cowok yangberbeda 180 derajat dari Ray. Ray sangat sabar dan penyayang sementaraEvan sinis dan berandal. Pertengkaran awal Sheren dan Evan membuatmereka kemudian menjadi musuh bebuyutan.

Ketika ulang tahunSheren tiba, secara tak terduga Sheren mendapat kado dari Ray, sebuahdiary tebal yang halamannya sudah terisi oleh tulisan Ray. Sheren jadimempunyai kesibukan baru, membaca diarynya yang berisikan tulisan Rayyang seolah mampu membuatnya tertawa lagi, seakan Ray masih bersamanya.

Suatu hari, buku tersebut jatuh ke tangan Evan. setelah membacabuku itu, Evan jatuh hati kepada Sheren. Sheren awalnya marah karenaEvan menulis sesuatu di bukunya. Tapi sebaris tulisan itu membuatSheren tahu, bahwa Evan memahami soal cinta. Mereka menjadi akrab danberujung pada mereka saling jatuh cinta. Sekali lagi dalamkehidupannya, Sheren menemukan lagi cinta yang mampu membuatnyabersemangat dan bangkit kembali. Separuh nafasnya yang terbang bersamaRay telah dibawa kembali oleh Evan.

Tapi kebahagiaan merekaterusik dengan kehadiran Audy (Hayria Faturrahman), mantan tunanganEvan yang tak sengaja bertemu dengan Evan. Audy yang ternyata takpernah meninggalkan Evan demi pria lain, dan Audy yang masih masihmencintai Evan dengan sepenuh hatinya. Hati Evan pun terbelah, diamencintai Audy tapi dia juga mencintai Sheren. Audy sangat membutu*kanEvan tapi Evan tak ingin hati Sheren hancur sekali lagi. Evan bingung.Evan bimbang. Dia mencintai keduanya. Tapi dia tak mungkin memilikikeduanya. Hidup memang kadang tak adil, dan cinta adalah sebuah pilihanyang sulit

Review

Film 慣entang Cinta

jf_pratama Publish time 1-1-2008 11:34 PM

Judul Film : "ENAM"

http://office.indonesiaselebriti.com/images/film/film-enam-1-ok.jpghttp://office.indonesiaselebriti.com/images/film/addimg/enam.jpghttp://office.indonesiaselebriti.com/images/film/addimg/enam-1.jpg

Jenis Film
- Horror - Remaja (Teenage)
Pemain
- Winnie Yanthi, Mandala Shoji, David Saragih, Duran Valentino, Barry Prima, Jeremy Thomas, Putri Patricia
Sutradara
- Stephen Odang
Penulis
- Rico M. Bradley/Irwan Mursalim
Produser
- Rico M. Bradley
Produksi
- Illuminati Production
Durasi
- 97 Min                          

Sinopsis

Casey, (Winnie yanthi ) Eric (MandalaShoji), David , Bowo, Maya, Tian dan Novi adalah anak

kalchi Publish time 2-1-2008 09:55 PM

aku nk tgk 3 days for forever xdapat2 lagi:'(

jf_pratama Publish time 6-1-2008 06:08 PM

Can Indonesian cinema create magic?
Aimee Dawis, Contributor, Jakarta

TheIndonesian film industry is growing rapidly. According to theDepartment of Films and Censorship, 70 feature films were released inIndonesia in 2007, up from 50 the year before. In 2008, more than 100feature films will be released.

Each year, there are 400-500 sinetron(television drama) titles produced for audiences across the nation.Although frequently slammed by critics because of low-qualityprogramming, sinetron has proven to be immensely popular for the Indonesian market, capturing a high audience share.

In late 2007, Get Married and Quickie Express have captured the attention of Indonesian movie-goers. Get Married had more than 1 million viewers, and Quickie Express,starring Tora Sudiro and produced by Nia Dinata, looks like it is goingto be a runaway success. Multiplexes such as the Blitz Megaplex atGrand Indonesia -- which draws an average of 11,000 moviegoers daily onweekends and 4,000 on weekdays -- are willing to give local films alonger run, which have contributed to the increasing popularity oflocal films.

In my conversations with the rising stars and key players in theIndonesian film industry and my own observations, there is a tremendouspotential for Indonesian culture industries to become a formidableforce in Southeast Asia.

Indonesia boasts over 13,500 islands and 300 ethnic groups. Accordingto various sources and foreigners, we have the most beautiful island onearth (i.e. Bali), dense rain forests and intricate monuments such asBorobudur and Candi Prambanan. Thus, we have limitless untold storiesand a unique cultural perspective.
Indonesia also home to untapped creative talents. However, much moreneeds to be done before that potential may be realized.

While recent hits such as Quickie Express and Nia Dinata's Arisanare unconventional films that tackle sensitive subjects such as malegigolos and gays respectively, most of the films that have beenreleased are in the teenage romance or horror genres.

They reflect the wariness of movie and sinetron investors about theirreturn of investment, which is why they prefer to invest in "safe"genres such as teenage romance and/or horror movies. This puts a clampon creativity and restraints investment.

In The Jakarta Post's Weekendermagazine (November 2007 issue), Shanty Harmayn, the co-founder of theJakarta International Film Festival and one of the most influentialfilmmakers in Indonesia, revealed in an interview that the Indonesianfilm industry needs to produce good scriptwriters, skilled andwell-trained filmmakers, more technicians and good infrastructure forlaboratory, digital lab and sound mixing facilities.

For Indonesian cinema to grow, we need to build infrastructure (e.g., amovie industrial complex complete with indoor and outdoor studios),film festivals, a market, film schools and an industry incentivesystem.

Harmaynalso said that the Indonesian film industry has much to learn fromother Asian countries with a thriving culture industry, especiallyKorea.

Like theKorean movie industry, where the filmmakers and government are able tocollaborate, a good government policy is needed to build the Indonesianmovie industry. A ruling that protects homegrown films such as the oneimplemented in Korea, where cinemas are required to screen locallyproduced films for at least 21 days, is a good start.

The Indonesian government and filmmakers should also learn from thesynergy of image production with the promotion of their culture,industrial products and/or brands that the Koreans have built withintheir popular movies and series. The fans of Korean popular culture (orK-Pop) in Indonesia admit that their affinity with Korean language andeverything made in Korea begins with Korean movies, music and series.

The president of a K-Pop fan club I interviewed said that she would dowhatever it takes to master the Korean language so that she would beable to obtain more first-hand information on K-Pop. She also tries toincorporate as many Korean items in her life whenever possible, such asusing Samsung mobile phones, LG computers, and so on.

Another K-pop fan said that he encountered the Korean pride in theirproducts and media when he went for a job interview with Samsung atSeoul. The ways in which Koreans conduct their business (i.e. withefficiency and cutting-edge strategy) show clearly in how big-nameKorean companies such as Samsung and LG treat their employees andimplement their marketing campaigns.

Although these companies may not be directly involved with Korean media, the Korean government's commitment to support and market Koreanmedia abroad have resulted in a subliminal "brand loyalty" for fans ofKorean series and cinema which my respondents have shown.

Based on my research on Korean media and their impact on Indonesiansociety, there is an excellent opportunity for the Indonesiangovernment to market a thriving and growing market (i.e. the Indonesiancinema and series) overseas. If our media products are well knownoutside of Indonesia (as it is, our sinetron is very well received inMalaysia), fans of our media will automatically be more alert aboutIndonesia as a country and the many things that we have to offer (e.g.tourism, handicraft and other locally produced items, etc.).

That priceless worldwide awareness of our culture and Indonesia as acountry is the magic that Indonesian filmmakers can most certainlycreate. It is the government and economic support that they need topromote the magic.

The writer teaches in the graduate programs of the University ofIndonesia School of Social and Political Sciences' Dept. ofCommunications, and the Letters Department at the School of Humanities.She can be reached at canting@hotmail.com.

[ Last edited byjf_pratama at 6-1-2008 09:11 PM ]

jf_pratama Publish time 17-1-2008 07:43 PM

http://www.thejakartapost.com/caption/P24A.jpg

Putu Wijaya: Climbing the mountain of creativity
Leon Agusta, Contributor, Jakarta

At 62, Putu Wijaya, who was born on April 11, 1944, in Tabanan Bali, has produced 40 novels, 40 scripts, and over 1,000 short stories, essays and a wide variety of critical pieces on the arts, culture and social issues.

A number of these writings have been translated into Thai, Arabic, Russian, Dutch, German, French and English. He has also written screenplays and was awarded three Citra statues for that.

From the sheer volume of writing, let alone the theatrical performances and television dramas produced and directed, the impression one gets of Putu is that of a marathon runner forging into a limitless distance. He never stops. He runs continuously, as strongly as he can.

Putu, with his hefty build and powerful persona, is truly a marathon runner of the arts. He has certainly never let up the pace. He is addicted to writing. Even three days without writing makes him feel uncomfortable.

Putu has frequently won writing contests sponsored by the Jakarta Arts Council; in 1974-1975 he took part in the International Writing Program in Iowa City, U.S.; in 1980 he received the SEA (Southeast Asia) Writing Award in Bangkok; in 1985-1988 he was a guest lecturer and director at the Southeast Asia Program of the Fulbright Program in the U.S.; in 1991 he received the Anugerah Seni art award from the Education Minister; and in January 2007, he received the Freedom Institute Indonesia Award.

Truly he has run many miles and climbed many peaks. Certainly, at times he may have felt as if he were limping forward with gravel in his shoes. Yet, he kept going until it seemed as if his soul were bleeding into his shoes, until he found a kind of peace with the pain of struggling forward in the face of difficult circumstances. For example, when members of his theater troupe failed to show up on time; a situation that could enrage or panic any director.

The desire and the propensity to create and to perform grew within him from the time he was in grade school. Putu was obsessed with watching wayang (puppet shows and traditional operas) and also with reading whatever he could get his hands on whenever he could.

It was not long before he started scribbling on paper himself, and just as he finished junior high school, his first published work appeared in Suluh Indonesia, which was printed in Bali. Later his writing began to appear in the Fajar column of the Mimbar Indonesia magazine. Five years on, his essays and stories were appearing in Minggu Pagi and Majalah Djaya. Then finally, he broke through into publications like the nationally published Kompas newspaper and the respected literary magazine Horison.

In high school, for the first time he finally got to play a role in a theatrical performance; he carried the part of Parln in a comedy by Anton Chekov directed by the well-know director of that time, Kirjomulyo. From then on he became enamored with theater, expressing this passion on stage as either an actor or as a director.

A deep thinker, who revels in intellectual encounters and deep conversations, Putu is the first to acknowledge that he finds just hanging out and socializing a waste of time.

The work, both the literary and theatrical creations of Putu, this tremendously gifted artist, is powered not only by the "natural talent" so extensively discussed in the 1960s by Soebagio Sastrowardoyo and other writers, poets and thinkers of the time, but also by the academic studies and discipline he has experienced. He is a highly educated man.

After graduating from high school, Putu continued his education in the Department of Civil Law at the University of Gajah Mada in Yogyakarta, on the island of Java. He graduated from that school in 1969. In the meantime, he was also taking classes at the Academy of Drama and Film (three years) and at the Fine Art Academy (one year). He also, somehow, found the time to join and take part in W.S. Rendra's Theater Workshop (Bengkel Teater Rendra) in 1967-1969.

Then, in 1969, his adventurous spirit led him to Jakarta, where he joined Arifin C. Noor's Little Theater (Teater Kecil). In 1971, he set up his own theater troupe: Independent Theater (Teater Mandiri).

In its early years, Putu's troupe, Teater Mandiri, appeared to be a bit out of place, and stirred up controversy. At that time, the Jakarta theater public was held in the thrall of the three maestros and their troupes: W.S. Rendra and his Bengkel Teater, Teguh Karya and his Teater Populer (Popular Theater), and Arifin C. Noor and his Teater Kecil as they played around with the power of the craft of acting and the magic of literature on stage.

Meanwhile, Putu and his group were busy setting outside and sweeping away all of the traditional trappings of the thespian arts.

Teater Mandiri featured no established acting names or famous faces, certainly had no prima-donna, and was in the habit of using no scripts at all. All Teater Mandiri had was a half-naked mob of people with strange looking faces and odd behavior who "attacked the stage" in waves of movement that Putu referred to as "total football".

During those early years of writing and creating theater, Putu was to develop a specific type of self awareness that has remained characteristic of his struggle as a man of the arts.

Ironically, as a lawyer by major and degree, Putu didn't practice law -- something he says he sometimes regrets as a "sin" against his parents' hopes -- yet he never left law behind in that, as he explains, it continues to inform his literary and theatrical work through what he sees as "basically an effort to chase down the truth within the framework of applying law and justice in their larger and most extensive meanings".

In the meantime, as he forged onwards up the mountains of his literary and theatrical endeavors, Putu, due to the practical concerns emerging because art was never enough to alleviate the burden of living -- taking care of his parents and making enough of a living to support his wife and children -- would sometimes venture onto the more lucrative plain of filmmaking, or occasionally into the field of journalism.

To this end he wrote screenplays and made films and television dramas, while journalism, in particular, also offered him a way to keep things real -- another kind of challenge outside of the field of art. Over time, he has worked as an editor for the magazines Ekspres, Tempo and Zaman.

Now and into the future, what more? What new horizons and higher peaks await? It seems there is no mountain too high for Putu to ascend.

His is an extraordinary presence within the ongoing struggle to imbue the Indonesian art world with meaning and significance. Yet, when asked about what he has done and is doing, he pauses only briefly to respond -- "I do not feel that I have yet made any concrete contribution to life" -- before he continues on his journey into the limitlessness of creativity that knows no bounds in time and space.

[ Last edited byjf_pratama at 17-1-2008 06:46 PM ]

pattzzi Publish time 19-1-2008 02:45 PM

jangan lupa film MIRROR bersama NIRINA (si tomboy dalam HEART)
dalam rancangan PESONA 3, Ahad, TV3 3.00 petang

jf_pratama Publish time 20-1-2008 05:04 PM

Perempuan Punya Cerita/Chants of Lotus

(Drama, 109 minutes). Starring Rieke Dyah Pitaloka, Arswendi Nasution, Kirana Larasati, Shanty, Fauzi Baadila, Susan Bachtiar, Rachel Maryam. Directed by Nia Dinata, Upi, Lasja F. Susatyo, Fatimah T. Rony. Produced by Kalyanashira Films

An omnibus consisting of four short films on women, Perempuan Punya Cerita, certainly has important things to say about how risky life can get if you're a woman. Four stories in one go can tell a lot about one thing, but this one lingers on the border of presenting differences and repeating itself.

The film itself has a very unusual story compared to other Indonesian releases to date. It shows a midwife being a public enemy because of an abortion case, teenage pregnancy and marriage in contemporary Jogja, girl-child trafficking in West Java and an AIDS patient in Jakarta fighting to keep her daughter. What makes the compilation lack life is the same fate of their characters: they are all defeated and give up.

Of all the characters, Sarah Sechan, who plays nightclub dangdut singer Cicih, steals all the attention away. She delivers Cicih's ambition, pride and appeal at just the right dose every time she pops up. Kirana Larasati's Safina is also well delivered, she is a smart young girl who made a bad decision. Larasati captures her role's spirit and carry it well, though in itself, the character lacks challenge.

Being a story about women, all the male characters are left unexplored. They are either villains or useless protectors, leaving the stories with very little room for interpretation.

Each story in Perempuan Punya Cerita has very strong director's signature, which is very appealing to see. Every cultural setting is depicted with great sense of realism and each at their own tempo, which could make up for the similarities in the women's fate.

Yet in the end, you're still left with their desperation and cannot help but wonder why -- despite being such strong characters -- these women didn't fight back. **1/2

[ Last edited byjf_pratama at 20-1-2008 04:06 PM ]

jf_pratama Publish time 20-1-2008 05:08 PM

Mereka Bilang, Saya Monyet!/They Say I'm a Monkey!

(Drama, 90 minutes). Starring Titi Sjuman, Banyu Bening, Henidar Amroe, Ray Sahetapy, Joko Anwar. Directed by Djenar Maesa Ayu.

Writers who are challenged with adapting their own short stories to the screen don't always get it right, but Djenar Maesa Ayu deserves a compliment for what she does. Just as her short stories which serve as base stories, the film has similar spirit of anger and repression.

Adjeng (Bening, Sjuman) lives in her mother's shadow and wants to break free. Mom (Amroe) is a gorgeous star who always ends up being used by the wrong men. Adjeng grows up wanting to be everything that Mom wasn't.

Just like Adjeng, this film seems to create its own world with its own logic of time and space. She lives as much in the past as she does in the present -- angry but never really solving any of her problems -- and finds refuge in her bizarre relationships with people around her -- or in alcohol.

It successfully blurs the sense of time yet still maintains a storyline that at first sight might seem like a TV soap, but as it reveals itself you'll find yourself captivated until its very end. *** (out of *****).

[ Last edited byjf_pratama at 20-1-2008 04:12 PM ]

jf_pratama Publish time 20-1-2008 05:21 PM

Funny, gutsy subject matter stays on the safe path
Rizal Iwan, Contributor, Jakarta

Kawin Kontrak/Nuptial on Contract (Comedy, 90 minutes) Starring Dimas Aditya, Ricky Harun, Herrichan, Lukman Sardi, Dinda Kanyadewi, Wiwid Gunawan, Masayu Anastasia, Unang, Mieke Amalia. Directed by Ody C. Harahap. Produced by MVP Pictures.

The year 2007 closed on a note that the following year might be the year of comedy. If that's the case, then this film has the honor of being the champagne breaker.

The first comedy release this year seems to be continuing what Quickie Express started; a sex comedy that may strike as a localized American Pie, with the comic sensibility reminiscent of the 2006 film Maskot. Three horny teenage boys -- Rama the playboy (Dimas), Dika the S&M fan (Herrichan) and Jody with a thing for older women (Ricky) -- decide to celebrate their high school graduation by taking it a step further.

The problem is, they have no girlfriends, and a religious session right after a night of raunchy cruising down a street full of, well, "pretty women" teaches them that sex before marriage will send them straight to hell.

After they hear about a village that runs a program arranging temporary marriages based on contracts just to make the sex not a sin (in other words, veiled prostitution), they go on a road trip guided by a sleazy local (Lukman) and two of them end up married.

Dika weds Rani (Masayu) after being smitten seeing her whack a mattress, but gets confused because the girl is always elusive when it comes to sex. Jody marries Euis (Wiwid), the village bombshell slash career woman, who blows him away in bed, but comes with a baggage of a child to take care of. Meanwhile, Rama can't find the right girl to get down with, and ends up falling in love with local belle Isa (Dinda), only to find that she is soon to be married to a rich businessman, Bos Fahri.

The film is built on an interesting subject matter -- a very Indonesian one at that, commenting on a phenomenon found in the West Java area -- and is somewhat gutsy in having teenagers as its heroes.

Although feminists in the audience might squirm from the way women are treated in the story, the film keeps you entertained thanks to Ody's good direction. Ody, always a promising director, makes the film look good and comes up with some funny moments (Ricky and Wiwid's sex sequence is especially memorable).

Another valuable element is the interaction of the cast. Lukman once again stretches his acting versatility and displays marvelous comedic timing. There's good chemistry among the three boys, and Dimas comes out as a fresh leading man, proving himself more than just a pretty face budding for a name in the entertainment industry. Dinda, in her first major role, effortlessly embodies her local girl character with believable naivete; and Wiwid is tacky and funny.

The one exception is Masayu. After stealing scenes in Ody's previous film Selamanya, she finds herself in the wrong role and her performance consequently misses its mark, although her character is already weakly written to start with.

The sex jokes range from clever (the empty village because everybody is having sex) to unnecessary (Mieke coming out from the kitchen on her knees with Unang behind her zipping his pants is funny but out of place in the particular scene).

The script is not a bad one, but it stays too much on the safe and predictable path, while it could have done more. The twists could be spotted from a mile away, almost like a formula. And given the subject matter, the film could have turned the table by making the female characters stronger and therefore give the satire more purpose. But analysis aside, Kawin Kontrak is an entertaining feat worth checking out. **1/2 (out of *****)

[ Last edited byjf_pratama at 20-1-2008 04:22 PM ]

jf_pratama Publish time 20-1-2008 05:46 PM

Monty Tiwa:Minimnya Penulis Skenario Karena Rendahnya Budaya Membaca
http://www.suarapembaruan.com/News/2008/01/20/Profil/200108bi.gif
Penampilannya sepintas mirip seorang eksekutif muda. Pakaiannya rapi. Kemeja lengkap dengan dasi, meski tetap kasual dengan celana jeans. Kacamata minus membuat kesan itu semakin kuat. Namun jika diperhatikan sekali lagi, muncul kesan lain. Terutama dengan adanya tato naga merah yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Dia adalah Monty Tiwa, penulis skenario film paling produktif saat ini.

Predikat ini pantas disandang pria kelahiran Jakarta 28 Agustus 1976. Dalam lima tahun terakhir ini karya-karyanya mengalir bak banjir menyerbu jagat perfilman Indonesia. Bahkan pada periode 2007, Monty mampu menulis skenario untuk enam film berturut-turut, yakni 9 Naga, Pocong I,II, III, Dunia Mereka, Denias Senandung di Atas Awan, Mendadak Dangdut, Maaf Saya Menghamili Istri, dan Mengejar Mas Mas.

Hebatnya lagi hampir semua film-film yang ditulisnya termasuk laris di pasaran dan ramai dibicarakan kalangan kritikus film. Konon film Pocong 2 berhasil menjaring 800 ribu penonton, demikian juga Pocong 3 hingga 300 ribu penonton. Demikian juga film drama komedi Mendadak Dangdut yang menarik penonton lebih dari 300.000. Sedangkan dari sisi kritik film, berapa karya Monty dinilai layak masuk nominasi ajang festival bergengsi seperti Festival Film Indonesia, termasuk memberikan Monty sebuah Piala Citra sebagai penulis skenario cerita asli terbaik atas film Denias Senandung di Atas Awan, setelah sebelumnya meraih Piala Vidia sebagai Skenario Terbaik (2005) untuk FTV Juli di Bulan Juni dan sebagai Penata Sunting Terbaik (2006) untuk FTV Ujang Pantry 2. Belakangan, penghargaan dari FFI itu dikembalikan lagi oleh Monty sebagai bentuk protes terhadap badan penyelenggara festival bergengsi tersebut. Kabar terbaru film Denias sempat masuk seleksi Academy Award for Best Foreign Language 2008, meski akhirnya tidak menjadi nominasi.

Produktivitasnya terus berlanjut. Di awal tahun 2008 ini Monty sudah memulai dengan Otomatis Romantis dan sebentar lagi menyusul XL Extra Large. Sesungguhnya, pria berdarah Sangihe Talaud, Sulawesi Utara itu, ternyata tak hanya pandai menulis skenario film. Dia juga ternyata pandai mencipta lagu. Lagu tema Indonesia Idol liriknya adalah karya Monty. Demikian juga sejumlah lagu di album Original Soundtrack (Ost) Biarkan Bintang Menari dan Ost Mendadak Dangut, termasuk lagu Jablai yang dibawakan Titi Kamal itu.

Tak sampai di situ. Penggemar orkes Pengantar Minum Racun dan Pancaran Sinar Petromax itu juga tampil sebagai penyanyi dalam Ost Mengejar Mas Mas. Dia juga mulai menulis novel, lewat Dunia Mereka 1 dan 2. Pengagum Asrul Sani itu terus menggali potensi dirinya.

Semua kemampuan tersebut diakuinya berdasarkan kecintaannya pada dunia seni, terutama sastra, musik, dan film. Padahal Monty sesungguhnya tidak punya latar belakang akademis di bidang tersebut. Monty adalah lulusan elektronik di Kansas University, Amerika Serikat. Namun pada akhirnya kecintaannya pada dunia tulis-menulis membawanya kembali ke Tanah Air dan menjadi seorang penulis skenario film yang paling berkibar di Tanah Air saat ini.

Dalam perbincangan dengan SP, Monty mengungkapkan perjuangannya untuk dapat meraih impian menjadi seorang penulis dan seorang filmmaker. Termasuk mimpinya terhadap dunia perfilman nasional:

Bagaimana Anda sampai terjun ke dunia film? Dari latar belakang pendidikan, Anda cukup jauh dari dunia penulisan apalagi film.

Sejak kecil saya itu memang senang menulis, terutama menulis cerita pendek. Namun tidak pernah sedikit pun saya terpikir untuk mengirimkan tulisan itu ke media massa. Nggak pede. Apalagi kemudian orang tua saya yang konservatif mengarahkan saya untuk paling tidak jadi dokter atau "tukang insinyur". Sebagai anak yang berbakti pada orang tua, adalah kewajiban saya untuk menempuh pendidikan seperti yang diharapkan orang tua. Namun bukan berarti saya meninggalkan dunia tulis-menulis. Saya terus mengasahnya dengan membaca. Bahkan di sana (Amerika Serikat-Red.) saya buat website yang berisi tulisan saya sendiri. Lewat website inilah karya saya dilirik sebuah stasiun televisi Tanah Air yang baru berdiri. Mereka lalu menawarkan untuk menjadi penulis skenario cerita pendek yang berujung pada film Andai Ia Tahu. Dari sanalah langkah awal saya untuk terjun ke dunia penulisan dan film dimulai. Akhirnya saya kecemplung jadi penulis skenario.

Seberapa menarik tawaran itu sehingga anda melepaskan pekerjaan di negeri Paman Sam? Bagaimana keluarga menyikapi semua itu?

Secara akal sehat keputusan saya di tahun 2001 itu salah. Di sana saya sudah mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan US$ 2.200 per bulan yang paling tidak bisa untuk membangun rumah bagi ibu saya. Tapi itu saya tinggalkan karena tawaran menjadi penulis skenario di sebuah stasiun televisi baru dengan gaji hanya Rp 1,2 juta. Orangtua saya bilang saya gila. Tetapi mereka tidak bisa menghalangi keinginan saya yang kuat.

Apakah menulis skenario itu sulit sehingga jumlah penulis skenario di negeri ini sangat minim?

Sulit pasti. Banyak anggapan salah, bahwa any writer instantly can be a scriptwriter. Itu hal yang berbeda. Saya menulis tidak harus bergantung pada mood. Jika sudah ada deadline, saya bisa memacu diri untuk menyelesaikan tulisan pada waktu yang ditentukan. Bagi saya mutu tulisan berbanding lurus dengan produktivitas. Saya percaya kerja keras dan disiplin akan membuat kita dapat berkarya dengan baik. Bakat tidak akan berguna tanpa itu. Minimnya penulis skenario, menurut saya karena rendahnya budaya membaca. Malas melakukan riset, malas menggali persoalan secara lebih mendalam. Karya tanpa riset jelas tidak memiliki kekuatan.

Dalam perjalanan karier tiba-tiba Anda memutuskan hengkang dari industri pertelevisian. Padahal saat itu karier Anda sedang naik bahkan sempat menjadi "creative director" yang membawahi tiga stasiun televisi nasional. Kenapa Anda meninggalkan semua itu dan memilih menjadi penulis skenario independen?

Saya memilih ketenangan hidup daripada kepastian hidup. Saya akui saya memulai karier di sana, namun ada idealisme dalam diri saya yang tidak dapat disalurkan di sana. Misalnya apa yang saya akan lakukan harus ikut dengan aturan yang disebut rating. Saya tidak betah.

Keluarga saya memang sempat kecewa, tetapi kalau sudah hati yang ngomong, udah susah. Saya memang saat itu belum mampu menjawab keraguan keluarga saya, yang khawatir akan kepastian masa depan dari dunia yang akan saya geluti. Saya akui memang sempat kerepotan (dalam hal finansiol). Tetapi saya yakin jalan yang saya pilih sudah benar. Dan sekarang keluarga sudah mengakui apa yang aku jalani ini.

Apa sesungguhnya yang Anda harapkan dengan idealisme itu?

Apa ya? Yang pasti saya ingin menghasilkan karya yang punya pesan, bermuatan positif tapi tidak harus selalu berat. Selama ini ada anggapan bahwa film yang idealis adalah film yang berat dan harus mikir. Itu anggapan yang terlalu umum. Idealis bagi saya adalah ketika idenya sampai ke masyarakat, bagaimana harus sedekat mungkin dengan masyakarat. Film yang pop, yang main stream, dalam waktu yang bersamaan bisa idealis. Kita bikin film yang berat, tapi yang nonton cuma 10 orang, itu menurut saya gagal. Itu bukan idealis yang sebenarnya. Tapi bagaimana bisa merangkul lebih banyak penonton yang paham akan ide kita. Itu idealis. Sebab film adalah alat komunikasi yang mempunyai kandungan seni.

Apakah alasan itu juga yang membuat Anda sepertinya memborong berbagai profesi, tak hanya penulis skenario juga penata musik, penulis lagu, penyanyi, penyuting, sekarang sutradara dan produser?

Kebetulan sebelum menulis secara profesional, saya sempat aktif di band waktu kuliah di Amerika. Sempat mengeluarkan album juga. Karena itu saya pede saja membuat lagu dan musik dari film yang saya tahu benar ceritanya. Kemudian kenapa tidak mencoba menyanyi, saya punya bekal nyanyi di gereja. Sedangkan untuk skenario saya terus belajar. Saya menimba ilmu dari orang- orang seperti Alex Suprapto Yudho (Sayekti dan Hanafi), Amron Trisnadi (Mahligai di Atas Pasir). Bagi saya penulis skenario itu ibarat orang tua, yang ingin anaknya naik ke jenjang yang lebih tinggi. Karena itu saya mencoba bagaimana jadi sutradara, editing, hingga produser. Saya benar-benar ingin mempelajari film tak hanya dalam lingkup yang ter- batas.

Harapan terhadap industri film Indonesia?

Secara garis besar, harapan saya adalah, semoga penonton lebih welcome sama film Indonesia lagi. Kalo level untuk menghibur penonton, kita pasti udah sangat bisa menghibur penonton. Untuk lebih majunya lagi, harapan saya adalah semoga film ini bisa membuat penonton lebih sadar bahwa film Indonesia itu punya sesuatu yang tidak dimiliki oleh film-film barat. Sesuatu itu adalah, identitas mereka ada di situ. Jadi, ketika menonton Mendadak Dangdut, Denias, bahkan Pocong mereka akan melihat diri mereka sendiri. Artinya mereka bisa mengidentifikasi. Nah artinya, itu kan nggak pernah bisa mereka lakukan dengan menonton film-film Bruce Willis, Tom Cruise atau Harry Potter.

Pewawancara: Stevy Widia

[ Last edited byjf_pratama at 20-1-2008 04:52 PM ]

mrsRain Publish time 23-1-2008 09:21 AM

Nagabonar Jadi Dua..besh teramatlah citernyer...memng klakaa, sedih pon ader...
mengalir gak air mate bile tengk citer ni :'( ..

tak sangka Deddy Mizwar bole mengarah pilem rupenyer..sebelum nitengok dier kat Kiamat sudah dekat jek..

jf_pratama Publish time 25-1-2008 05:47 PM

Film "Kekasih", Eksplorasi Keindahan Pantai Yogyakarta

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/01/25/Hiburan/25filmk1.gifhttp://www.suarapembaruan.com/News/2008/01/25/Hiburan/25filmke.gif

Perusahaan film, Grandiz Media Production, mengawali tahun 2008 dengan memproduks isebuah film bergenre drama percintaan. Film berjudul Kekasih ini, diharapkan dapat memberikan warna pada industri perfilmanIndonesia yang tahun lalu didominasi oleh film-film bergenre horor dandrama komedi. Keindahan pantai Yogyakarta menjadi latarnya.

"Sangat sulit mencari cerita film drama remaja bermutu, maka ketikamenemukannya kami pun langsung memproduksinya," kata produser dariGrandiz Media Production, Chandra Willim, seperti dikutip dari siaranpers yang diterima SP, baru-baru ini.

Menurut Chandra, sebelumnya, Grandiz Media Production juga ikutmeramaikan khazanah film layar lebar dengan memproduksi empat filmberjudul D'trex, Hantu, Gotcha, dan 12.00, dimana tiga judul yang terakhir merupakan film bergenre horor.

Chandra mengatakan, produksi film ini telah dimulai sejak akhir tahun2007 lalu. Setelah memakan waktu selama 29 hari untuk masa produksi,diperkirakan premiere dari film ini akan dapat dilakukan pada tanggal 3April 2008.

"Sejak tanggal itu masyarakat akan dapat menyaksikan film ini dibioskop-bioskop Tanah Air. Diharapkan kehadiran film ini akan mengisikekosongan film bertema kesederhanaan cinta," urainya.

Lebih lanjut Chandra menjelaskan, bahwa film ini akan mengusung kisahcinta yang sederhana, tanpa dibumbui hal-hal yang akan membuat penontonmerasa jenuh. Itulah sebabnya, sutradara memilih lokasi syuting yangalamnya mendukung cerita roman. Keteduhan alam Yogyakarta, dan gelegarombak pantai Krakal,
Kukup, serta Patehan akhirnya menjadi lokasipengambilan beberapa gambar film Kekasih.

Hal senada juga dikatakan sutradara film Kekasih, Wisnu Adi, ketika dihubungi SPlewat telepon selulernya. Kejujuran dalam bertutur secara visualdisebut Wisnu sebagai modal kuat bagi film yang menjadi debutperdananya ini.

"Di film ini, saya tidak banyak melakukan eksplorasi teknis, namunbahasa gambar yang ditampilkan demikian natural. Ibarat sebuah jendela,tempat kita mampu memandang sejauh-jauhnya tanpa harus memicingkanmata," imbuhnya.

Film Kekasih,jelas Wisnu, akan menampilkan para pemain baru sebagai bintang utama,yaitu Angga Dwi Saputra, Vonny Kristianda. Selain itu film ini jugadidukung oleh wajah-wajah lama yang telah cukup dikenal di duniaakting, seperti Donny Damara, Pietrajaya Burnama, Farah Diana, danKarlina Inawati.
"Saya sengaja memilih pemain-pemain baru agar bisa mendapatkan suasanabaru. Tapi produksi film ini juga didukung oleh para pemain yang telahcukup lama berkecimpung di bidang akting," ungkapnya.

Menurut Wisnu, film Kekasih bertutur tentang kisah cinta antara seorangpria bernama Jiwo, diperankan Angga Dwi Putra dengan seorang gadisbernama Maria, diperankan Vonny Kristianda.

"Film ini berisi tentang persoalan cinta remaja. Ceritanya mengisahkantentang cinta remaja Jiwo dan Maria yang dimulai ketika mereka masihsama-sama duduk di bangku SMP. Kemudian mereka berpisah, dan ketikadewasa bertemu kembali," jelasnya.

Film ini, lanjut Wisnu, tak sekadar berbicara tentang cinta tapimengenai komitmen yang dibuat oleh sepasang kekasih. Naskah dari filmini dibuat oleh Bebi Hasibuan, sedangkan ide ceritanya dari sangsutradara.

"Ide ceritanya dari saya, kemudian saya bertemu Bebi. Dialah yangmembantu mengembangkan ide itu menjadi sebuah cerita yang layak untuk ditonton. Pastinya film ini tak melulu tentang romantisme cintaantarkekasih. Namun juga berbicara tentang cinta secara universal, dansemuanya itu diangkat secara sederhana agar maknanya lebih bisaditangkap oleh penonton," katanya.

Wisnu mengakui, bahwa sebagai seorang sutradara yang baru pertama kalimenyutradarai film layar lebar, film ini memberikan tantangan yang besar baginya. Sebelumnya ia pernah memproduksi sejumlah film commercial di antaranya untuk produk sebuah televisi berlangganan, produk makanan cepat saji, dan produk elektronik.

"Karena ide ceritanya sangat sederhana, saya pun merasa tertantanguntuk membuat film ini bisa menarik penonton. Saya harapkan lewat kesederhanaan itu semua orang bisa menikmatinya dengan santai tanpah arus berpikir keras untuk mencernanya," tandasnya.

[ Last edited byjf_pratama at 25-1-2008 04:53 PM ]
Pages: 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 [12] 13
View full version: INDONESIAN MOVIES (Gallery and Discussion)


ADVERTISEMENT