jf_pratama Publish time 29-6-2007 01:33 PM

Judul Film : "THE PHOTOGRAPH"

Jenis Film:Drama
Pemain:Lim Kay Tong, Shanty, Lukman Sardi, Indi Barends
Sutradara:Nan Achnas
Penulis:Nan Achnas
Produser:Paquita Widjaja-Afief, Shanty Harmayn
Produksi:Trixima Ges/Salto Film/Les Petites Lumieres
Homepage:http://www.thephotographmovie.com/
Trailer:http://www.thephotographmovie.com/
Durasi:95 min

Sinopsis

Sita (25 tahun) adalah penyanyi di karaoke bar yang baru pindah ke kamar loteng sempit di sebuah rumah merangkap studio foto milik Johan (50 tahun) seorang Tionghoa yang berprofesi sebagai juru foto keliling.

Sita juga kerja sambilan sebagai pekerja seks. Suatu kali ia diperkosa dan dipukuli oleh sekumpulan pelanggan yang mabuk. Johan menyelamatkan Sita. Sita memutuskan untuk tidak akan kembali bekerja di bar dan memohon untuk menjadi pembantu Johan karena ia tidak sanggup membayar sewa kamar.

Sita kemudian mengetahui bahwa Johan hanya akan hidup selama beberapa bulan lagi. Ia membantu Johan memenuhi tiga keinginan yang terwakili dalam tiga foto. Pertama adalah foto tentang laut karena Johan ingin pergi naik kapal mengunjungi Cina. Kedua adalah foto rel kereta yang mewakili kehausannya akan bepergian menggunakan kereta. Ketiga adalah foto sebuah bangku kosong di sebelah kamera yang merupakan pencariannya untuk mendapatkan juru foto pengganti dirinya.

Suatu kali Johan murka karena Sita menemukan masa lalunya yang suram dan mengusirnya. Minggu-minggu berlalu sampai suatu malam, Johan yang telah sangat sakit meminta Sita untuk memotret dirinya. Ketika Sita akan memotret, Johan meninggal dunia. Sita memutuskan untuk tetap mengambil gambar dengan menggunakan pengatur waktu otomatis dan di foto terpampang dirinya sedang tersenyum dengan Johan yang duduk di depannya seolah masih hidup

Saksikan di bioskop mulai 5 Juli 2007

Review

Film The Photograph merupakan film berjenis drama yang diproduksi secara bersama, antara lain, Triximages, Salto Films, dan Les Petites Lumieres Perancis. Pada film ini proses produksi dan syuting dilakukan di Indonesia, sedangkan mixing final dan paskal final dilakukan di Perancis.

Film ini memberikan pesan bahwa sebuah foto merupakan perwakilan dalam perjalanan kehidupan.

Film The photograph merupakan film yang menceritakan seorang fotografer yang memiliki tiga keinginan sebelum dirinya meninggal. Sehingga pada akhirnya keinginan tersebut telah tercapai, walaupun dirinya sudah meninggalkan dunia fana ini.

jf_pratama Publish time 30-6-2007 12:33 AM

http://www.thejakartapost.com/caption/P24A.jpg

On the road with Riri Riza
Nauval Yazid, Contributor, Jakarta

While it is unlikely to have a film to watch on road trips, should you have the opportunity to buy one, a good choice is always Riri Riza's films.

A close look at four out of five of his directorial works will show he deserves a place on the imaginative list.

His theatrical debut in 2000, Petualangan Sherina (Sherina's Adventure), follows an adventure of a young girl from her home in Puncak, West Java to Boscha laboratory in Bandung where she rescues herself and her friend from the hands of some comical crooks.

In 2002, Riri returned with a little-seen film called Eliana, Eliana, which depicts the one-night journey of a young woman and her mother in a taxi.

Together the characters explore some unusual sites of Jakarta. Eventually, the trip reveals their inner fears and thoughts and this brings them closer together.

In 2005, a historical biopic Gie sees Nicholas Saputra as the title character who ultimately meets his destiny at the top of a mountain in East Java, far from his political battlefield in Jakarta.

And now, Riri returns with 3 Hari Untuk Selamanya (Three Days to Forever), a road-trip film that follows a girl and her cousin on a three-day journey from Jakarta to Jogjakarta.

Suffice to say with some clueless driving, it takes them long to travel an otherwise 12-hour trip to reach the two cities.

In the cinematic world, the length is indeed needed to drive the story and the two characters forward.

It may be hard to believe that all these films are made by someone who has never been himself on a road trip before.

"I would love to, it's a dream", he laughed. "Well, I did, sort of actually.

"When I was in Germany, my friend and I drove from one small town to another, but it was only five hours, not days, let alone weeks.

"Yet, that's the one thing I remember most."

Still, Riri has some experience of these traveling journeys.

"I was born and grew up in Makassar, and when I was almost 10, I moved to Jakarta," he said.

"Back then, whenever I went to Makassar, I always traveled by ship.

"Now, whenever I shoot my films, I try my best to depict a non-Jakarta look in my films.

"And these trips have become inseparable parts in my life."

Constant movement is an essential key that drives Riri in writing and directing his films.

"A story comes from movement, either characters move to different places, or characters are moved by things they receive," he said.

"I believe that I have gone through all this movement and it helps me a lot in giving a personal touch to all my films.

"All my films carry my personal perspective."

Riri and his films have always been feats that bring the audience to different corners of the earth -- even if they are mostly filmed locally.

After receiving critical praise from international premieres in Hong Kong and the Singapore International Film Festival and with additional proper English subtitle by famed Asian film critic Tony Rayns, 3 Days saw a limited release in Indonesia.

"It's part of the consequences of the subject of the film, and how we approach the film," Riri said.

"Nowadays, local filmmakers have to start paying respect to some provinces or cities, because these areas have formed their own attitude towards certain local films.

"For example, Virgin was banned in Makassar.

"There has to be a certain approach in dealing with these similar regions.

"Of course, it's a pity and it's not democratic at all, but this is the situation we live in."

Asked if the limited release issue was faced during the pre-production stage of the film, Riri nodded, quite hesitantly, while adding that, "The limited release and the whole paying-respect thing was also reflected in the decision of self-classification.

"The label '18+' on the poster meant that we had to alienate some, or even most, of Nicholas Saputra's fan base, who are likely to be under 18 years old.

"However, with the remark that the film is for those above 18 years old, we hope to attract people above, let's say, 35 years old.

"I hope by seeing the film, they can see and are aware of what's going on with their younger counterparts."

While the self-classification was not immediately noticed, a certain unprecedented buzz had attracted people's attention prior to the film being released.

The film's loose depiction of drug and sex scenes was the talk of media in recent months.

Tame as they may be compared to foreign films, this did not stop the nation's censorship board (LSF) from cutting no less than eight scenes.

But Riri was not deterred -- in fact very little on this topic was discussed during our interview.

He is optimistic the film would serve its niche market very well.

"Apart from the forthcoming screening at the Bangkok International Film Festival, other overseas showings for the film in the future include the film markets in Pusan and the Fukuoka International Film Festival.

And may the film have an eternal life instead of a mere 3 days after all.

3 Days to Forever is currently showing in limited cinemas in Jakarta, Bandung, Jogjakarta.

[ Last edited byjf_pratama at 30-6-2007 12:36 AM ]

jf_pratama Publish time 30-6-2007 12:39 AM

Yogya to host Asian film fest

YOGYAKARTA, Yogyakarta: As many as 20 Asian films will compete in the Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) which will be held from July 29 to August 2.

Films directed by young and talented Asian filmmakers will be shown in three places -- Taman Budaya Yogyakarta, Benteng Vredeburg and the Indonesia-France Council cinema.

The JAFF festival was also held in Yogyakarta last year to mark the May 27 earthquake in which 5,700 people died.

"The JAFF organizing committee pledged the second festival in Yogyakarta would be held as a form of moral support for quake victims who are getting back to their lives," said JAFF president Garin Nugroho.

Garin said this year's JAFF festival had the theme of Asian Cinema Diaspora, saying the word "diaspora" embodied the latest cultural expressions.

"The new cultural expressions, derived from local and foreign cultures, will be shown through the competing films directed by Asia's young filmmakers," said Garin.

"A number of films have applied digital technology which is spreading fast and getting more up-to-date." -- JP

[ Last edited byjf_pratama at 30-6-2007 12:40 AM ]

jf_pratama Publish time 30-6-2007 09:36 PM

Mira Lesmana : Film Belum Mendapat Perhatian Pemerintah (1 of 2)

http://news.indosiar.com/images/Profil/miralesmana070714_200.jpg

Sebagai wanita, ia memiliki intuisi tajam mengangkat sebuah cerita yang menjadi fenomena di masyarakat. Bukan lantaran istri Mathias Muchus yang juga aktor senior, Mira bisa sukses seperti sekarang. Atau bukan juga lantaran ia kakak kandung Indra Lesmana.
Menurut anak ketiga dari 4 saudara pasangan Jack - Nien Lesmana ini, keluarganya adalah musisi. Hanya Mira yang berbeda. Diakui Mira, sejak usianya masih sangat muda, ia sudah menyukai film. Bahkan sempat memutuskan untuk belajar film ke Australia.

Dengan Madina dan fotografer Sarwito dari Jelita, Mira menuturkan hitam putih dunia perfilman Indonesia. Mulai dari birokrasi yang dianggap menyusahkan dan bertele - tele, hingga trik untuk mengatasi paceklik film. Berikut petikan wawancaranya :

Anda baru saja merampungkan film terbaru yang berjudul Tiga Hari Untuk Selamanya. Sudah pasti sibuk ?

Yang namanya baru ngeliris film baru, pasti sibuk distribusi dan promosi. Film baruku sudah beredar sejak 8 Juni kemarin, Disaat yang sama, aku juga sedang menggarap 3 proyek baru. Film drama, film anak - anak dan film laga. Skenarionya masih dikembangkan.

Kapan persisnya Anda menyukai film ?

Sejak kecil. Nonton film adalah kebiasaan keluarga kami, selain musik. Karena hampir semuanya pemusik, kegiatan utama keluarga kami adalah nonton film. Sejak kecil aku selalu diajak nonton bioskop. Waktu itu umurku sekitar 5 atau 6 tahun. Habis nonton, makan es krim sama - sama sambil ngomongin filmnya.

Waktu itu, kecintaan Anda dipengaruhi oleh kebiasaan keluarga. Lalu kapan Anda sadar bila Anda betul - betul menyukai film ?

Aku yakin mencintai film waktu aku umur 17 tahun, saat masih sekolah di Sidney. Umur segitu aku sudah banyak baca buku tentang film. Saat itulah aku bilang ayahku kalau aku ingin terjun kedunia film. Ayahku sih oke - oke aja. Malah mewanti - wanti agar aku cari sekolah film, untuk bekal akademisku yang lebih baik. Ayahku juga bilang aku harus berdedikasi dan siap sengsara. Karena almarhum ayahku tahu hidup didunia kesenian itu tidak mudah.

Setelah lulus SMU, Anda meneruskan ke sekolah film di Australia ?

Yah, aku mendaftar disebuah sekolah film sangat terkenal di Australia, Australian Film and Television School. Tapi waktu aku datang untuk mencari informasi, mereka bilang hanya menerima 21 murid dalam 1 tahun. Sangat selektif. Dan salah satu syaratnya adalah menyertakan karya, film maupun foto. Aku kebingungan, baru lulus SMU mana aku punya karya ?

Anda jadi melanjutkan sekolah film disana ?

Aku disarankan balik ke Indonesia dan bersekolah di IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Setelah setahun sekolah di IKJ, baru kemudian ditransfer ke AFTC. Tapi setelah belajar di IKJ aku berpikir, buat apa ke Australia kalau ilmu yang aku butu*kan ternyata bisa aku dapatkan di Indonesia. Enaknya di IKJ, berbagai disiplin ilmu seni ada. Bisa pilih dan interaksinya bagus. Akhirnya sampai lulus aku tetap di IKJ.

(Mira kelahiran 8 Agustus 1964. Ibu dari dua anak, Kafica Keandr (19) dan Galih Galinggis (16). Tak ada komplain dari suaminya Mathias Muchus, dengan aktivitas super padatnya seperti sekarang. Apalagi keduanya datang dari dunia yang sama. Justru mereka sering sharing seputar film. Namun begitu, Mira juga tidak melupakan tugasnya sebagai istri dan ibu. Terutama hari Sabtu dan Minggu, ia selalu membuatkan hidangan racikan tangannya untuk keluarga).

Film apa yang menjadi debut Anda ?

Kuldesak tahun 1998. Film ini salah satu film "gerilya" di Indonesia. Waktu itu aku kerja bareng Riri Reza, Nan T. Achnas dan Rizal Mantovani. Betul - betul gerilya, nggak ada yang dibayar. Pemain pun gratis, dananya juga hasil sumbangan. tapi betul - betul film profesional adalah Petualangan Sherina.

Sedikit sekali wanita yang terjun menjadi sineas. Dunia ini boleh dibilang dominan dengan kaum pria. Merasa kAikuk pertama kali terjun ?

Ada perubahan mendasar yang terjadi dalam dunia film Indonesia diera tahun 90 an. Apalagi sejak tahun 1993 tidak ada satupun film Indonesia yang dibuat, kecuali mas Garin (Garin Nugroho). Saat itupun FFI berhenti. Aku dengan Kuldesak, ada juga Christine Hakim dengan Daun di Atas Bantal. Dan di televisi pun, pucuk - pucuk pimpinan yang berperan sebagai decision maker justru wanita. Bahkan produser yang indepeden pun kebanyakan wanita. Seperti Nia Dinata, Shanti Harmain, Paquita Widjaya, dan lain - lain. Mungkin karena wanita tidak terlalu memikirkan kalkulasi untung rugi saat membuat film.

Jadi Anda ingin mengatakan, dunia film lebih cocok dihandle wanita ?

Kami, kaum wanita merasa sudah memiliki tempat didunia film. Bahkan sekarang porsinya lebih besar. Biasanya kami mengikuti hati dan keinginan, tanpa harus pikir panjang. Walaupun secara teknis lapangan saat syuting, memang lebih banyak didominasi pria. Tapi menurutku tidak ada diskriminasi dalam film. Nyatanya sejak awal aku tidak pernah mengalami kesulitan ketika harus bekerjasama dengan pria. Mereka juga tidak diskriminatif. Respek itu datang sebagai pertner dan sesama filmmaker, bukan antara wanita dan pria. Sejak Kuldesak, aku merasa tidak ada lagi wanita tidak boleh terjun dalam film. Wanita yang ada didunia film, berarti wanita yang bisa bekerja dalam film.

Nia Dinata dikenal sebagai produser dan sutradara yang sering mengangkat fenomena sosial. Misalnya poligami dalam Berbagi Suami. Anda sendiri bagaimana ?

Yang menentukan adalah orang yang melihat filmnya. Tapi yang jelas, filmku sangat beragam, mulai dari film anak - anak (Petualangan Sherina), remaja (Ada Apa Dengan Cinta) dan politik (Gie). Ketika membuat film, kita memang harus peka terhadap peristiwa disekeliling kita. Interestnya saja yang mungkin berbeda. Yang jelas semua menuju pendewasaan.

Apa yang Anda kedepankan saat membuat film ? Visualisasi atau alur cerita ?

Tidak spesifik harus visual atau alur cerita. Feeling aja. Menurut salah seorang kritikus film luar negeri, untuk melihat film karya MILES adalah unpredictable. Sangat tidak bisa ditebak. Rata - rata katanya, mengagetkan orang. Karena manusia dasarnya memiliki sifat dinamis, makanya aku juga terus berubah.

Apa film Anda yang paling berkesan ?

Semua film berkesan dan meninggalkan bekas. Tapi Gie mungkin film yang paling berkesan dan paling mahal. Settingnya tahun 1960, ada adegan demonstrasi besar - besaran yang melibatkan 2500 figuran. Syutingnya panjang, 60 hari. Prosesnya 3 tahun. Bayangkan, aku dan kru naik ke puncak Mandalawangi (Gunung Pangrango) bawa alat syuting. Malah 5 hari aku nggak mandi, kedinginan dan kehujanan. Pengalaman itu nggak mungkin bisa dilupakan.

Sudah berapa film Anda yang diikutkan ke festival luar negeri ?

Hampir semua filmku diikutkan festival film luar negeri. Sejak Kuldesak sampai Gie. Cuma memang tidak banyak orang tahu. Dan yang paling banyak mendapat penghargaan adalah Eliana, Eliana dan Gie.

Bagaimana apresiasi masyarakat film luar negeri dengan film Indonesia ?

Sangat bagus. Setiap tahun mereka menanti film - film Indonesia. Meskipun jumlahnya tidak banyak, tapi terus dinanti - nanti.

(Dengan ikut sertanya film Indonesia ke ajang internasional adalah upaya untuk memperkenalkan film Indonesia. Selain itu, Mira juga ingin menunjukan bahwa sineas Indonesia selama ini berjalan sendiri alias independen. Tak ada peran dari pemerintah sedikitpun).

Nicolas Saputra, aktor yang sering direkrut dalam film Anda. Tiga film dibintangi Nico (AADC, Gie, Tiga Hari Untuk Selamanya). Sebetulnya, kriteria seperti apa yang Anda terapkan ketika akan merekrut pemain ?

Nico atau siapapun aktornya, bukan masalah asal memiliki bakat. Kemudian dedikasi dan profesionalisme. Yang terakhir adalah attitude. Aku akan kesulitan bekerjasama dengan seseorang yang ingin menjadi primadona dan diperlakukan lebih dari yang lain. Buatku Nico memiliki 3 elemen yang aku sebutkan tadi. Itulah mengapa aku sering bekerjasama dengannya.

Berarti dalam perannya di 3 film Anda, Nico cukup memuaskan ?

Yah, perannya sebagai Rangga bagus, sebagai Gie karakternya juga cocok, dan sebagai Yusuf di Tiga Hari Untuk Selamanya, sangat delivered.

Di Indonesia hanya ada 1 sekolah film yaitu IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Menurut Anda kondisi ini adalah pemicu, paceklik film Indonesia ?

Jelas ini masalah. Baik pendidikan secara general atau pendidikan film pada khususnya, belum mendapatkan perhatian dari pemerintah. Untuk itu kami membentuk Masyarakat Film Indonesia (awal Januari lalu komunitas ini melakukan protes dengan menyerahkan piala Citra yang mereka dapatkan ke FFI). Yang kami tuntut adalah agar pemerintah memberi perhatian kepada dunia film. Susah sekali untuk memajukan film Indonesia bila fasilitas pendidikannya tidak disediakan. Fasilitas pendidikan film ini seharusnya tidak hanya ada di Jakarta saja, tapi harus didirikan disetiap daerah. Aku yakin banyak bakat - bakat film berkualitas didaerah yang belum terdeteksi.



[ Last edited byjf_pratama at 30-6-2007 09:40 PM ]

jf_pratama Publish time 30-6-2007 09:39 PM

Mira Lesmana : Film Belum Mendapat Perhatian Pemerintah (2 of

jf_pratama Publish time 1-7-2007 11:52 AM

Pilih Coklat atau Stroberi? Ya Coklat Stroberi
Susi Ivvaty

Tidak ada penghakiman atas pilihan hidup seseorang, itu salah satu sikap sutradara dan penulis skenario film Coklat Stroberi. Film ini bisa mengangkat sebuah realitas sekaligus konflik sosial masa kini dengan kemasan mengalir ringan dan tidak berlebihan.

Cokelat atau stroberi? Di halaman belakang sampul novel Coklat Stroberi karangan Christian Simamora tertulis, "Coklat itu ibaratnya sifat maskulin cowok, lo dinilai dari kemampuan lo mencapai kesuksesan dan keagresifan lo meraih kemenangan. Jadi cowok sejati itu ya jangan bersifat kayak cewek. Tangan jadi manis, lembut, dan sensitif-kayak stroberi". O...

Tentu, membandingkan cokelat dan stroberi tidaklah sesederhana itu. Itu akal-akalan Upi, sang penulis skenario, yang membuat ibarat. Namun, meski dengan judul sedikit "memaksa", film ini mampu menyajikan gambaran tentang cinta universal milik semua orang.

Film garapan sutradara Ardy Octaviand ini menuturkan pasangan sahabat kental, Key (Madia Saphira) dan Citra (Marsha Timothy), yang tengah kebingungan mencari uang kontrakan. Pemilik rumah memberi solusi, memasukkan dua orang lagi agar pembayaran menjadi lebih ringan. Tidak dinyana dua orang itu ternyata cowok.

Key langsung terpesona oleh Nesta (Nino Fernandez), begitu pula sebaliknya. Ini membuat Citra dan Aldi (Marrio Merdhithia), teman Nesta, kesal. Ternyata, Key mempunyai saingan dalam merebut perhatian Nesta.

Konflik batin paling kuat ada pada Nesta. Dia dihadapkan pada pilihan sangat sulit, jujur pada diri sendiri untuk sebuah perubahan atau setia tetapi gelisah pada pilihan sebelumnya. Keberanian untuk mengubah hidupnya membuat Nesta berani jujur, tentu dengan berbagai risiko.

Skenario tidak membawa pada satu sikap yang tegas pada akhir cerita. Artinya, tidak ada keberpihakan pada jalan hidup seseorang. Nesta bisa memilih jalannya, sebaliknya Aldi juga tidak lantas berubah dan mengikuti jalan Nesta untuk bisa mencintai cewek. Dua pilihan ini menggambarkan kenyataan yang terjadi di masyarakat kita.

Peran sutradara untuk membangun karakter cukup terlihat. Akting empat tokoh utama dimainkan dengan wajar. Aldi tidak digambarkan sebagai cowok yang genit. Nesta, juga, meski kurang dieksplorasi, bisa menggambarkan emosi dirinya. Begitu pula dengan Key dan Citra yang dalam beberapa hal karakter mereka terlihat sangat berbeda tetapi sebenarnya saling mengerti.

Lagu Insensitive dari Letto dan Di Sini Untukmu dari Ungu terdengar pas mengisi adegan, seperti ketika Key berlari mengejar Nesta, juga ketika Aldi merasakan kepedihan ditinggal Nesta. Penonton dibawa pada suasana haru, tetapi tidak sampai pada kecengengan.

Secara keseluruhan, adegan demi adegan disajikan dengan wajar, tidak ada adegan yang mencengangkan atau luar biasa. Akhir cerita pun tidak sulit ditebak, seperti karya lain Upi, Realita, Cinta, dan Rock n Roll, yang juga sangat menjunjung tinggi sebuah pilihan hidup. Tidak ada perumusan pasti atas baik-buruknya hidup seseorang.

Sebagai cerita yang sebenarnya bermakna dalam, gambaran film ini sangat mudah "dikunyah" dan menghibur. Beberapa dialog memang agak mengganjal dan kurang pas, semisal, "Mau Osama bin Laden kek, Idi Amin, Sumanto, Sumanti...". Mungkin maksudnya untuk memberi sentuhan komedi, tetapi sayang tidak cukup mengena.

Coklat Stroberi cukup berhasil bila sasarannya adalah menawarkan kesegaran. Mau cokelat, stroberi, atau keduanya, silakan memilih....

[ Last edited byjf_pratama at 8-7-2007 07:39 PM ]

jf_pratama Publish time 2-7-2007 05:32 PM

Kontroversi Pasca-FFI 2006
Dari Plagiat, "Ekskul" hingga Ruang Sinematek

Lepas dari kontroversi soal film "Ekskul", dunia film nasional mencatat munculnya sejumlah film dengan ide cerita yang unik hingga aneh. Salah satunya film "Maaf Saya Menghamili Istri Anda".

Penyelenggaraan Festival Film Indonesia (FFI) 2007 akan diselenggarakan pada bulan Desember di Pekanbaru, Riau. Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) yang selama ini menjadi penyelenggara FFI berharap, ke depan penyelenggaraan FFI dapat diselenggarakan secara mandiri dan lepas dari bayang-bayang BP2N. Serta isu plagiat tak lagi mencuat pada FFI mendatang.

Masih segar dalam ingatan ketika sekelompok insan film yang mengatas namakan Masyarakat Film Indonesia (MFI) mengembalikan Piala Citra yang mereka peroleh pada FFI 2004, 2005 dan 2006 ke Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik.

Aksi pengembalian puluhan Piala Citra tersebut merupakan bentuk protes dari ketidakpuasan MFI terhadap hasil penilaian juri FFI 2006 yang telah menobatkan Film Ekskul sebagai Film Terbaik dan Nayato Fio Nuala sebagai Sutradara Terbaik. Mereka menilai ilustrasi musik film ini telah meniru musik Film Gladiator serta beberapa film Korea.

Isu plagiat pun deras mengalir dan akhirnya menghempaskan predikat kemenangan dari sutradara dan produser Film Ekskul. Kini setelah BP2N membatalkan kemenangan Film Ekskul dan Nayato, maka predikat sebagai pemenang Piala Citra untuk kategori Film Terbaik dan Sutradara Terbaik menjadi kosong.

Sejumlah pihak menyayangkan keputusan pengembalian Piala Citra yang kini tersimpan di ruang Sinematek, Gedung Film H Usmar Ismail, Jakarta Selatan. Karena pengembalian Piala Citra yang baru terjadi selama 42 tahun penyelenggaraan FFI, dinilai telah mengurangi nilai "kesakralan" dari sebuah penyelenggaraan festival film berskala nasional.

Meski begitu, beberapa pihak juga tak menyetujui jika film karya plagiator diberi predikat sebagai yang terbaik. Bukankah masih banyak film-film anak negeri yang pantas menyandang predikat itu? Sebut saja Denias, Senandung di atas Awan, Opera Jawa, My Heart, dan lain-lain.

Dugaan plagiat pada Film Ekskul hingga kini masih berupa dugaan. Namun menurut Ketua BP2N, Deddy Mizwar, pertemuan antara kuasa hukum Nayato serta Indika Entertainment sebagai rumah produksi yang memproduksi film ini dengan kuasa hukum Universal Music dan Universal Publishing selaku pemegang lisensi musik Film Gladiator telah terjadi.

"Atara pihak-pihak tersebut telah terjadi negosiasi mengenai masalah pembayaran royalti terhadap musik yang telah digunakan Film Ekskul. Bagi kami hal itu jelas merupakan indikasi kuat, bahwa telah terjadi penjiplakan suatu hak cipta dan itu jelas tak dapat dibiarkan,"tutur Deddy.

Walau pengadilan sebagai lembaga hukum tertinggi belum memutuskan apakah Film Ekskul telah melakukan pelanggaran hak cipta atau belum, BP2N tanpa ragu-ragu telah menganulir kemenangan Film Ekskul. MFI sebagai pihak yang menuntut pencabutan kemenangan Film Ekskul mengaku lega mendengar keputusan tersebut, meski dinilai telah terlambat.

Menurut Direktur Perfilman, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, yang juga merupakan Sekretaris BP2N, Bakri M M, pencabutan predikat kemenangan bagi Film Ekskul merupakan peringatan keras bagi insan film tanah air untuk lebih menghargai karya orang lain.

Terlebih para pekerja seni tidak terkecuali insan perfilman kini tengah gencar-gencarnya mendengungkan slogan anti pembajakan. Jadi tentu merupakan hal yang lucu jika mereka ternyata melakukan pembajakan dan plagiat dalam membuat sebuah karya.

"Putusan ini ke depan akan berdampak positif bagi perfilman Indonesia. Keputusan ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak membiarkan adanya plagiat atau pembajakan karya orang lain," tutur Bakri kepada SP, baru-baru ini.

Dengan menghargai karya orang lain, ujar Bakri, maka karya para sineas Indonesia juga akan lebih dihargai. Dia pun berharap pada penyelenggaraan FFI berikutnya juri akan lebih selektif dalam memberikan penilaian pada suatu kar- ya, di antaranya meneliti mengenai legalitas dari suatu film yang dinilainya.

[ Last edited byjf_pratama at 2-7-2007 05:35 PM ]

suraya76 Publish time 3-7-2007 08:29 PM

filem indon dulu2 best juga.. contohnya 'Tak ingin sendiri...'
lagu filem tu 'malam ini tak ingin aku sendiri... ku cari damai bersama bayanganmu...' sedih citer tu..

jf_pratama Publish time 4-7-2007 01:29 AM

Christine Hakim Jadi Gubenur di Film 'ANAK-ANAK BOROBUDUR'

http://www.kapanlagi.com/p/christine_hakim5.jpg

Bintang film senior Christine Hakim (51) menjadi Gubernur Jawa Tengah dalam film ANAK-ANAK BOROBUDUR yang mulai beredar 5 Juli 2007. Informasi dari Jakarta International Film Festival (Jiffest) Selasa (03/07) menyebutkan, film hiburan musim liburan sekolah itu diproduksi PT Atmo Adamel Film dengan sutradara sekaligus penulis skenario Arswendo Atmowiloto.

Selain Christine Hakim yang tampil kembali setelah film terakhirnya PASIR BERBISIK (2001), ANAK-ANAK BOROBUDUR dibintangi oleh Adi Kurdi, Butet Kartaredjasa, Nungki Kusumastuti, Djenar Maesa Ayu, Adadiri Tanpalang, Alexandra T Gottardo, dan Lani Regina.

Film itu berkisah tentang seorang bocah bernama Amat (Adadiri Tanpalang) dari sebuah desa di dekat Candi Borobudur, yang cukup mahir memahat patung.

Kadang ia membantu ayahnya yang bisu-tuli (Adi Kurdi), yang memang berprofesi sebagai pembuat patung.

Suatu hari, Amat memutuskan untuk mengikuti lomba memahat patung. Kemenangan Amat sebagai juara pertama malah membuahkan masalah, karena Amat justru mengembalikan pialanya.

Amat mengaku bahwa patung itu diselesaikan ayahnya dan Amat tidak mengirimkan patung itu ke lomba tersebut.

Hal tersebut membuat penduduk kampung marah dan sepakat untuk mengucilkan Amat dan ayahnya.

Pertolongan datang dari seorang pengamat seni bernama Doni (Butet Kartaredjasa) dan Gubernur Jawa Tengah (Christine Hakim). Kehadiran mereka membawa kebahagiaan lagi dalam desa yang asri itu.

Syuting film ini sebenarnya telah selesai dua tahun lalu dan semula berjudul PEMAHAT BOROBUDUR.

jf_pratama Publish time 4-7-2007 01:32 AM

Tiga Film Remaja Bersaing di Bulan Juli

http://www.kapanlagi.com/p/bbb_hl1.jpg

Setidaknya tiga film nasional bertema kehidupan remaja bakal bersaing merebut perhatian penonton di musim liburan sekolah, Juli 2007, yakni KAMULAH SATU-SATUNYA, SELAMANYA ..., dan BUKAN BINTANG BIASA.

Masyarakat Mandiri Film Indonesia di Jakarta, Selasa, menyebutkan film KAMULAH SATU-SATUNYA arahan sutradara Hanung Bramantyo bakal beredar di bioskop secara serentak pada 12 Juli.

Film SELAMANYA ... arahan sutradara Ody C Harahap mulai beredar 19 Juli dan film BUKAN BINTANG BIASA arahan sutradara Lasja Fauzia diputar per 26 Juli.

KAMULAH SATU-SATUNYA yang sebelumnya berjudul FANATIK diproduksi oleh Oreima Production dengan penulis naskah skenario Key Mangunsong, Raditya, dan Hanung Bramantyo.

Judul film itu diambil dari salah satu judul lagu hit grup musik Dewa 19. Sejumlah aktor dan aktris yang terlibat dalam film itu antara lain Nirina Zubir, Didi Petet, Junor Liem, Fanny Fadillah, Tarzan, Dennis Adhiswara, dan Ringgo Agus Rahman.

Film itu berkisah tentang remaja putri bernama Indah (diperankan Nirina Zubir) yang merupakan penggemar setia grup musik Dewa 19 yang rela melakukan apa saja untuk bertemu dengan idolanya.

Indah pergi dari kampung halamannya, Desa Bayah, sebuah desa terpencil di kawasan Pelabuhan Ratu, Jawa Barat, ke ibukota Jakarta, walaupun harus meninggalkan ayahnya (Didi Petet) dan sahabatnya Bowo (Junior Liem) yang diam-diam menyintainya.

SELAMANYA ... diproduksi MVP Pictures dengan penulis skenario Sekar Ayu Asmara dan sejumlah pemain seperti Julie Estelle, Dimas Seto, dan Masayu Anastasia.

Film melodrama itu berkisah tentang Aristha (Julie Estelle) dan Bara (Dimas Seto), pasangan yang tak terpisahkan.

Kedekatan mereka membuat mereka menyoba hal-hal berbahaya yang malah membahayakan jiwa mereka. Saat kenekatan mereka semakin jauh, Bara pergi, meninggalkan Aristha yang semakin jauh terpuruk dalam kesedihan dan kesengsaraan.

Bara kemudian bertunangan dengan Nina (Masayu Anastasia), tapi ia merasa bertanggungjawab mengeluarkan Aristha dari jurang kegelapan. Kisah cinta lama terulang kembali, dan Bara sadar bahwa hidupnya tak akan pernah bisa lepas dari Aristha selamanya.

Sedangkan BUKAN BINTANG BIASA diproduksi Maxima Pictures & M.G. Pictures dengan penulis naskah Titien Wattimena, Lina, dan Melly Goeslaw.

Sejumlah aktor dan aktris remaja yang terlibat dalam film itu antara lain Laudya Cynthia Bella, Raffi Ahmad, Chelsea Olivia, Dimas Beck, dan Ayu#a.

Film itu mengisahkan lima anggota grup band, Bella (Laudya Cynthia Bella), Raffi (Raffi Ahmad), Ayu (Ayu#a), Dimas (Dimas Beck) dan Chelsea (Chelsea Olivia), belajar di sebuah akademi seni.

Bella dan Raffi yang awalnya pacaran harus putus karena alasan klise, Dimas menaruh harapan besar pada Chelsea yang pelupa, sedangkan Ayu bermimpi mendapatkan pria pujaan lewat dunia maya.

Di saat mereka sedang mempersiapkan perayaan ulang tahun kampus mereka, seorang pengagum rahasia yang misterius hadir menguji persahabatan mereka.

jf_pratama Publish time 4-7-2007 07:44 PM

FILM ANAK-ANAK BOROBUDUR Salahkah Kita, Kala Berkata Benar?
Rabu, 04/07/2007

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/images/stories/food/040701.jpg

Film terbaru karya sutradara kondang Arswendo Atmowiloto berjudul Anak-Anak Borobudur bak sebuah penyegar di tengah-tengah industri film Indonesia. Setelah sekian lama,akhirnya muncul film anakanak dan keluarga yang mendidik sekaligus menghibur.

JAKARTA(SINDO) –Apalagi, film ini yang mengisahkan bocah-bocah Borobudur ini mengajarkan arti sebuah kejujuran. Film yang dibintangi anak-anak Yogyakarta dan beberapa artis ternama, yakni Christine Hakim, Djenar Maesa Ayu, Butet Kertaredjasa, Nungki Kusumastuti, dan Alexandra T Gottardo, disajikan dengan latar belakang budaya masyarakat Borobudur, Magelang,Jawa Tengah.

Hal ini mungkin menjadi nilai lebih untuk film tersebut. Mengingat, film-film Tanah Air jarang mengangkat sisi budaya bangsa. Kendati demikian, Arswendo Atmowiloto selaku sutradara dan penulis naskah tetap berusaha memenuhi kebutu*an hiburan yang berkualitas.

Menurut dia, meski filmnya keluar dari genre kategori mainstream yang ada, tapi film anakanak atau keluarga semacam ini tetap dibutu*kan.”Mungkin ini justru mainstream yang ingin saya buat.Bagi saya, film seperti ini harus tetap ada,” ujar Arswendo seusai pemutaran filmnya di Pondok Indah, kemarin.

Film ini mengangkat cerita kejujuran seorang bocah pematung, Amat (Adadiri Tanpalang), yang mengembalikan piala kemenangan karena merasa bukan haknya. Dia merasa patung yang dilombakan bukan hasil karyanya sendiri, ada bantuan dari sang ayah, Pak Amat (Adi Kurdi).

Namun, kejujuran bocah kelas 5 SD itu membuat bupati, camat, lurah, kepala sekolah, dan seluruh warga di sekitar tempat tinggal Amat marah besar. Akibatnya, Amat diskors untuk waktu yang tidak ditentukan dan ayahnya diberhentikan dari tempat kerja. Mereka pun dikucilkan warga sekitar.

Sampai akhirnya seorang pengamat seni, Doni (Butet Kartaredjasa), pacar ibu guru Ayu (Alexandra T Gottardo), menuliskan bahwa patung itu karya Amat dan hukuman pengasingan bagi Amat tidak mendidik. Tulisan tersebut akhirnya sampai ke tangan Gubernur Jawa Tengah Suryani (Christine Hakim).

Lalu, Suryani datang dan memberikan hadiah kepada Amat secara langsung. ”Hadiah untuk keberanian dan untuk kejujuran,” tuturnya.

Cerita film ini mengaduk-aduk emosi penonton dengan menampilkan adegan sedih mengundang tangis dan ada adegan lucu yang kocak. Harapan Anak-Anak Borobudur agar menjadi film yang menghibur sekaligus mendidik terangkum apik. Selain akting, para pemain yang memukau, ide cerita Arswendo pun terkesan bertutur.(andree)

[ Last edited byjf_pratama at 4-7-2007 07:47 PM ]

jf_pratama Publish time 7-7-2007 05:10 PM

Capturing Lim Kay Tong outside 'The Photograph'
Nauval Yazid, Contributor, Singapore

Indonesian director Nan Achnas' latest film, The Photograph, had tickled the curiosity of many local moviegoers prior to its release on July 5.

Leaving aside the use of an English-language title for an Indonesian-language film, The Photograph features a relatively unknown actor in top billing along with the "other" leading star, i.e. the popular singer-turned-actress, Shanty.

However, the case is completely different in Singapore, where this unknown actor has garnered critical acclaim for his performances on TV, film and stage for more than three decades.

Lim Kay Tong, the thespian in the spotlight, has also ventured to foreign soil, where he can be seen taking on small roles in a few Hollywood films, such as It Could Happen to You (starring alongside Nicolas Cage, as a Korean shopkeeper), and Brokedown Place (as a Thai detective investigating Claire Danes and Kate Beckinsale).

Despite the overseas exposure, Lim remains loyal to his home region.

"Hollywood can bring everything money can buy. Advanced equipment, huge sets. But it's not always the best they can get," Lim told the Post in an interview on the sidelines of the Singapore International Film Festival (SIFF), which ran from mid-to late April.

"I am very supportive of independent films with a good story and good cast. To me, a film has to be all about the human story. Beyond that, it is equally important for the story to relate back to the society of the time it is set," he added.

As such, when his good friend and SIFF director Philip Cheah recommended The Photograph to him, it immediately caught his attention.

Under the helm of Nan, who returned to filmmaking after a four-year hiatus, the film revolves around an unlikely relationship between an introverted, 50-year-old traveling photographer, Johan (Lim), and a down-on-luck woman, Siti (Shanty), who moves in to a small attic room above Johan's photo shop.

As Johan feels his time drawing to a close, the bond between him and Siti becomes more intense, and together they bring out undiscovered hopes within themselves.

"What intrigued me .. was that the film was run by all women," said Lim. "In Singapore, there are very few women doing long-running features. So, when Paquita (Wijaya, one of the film's producers) told me that we were going to shoot in a month, I said, 'Ha, ha! I know how independent film works, you said a month, it could be another year!'"

But the film had other qualities that attracted Lim: "...beyond that, the film gave me a much more interesting window. I found the film was living very close to Islam, other than the Chinese part.

"From other characters in the film, from the crew, from the surroundings of Semarang (Central Java) where we shot the film, the whole filming process did show me how plural Indonesia is, in terms of the country and within Islam itself."

Lim said he had to endure "a painstaking process" to grasp the language barrier during production.

"My knowledge of Malay is very limited, although my mother's side is Peranakan (Chinese-Malay). So I asked Nan to send English version of the script. That way, I learned the meaning of my dialogue, other characters' dialogues, and I could get the meaning of the whole film," he said.

"It took four-and-a-half weeks from the time I received the script, and a week in Jakarta to learn the sounds that had to be accurate. I had to learn pronouncing the words."

While acting in an unfamiliar language might hamper the overall performance, Lim found that Nan's approach to filmmaking left little room for such a shortcoming.

"The language barrier might limit the ability to improvise. But the way Nan framed her scenes, she was very sure and very certain about them, like two angles for a scene and that's it. So you had to work within that sureness," he said.

"Whatever level of performance you have to achieve, you have to work within that limited space."

Lim had more praise for Nan: "It was such a relief and a change to work with a director in a classical way. Hardly any moving shots, hardly any 20-angle set-ups, no close-ups sometimes. She just knows what she wants to frame. No tricks involved.

"As an actor, you can easily adjust your performance to the condition. I don't know if I'll ever be able to work in such a classical method again in the modern filmmaking scene."

It might be easy to point to similarities in the expertise and experience of Lim and Nan, but Lim and Shanty is an interesting match, given the stark contrast in their years of experience.

"I don't mind who I work with. I've worked with so many different people in many different levels of performance -- TV, stage, films," Lim said simply of the pairing.

"In fact, Shanty was great, she's such a confident person. She is well-prepared, emotionally," he said.

"There was no overacting in her performance. It was quite grounded, and indeed, quite economical acting. Her character, Siti, is a little ambiguous with her feelings, and Shanty brought it out in a very subtle way."

He added, laughing: "We had a great bond, because we shared a waiting room together, and dozed off together in between takes!"

With The Photograph garnering mostly positive comments from critics and the media, Lim will no longer be a stranger to local cineasts.

Still, fame is something he avoids.

"I fight it overtime. Fame spoils actors. It makes you less hungry somehow, and when you are less hungry, I'm not sure you could push yourself to strive for the better," Lim said.

"I'm a working actor, I continue to work. I stay real. I have a lot of errands to run. It keeps you very grounded. That keeps me more interested in the open world, not just showbiz. It gives you detachment, which is good."

Spoken like the real deal -- and a legend in the making.

The Photograph is currently playing at select cinemas in Jakarta, Bandung and Yogyakarta.

[ Last edited byjf_pratama at 7-7-2007 05:15 PM ]

jf_pratama Publish time 8-7-2007 01:29 PM

Dari Desa, Memburu Idola
Susi Ivvaty

http://www.suarapembaruan.com/News/2007/07/08/Hiburan/08kamu1t.gif

Setelah Brownies, Catatan Akhir Sekolah, dan Jomblo, sutradara Hanung Bramantyo kembali menggarap film berpangsa pasar anak muda, Kamulah Satu-satunya. Film tentang perjalanan seorang remaja bertemu idolanya ini mampu mengajak penonton tertawa dan menangis sekaligus.

Selain pengadeganan dan skenario yang mengalir, bagian yang menonjol di film produksi Oreima ini adalah olah akting pemerannya. Nirina mampu mengeksplorasi diri, melebur sebagai Indah, gadis SMA nan lugu dari Desa Bayah, Lebak, Jawa Barat. Dengan jilbab miring sebelah, tingkah ala remaja desa yang mulai beradaptasi dengan kota, kira-kira begitulah sosok Indah.

Berpasangan dengan Didi Petet sebagai Abah (kakek Indah), akting Nirina terlihat makin kuat. Junior yang memerankan Bowo, teman sekolah Indah, pun bermain cukup memikat. Akting para pemeran utama itu bersinergi secara wajar dan tidak berlebihan.

Kisahnya mengenai kelompok band Dewa 19 yang mencari sejumlah orang untuk diajak konser lima kota di Indonesia. Dewa 19 menebar kupon di kaset dan compact disc album mereka. Kupon yang dikirim kembali nantinya akan diundi. Sebagai pengagum berat Dewa 19, Indah pun getol mengumpulkan kupon agar bisa berjumpa artis idolanya.

Orang desa tentang kota

Tema memandang kota dari sudut pandang orang desa hingga sekarang tampaknya masih menarik digarap. Bahkan di era transnasionalisme dan di tengah isu pemanasan global pun, tema itu masih juga dipandang menarik.

Gambarannya sudah dapat diduga: orang desa biasanya lugu dan jujur, sementara orang kota, terutama Jakarta, penuh tipu daya dan individualis. Stereotip itu agaknya masih dipercaya sampai kini. Bahwa kehidupan desa juga penuh intrik, sikut-sikutan, dan kekerabatan semakin luntur, itu adalah soal lain.

Untuk menggambarkan harmoni kehidupan desa dan kerasnya kota, proses pembuatan film ini menggunakan dua kamera. Kamera film 35 milimeter digunakan ketika pengambilan gambar di Desa Bayah, sedangkan kamera video (HDV) untuk mengambil gambar di Jakarta. Penggunaan kamera ini disengaja, alasannya untuk menggambarkan Jakarta sebagai kota yang keras.

Stereotip desa-kota belum beranjak. Maka, wajar jika Indah dengan lugunya ikut mengejar copet yang merampas tas teman seperjalanannya. Dengan mudahnya pula ia percaya kepada Franky (Fanny Fadillah), yang ternyata mengambil keuntungan. Mujur ia bertemu pengamen baik. Keluguan seorang Indah cukup menggelitik mengingat batasan desa-kota yang makin menipis sekarang ini, apalagi cuma dari Bayah ke Jakarta. Televisi kabel pun sudah terjangkau, apalagi cuma telepon seluler.

Namun, mari kita kesampingkan dikotomi desa-kota itu karena bukan itu yang terutama ingin disampaikan film ini. Misinya terjawab pada kalimat yang dilontarkan Abah, "Anak muda dirusak oleh acara-acara jual mimpi seperti itu." Sikap sutradara adalah mengkritisi industri hiburan dan media yang gencar menjual citra. Wajar jika kemudian bermunculan banyak kelompok pencinta band atau artis tertentu. Dunia citra memang telah berhasil "menjual mimpi".

Maka, adegan demi adegan pun mengalir ringan. Unsur komedi digarap dengan cukup cerdas, seperti guyonan soal tentara, "Kamu membuat Abah malu di depan tentara. Dulu Abah tentara, sekarang nipu tentara." Adegan kocak dan satir juga terasa ketika Indah berdialog dengan peminta sumbangan pembangunan masjid. Soal ini, Hanung memang piawai.

Unsur drama dalam film ini juga digarap dengan detail, didukung gambar yang fotografis, seperti obrolan Indah dan Bowo di pinggir pantai atau konflik hebat Indah dengan Abah.

Yang terasa sangat mendukung suasana adegan adalah ilustrasi musik dan lagu yang semuanya mengambil lagu-lagu Dewa 19 dan Dewi-Dewi. Lagu Elang mengiringi Indah yang naik bus pada subuh buta, lagu Risalah Hati mengiringi Bowo saat menulis surat untuk Indah, dan lagu Laskar Cinta mengiringi adegan ketika kelompok berbendera agama menyita majalah porno di pinggir jalan.

Film Hanung kali ini memang digarap lebih matang. Cerdas, mengalir, menghibur....

http://www.suarapembaruan.com/News/2007/07/08/Hiburan/08kamu3t.gif牋http://www.suarapembaruan.com/News/2007/07/08/Hiburan/08kamu2t.gif牋http://www.suarapembaruan.com/News/2007/07/08/Hiburan/08kamu5t.gif






[ Last edited byjf_pratama at 8-7-2007 03:40 PM ]

jf_pratama Publish time 8-7-2007 01:37 PM

Album OST Bukan Bintang Biasa: Suara Rumahan牋

Album Original Soundtrack Film Bukan Bintang Biasa
Komposisi/Musik: Melly Goeslaw/Anto Hoed
Produksi: PT Aquarius Musikindo, 2007牋

Album Original Soundtrack Film Bukan Bintang Biasa (BBB) ini mengingatkan ketika Rano Karno bernyanyi dalam film Dimana Kau Ibu atau juga Romi dan Yuli pada awal 1970-an. Rano saat itu bernyanyi dengan suara rumahan—bukan penyanyi profesional. Rano pernah menyebutnya sebagai suara orang baru bangun tidur.牋

Suara penyanyi dalam album BBB ini juga berkapasitas suara rumahan. Artinya, suara untuk konsumsi dengaran di rumah. Coba simak suara Chelsea Olivia dalam lagu Kucinta Dia Apa Adanya yang dibawakan dengan suara apa adanya sekali. Atau juga suara Laudya Cynthia Bella dalam Karena Cinta. Juga Bukan Cinta Biasa yang dibawakan duet Dimas Beck dan Chelsea. Urusan ketepatan bidik nada alias pitch control bisa dikatakan payah.牋

Akan tetapi, mungkin bisa di-"ampuni" karena mereka memang bukan penyanyi profesional. Lagu mereka merupakan bagian dari sebuah film. Artinya, ia bisa dinikmati dalam konteks ekspresi seorang pemeran. Nyanyian mereka lebih enak ditempatkan sebagai bagian dari tontonan.牋

Yang sangat menolong pada album ini adalah kemampuan komposisi Melly Goeslaw untuk membuat lagu bermelodi manis. Juga keterampilan Anto Hoed untuk menata musik sesuai dengan karakter lagu. (XAR)

[ Last edited byjf_pratama at 8-7-2007 01:38 PM ]

jf_pratama Publish time 8-7-2007 07:34 PM

'The Photograph': Art-house movie with an accessible story
Rizal Iwan, Contributor, Jakarta

(Drama, 95 minutes) Starring Shanty, Lim Kay Tong, Indy Barends, Lukman Sardi. Directed by Nan Achnas. Produced by Triximages/ Salto Films/Les Petites LumiŠres.

Given the current state of the Indonesian film industry, in which filmmakers vie for spots in the race to "revive" Indonesian cinema and produce viewer-friendly films, the term "art-house movie" often seems derogatory.

It is a scapegoat phrase, on which we pin blame for all those empty theater seats. It is a term that, due to the gravity and lack of accessibility it connotes, some like to utter cynically in the same breath as "pretentious".

Director Nan Achnas often finds that the term is also found in the same sentence as her name, with films like symbol-heavy Pasir Berbisik (The Whispering Sands) and so-termed neo-realist kid misadventure Bendera (The Flag) up her sleeve.

Fortunately for Indonesian moviegoers, she has returned with a more accessible story, while still maintaining the beautified visuals and rhythmic elegance for which she is well-known.

The Photograph is a classic story about two very different worlds, and what happens when they are forced by circumstances to collide, eventually affecting and changing each other.

One world is that of Sita (Shanty), a penniless, down-on-her-luck single mother, who must support her daughter and sick grandmother by singing in a karaoke bar and occasionally providing "personal services" to clients, under the strict observation of her crook pimp Suroso (Sardi).

The other is that of Johan (Tong), an old, enigmatic photographer of ethnic-Chinese origin, who works with archaic photographic equipment in his studio.

The two meet when Sita has to find cheap lodgings and rents a room in Johan's house. Sita tries to connect with Johan, but the old man just shuts her out of his world.

Slowly, the connection is made, when Sita loses her job and spends more time with Johan, helping around the house. She also assists him with his photo work, especially when Johan must find a successor to replace him, as his health is deteriorating.

One thing that Sita cannot do is become the successor, because Johan holds true to the tradition that whoever replaces him must be a man.

As they get closer, Sita starts to gain his trust, and the man's past begins to unravel.

Past and future come together

The Photograph is at its core a story about two opposite energy forces colliding with each other. Sita is young, vibrant and assertive, trying to get through Johan's unmoving, resistant, and impenetrable wall.

Sita stands for the future -- as it is the very thing that she's concerned about, regarding her daughter -- while Johan is a manifestation of the past, of time standing still, refusing to move on.

Sita represents practicality, and Johan is the epitome of rigid tradition. The beauty of this film is the journey -- albeit a slow one -- to a point where the two forces start to come together.

Needless to say, a great burden is placed on the shoulders of the two leads. The casting of renowned Singaporean stage actor Lim Kay Tong (whose impressive credits including Hollywood films Brokedown Palace,Dragon: The Bruce Lee Story and It Could Happen to You, alongside Nicolas Cage) is both a stroke of luck and genius.

A fresh face relatively unknown to Indonesian audiences will reinforce the enigmatic vibe to his character, and his acting portrays both frailty and stubbornness simultaneously with consummate ease.

The way he delivers his dialog may come across as almost unintelligible, but it also strengthens the impenetrable wall surrounding his character.

Shanty has not only proved herself to be a prolific actress but may also be the most successful example of an artist making the transition from singing to acting.

She possesses all the qualities that embody Sita: naivete, sexiness, joviality and being care-free, but easily switches to reveal a damaged personality in her more emotional scenes.

The beautified visuals -- sharp cinematography and almost-too-perfect art direction (where even layers of dust can look beautiful) -- somehow supports the film's mood and adds to its elegance.

The middle of the film feels a bit sluggish but regains momentum once the two characters start to find a connection. Character development is clearly drawn, to the final point where Johan so heartbreakingly lets go of the tradition he holds so dear.

The one thing that seems out of place in the film is the search for Johan's replacement. It may have been intended as comic relief. However, not only is it trite and banal; it also disrupts the film's mood and rhythm (the only good thing that comes out of it is we now know young actor Nicholas Saputra, in a cameo role, is able to escape his broody stereotype).

Also, it sort of messes with the film's logic. In this day and age of digital photography, would so many people be that eager to work in a run-down, outdated photo studio?

It would have been better if only a few people or no one showed up at all, because Johan's dying business would have been a stronger metaphor for the hovering presence of death around him.

Flaws aside, The Photograph is a whiff of fresh air and something different to have surfaced in the industry this year.

I guess the term "art-house movie" isn't that bad after all. ***1/2 (out of *****)

[ Last edited byjf_pratama at 8-7-2007 07:35 PM ]

jf_pratama Publish time 8-7-2007 07:37 PM

Anak-Anak Borobudur (The Children of Borobudur)

(Family, about 90 minutes) Starring Adadiri Tampalang, Adi Kurdi, Djenar Maesa Ayu, Nungki Kusumastuti, Butet Kertaradjasa, Christine Hakim. Directed by Arswendo Atmowiloto. Produced by PT Atmo Amadel Film.

The latest offering on children after the critical success of Denias is a story of Amat (Tampalang) a vibrant, talented, wise-cracking boy who lives in a Central Javanese village near the Borobudur temple.

His high moral scruples affect the people around him: his mute father (Kurdi), a sad mother of a disabled child (Maesa Ayu), his two schoolmates who seem to have a crush on him, a journalist (Kertaradjasa) and a number of other characters.

When his sculpture wins a prestigious art contest that will put the small village on the map, he rejects the trophy because his father was actually the one that finished the piece, so he feels he doesn't deserve the recognition.

This angers local officials and Amat is banned from school, turning him into the village social pariah simply for doing the right thing.

Writer-director Atmowiloto does a noble thing by trying to capture the lives of the community around the touristy landmark (and, in doing so, grasps a nice analogy for his story -- a village that feeds on sculpting souvenirs with its modern Borobudur sculptors, the proud successors of their ancestors), and comes up with some characters of potential.

However, this is also its shortcoming; the film has so many supporting characters -- each in need of resolution -- that the stories just scatter in all directions.

We assume that the main thesis of the film is Amat's issue with the trophy. But when this storyline has wrapped up, the film still lingers to pick up the pieces concerning the other characters.

As a result, the film feels like Atmowiloto's famed 90s TV series Keluarga Cemara crammed into one-and-a-half hours, with scenes that provide deeper exploration of each issue cut out of the picture.

Kurdi as the mute father gives the best performance. Tampalang also turns in quite a natural one in the lead, but Atmowiloto's cracking dialog is almost annoying, with the inclusion of almost 10 wisecracks in a row when the film hasn't even run for five minutes. ** (out of *****)

[ Last edited byjf_pratama at 8-7-2007 07:41 PM ]

jf_pratama Publish time 12-7-2007 05:57 PM

LA LIGHTS INDIE MOVIE 2007 IDEALISME DI LAYAR LEBAR
Kamis, 12/07/2007

Perkembangan film independen (indie) di Indonesia semakin marak.Kendati film indie punya komunitas dan ruang tersendiri, para sineas dan filmmaker-nya tetap semangat menuangkan ide dan kreativitas mereka lewat film-film tersebut.

JAKARTA (SINDO) —Semangat itu tergambar dalam pembukaan acara bertajuk ’’LA Lights Indie Movie 2007” yang digagas sutradara ternama Garin Nugroho. Ratusan pencinta dan pembuat film indie berkumpul memadati lounge Blitz Megaplex, Jakarta, tadi malam.

Mereka tampak serius mengikuti diskusi bertema ’’Short Movie” yang dihadiri Gotot Prakosa (pakar film), Fira Basuki (penulis skenario), serta Nova Riyanti Yusuf.

’’Bangsa ini tumbuh dan berkembang karena ada komunitas-komunitas. Jadi, kami harus membangun keterampilan komunitas tersebut untuk mempertahankan daya hidup bangsa. Kami pun harus memberikan ruang kreativitas dan produktivitas kepada mereka agar menjadi masyarakat yang terampil,” papar Garin Nugroho pada jumpa pers pembukaan ’’LA Lights Indie Movie 2007’’, di Blitz Megaplex, Jakarta, tadi malam.

Garin menuturkan, film indie tetap memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap kemajuan perfilman di Tanah Air meski itu sering keluar dari mainstreamfilm Indonesia,yakni horor dan cinta remaja.

’’Mereka menuangkan kreativitas dan ide masing-masing. Sebab,kreativitas adalah ide meski dia keluar dari jalur industri perfilman. Di sisi itulah, mereka ditantang membuat ide film yang orisinal,” tutur sutradara film Opera Jawa ini.

Garin menambahkan, para peserta terpilih harus mampu mencari ide yang tepat, mengatur waktu dengan baik, serta memanfaat biaya yang diberikan.Tentunya, hal itu diiringi keterampilan teknis mereka. Acara itu juga melibatkan sejumlah artis, sineas, dan filmmaker ternama sebagai instruktur workshop.

Mereka adalah Joko Anwar (Janji Joni, Kala), Monty Tiwa (Maaf, Saya Menghamili Istri Anda), John DeRantau (Denias), Edwin (Misbach, Kara, dan Anak Sebatang Pohon), Wulan Guritno (Gie, Naga Bonar Jadi Dua), serta Gotot Prakosa.

Di Jakarta, peserta yang sudah mendaftar tak kurang dari 200 orang.Pada hari pertama (14 Juli) akan ada workshop sekaligus seleksi peserta menjadi 50 orang. Sementara itu, hari kedua (15 Juli), pada acara bertajuk ’’Meet The Producers’’, peserta akan disaring lagi menjadi dua kelompok masing-masing lima hingga 10 orang.

Mereka akan ditantang untuk membuat film pendek. Acara itu akan berlangsung di empat kota, yakni Jakarta (14–15 Juli), Bandung, (21–22 Juli), Surabaya (28–29 Juli), dan Yogyakarta (8–9 Agustus). ’’Kami mengadakan workshop, meet the producer, dan meet the director buat para peserta. Kami harus memberikan ruang kepada mereka yang ingin maju,”ujar Garin.

Dari masing-masing kota tersebut akan dipilih dua naskah terbaik untuk difilmkan. Mereka yang terpilih akan diberikan dana Rp15 juta untuk biaya produksi film. Proses produksinya sendiri akan dilakukan pada Agustus–September mendatang. ’’Nanti, dari delapan film yang berasal dari empat kota tersebut akan ditentukan film terbaik pilihan juri dan pilihan penonton,”tandas Garin.(andree)

[ Last edited byjf_pratama at 12-7-2007 05:00 PM ]

jf_pratama Publish time 12-7-2007 06:02 PM

JAKARTA INTERNATIONAL VIDEO FESTIVAL 2007- Merekam Kehidupan, Mengkritik Keseharian

Kelompok Seni Ruangrupa kembali menggelar 3rd Jakarta International Video Festival (JIVF) 2007 di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat,pada 10–27 Juli.Acara yang bertajuk ”OK Video Militia” ini didominasi oleh karya-karya yang mengusung tema kritik sosial dan unek-unek masyarakat Indonesia.

JAKARTA (SINDO) –”Video bisa menjadi alat untuk menyampaikan unek-unek kita. Ada yang menggambarkan korupsi di sekolah,carut-marutnya lalu lintas,dan ada pula yang cuma sekadar menampilkan orang lagi makan. Tetapi semuanya punya makna,” tutur Festival Director JIVF Ade Darmawan di sela-sela acara pembukaan, tadi malam.

Hal senada juga diucapkan oleh Artistic Director Ruangrupa, Hafiz. Menurut dia, audiovisual dapat menjadi titik awal untuk mengembangkan berbagai pertanyaan yang berhubungan dengan persoalan sosial, politik, dan budaya. ”Ini menjadi langkah awal dalam proses kreatif,”ujarnya.

Hafiz menuturkan,kata militia yang menjadi tema acara ini berarti memberdayakan masyarakat sipil secara terorganisir, terencana, juga termobilisasi demi perubahan diri. Acara ini memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menggunakan video (kamera) sebagai alat untuk menyampaikan isi hatinya melalui bahasa audiovisual.

Sebelum menampilkan karyakarya pada OK. Video Militia, Ruangrupa mengembangkan workshop video di 15 tempat di 12 kota. Mereka mengajak orang-orang untuk lebih aktif menggunakan kekuatan video sebagai alat kritik. Alhasil,sejumlah alumnus workshop itu menghasilkan 125 karya yang ditampilkan dalam festival dua tahunan ini.

Selain itu,ada pula 119 karya 99 seniman yang berasal dari 7 komunitas dari 27 negara. Karya-karya tersebut sangat sarat dengan muatan sosial-politik dan budaya yang sangat jelas terlihat. Bahkan,beberapa video menampilkan berbagai perubahan, baik yang bersifat evolutif maupun revolutif dari berbagai bidang seperti politik, perang, militer, agama, ekonomi, kota, dan ruang-ruang keluarga.

Pada acara pembukaan, menampilkan berbagai video karya seniman Prancis, Jerman, Iran, Polandia, Brasil, Italia, serta beberapa karya seniman Indonesia seperti video bertajuk Tamasya Reklame. ”Dengan bahasanya sendiri, video-video ini hadir sebagai tanda yang membangun sejarahnya sendiri dalam masyarakat,”sebut Hafiz.

Tempat penayangan karya JIVF dibagi dalam beberapa lokasi, yakni Video In, Video Out, Video Box, dan Video Shop. Video In bertempat di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta,yang terbagi dalam dua ruang utama. Ruang pertama, berupa presentasi karya-karya workshop yang telah dilakukan bersama komunitas/masyarakat di 15 tempat di 12 kota tadi.

Adapun ruang kedua,menghadirkan karya-karya video, baik itu hasil undangan, aplikasi karya, serta dari kelompok/komunitas (internasional dan Indonesia) yang selama ini bekerja dan berkarya dengan medium video.

Sementara itu, program Video Box ditempatkan di Ratu Plaza Office Tower 19th Floor, GoetheHaus, Stasiun Gambir, Stasiun Jakarta Kota, Stasiun Sudirman, Bengkel Deklamasi TIM, dan Gedung Depdiknas. Adapun Video Shop berada di Toimoi. Selain itu, Video Out ditempatkan ruang-ruang publik, berupa perkantoran, kafe, mal, dan stasiun kereta. Beberapa di antaranya seperti di ak.’sa.ra bookstore Kemang.(andree)

[ Last edited byjf_pratama at 12-7-2007 05:04 PM ]

jf_pratama Publish time 15-7-2007 09:57 AM

MASKOT

Judul: Maskot
Sutradara: Robin Moran
Skenario: Joko Nugroho dan Ari M Syarif
Pemain: Aryo Wahab, Uli Auliani, Butet Kartaredjasa, Epy Kusnandar
Pengedar: Ezy internasional

Beberapa tafsir bisa muncul setelah menonton film ini. Tema yang diusung bisa konflik antargenerasi yang pelik atau cerita soal kepercayaan tentang sebuah benda keramat, dalam hal ini ayam.

Yang dimaksud maskot memang ayam, seekor ayam jantan putih milik perusahaan kecap, Ketjap Tjap Ajam Medja. Maskot ini diturunkan mulai generasi kakek hingga cucu. Begitu berartinya ayam ini, sampai muncul keyakinan kuat bahwa tanpa ayam itu perusahaan akan hancur. Suatu saat terjadi kecelakaan di pabrik dan membuat Sasmita, generasi pertama pemilik perusahaan, kritis. Katanya, "Biarkan saya! Selamatkan ayam. Ayam itu lebih penting dari saya."

Hingga tibalah saat cucu Sasmita, Dennis (Aryo Wahab), harus menggantikan ayahnya, Widjaja (El Manik), memimpin perusahaan. Langkah pertama yang harus dilakukannya adalah mencari ayam pengganti karena maskot sebelumnya mati. Bersama orang kepercayaan ayahnya, Misran (Butet Kartaredjasa), Dennis mencari ayam itu ke tempat yang disebut secara samar. Dari sanalah petualangan Dennis dimulai.

Film ini sebenarnya sebuah satir mengenai satu tradisi dan kepercayaan yang masih terus dijunjung tinggi hingga kini. Maskot, pesugihan, atau apa pun namanya ternyata masih dipercaya mengandung tuah. Secara keseluruhan, film ini menghibur dan menyiratkan pesan. (IVV)

[ Last edited byjf_pratama at 15-7-2007 10:23 AM ]

jf_pratama Publish time 15-7-2007 11:29 AM

Mencoba Jujur Berlatar Borobudur
DAHONO FITRIANTO

Mencoba memberi alternatif di tengah arus latah perfilman Indonesia, penulis dan sutradara Arswendo Atmowiloto membuat film bertema anak-anak dan keluarga yang lebih membumi. Film yang dimaksudkan pembuatnya untuk "meluruskan kembali arah perfilman Indonesia" tersebut berjudul "Anak-anak Borobudur".

Arswendo—yang sukses dengan film-film televisi, seperti Aku Cinta Indonesia (ACI) dan Keluarga Cemara ini—membutu*kan waktu dua tahun untuk menyelesaikan Anak-anak Borobudur (AAB) yang seluruh pengambilan gambarnya dilakukan langsung di daerah di sekitar Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, awal 2005 lalu.

Dibintangi sederetan aktor papan atas, seperti Christine Hakim, Adi Kurdi, Butet Kartaredjasa, dan Nungki Kusumastuti, film ini dibuat sebagai bentuk "perlawanan" Arswendo terhadap arus utama film Indonesia populer masa kini yang masih berputar-putar di sekitar tema horor dan kisah percintaan remaja kota besar (baca: Jakarta). "Film seperti ini, film anak-anak, atau film keluarga, harus ada," tandas Arswendo yang menulis skenario dan menyutradarai sendiri AAB.

Harapan sempat melambung tinggi sesaat sebelum melihat film ini pertama kali. Terbayang ciri khas Arswendo yang selalu berhasil mengangkat tema-tema sederhana dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia menjadi jalinan cerita yang apik dan menarik serta berhasil menyisipkan pesan kebijakan yang mudah dicerna tanpa berkesan menggurui.

Kejujuran

Namun, kekecewaan sudah harus ditelan sejak awal saat AAB dibuka dengan sederetan "nasihat" dari tokoh utama, Amat (Adadiri Tanpalang), kepada ayahnya yang bisu, Pak Amat (Adi Kurdi), yang menyuruhnya makan.

Amat adalah seorang siswa kelas 5 sekolah dasar yang mewarisi keahlian ayahnya sebagai pemahat batu. Dia disuruh gurunya, Ayu (Alexandra Gottardo), mengikuti lomba patung tingkat Provinsi Jawa Tengah, tetapi Amat tak kunjung menyelesaikan patung tersebut.

Suatu hari, Pak Amat melihat patung yang belum jadi tersebut kemudian menyempurnakannya. Tanpa sepengetahuan Amat dan Pak Amat, teman sekelas Amat, Siti (Acintyaswasti Widianing), kebetulan melihat patung tersebut dan membawanya ke sekolah untuk diikutkan lomba.

Singkat cerita, patung tersebut menjadi juara, yang membuat kepala sekolah, lurah, camat, dan bupati setempat sangat bangga. Namun, saat acara penyerahan hadiah oleh bupati di depan sekolah, Amat dengan polos mengaku, ia tak berhak menerima hadiah itu karena patung tersebut bukan karyanya, lalu mengembalikan hadiah.

Tindakan Amat membuat para pejabat tersebut malu dan marah besar. Hanya karena tindakannya itu, Amat dihukum amat berat. Ia diskors dari sekolahnya, dan kemudian dijauhi penduduk desa dan teman-temannya bagaikan penderita penyakit menular.

Tumpang tindih

Meski membawa pesan bijak tentang kejujuran dan menampilkan gambar-gambar indah pedesaan di lereng Gunung Merapi dan Gunung Merbabu (yang pada kenyataannya berjarak 20-30 kilometer dari Candi Borobudur), jalinan kisah AAB terganggu dengan beberapa anak cerita yang mengambil porsi terlalu banyak tanpa kaitan yang jelas dengan arus cerita utama.

Adegan-adegan tentang penderitaan Mbak Mi (diperankan dengan sangat canggung oleh penulis Djenar Maesa Ayu) yang memiliki anak lumpuh layuh dan ditinggal pergi suaminya, dan konflik generasi antara teman Amat, Joan (Lani Regina), dan Eyang Putri (Nungki Kusumastuti), dimaksudkan sebagai pelengkap pesan tentang siapa yang lebih jujur dan berani menghadapi hidup.

Namun, semua anak cerita tersebut justru menjadi saling tumpang tindih dan tak berhasil menyampaikan pesannya hingga film berakhir.

Sekadar latar

Selain itu, Borobudur sekali lagi dipakai hanya sekadar sebagai latar lokasi dan pemberi kesan gagah dan penarik perhatian pada kisah AAB. Secara keseluruhan, tak ada relevansi spesifik antara kisah Amat dengan sosok Candi Borobudur.

Pesan moral dan alur ceritanya secara umum tak akan berubah, misalnya, seandainya Amat adalah seorang perajin gerabah yang mengikuti lomba patung gerabah dan lokasi ceritanya dipindah ke Kasongan, Yogyakarta, atau seandainya dia adalah pengukir kayu yang mengikuti lomba patung kayu dan lokasinya dipindah ke Jepara.
Pages: 1 2 3 4 [5] 6 7 8 9 10 11 12 13
View full version: INDONESIAN MOVIES (Gallery and Discussion)


ADVERTISEMENT