jf_pratama Publish time 18-11-2007 04:17 PM

Major award for Indonesian film at APSAs
Cynthia Webb, Contributor, Gold Coast, Queensland, Australia

Indonesia's filmmakers and friends at the Asia Pacific Screen Awards were thrilled to hear the announcement of the winner of Best Children's Feature Film:

"And the winner is,Singing on the Cloud" (Denias, Senandung di atas Awan) directed by John De Rantau, his first feature film."

The producers, Ari Sihasale and Nia Sihasale Zulkarnaen, a married couple, both with a history in acting and television worked for two and a half years on their dream of making their first film, which has an important message for young people - the value of education and how it opens doors of opportunity.

Their second film, now in the planning stages, has the same theme and tells the story of a dedicated and inspiring teacher in a remote area of Sumatra.

With them in Australia was 19-year-old Janias Miagoni, a young man from West Papua, on whose life story the film is based. About 10 years ago he desperately wanted to go to school, but the remoteness of his home and his family situation made it almost impossible. The film tells the story of how he achieved his dream.

Janias has just finished senior high school at St John's College in Darwin, with the aid of a scholarship, and next year he will be attending the University of Melbourne to study information technology. He now has a laptop computer, and is looking forward to showing the film to his family and friends back home during the coming holidays. They have not yet seen it because there is no electricity where they live, in Aroanop village on Jayawijaya mountain.

Janias, (re-named Denias in the film), is played by young actor Albert Fakdawer, who has already won three awards in Indonesia for his performance.

Ari and Nia said: "We were concerned about how Western movies are infiltrating Indonesia, and we are really trying to bring our own stories such as this one to the forefront, and also introduce Indonesians to the cultures of our other islands.

"There are so many tribes in Indonesia. No matter what the background, it is possible for them all to be friends. We are all one big family."

Ari Sihasale, who comes from Ambon, heard the story of Janias from Sam Koibur, who was Janias' teacher.

It was a financial challenge to take the 27 crew and actors to West Papua, seven hours from Jakarta by plane, for the 35-day shoot. Many of the cast were tribal people of Irian Jaya.

It was also difficult to find investors in Indonesia, as this film was not consideredorso they produced it themselves. However, the doubters were proved wrong, as it has received a very good audience response in Indonesia, especially from young people.

"We did it from the bottom of our hearts, so the message communicated to the audience," Nia said. "The message of the film is, struggle for what you want with all your power."

"Aside from the beautiful scenery of Papua Island, the film also has the beauty of the young boy's spirit to learn," the couple told the young audience at Miami High School, on the Gold Coast, last Monday morning.

True to their commitment to youth and education, they were there to offer inspiration to a group of senior high school film students. The visit will be part of an international television broadcast, and eight of these lucky young people were given tickets to the awards ceremony the following evening, at the Sheraton Mirage Hotel.

One student asked Janias how it felt to have a movie made about him.

"I am excited. I was just a barefoot kid. I never thought a film would be made about me. Thank you for telling my story," he added, smiling at Nia and Ari.

There has also been great sadness in his young life, when his beloved mother died, and he began to speak about it, but became emotional and was unable to continue. He said she had told him, "If you become a clever boy, you can conquer the mountains, otherwise they will conquer you"

jf_pratama Publish time 18-11-2007 04:21 PM

Nicholas Saputra: Award-winning actor turns host

jf_pratama Publish time 30-11-2007 06:23 PM

Nominasi Festival Film Indonesia 2007:
Film-film Genre Horor Berguguran

Fhttp://www.suarapembaruan.com/News/2007/11/30/Hiburan/30nagabo.gifihttp://www.suarapembaruan.com/News/2007/11/30/Hiburan/30getmar.gif

Anggota Dewan Juri Festival Film Indonesia (FFI) 2007 GarinNugroho mengatakan, meskipun tahun ini film bergenre horor banyakdiproduksi, namun tidak satu pun masuk nominasi film terbaik. Hal itudisebabkan kualitas yang tidak bagus.

Garin menuturkan hal itu usai pengumuman film-film unggulan FFI 2007,di Jakarta, Kamis (28/11) malam. Dewan Juri memilih lima film unggulanyang tidak bergenre horor. Kelima film itu adalah Get Married, Kamulah Satu-Satunya, Mengejar Mas-Mas, Merah Itu Cinta, dan Nagabonar Jadi 2.

Ketua Dewan Juri FFI 2007, Putu Wijaya menambahkan juri bebasmenentukan film yang dinilai bagus, tanpa harus melihat selera pasar.Menurut dia, apa yang diputuskan Dewan Juri merupakan hasilpertimbangan atas kriteria penilaian film, seperti penyutradaraan,cerita skenario, akting dan sebagainya.

"Kami tidak kesulitan menentukan film-film yang kami nilai bagus,karena kebetulan semua juri memiliki visi yang sama dalam menilai film.Selain itu kami pun sadar bahwa kami memiliki tanggung jawab yang besaruntuk memajukan film Indonesia," ujar Putu usai pengumuman nominasi.

Sementara itu, Didi Petet, yang juga anggota Dewan Juri menuturkandalam menentukan unggulan film terbaik, setiap anggota Dewan Jurimengeluarkan pendapat masing-masing. "Kami menilai semua unsur film.Seperti akting, tingkat kesukaran karakter yang dimainkan, apakahsesuai dengan aktingnya atau tidak. Semua anggota Dewan Juri menilaisemua unsur film, jadi tidak ada pembagian spesialisasi," ujarnya.

Menurut Didi, banyak film yang secara logika ceritanya tidak masukakal. Hal ini menjadi kelemahan film Tanah Air. Film yang masukberagam, banyak yang berkisah tentang cinta remaja Jika melihatunggulan FFI kali ini, film-film bergenre komedi lebih bersaing untukmenjadi film terbaik. Padahal film-film bergenre komedi lokal itu barudiputar belakangan dan kuantitasnya lebih sedikit di banding filmhoror.

"Kami tidak menganaktirikan suatu genre. Itu pantangan buat kami.Tetapi mana film horor yang bagus, kalau ada kasih tahu. Dari film-filmyang masuk, saya melihat ada kecenderungan menggampangkan pembuatanfilm. Hal inilah yang menjadikan menurunnya kualitas film-film kita,"sebut Garin.

Film-film komedi yang diunggulkan dalam FFI 2007, katanya, memangselalu menjadi penyelamat dari kondisi kritis. "Lihat saja perkembanganfilm Tanah Air. Dari zaman Abbas Akub film komedi lokal selalu bisamembangkitkan lagi gairah perfilman Tanah Air," sebutnya.


http://www.suarapembaruan.com/News/2007/11/30/Hiburan/3011nomi.gif

Krisis Keaktoran

Dikatakan, cerita yang disuguhkan dalam film komedi lokal bisamenjadi karakter film Indonesia. Apalagi belakangan ini film-filmdengan genre ini mampu menarik banyak penonton. Dalam catatan Garin,dalam ajang kali ini kondisi perfilman Indonesia masih mengalami krisiskeaktoran. Ia menyebutkan sulit menemukan aktor yang benar-benarmemiliki keunggulan berakting.

"Jadi, kita memilih yang terbaik dari kondisi yang kurang baik. Initerjadi karena kecenderungan menggampangkan pembuatan film. Banyak yangterlihat instan. Era digital ini memang memudahkan cara pembuatan film,tetapi hasilnya malah menjadi seperti televisi. Ini film bukantelevisi," sebut sutradara Opera Jawa itu.

Menariknya, dalam krisis keaktoran ini beberapa aktor malah terlibatdengan masalah hukum, seperti Gary Iskak, dan Fachri Albar. Garry Iskakadalah nominator untuk Aktor Pendukung Terbaik dalam film Merah Itu Cinta, dan Fachri Albar nominator untuk Aktor Terbaik dalam film Kala.

Dalam ajang FFI 2007 ini Dewan Juri menilai 29 dari 30 film yang masuk. Film Bali Foreverdidiskualifikasi panitia karena dianggap tidak memenuhi syarat. Tahunpembuatan film itu melebihi waktu yang ditentukan panitia. Untuk filmcerita atau bioskop hanya 30 film yang didaftarkan ke panitia, padahalsejak penyelenggaraan tahun lalu hingga sebelum penutupan pendaftaran,ada 50 film yang diproduksi. Menurut Deddy Mizwar yang menjabat sebagaiKetua Penyelenggara FFI 2007, penyelenggaraan kali ini adalah masatransisi untuk mengubah sistem festival film di Indonesia.

"Nantinya akan dibuat lembaga festival yang khusus menangani festival.Lembaga itu independen sehingga kredibilitasnya bisadipertanggungjawabkan pada masyarakat," jelas Deddy yang juga nominatorAktor dan Sutradara Terbaik FFI 2007.

Selain menilai film cerita atau bioskop, Dewan Juri juga menilai filmdokumenter dan film pendek. Pemberian Piala Citra akan dilangsungkan diPekan Baru, Riau, pertengahan Desember nanti.

[ Last edited byjf_pratama at 2-12-2007 01:34 PM ]

jf_pratama Publish time 2-12-2007 02:04 PM

"Quickie Express", Potret Kelucuan Dunia "Bawah"
Putu Fajar Arcana dan Susi Ivvaty

Masih ingat film-film trio Warkop? Bagi Anda yang pernah menikmati kelucuan-kelucuan yang diciptakan oleh Dono, Kasino, dan Indro pada era 1980-an, tentu tak banyak kesulitan ketika menikmati kelucuan yang timbul dalam film Quickie Express. Kerja sama trio Nia Dinata, Dimas Djayadiningrat, dan Joko Anwar di belakang layar menghasilkan film yang memotret kelucuan-kelucuan yang sebenarnya hidup dalam dunia 攂awah

jf_pratama Publish time 2-12-2007 02:30 PM

Nominasi FFI 2007

Film-filmyang mengangkat gaya hidup masyarakat kota (urban culture) mendominasinominasi Festival Film Indonesia (FFI) 2007. Karya itu rata-rata dibuatoleh generasi muda yang produktif, memiliki keterampilan teknis, dansinematografi yang baik. Unggulan diumumkan Dewan Juri yang dipimpinPutu Wijaya, di Club XXI Jakarta Theatre, Kamis (29/11) malam.

Nominasiuntuk kategori film cerita diraih film Get Married, KamulahSatu-Satunya, Mengejar Mas-Mas, Merah Itu Cinta, dan Naga Bonar Jadi 2.Film-film ini rata-rata menceritakan kehidupan masyarakat kota zamansekarang. Sebagian dilakukan dengan pendekatan komedi situasi, yangternyata masih tetap diminati.

Unggulanuntuk kategori sutradara terbaik dicapai Deddy Mizwar dalam film NagaBonar Jadi 2, Hanung Bramantyo (Get Married), Hanung Bramantyo (KamulahSatu-Satunya), Rako Prijanto (Merah Itu Cinta), dan Rudy Soedjarwo(Mengejar Mas-Mas).

Untukpemeran utama pria, nominasi diraih Deddy Mizwar (Naga Bonar Jadi 2),Dwi Sasono (Mengejar Mas-Mas), Fachri Albar (Kala), Ringgo Agus Rahman(Get Married), Tora Sudiro (Naga Bonar Jadi 2). Unggulan pemeran utamawanita memasukkan nama Acha Septriasa (Love Is Cinta), Dinna Olivia(Mengejar Mas-Mas), Marsha Timothy (Merah Itu Cinta), Nirina Zubir(Kamulah Satu-Satunya), dan Poppy Sovia (Mengejar Mas-Mas).

DewanJuri FFI 2007 dipimpin sineas dan penyair Putu Wijaya, dengan anggotaHarry Sabar, Didi Petet, Garin Nugroho, dan Arya Gunawan. Film dengancerita panjang yang masuk seleksi mencapai 29 film. Itu belum termasukfilm dokumenter dan film pendek.

"Secarateknis, film-film sekarang umumnya bagus, punya keterampilan, dengangambar- gambar yang menarik. Tapi, dari segi cerita, masih kurang,belum ada yang benar-benar berwajah Indonesia," kata Putu.

MenurutGarin Nugroho, bangunan cerita atau drama dalam film-film yang masuknominasi masih lemah. Ceritanya masih mengutamakan gaya hidup yanghanya jadi bungkus, belum menukik pada persoalan filsafat hidup yanglebih dalam. (iam)

[ Last edited byjf_pratama at 2-12-2007 01:52 PM ]

jf_pratama Publish time 2-12-2007 02:53 PM

AFI Project 20/20 comes to JIFFest, 2007
Cynthia Webb, Gold Coast, Australia

When most people think of American films, they think Hollywood, but of course there is a vibrant indie film scene in the U.S. and in other countries too. True, their international presence is somewhat overwhelmed by the power and marketing budgets of the "Dream Factory", but it seems to me that independent filmmakers are the future of the film industry. These people sometimes go to enormous lengths to get their films made, out of sheer love of the art.

The American Film Institute, (AFI) is an independent non-profit organization established in 1967, with George Stevens Jnr. as its first CEO and director. His famous father directed Giant and other important Hollywood films.

The AFI is not engaged in film production, but rather in film appreciation, education, celebration and preservation of the great art form of the twentieth century. This year it celebrated its 40th anniversary.

Each year in Los Angeles they hold the AFI FEST (an international film festival, the only one in the U.S. accredited by FIAPF), attended by luminaries from around the world, and the annual AFI Awards to honour their choice of the top films of the year. The list often features some of the same films as the Oscars list, but other, less high-powered productions appear too.

The AFI is engaged in a dauntingly large, and very expensive project of restoration and preservation of old films, which are in danger of being lost forever as the old film stock deteriorates. It is of inestimable value to the U.S. and the world. The AFI also has education programs for budding filmmakers.

Last year at the White House, First Lady Laura Bush announced AFI Project 20/20. This is a component of the Global Cultural Initiative, and came out of a symposium on film, television, digital media and popular culture.

Film has great power for telling stories, and communicating the common values that people everywhere share. AFI Project 20/20 is also supported by the President's Committee on the Arts and Humanities, the U.S. Department of State, the National Endowment for the Arts, the National Endowment for the Humanities, and the Institute of Museum and Library Services. It is an unprecedented cultural diplomacy effort by the U.S.

Films and film-makers participating in the 20/20 project have been selected from the AFI Film Festival guests. The choice is based on the excellence of their films and the creators' potential for relating with people interested in the project and seeing the films, particularly considering that it involves international film festivals.

Now the 20/20 project has come to Jakarta as it reaches out to the world via film culture. Seven films from the U.S. and other nations will be screened in Jakarta during the Jakarta International Film Festival, (JIFF) at various venues, between Dec. 8 and 16. Jeannette Paulsen-Hereniko, the AFI representative for the Asia Pacific is now in Jakarta engaged in discussions with the organizers of JIFF. She has recently been in the Gold Coast, Queensland, Australia, for the Asia Pacific Screen Awards, in which she was a member of the Nominations Council.

The films and directors to be presented are not familiar names, but AFI's credentials guarantee that they'll all be good.

One title, Afghan Muscle directed by Andreas Mol Dalsgaard (Denmark) won Best Documentary in the AFI's annual awards recently.

Spine Tingler: The William Castle Story by Jeffrey Schwarz will also screen, and it won the Audience's Vote for Best Documentary. Jeannette said the director is "a great promoter", and he will be present at all screenings in Jakarta for discussions afterwards. William Castle was the producer of one of the most respected horror films of all times, Roman Polanski's Rosemary's Baby. Previously, Castle was a master of ballyhoo and a brand name in horror movies. During the 1950s and '60s he arranged for cinemas to come alive with small electric shocks wired via the seats, luminescent ghosts, flying skeletons, and even offered life insurance to patrons. In his early career he worked as assistant to the legendary Orson Welles, on The Lady from Shanghai.

Other titles on the program are, American Fork, (U.S.), Big Rig (U.S.), Cyrano Fernandez (Spain, Venezuela), Faro -- Goddess of the Waters (France, Canada, Mali, Burkina Faso, Germany co-production), and Please Vote For Me (China).

Laura Bush said in her announcement of the project, "One of the best ways we can deepen our friendships with the people of all countries, is for us to better understand each other's cultures by enjoying each other's literature, music, films and visual arts."

Be sure to check JIFF's program and take advantage of this opportunity to see something different. The venues for the AFI Project 20/20 films are Erasmus Huis, Blitz Studio 9, and Jakarta Theatre Studio 3.

[ Last edited byjf_pratama at 2-12-2007 01:57 PM ]

jf_pratama Publish time 2-12-2007 02:59 PM

Film Horor

(Comedy/Horror, about 100 minutes) Starring Angie Virgin, Sheila Marcia, Andhika Gumilang, Reza Rahadian, Ferry Irawan, Cut Memey, Maria Eva. Directed by Toto Hoedi. Produced by Indika Entertainment.

The buzz has been going on for months, and if "much publicized" automatically means "long-awaited" then our wait is finally over; or at least now we can get it over with. Proudly -- and tirelessly -- claiming itself as "the first Indonesian Scary Movie," the film promises to be a parody of local horror films, with "the most complete collection of ghosts" on one platter.

Really, this is not cynical at all. Tacky promotional scheme aside, we're ready to welcome this. At last, a horror film from Indika where the laughs are actually intentional.

An attempt at a big story arc is weaved through the series of farce and scares, about a group of college students, one by one killed in mysterious deaths, following a case of a missing student.

Perhaps as a way not to lose their faithful audiences, the producer has promised that the movie will crack you up with its jokes, but will scare the bejesus out of you at the same time. With this, of course, comes the wondering whether the film is intending to be a comedy or a horror film to begin with. I personally worried that the film will end up neither here nor there. And my fret does come true.

There is nothing wrong about combining laugh and fear, as long as you put them in the right context and you know where you stand. Films like Shaun of the Dead, for example, does its scares seriously, but the comedic tone of the film is still intact. Film Horor, on the other hand, starts as a spoof film, but ends up taking its thriller element a little bit too seriously (and endlessly, for that matter), making it feel like a confused little film. And at some points, we don't know whether it wants to make us laugh or scream.

Some of the jokes are pretty funny, actually. Ferry Irawan's narcissistic police detective and his bits with the TV reporter evoke some laugh. The Heart re-enactment is kind of cute. And Maria Eva's (of the scandalous cellphone sex video fame) self-mockery borders between admirable bravery and total shamelessness, but it certainly makes for some droll amusement.

However, some jokes are not so well-handled. Some leave us high and dry waiting for punchlines (the bed scene at the beginning is best described as: "what the hell just happened?"), some could have been good but are too obscure and badly-directed to even pass as a joke (the ghost in the bathtub just goes unnoticed), and some are purely pointless (the 300 bit, what was that?).

The joke about filmmaker Riri Riza look-alike trying to find a place to return his Citra award could have been funny, but after some tired repetition, it feels like the film is pushing it (not to mention in poor taste of personal grudge from the production house).

Unfortunately, jokes like these tally higher than the ones that work. Then the sappy and long-winded conclusion makes it worse. Uhm, excuse me, aren't you guys supposed to be making fun of films like this?

*1/2 (out of *****)

[ Last edited byjf_pratama at 2-12-2007 02:02 PM ]

jf_pratama Publish time 2-12-2007 03:10 PM

Formula Horor Komplet di Satu Film

http://www.suarapembaruan.com/News/2007/12/02/Hiburan/02filmh1.gif http://www.suarapembaruan.com/News/2007/12/02/Hiburan/02filmho.gif

Film : Film Horor
Sutradara : Toto Hoedi
Pemain : Angie Virgin, Sheila Marcia Joseph, Andhika Gumilang, Cut Memey, Elena Lubis, dan Maria Eva.
Skenario : Toto Hoedi
Genre : Komedi Horor
Produksi : Indika Entertainment

Memarodikan sesuatu memang butu* kecerdikan humor yang kuat. Jika tidak malah akan membuat ketersinggungan. Saat ini segala hal bisa diparodikan. Tidak hanya gambar atau lagu, bahkan sosok seorang presiden pun bisa diparodikan. Semoga parodi itu bisa terima dan dianggap sekedar candaan dan kritikan saja.

Di bidang perfilman, Indika Entertainment melakukan terobosan baru. Memarodikan sejumlah film horor dan peristiwa sosial dalam sebuah film yang berjudul Film Horor. Di Hollywood, formula seperti ini pernah digunakan untuk film Scary Movie yang memiliki empat seri. Film Horor pun secara terbuka menyebutkan mengikuti film Scarry Movie. Bahkan judulnya pun bermakna sama.

"Film Horor adalah film Scary Movie versi Indonesia yang pertama dan satu-satunya. Di film ini setannya komplet, segala jenis hantu ada di sini, jadi penonton puas nontonnya, bayar satu tiket dapat semua jenis hantu," ujar Shankar, produser dari Indika Entertainment.

Film Horor yang disutradarai oleh Toto Hoedi ini disebutkan menggunakan sejumlah trick khusus seperti dalam film Matrix atau The Lord of The Rings. Bahkan mereka mendatangkan beberapa kru dari luar negeri.

Dalam film ini, Shankar menggunakan sejumlah pemain muda, seperti Angie Virgin, Sheila Marcia Joseph, Andhika Gumilang, Reza Rahadian, Elena Lubis, dan Shierly Rushworth. Selain itu, Shankar juga memasang Maria Eva dan Cut Memey yang menjadi special hot appereance.

Maria Eva dan Cut Memey berperan sebagai dosen. Cut Memey mengajar ilmu budaya dasar, yang diplesetkan menjadi "ilmu kebutu*an dasar". Sementara Maria Eva mengajarkan ilmu teknologi, terutama bagaimana membuat rekaman film yang bagus melalui telepon genggam.

Mahasiswi Cantik

Skenario yang ditulis oleh berkisah tentang sekelompok mahasiswa yang jahil. Beni, Dani, dan Asto bertaruh agar bisa meniduri Mala, seorang mahasiswi cantik. Tetapi ternyata Mala malah tewas di tangan mereka. Mulai saat itu malapetaka terus menimpa kelompok mahasiswa itu.

Berangkat dari sebuah foto dengan latar belakang sebuah vila. Hantu-hantu meneror orang-orang yang ada di dalam foto. Dani ditemukan tewas gantung diri di toilet wanita kampusnya. Seorang teman mereka, Putri, melihat foto kenangan di sebuah villa itu sudah tidak terdapat gambar Daninya. Ia pun ketakutan.

Suatu pagi, Putri melihat gambar Nina yang menghilang dari foto yang dipajang di kamar tidurnya. Ketakutan Putri semakin bertambah ketika ia didatangi oleh kuntilanak buta. Kuntilanak itu jadi buta karena matanya copot saat menakuti Putri.

Mereka pun memutuskan untuk melakukan pencarian terhadap Nina. Mulai dari menggunakan dukun hingga prosesi pemanggilan roh ala Terowongan Casablanca. Namun semuanya tidak berhasil. Berbagai hantu malah bermunculan.

Kematian Dani dan Nina, ternyata bukan ulah hantu. Melainkan upaya balas dendam dari kematian Mala. Hilangnya gambar dalam foto, bukan karena kekuatan gaib, tapi karena ada seorang iseng yang menghilangkan melalui editing komputer. Dan komputer yang digunakan adalah laptop yang biasa dipakai Tukul dalam acara Empat Mata.

Formula dalam film ini memang benar-benar mengikuti formula Scary Movie. Sejumlah hantu lucu dihadirkan untuk mengocok perut. Tapi tidak semua hantu-hantu itu berhasil menyuguhkan humor. Teror hantu yang seram sudah lebih dulu mengajak penonton dalam suasana ketakutan. Candaan-candaan yang dihadirkan kurang mencapai klimaksnya, sehingga tidak sampai maksudnya.

Beberapa parodi peristiwa sosial yang menghebohkan juga kurang digarap dengan halus. Seperti misalnya hebohnya rekaman porno Maria Eva dan karakter Cut Memey yang sensual. Begitu juga dengan kasus hebohnya pengembalian Piala Citra. Cerita-cerita sampingan ini malah membuat alur cerita jadi tidak jelas. Terkesan hanya sekadar ingin menghadirkan kelucuan dengan mengabaikan induk cerita.

Sepertinya tidak hanya cerita skenario yang kurang menggigit, tetapi akting para pemain pun kurang dieksplorasi. Hantu-hantu Indonesia yang kuat dalam tampilan seram seharusnya bisa dieksplorasi lebih jauh sesuai tujuan menghadirkan gelak tawa.

Namun menurut Toto Hoedi yang juga menulis skenarionya, kisah-kisah dalam Film Horor ditampilkan hanya sebagai pemancing humor saja.

"Ini komedi saja. Banyak kasus di masyarakat yang sebenarnya bisa diangkat ke layar lebar," sebutnya.

Film ini hanya sekedar ingin menyuguhkan humor belaka. Jika pada film-film horor lainnya ada note imbauan agar orang hamil dan lemah jantug dilarang menonton filmnya. Film Horor justru meminta wanita hamil, lemah jantung, dan sakit hati harus menonton film ini.

[ Last edited byjf_pratama at 2-12-2007 02:14 PM ]

jf_pratama Publish time 9-12-2007 03:56 PM

The Butterfly, Antara Persahabatan dan Cinta

http://celebrity.okezone.com/images-data/content/2007/12/06/35/66400/o6y8CKpXEf.jpg

Judul Film: The Butterfly
Genre: Drama
Durasi: 85 Menit
Sutradara: Nayato Fio Nuala
Pemain: Andhika Pratama, Deby Kristi, Poppy Sovia
Produksi: Maxima Pictures

KISAH persahabatan yang dibumbui rasa cinta, pasti akan menimbulkan masalah. Ini terjadi pada ketiga tokoh di film The Butterfly. Apa yang mereka lakukan saat cinta sudah merasuki hati. Akankah persahabatan tetap berjalan.

Desi (Debby Kristi) bersahabat dengan Tia (Poppy Sovia). Persahabatan mereka terjalin akrab dan saling mengisi satu sama lain. Tia yang berjiwa tomboy dan protektif sangat melindungi Desi yang lemah dan manja.

Perhatian dan kasih sayang Tia yang demikian dalam, membuat Desi sangat bergantung kepada Tia. Begitu pula sebaliknya, Tia hanya mau mendengarkan apa yang dikatakan Desi meski ada Vano (Andhika Pratama) yang juga bersahabat dengan mereka.

Kehadiran Vano yang tiba-tiba, sempat membuat Tia dan Desi heran. Vano menilai Tia dan Desi adalah wanita yang unik dan aneh, hingga membuatnya tertarik berteman dengan kedua gadis itu. Akhirnya mereka bertiga bersahabat.

Namun, Tia yang cinta pada pandangan pertama dengan Vano tidak mampu menyembunyikan perasaannya dari Desi. Desi yang sadar akan hal itu, membuat perjanjian dengan Tia, bahwa tidak ada yang bisa merusak persahabatan mereka, termasuk pria.

Suatu hari, Desi mengajak Tia dan Vano melakukan perjalanan panjang untuk merayakan ulang tahunnya. Meski Tia sempat kaget dengan ide Desi itu, namun dia dan Vano tetap menuruti kemauan Desi.

Selama perjalanan, Desi yang sebelumnya sudah sakit semakin bertambah parah. Anehnya, dia menolak ketika Tia dan Vano memaksa untuk kembali ke Jakarta. Desi bersikeras untuk tetap melanjutkan perjalanan sampai ujung Jawa.

Sepanjang perjalanan itulah berbagai peristiwa yang menguji persahabatan mereka terjadi. Pergulatan antara persahabatan dan perasaan cinta yang dimiliki masing-masing, menjadi konflik utama di film ini.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba Desi mengubah niatnya untuk sampai ke ujung Jawa dan mengajak kedua sahabatnya itu kembali ke Jakarta. Jelas saja Tia kaget saat mendengar hal itu. Untuk kali pertamanya Tia marah dan bertengkar hebat dengan Desi.

Apa yang membuat Desi tiba-tiba berubah dan tidak lagi berkeinginan mewujudkan niatnya, padahal sebelumnya Desi keukeh mewujudkan hal itu. Lantas, apa sebenarnya tujuan Desi melakukan perjalanan panjang tersebut.

Film karya Nayato Fio Nuala ini merupakan film bergenre drama dengan mengangkat tema tentang persahabatan dan cinta. Seperti karya sebelumnya, Cinta Pertama, Nayato kembali membuat visual film ini menjadi "cantik” layaknya video klip.

Meski terlihat indah untuk beberapa orang, namun visual yang ditampilkan terkesan terlalu imajiner atau khayalan. Beberapa gambar yang hadir sepotong-sepotong dan tiba-tiba loncat ke scene lain, membuat penonton bingung.

Selain itu, dari beberapa kali dialog yang diucapkan para pemain dikatakan bahwa mereka akan melakukan perjalanan panjang. Sayang, hal itu tidak sesuai dengan imajinasi penonton yang terlanjur membayangkan serunya perjalanan panjang. Apa yang ditampilkan, jelas sekali terlihat kalau para pemain hanya berada di situ-situ saja.

Terlepas dari itu, ide cerita The Butterfly bisa dibilang menarik dan menggugah emosi. Setidaknya, film berdurasi 85 menit ini menjadi salah satu pencerahan bagi para penikmat film yang belakangan ini selalu disuguhi film-film horor.

jf_pratama Publish time 9-12-2007 04:00 PM

Pizza Spesial ala Quikie Express

http://celebrity.okezone.com/images-data/content/2007/11/28/35/64313/3YhrGSpyUX.jpg

Film : Quikie Express
Sutradara: Dimas Djayadiningrat
Pemain : Tora Sudiro, Aming Sugandhi, Lukman Sardi, Tino Saroengallo, Sandra Dewi, Ira Maya Sopha, Tio Pakusadewo, dan Rudi Wowor.
Skenario : Joko Anwar
Genre : Komedi
Produksi : Kalyana Shira Film

Jika Anda penikmat makanan asal Italia, Pizza sebaiknya harus pandai memilih. Jangan-jangan, restoran pizza yang Anda tuju bukannya menjual pizza melainkan "menjual" pria-pria pemuas nafsu tante girang (TG) seperti di Quikie Express.

Quikie Express adalah sebuah restoran pizza. Namun, bukan pizza yang menjadi menu utama di restoran itu, tapi justru para pengantar pizza yang jadi menu utamanya.

Di antaranya Jojo (Tora Sudiro), pria tanpa penghidupan yang jelas dan tidak memiliki pekerjaan tetap. Awalnya ia bertemu Mudakir (Tino Saroengallo), pemilik Quikie Express yang selalu memburu calon gigolo (pemburu).

Setelah melalui bujuk rayu, Jojo akhirnya menerima ajakan Mudakir ke Quikie Express. Di sana Jojo bertemu dan berkenalan dengan Marley (Aming Sugandhi) dan Piktor (Lukman Sardi). Jojo, Marley, dan Piktor menjalani serangkaian tes dan pelatihan di Quikie Express. Hasilnya, mereka mampu melalui dengan baik terutama Piktor yang meraih poin memuaskan dalam urusan sexual test.

Berbagai pengalaman melayani wanita-wanita paruh baya alias "tante girang" (TG) yang haus seks, mereka lalui. Singkat cerita, ketiga pria itu menjadi gigolo kelas elit yang hanya melayani tante-tante kelas kakap. Otomatis, bayaran mereka menjadi sangat tinggi hingga akhirnya mereka bisa memiliki rumah mewah.

Dari ketiga pria itu, peran yang lebih menonjol di film Quikie Express ini yaitu Jojo. Dia mendapat konsumen kelas kakap yaitu Tante Mona (Ira Maya Sopha). Tante Mona sangat tergila-gila dengan Jojo. Dia ingin memiliki Jojo sepenuhnya.

Film yang disutradarai Dimas Djayadiningrat ini penuh dengan kejutan dan membuat penonton tercengang namun tetap mengocok perut. Kejutan-kejutan yang dihadirkan kebanyakan mengandung unsur komedi berbau seks. Namun, meski film ini bergenre komedi, penulis skenario, Joko Anwar tetap tidak melupakan kehadiran konflik dalam film ini.

Konflik bermula saat Jojo jatuh cinta dengan seorang gadis bernama Lila (Sandra Dewi). Jojo bertemu Lila saat dia dan kekasih Lila bertengkar di sebuah kafe. Sejak itu hubungan mereka berlanjut hingga akhirnya Jojo benar-benar jatuh cinta pada Lila.

Karena jatuh cintanya Jojo pada Lila, membuat Jojo bertekad untuk berhenti menjadi gigolo. Sayang, keinginannya terhambat karena Tante Mona mengancam akan membuat hidup Jojo sengsara jika dia berhenti menjadi gigolo dan tidak lagi menemuinya.

Disinilah konflik demi konflik bermunculan. Serta kejutan-kejutan menggelitik muncul dan terus mengocok perut penonton lebih dari sebelumnya.

Jalan cerita film yang produseri Nia Dinata ini memang terkesan vulgar. Apalagi ada beberapa adegan serta gesture para pemain yang membuat penonton akan berpikir dan mengucap dalam hati, "ini beneran?".

Namun, jangan langsung berpikir film ini hanya berorientasi pada seks semata karena film ini hanya sekadar guyon. Setidaknya, film ini membuat para penikmat film merasa lebih plong karena bisa mereka membuat tertawa.

Bagi penikmat film yang ingin menonton film hanya sekadar menghibur diri dan menghilangkan penat, tampaknya Quikie Express sangat cocok disaksikan.

jf_pratama Publish time 9-12-2007 04:05 PM

Pulau Hantu, Pulau Indah yang Penuh Misteri


http://celebrity.okezone.com/images-data/content/2007/11/01/35/57921/D7OX9LLyEH.jpg

Judul: Pulau Hantu
Sutradara: Jose Purnomo
Pemain: Ricky Harun, Kartika Ayuningtyas, Yediael Luntungan, Indri Yanuarti, Ufara Dzikri, Bramasto, Abdurrahman Arif dan Rini Oktaviani
Produksi: MVP Pictures

MASYARAKAT penikmat film layar lebar Indonesia kembali disuguhkan film bergenre horor. Kali ini, Jose Purnomo lewat karya terbarunya, Pulau Hantu memberi nuansa baru dengan terus memacu adrenalin penonton lewat "hantu kreasinya" di salah satu pulau di wilayah Ujung Kulon.

Berawal dari delapan orang anak muda, Dante (Ricky Harun), Alisha (Kartika Ayuningtyas), Mario (Yediael Luntungan), Radella (Indri Yanuarti), Meryl (Ufara Dzikri), Abel (Bramasto), Nero (Abdurrahman Arif) dan Tracy (Rini Oktaviani), yang berniat mengunjungi Bunaken.

Sayang, niat tersebut urung dilakukan karena kapal pesiar yang mereka gunakan harus segera berbelok arah. Tak mau perjalanan mereka sia-sia, kedelapan anak muda itu singgah di sebuah pulau kecil yang indah.

Namun di balik keindahannya, ternyata pulau itu menyimpan sebuah rahasia yang akhirnya menimbulkan malapetaka bagi mereka. Mereka tidak menyadari di tengah-tengah kesenangan mereka ada bahaya yang mengancam nyawa mereka satu per satu.

Saat Meryl, Nero, Dante, Radella, Abel, danTracy bermain ke belakang pulau dan Meryl memungut sebuah boneka di tengah laut, hal ini yang kemudian menjadi awal dari semua kejadian-kejadian misteri. Secara satu per satu dan dengan cara yang berbeda, kedelapan anak muda itu mati.

Film yang skenarionya ditulis oleh Jose Poernomo bersama Banney Akhmad Basuni ini mampu memberikan sesuatu yang berbeda dengan film horor Indonesia lainnya. Baik dari segi cerita maupun teknik pengambilan gambar.

Jika biasanya horor Indonesia menampilkan hantu kuntilanak, suster ngesot, dan hantu lainnya yang identik dengan urban legend di Indonesia, namun Pulau Hantu berbeda. Dia malah mirip dengan film horor Jepang yang terkenal dengan hantu Sadako-nya. Selain Jepang, terlihat ada unsur American Style yaitu gaya pergaulan kedelapan anak muda tersebut.

Sedangkan soal teknik pengambilan gambar, Jose lebih banyak mengambil gambar dari bawah laut (underwater shoot) saat delapan anak muda itu berenang di pantai. Hal ini adalah sesuatu yang jarang dilakukan dalam pembuatn film horor Indonesia.

Uniknya lagi, tidak hanya cerita mencekam yang dihadirkan di Pulau Hantu. Ada juga cerita mengenai persahabatan dan kisah cinta anak muda saat ini. Bahkan ada beberapa scene yang syur ditampilkan di sini. Selain itu, unsur komedi di film ini pun tidak kalah banyak dengan hantu-hantu yang bermunculan.

Bagi Anda yang sangat suka teka-teki tampaknya cocok dengan film ini. Pasalnya, hingga akhir cerita Pulau Hantu tetap penuh misteri. Seperti apa rasanya menjelajahi pulau yang indah namun penuh misteri? Dan bagaimana nasib kedelapan anak muda tersebut.

jf_pratama Publish time 9-12-2007 04:11 PM

Nagabonar Jadi 2, Film Terpilih Festival Film Jakarta

http://www.rileks.com/images/content/11971875660.jpg

Setelah sukses di belantara layar bioskop Tanah Air, "Nagabonar Jadi 2" karya sutradara Deddy Mizwar dikukuhkan sebagai Film Terpilih pada Malam Penganugerahan Festival Film Jakarta (FFJ) 2007 di Studio Utama JakTV Jakarta, Sabtu, 8/12-2007.

Aktor kawakan Deddy Mizwar yang memerankan film itu juga meraih gelar Pemeran Utama Pria Terpilih pada ajang tersebut.

FFJ merupakan apresiasi dan penganugerahan film dari komunitas wartawan Indonesia.

Sebanyak 41 film yang diputar di jaringan bioskop se-Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi (Jabodetabek) selama periode Oktober 2006 - September 2007 diseleksi oleh 25 juri verifikasi. Mereka menetapkan nominasi 15 kategori penghargaan.

Setelah dihasilkan 5-6 nominasi untuk tiap kategori penghargaan, lima juri inti yang terdiri dari wartawan senior Yan Wijaya, Alberthine Endah, Mayong Surya Laksono, Akmal Nasery Basral dan Ami Wahyu, menentukan pemenangnya.

"Para juri menjamin penilaian ini dilakukan dengan mengedepankan unsur independensi, obyektivitas dan transparansi," kata Ketua Juri Inti Yan Widjaya.

Itu dibuktikan juri dengan cara mengikrarkan janji moral untuk bersikap profesional dan tidak mengotori proses seleksi nominasi yang terpilih.

Penghargaan Pemeran Utama Wanita Terpilih FFJ jatuh kepada Dinna Olivia lewat film "Mengejar Mas-mas". Dinna dalam film itu berperan sebagai Ningsih, wanita pekerja seks komersial yang mangkal di Pasar Kembang.

Sedangkan penghargaan Sutradara Terpilih diberikan kepada John De Rantau lewat film "Denias, Senandung di Atas Awan".

"Saya harus menunggu 14 belas tahun untuk bisa menyutradari film. Sebelumnya saya hanya berkutat dari sinetron ke sinetron," kata John.

Oleh karena itu, ketika berkesempatan menggarap film ia mengaku tidak main-main.

Shanty yang main apik dalam "Maaf Saya Menghamili Istri Anda" dan Lukman Sardi, yang berperan sebagai supir bajaj dalam "Nagabonar Jadi 2" masing-masing meraih pemeran Pembantu Wanita Terpilih dan peran Pembantu Pria Terpilih.

Secara lengkap pemenang Festival Film Jakarta (FFJ) adalah sebagai berikut:

1. Film Terpilih: Nagabonar Jadi 2
2. Pemeran Utama Wanita Terpilih: Dinna Olivia (Mengejar Mas-Mas)
3. Pemeran Utama Pria Terpilih: Deddy Mizwar (Nagabonar Jadi 2)
4. Pemeran Pembantu Wanita Terpilih: Shanty (Maaf Saya Menghamili Istri Anda)
5. Pemeran Pembantu Pria Terpilih: Lukman Sardi (Nagabonar Jadi 2)
6. Sutradara Terpilih: John De Rantau (Denias, Senandung di Atas Awan)
7. Penulis Skenario Terpilih: Musfar Yasin (Nagabonar Jadi 2)
8. Penyunting Gambar Terpilih: Sastha Sunu (The Photograph))
9. Penata Suara Terpilih: Dwi Budi dan Adityawan Susanto
10.Penata Musik Terpilih: Float (3 Hari untuk Selamanya).
11.Penata Gambar Terpilih: Ipung Rachmat Syaiful (Kala)
12.Penata Artistik Terpilih: Iri Supit (Long Road to Heaven)
13.Penata Cahaya Terpilih: Yadi Suhandi (The Photograph)
14.Pendatang Baru Pria Terpilih: Volland Humonggio (Sang Dewi)
15.Pendatang Baru Wanita Terpilih: Sabai Morscheck (Sang Dewi)

Para pemenang tersebut meraih Piala Abhinaya. FFJ juga memberikan penghargaan khusus insan film berdedikasi kepada Meriam Belina, Film terlaris 2007 "Nagabonar Jadi 2", kritik film terpilih Ipik, dan penghargaan khusus kepada Lembaga Pendidikan Film Terpilih untuk Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

jf_pratama Publish time 9-12-2007 04:14 PM

Suci Gantikan Cinderella di SCTV

http://www.rileks.com/images/content/11971104810.jpg牋http://www.rileks.com/images/content/11971104811.jpg

Satu lagi sinetron terbaru diluncurkan SCTV, setelah Azizah, SCTV kembali menayangkan Suci, sinetron terbaru pengganti Cinderella. Sinetron garapan rumah produksi MD Entertainment ini akan hadir setiap hari Senin-Sabtu pukul 18.00 - 19.00 WIB.

Dengan tema cerita yang kuat dan baluran visualisasi ringan yang didukung oleh artis cilik pendatang baru Keisha Ratuliu, Budi Darmawan, Senior Manajer Humas SCTV, yakin sinetron Suci mampu merebut hati penonton.

"Saat ini sinetron dengan tema drama keluarga dan remaja cukup mendapat respon positif pemirsa. Kuatnya minat pemirsa pada genre tersebut tak lepas dari kemampuan para kreator sinetron dalam menjemahkan cerita-cerita menarik menjadi bentuk visualisasi ringan yang dekat dengan pemirsanya."

Munculnya talenta-talenta baru yang mampu mendukung cerita juga banyak memberi kontribusi keberhasilan sinetron SCTV mendekati pemirsanya, jelas Budi Darmawan lebih lanjut.

Kisah Suci tersentral pada perjuangan hidup gadis cilik bernama Suci yang sebenarnya cukup cerdas. Suci ( Keisha Ratuliu) hidup bersama kedua orangtuanya Amir (Teuku Firmansyah) dan Minah (Amara) yang hidup miskin di sebuah desa.

Sejak kecil, Suci yang cerdas, bercita-cita ingin sekolah. Ia ingin pintar dan bisa kerja mencari uang yang banyak untuk menafkahi keluarganya. Tetapi ayahnya, melarang Suci sekolah. Bahkan Suci dipaksa mengikuti jejak kedua kakaknya Sari dan Sugih untuk bekerja di kota.

Suci berusaha untuk menggapai cita-citanya untuk bersekolah sehingga dia setuju untuk bekerja di kota. Banyak hal yang dilalui Suci selama di kota, sedih, susah, hinaan dan cacian dia terima dengan lapang dada dan tetap ia jalani.

Siapa bilang kemiskinan adalah akhir dari segalanya ? Siapa bilang gadis kecil tidak boleh punya mimpi besar ?

Mampukah Suci menggapai cita-citanya ? Bagaimana dengan orang-orang yang selalu mencaci dan menghinanya. Adakah Suci mempunyai teman sejati ? Akankah Suci terus menderita hingga dewasa ?

"Pengambilan gambar sinetron Suci di dominasi dengan warna coklat dan hijau, serta rumah kayu untuk menangkap nuansa latar belakang kehidupan awal Suci. Konflik berat cerita Suci kemudian divisualisasikan dengan bahasa yang ringan namun berkarakter oleh sutradara Irwan Tanu agar pemirsa dapat menerima pesannya dengan baik dan jelas," ujar Budi Darmawan.

Apakah Suci akan bahagia nantinya ? tonton sinetron ini si SCTV mulai 10 Desember. (lily/foto lily)

jf_pratama Publish time 9-12-2007 04:18 PM

Ide Cerita Sinetron Indonesia Harus Nyata dan Sederhana

http://www.rileks.com/images/content/11971127490.jpg

Sinetron kini tidak lagi hanya sebagai satu konsumsi tontonan murahan belaka. Saat ini, masyarakat Indonesia mulai kritis dan selektif dalam memilih tontonan yang ingin ditontonnya. Cerita-cerita bombastis dan konsumtif mulai ditinggalkan penonton Indonesia, kata Manoj Pundjabi, produser dari rumah produksi MD Entertainment kepada rileks.com, Jumat, 7/12-2007.

"Saat ini, mind set penonton tidak melulu terpaku pada tingginya rating atau artis yang membintangi sebuah sinetron. Penonton sekarang sudah lebih pintar dan arif dalam memilih tayangan yang ingin ditontonnya. Realitas kehidupan sehari-hari yang diangkat menjadi tema cerita dalam satu sinetron kini menjadi incaran dan mulai digemari oleh penonton," ungkap Manoj Pundjabi lebih lanjut.

Adanya perubahan pola tonton ini lah yang mau tak mau mendorong tim kreatif dari sebuah rumah produksi harus bekerja keras untuk menciptakan ide cerita terbaik sebuah sinetron. Makin kuat konsep cerita yang diambil dari kehidupan sehari-hari, makin tinggi penonton yang akan menonton sinetron tersebut.

"Kalau nggak mau ditinggal penontonnya, sinetron sekarang harus kuat dalam penggarapan dan ide cerita. Cerita satu sinetron kini tidak lagi bersumber dari khayalan atau angan-angan penulis, tapi diambil dari realitas kehidupan sehari-hari. Makin nyata cerita yang ditampilkan, makin banyak penonton yang akan menonton sinetron itu."

Untuk itulah, dalam penggarapan sinetron-sinetron serta film layar lebar dari rumah produksinya, Manoj, kerap melakukan sendiri riset dan survey animo penonton, untuk mendapatkan ide cerita yang bermutu.

"Dari hasil pengamatan, penonton sekarang makin jeli dan care terhadap satu tontonan. Mereka nggak butu* cerita yang muluk-muluk. Yang ringan-ringan saja ide ceritanya, malah banyak diminati penonton. Makin nyata dan mendekati kehidupan sehari-hari tampilan ide cerita yang diambil, makin banyak penonton yang antusias."

Dengan satu catatan, kata Manoj, sinetron itu juga tidak boleh terlalu lama episodenya. Karena akan membuat jenuh penonton. Dan memberi kesan bertele-tele atau cerita dibuat-buat. Semua harus simpel dan sederhana pembuatannya. Contohnya, kata Manoj Punjabi, seperti sekuel sitkom, Friends, Sex & City, Desperate Housewives.

" Friends, Sex & City, Desperate Housewives, mampu bertahan lama karena mampu membaca keinginan penonton. Dan ide cerita yang ditampilkannya juga simpel dan sederhana. Pada akhirnya penonton juga jadi ketagihan untuk menonton terus sinetron tersebut. Kalau kita sudah mampu mengadaptasi apa yang sudah dilakukan oleh rumah produksi film-film tersebut di atas, bukan satu hal mustahil sinetron Indonesia bisa jadi trendsetter, dan go international," pungkas Manoj. (lily/foto:lily)

jf_pratama Publish time 9-12-2007 04:21 PM

Film Persepolis Awali Pembukaan JiFFest ke-9

http://www.rileks.com/images/content/11970997490.jpg牋http://www.rileks.com/images/content/11971001080.jpg

Pemutaran film "Persepolis" karya sutradara Vincent Paronnaud dan Marjane Satrapi membuka gelaran Jakarta International Film Festival (JiFFest) ke-9 yang berlangsung di Jakarta, 7 hingga 16 Desember 2007.

Film animasi yang diangkat dari sebuah novel grafik karya Marjane Satrapi ini diputar di dua studio di Djakarta Theatre, Jumat malam (7/12-2007) dan dihadiri ratusan penonton.

"Kami berharap di hari-hari berikutnya jumlah penonton semakin meningkat sebab sekitar 200 film yang diputar adalah pilihan terbaik bagi penggemar film," ujar Manajer Program JiFFest, Lalu Roisamril di Jakarta, Jumat malam.

"Persepolis" s adalah film animasi yang berlatar belakang di Negara Iran pada masa pemerintahan Shah Iran oleh Ayatullah Khomeini ini menceritakan kehidupan seorang gadis kecil bernama Marjane. Selama proses revolusi Islam yang panjang, Marjane menjadi salah satu saksi dari peristiwa itu.

Marjane adalah gadis yang sangat cerdas dan tak mengenal rasa takut. Suhu politik yang terus bergejolak di negeri itu dan perang yang berkecamuk antara Irak dan Iran membuat kedua orang tuanya merasa khawatir dan kemudian mengungsikan Marjane dari Teheran ke Wina, Austria.

Ia sempat merasakan kebahagiaan di tempatnya yang baru, walaupun akhirnya ia kembali ke Iran karena dilanda kesepian. Sepulangnya ke Iran, ia mendapati perempuan diharuskan memakai jilbab.

Meski awalnya merasa nyaman dengan berbagai aturan di kota Teheran, namun kebiasaan hidupnya di Austria membuatnya berpikir ulang bila harus meneruskan hidupnya di kota ini. Marjane kemudian memutuskan pindah ke Prancis dengan semangat untuk membuat masa depannya lebih baik.

Film animasi dengan medium hitam putih ini diproduksi di Prancis pada 2007, dialognya menggunakan Bahasa Prancis dan subtitle Bahasa Inggris.

"Persepolis" kendati mengambil setting Teheran (ibukota Iran), namun di Iran sempat mendapat kecaman. Iran mengecam film ini sebagai film yang tidak menampilkan gambaran yang sebenarnya tentang hasil positif dari revolusi Islam.

"Film ini juga sempat di tolak diputar dalam festival di Bangkok. Tapi di Indonesia kita putar karena telah lulus sensor dari Lembaga Sensor Film Indonesia," ujar Lalu.

Marijane Satrapi terlahir di Rahst, Iran tahun 1969. Terlahir di keluarga progresif yang kemudian menetap di Teheran, Satrapi bertumbuh bersama gelombang naik turun politik Iran. Novel grafiknya berjudul Persepolis I adalah autobiografi dari seorang saksi mata penggulingan Shah Iran oleh Ayatullah Khomeini dan perang Iran-Irak yang menyusul sesudahnya.

Setelah "Persepolis", pergelaran JiFFest tahun ini juga menampilkan ratusan film berkualitas yang terbagi dalam kategori World Cinema, yakni film besar dengan bitang besar diantaranya "No Country for Old Men" karya Coen bersaudara yang dibintangi Tommy Lee Jones, dan Film Terbaik Cannes Film Festival 2007, "Four Months, Three Weeks and Two Days" dari Rumania.

Di kategori Panorama, diputar film sekuel terbaru Cate Blanchett, "Elizabeth: The Golden Age" dan Film Terbaik German Film Awards "Four Minutes".

Di kategori House of Docs, penonton dapat menyaksikan sisi lain kehidupan manusia, seperti investigasi Michael Moore tentang sistim kesehatan Amerika dalam "Sicko", atau kehidupan binaragawan Afghanistan dalam "Afghan Muscles".

Beragam acara yang juga menarik dalam kalender kegiatan JiFFest adalah penayangan film hasil karya sineas Asia Tenggara dan film Indonesia.

Sejumlah kegiatan seperti Indonesian Feature Film Competition, Behind-the-Scene Photo Exhibition, Script Development Workshop, Documentary Panel, Producer Panel, seminar, dan diskusi juga diselenggarakan bersamaan dengan pemutaran film di layar Djakarta Theater XXI, Blitz Megaplex Grand Indonesia, dan pusat kebudayaan, seperti GoetheHaus, Erasmus Huis, dan Kineforum. (ant/ly)

junkredish Publish time 9-12-2007 04:31 PM

apa filem horror indonesia sekarang yg benar2 seram - mintak recommendation ?

jf_pratama Publish time 15-12-2007 08:10 PM

http://www.suarapembaruan.com/News/2007/12/15/Hiburan/1512ffie.gif

"Nagabonar " Borong 6 Piala Citra

Film Nagabonar Jadi 2 berhasil meraih Piala Citra sebagai film terpilih pada tahun 2007. Selain itu, Nagabonar Jadi 2 juga mengantarkan enam Piala Citra termasuk untuk penulis skenario, aktor utama, aktor pendukung, dan penata suara. Nagabonar Jadi 2 juga mengantarkan Deddy Mizwar mendapatkan Piala Khusus Dewan Juri Film Cerita untuk Penyutradaraan. Hasil penilaian dewan juri diumumkan dalam acara puncak Festival FilmIndonesia yang digelar di Anjung Idrus Tintin, Kompleks Bandar Serai, Pekanbaru, Riau, Jumat (14/12) malam. Prestasi yang diraih oleh film Nagabonar Jadi 2, hampir sama dengan prestasi yang diperoleh dalam ajang Festival Film Jakarta 2007 lalu.

Sementara itu, film Get Married yang juga diunggulkan untuk film terpilih mendapat Piala Citra untuk sutradara (Hanung Bramantyo), editor (Cesa David Luckmansyah) dan aktris pendukung Meriam Bellina). Film Mengejar Mas-Mas yangmasuk nominasi film terpilih dan sembilan nominasi kategori lainnya, hanya mendapatkan satu Piala Citra untuk aktris utama, Dinna Olivia.

Film Kala dan Love Is Cinta bernasib lebih baik dari dua nominasi film terpilih lainnya, Kamulah Satu-Satunya dan Merah Itu Cinta. Film Kala berhasil meraih Piala Citra untuk Sinematografi Terpilih (Ipung Rahmat) dan Tata Artistik Terpilih (Wencislaus). Film Kala juga mendapat Penghargaan Khusus untuk Film Berbahasa Indonesia Terpilih. Sementara film Love Is Cinta memperoleh Piala Citra untuk Tata Suara Terpilih (Dian HP). Melihat hasil ini, Piala Citra hanya tersebar pada lima film dari 13 film yangmasuk nominasi pada 13 kategori.

Hanung Bramantyo yang mendapat Piala Citra sebagai sutradara dalam film Get Married sebelumnya pernah mendapatkan Piala Citra dalam film Brownies, dua tahun lalu. Dalam ajang kali ini, Hanung menyisihkan Deddy Mizwar, Rudi Soedjarwo, dan Rako Prijanto. Meskipun tidak menang untuk sutradara terpilih, Deddy Mizwar mendapatkan Piala Khusus Dewan Juri Film Cerita untuk Penyutradaraan.

"Dalam Buku pedoman, juri memiliki wewenang untuk memberikan penghargaan khusus. Kriterianya terserah dewan juri. Ini salah satunya," ujar Deddy usai menerima penghargaan itu.

Saat menyutradarai Nagabonar Jadi 2,kata Deddy, hampir setiap malam ia berdoa meminta agar dijaga kesehatannya hingga filmnya selesai. Ternyata doanya didengar, dan malah rahmat itu dirasakan berlimpah karena film itu berhasil mendapatkan banyak penghargaan.

Sementara itu, untuk kategori aktor utama, Deddy Mizwar masih tangguh bagi anak-anak muda. Deddy mengalahkan Tora Sudiro, Fachri Albar,Ringgo Agusrahman, dan Dwi Sasono.

"Dengan mendapatkan piala ini, saya mungkin harus lebih menghargaiorang lain. Apa yang saya lakukan hanyalah bekerja sebaik-baiknya,"sebut Deddy.

Pada kategori aktor pendukung, Lukman Sardi mengalahkansenior-seniornya, seperti Adi Kurdi, Winky Wiryawan, dan Jaja Mihardja.Lukman juga mengalahkan Gary Iskak.

Sementara itu, Dinna Olivia yang berperan sebagai pekerja seks komersial dalam film Mengejar Mas-Mas berhasil mengalahkan Acha Septriasa, Poppy Sovia, Marsha Timothy, dan Nirina Zubir.

Kurang Keras

Seperti diketahui ajang FFI kali ini mendapat kritikan dari berbagaipihak. Masyarakat Film Indonesia (MFI) sebelumnya mengeluarkan pernyataan bahwa anggotanya tidak akan hadir dalam acara puncak penyerahan Piala Citra. Hal ini terkait dengan kritikan mereka terhadap kebijakan perfilman di tanah air. Selain itu sebagian masyarakat Pekanbaru juga mengkritisi pelaksanaan kali ini yang dianggap menghambur-hamburkan uang.
Menyikapi kritikan dari MFI, Garin Nugroho, salah satu anggota juri FFI 2007, menanggapi dingin. Di berbagai festival, selalu ada pihak yang setuju atau tidak setuju, dan hal itu wajar saja.

Menurut Garin, saat ini adalah saatnya penataan perfilman tanah air.Ajang festival itu tetap diperlukan. Jika memang ada masalah, bukan berarti festivalnya harus dihentikan, tetapi masalahnya yang dibongkar.

"Malahan saya melihat mereka kurang keras. Kalau perlu mereka buatkesepakatan tidak akan bekerja sama lagi dengan produser-produser yangikut FFI. Atau duduki distributornya seperti yang dilakukan di Korea,atau sekali-sekali bakar filmnya," ujar Garin enteng.

Menurut Garin, sebenarnya bisa saja dewan juri memilih film-film merekaagar tidak diboikot. Tetapi tindakan itu mungkin tidak akan menyehatkanperfilman Tanah Air.


[ Last edited byjf_pratama at 15-12-2007 07:18 PM ]

jf_pratama Publish time 16-12-2007 11:34 AM

Metamorfosa Dinna Olivia
Garin Nugroho

Sulit sekali mencari aktor laki-laki muda." Demikian keluhan Didi Petet danPutu Wijaya setelah menyaksikan 29 film yang terdaftar dalam FestivalFilm Indonesia 2007. Catatan ini mencerminkan lemahnya salah satu aspekpenting industri sinema, yakni hilangnya kebintangan dan keaktoran,yang merupakan prasyarat utama dalam industri budaya.

Contohsederhana adalah sejarah Tom Cruise. Inilah sejarah sensualitaskebintangan yang awalnya bermain dalam film ringan, tetapi memberiisyarat lahirnya keaktoran. Terbukti kemudian Tom Cruise awalnya hadirdalam film-film ringan yang menjual sensualitas kegantengan, sepertiCocktail dan Top Gun, kemudian hadir menjadi nomine aktor terbaikAcademy Award pada film Born on the Fourth July.

Lewatproses semacam ini, industri budaya mendapatkan standardisasiprofesionalisme keaktoran dan juga ekonomi penggemarnya. Dengandemikian, dunia penggemar mendapatkan hipnotis kebintangan sekaliguskualitas, yang menjadikan industri tetap mampu mempunyai daya hidupyang panjang, meningkat, dan terus berkompetisi.

Kasusyang sama bisa dilihat pada Meriam Bellina. Awalnya, bermain dalamfilm-film semacam Catatan Si Boy, namun juga mampu menarik pemirsa dirumah lewat berbagai sinetron yang sangat populer. Lewat Get Married,ia meraih penghargaan pemeran pembantu terbaik. Ia mampu membuktikankonsistensi keaktrisan lewat kemampuan mengelola kata dan bahasa tubuhyang berkarakter dalam ruang tampil yang pendek.

Karnaval

MeriamBellina adalah sebuah karnaval yang terus hidup dalam siklus industribudaya yang berubah, yang mampu menggabungkan kebintangan, keaktrisan,kerja keras, dan daya hidup di berbagai ruang industri budaya.

Dengankata lain, para peraih citra dan nominator FFI tahun 2007 mayoritasadalah mereka yang mampu hidup dalam industri budaya kontemporer yangmenuntut kemampuan bertumbuh di ruang hiburan yang beragam danberinteraksi serta bermetamorfosa, maupun multiperspektif market yangberdialog. Simaklah Deddy Mizwar yang bermain dari iklan, sinetron,hingga film, ataupun Nirina, yang menjadi ikon pembawa acara di duniaanak muda, namun juga di film.

Digital

Duniapostmodern adalah dunia digital, dunia yang cara merekam, memproduksiimajinasi, memperbanyak, dan menayangkan mengalami personalitas yangluar biasa. Ia adalah hyper metamorfosis. Seperti catatan saya tahun1998 di Kompas, film Indonesia periode 2000-2010 adalah periodedigital. Oleh karena itu, karya-karya film di FFI 2007 mayoritas adalahkarya yang dibuat dengan video digital. Mengingat, teknologi digitalmenjadi lebih murah, efisien, dan personal.

Wajahlain dari dunia digital adalah jarak yang tipis antara efisiensi,petualangan teknologi, personalitas, dan penggampangan dalam berkarya.Celakanya, karya-karya dalam nominasi FFI 2007, terbaca adalahpenggampangan dan peremehan teknologi dan tidak lagi memuliakanteknologi digital untuk penemuan ataupun efisiensi yang menghormatistandardisasi.

Halini mencerminkan, dunia digital yang konsumtif justru jadi dunia instandan jauh dari upaya menghormati penonton film yang sedang dibangunkepercayaannya. Jangan kaget jika penonton film malas keluar rumah kebioskop, dan memilih televisi, karena film tidak lagi mempunyaistandardisasi yang lebih memanjakan sebagai tontonan dan nilai tambahhiburan.

Duniapostmodern adalah dunia dekonstruksi dan sekaligus konstruksi. Olehkarena itu, sangatlah wajar terjadi pro dan kontra serta berbagaiparadoks dalam FFI 2007 ini, baik status maupun aspek dilemadesentralisasi. Sesungguhnya, bagi saya film Indonesia pascareformasibukanlah era kebangkitan, namun lebih tepat penataan kembalipascakrisis. Maka, FFI 2007, yang disebut oleh panitia sebagaikepanitiaan transisi, justru merupakan era terpenting. Inilah realitaswajah sinema Indonesia, yakni senantiasa di tengah krisis dibangunkankembali oleh film-film komedi situasi bernuansa lokal, sepertiNagabonar Jadi 2 dan Get Married.

Duniapostmodern juga melahirkan aspek yang tak lagi tunggal. Maka, berbedadengan FFI periode 80-an, FFI periode pascareformasi hidup di tengahberbagai festival lainnya di Indonesia. Namun, yang penting, FFIselayaknya dihidupkan karena ia menjadi bagian dari sejarah sinemaIndonesia itu sendiri, meski perjalanan untuk menghidupkan memerlukanwaktu panjang.

Jikasekiranya Dinna Olivia meraih pemain terbaik, memang ia memiliki energidan keterampilan bermain, yang sudah dibuktikan di film-filmsebelumnya. Sekiranya, ia tidak terlalu populer, sesungguhnya adalahkenyataan wajar. Industri budaya senantiasa mempunyai sejarah tentangdunia keaktrisan yang sering tidak tumbuh sangat populer. Ia adalahmarginal karena energi permainannya hidup di wilayah film-film yangkadang memerlukan daya hidup sendiri.

Garin Nugroho Juri FFI 2007

[ Last edited byjf_pratama at 16-12-2007 10:38 AM ]

jf_pratama Publish time 16-12-2007 12:32 PM

Citra best actress Dinna honored by award
The Jakarta Post, Jakarta

Despite controversy surrounding last year's best film awards, which saw youngfilmmakers, casts and crews returning their Citra awards, this year'sbest actress, Dinna Olivia, said she was honored to receive her prizeand was impartial to the boycott at the 2007 FFI Awards ceremony onFriday in Pekanbaru, in Riau. "I am grateful for the award.

That is thewhy I came to the ceremony," said the 24-year-old winner of theIndonesian Film Festival (FFI) 2007 Best Actress Award, for her role asa prostitute in Mengejar Mas-Mas (Chasing Guys). Dinna won over several young and promising actresses, including Mengejar Mas-Mas co-star Poppy Sovia, Love is Cinta actress and singer Acha Septriasa, Marsha Timothyof Merah itu Cinta (Red is Love) and Kamulah Satu-Satunya (You are the Only One) actress Nirina Zubir.

Thirty previous young winners of FFI including film directors Riri Riza and Hanung Bramantyo, film producerMira Lesmana and actresses Dian Sastrowardoyo and Rachel Maryam, returned their Citra trophies in January to Culture and Tourism Minister Jero Wacik in a protest over the handling of last year'sawards. They allegedly objected to the judges' decision to give the2006 Best Feature Film Award to Ekskul , a high school drama allegedly adapted from a Korean film Tae Guk Gi .

"I don't understand the issue (boycott), I'm neutral. I'm sure my friends who returned awards hadtheir reasons, but I'm definitely not involved," Dinna said, as quotedby KCM.com The annual festival, first held in 1955, is the national equivalent to the Oscars. It was suspended for the decade between 1993a nd 2003, allegedly due to a lack of quality films produced in thatperiod.

A total of 15 awards, including a the new award for the bestfilm using Indonesian language, were given at the ceremony inPekanbaru, the first city to host the FFI awards outside Jakarta in its22-year history. Fifty-two year old veteran actor Deddy Mizwar, who acted in, directed and produced movies Naga Bonar and Naga Bonar Jadi 2(Naga Bonar Becomes 2), swept the floor with awards for best actor, jury prize for best director, and was the TV audience favorite actor.

Naga Bonar Jadi 2 secured the 2007 Best Film Award, beating RudiSoedjarwo's Mengejar Mas-Mas , Rako Prijanto's Merah itu Cinta andHanung Bramantyo's Get Married and Kamulah Satu-Satunya . Hanung won aCitra trophy for best film director with Get Married .

Winners ofthe 2007 Indonesian Film Festival

* Best Motion Picture:Naga Bonar Jadi 2
* Best Actor: Deddy Mizwar ( Naga Bonar Jadi 2 )
* Best Supporting Actor: Lukman Sardi ( Naga Bonar Jadi 2 )
* Best Actress: Dinna Olivia ( Mengejar Mas-Mas )
* Best Supporting Actress: Meriam Bellina ( Get Married )
* Best Director: Hanung Bramantyo ( Get Married )
* Best Screenplay/Writer: Musfar Yasin ( Naga Bonar Jadi 2 )
* Best Cinematography: Ipung Rahmat ( Kala )
* Best Art Direction: Wencislaus ( Kala )
* Best Film Editing: Cesa David Lukmansyah ( Get Married )
* Best Sound Editing: Adityawan Susanto and Adimolana Machmud ( Naga Bonar Jadi 2 )
* Best Music Arrangement: Dian HP ( Love is Cinta )
* Best Documentary Feature:Sang Budha Bersemayam di Borobudur(The Buddha Resides in Borobudur)
* Best Short Film:Karena Aku Sayang Markus(Because I Love Markus)
* Special Award:   Best Film in Indonesian language:Kala
* Judges' award for best director: Deddy Mizwar ( Naga Bonar Jadi 2 )

[ Last edited byjf_pratama at 16-12-2007 11:36 AM ]

HangPC2 Publish time 16-12-2007 03:48 PM

Originally posted by jf_pratama at 9-12-2007 04:21 PM http://forum4.cari.com.my/images/common/back.gif
Film Persepolis Awali Pembukaan JiFFest ke-9

http://www.rileks.com/images/content/11970997490.jpghttp://www.rileks.com/images/content/11971001080.jpg

Pemutaran film ";Persepolis" karya sut ...


Macam mana ? filem nih boleh lepas kat Indonesia sebab filem banyak menghina Dasar Republik Islam Iran....
Pages: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 [11] 12 13
View full version: INDONESIAN MOVIES (Gallery and Discussion)


ADVERTISEMENT